"Kenapa?""Denger sendiri kan, Ibu Aa benci aku? Aa juga marah sama aku ... aku ini istri yang buruk." Gadis itu menuju kamar, mengemasi baju-baju ke tas. Dia tidak betah hidup dilingkungan mertua tapi dimusuhi. Salsa merasa sendiri, semua orang di sini tidak menyukainya. Termasuk Imam, jadi bersikap dingin. "Sekarang sudah malam." Imam mencegah tangan Salsa yang hendak mengambil baju lagi di lemari. "Aku mau pulang ... Ibu Aa nggak suka sama aku. Dia bahkan nyuruh kita--" Ucapan Salsa tidak tuntas, Imam menaruh telunjuk di bibirnya. "Kamu boleh pulang. Tapi, besok. Jangan sekarang." Salsa terdiam sejenak lalu mengangguk. Imam menghapus air matanya yang masih bercucuran. "Sudah, jangan nangis." Setelahnya dia meninggalkan istrinya itu keluar. Imam tidak sehangat biasanya sejak kemarin dan cenderung menatap datar. Sentuhannya kaku. Bukannya berhenti, tangis sedih Salsa mengalir lagi. "Ibu ...." Dia sebut nama itu. Merindukan sosoknya. Imam duduk di pembatas depan mengeluarkan seba
"Bapak sakit?" Imam duduk bersama Ma'ruf, melihat macam-macam obat di meja yang sudah diminumnya. Dia tidak jadi langsung ke bengkel. Dititipkan dulu pada Wawan. Menemani sejenak bapak mertua yang sedang kurang sehat. Tubuh Ma'ruf tidak segagah terakhir bertemu, cenderung ringkih dan tampak payah. Diam di rumah tidak pergi ke toko kayunya. "Bapak cuma sesak napas." "Maafin Imam, Pak. Jarang ke sini. Jadi gak tau kondisi Bapak." "Harusnya Bapak yang minta maaf sama kamu. Tolong maafin semua kesalahan Salsa, Mam." Mata tua Ma'ruf melirik menantunya. "Bapak memang sudah memaksa Salsa menikah sama kamu. Karna Bapak percaya kamu laki-laki baik dan tepat untuknya." Imam tersenyum tipis. Sebenarnya dia tidak sebaik itu. Banyak aib dan tidak sempurna. Terbukti masa lalunya bisa menyakiti hati Salsa. Dia yang terpaksa jadi merana, lalu mencari hiburan lain yang sayangnya malah membuat citranya sendiri menjadi buruk. "Maafin Imam, Pak. Semua terjadi karna kesalahan Imam juga." "Tapi, kam
"Kalo nyetir mobil hati-hati, dong!" Albyan menggedor kaca mobil sedan silver yang sudah bertabrakan dengan Salsa. Kaca mobilnya terbuka."Maaf, Kak, a-aku emang lagi belajar bawa mobil." Gadis muda seumuran Salsa nampak ketakutan ditatap garang Albyan dan panik. Bicaranya tergagap. "Tanggung jawab! Bawa korban ke rumah sakit.""I-iyya, Kak. Iya." Albyan kembali menembus orang yang mengerumuni Salsa. Mengangkat tubuh terkapar gadis itu hendak memasukkan ke mobil. Si penabrak membukakan pintu. Salsa disandarkan di dalam. "Masuk, biar gue yang nyetir." "Ya, Kak." Si pemilik mobil masuk menemani Salsa. Albyan menempati kursi kemudi. Orang-orang sekitar menepikan motor Salsa dari jalan dan memberikan barang-barangnya di masukkan ke mobil. Motor Albyan sendiri dititipkan ke salah satu warga dekat lokasi kejadian."Bukain helemnya." Gadis sipenabrak langsung menuruti Albyan mencopot helem Salsa. Hidung Salsa mengeluarkan darah, tapi kepalanya tidak kenapa-napa. "Aku nggak sengaja ...."
Teman-teman sefakultas Salsa berpamitan setelah melihat kondisinya. Dua orang perempuan dan dua laki-laki ke luar ruangan lebih dulu. Hanya Liana yang masih di dalam bersama ibu dosen pembimbing mereka. "Saya pulang dulu. Salsa semoga lekas sehat ya, dan bisa masuk kampus lagi." Ibu dosen ikut pamitan, setelah mahasiswa lain pergi. "Iya, Bu. Terimakasih sudah datang ke sini." Salsa menyalami tangan ibu dosen yang diulurkan padanya. Bu dosen juga bersalaman pada Masitah. "Terimakasih banyak atas waktunya sudah mau membesuk Salsa anak saya." "Sama-sama." Dia melirik pada Liana. "Ayo, Li, mau pulang bareng Ibu?""Iya, Bu. Sa, aku pergi, ya. Moga cepet sembuh.""Aamiin. Makasi, Li."Dua orang itu keluar setelah mengucap salam. "Ternyata temen-temen kamu perhatian, juga, ya." Salsa tersenyum. Hati gadis itu senang sudah dibesuk teman kelasnya. "Iya, Bu." Dia jadi rindu kampus, beberapa hari tidak masuk setelah kecelakaan. Belum lama pintu ruangan tertutup datang lagi yang membesuk. "
"Alhamdulillah ...." Masitah sangat gembira melihat Ma'ruf sudah membuka mata. Dia seorang yang diperkenankan masuk ke dalam ruangan. Diawasi para perawat yang berjaga di ICU. Anak-anaknya menunggu di luar. Rambut memutih suaminya diusap. "Bu ...." "Ya, Pak. Ini Ibu." "Salsa mana?" Suara Ma'ruf seperti tenggelam dan kurang jelas dengan sorot mata sayu. "Ada, Pak." "Bapak mau ketemu ... mau minta maaf sekaligus berterimakasih." "Kenapa memangnya, Pak?""Bapak sudah maksa nikah. Sudah batesin masa mudanya." "Bapak tidak perlu memikirkan itu." "Anak itu sudah menuruti Bapak ... lega bisa menjadi wali di saat masih sehat, akhirnya Bapak sudah menyaksikan semua anak-anak Bapak menikah." "Ya, Pak. Alhamdulillah.""Tapi, Bapak belum bisa lihat cucu dari Salsa." "Bapak bisa melihatnya kalo sembuh." "Rasanya nggak mungkin." "Bapak jangan bicara seperti itu." Tiba-tiba Masitah sedih. Suaminya terlihat tidak semangat. Susah payah mengatakan itu semua. Gerak mulutnya terbatas masih te
Salsa meringis kesakitan ketika kakinya diterapi pijat lagi. Sudah ke-tiga kali letak tulang tergeser di lututnya dibetulkan. Imam selalu menemani. Hari itu, Rasidah juga ada ikut memperhatikan. Ibu mertua sering datang melihat keadaannya. Salsa tampak kewalahan dan ngos-ngosan setelah selesai diurut. Imam memberinya minum. Gadis itu meneguk habis. "Nanti dipraktekin jalan sedikit-sedikit, ya. Nggak usah pake tongkat. Insya'allah segera pulih. Posisinya sudah kembali ke awal." "Alhamdulillah." Ibu Imam senang mendengarnya. Salsa hanya tersenyum lelah. Kesakitan dan ngilu di kakinya ingin segera berakhir. Bapak tukang urut membereskan minyak dalam tas. Beranjak bangun dari karpet hendak pamit. "Ini, Pak. Buat ongkos. Terimakasih sudah ke sini." Rsidah mengeluarkan amplop dari dalam tasnya. "Jangan, Bu. Udah ada." Imam mencegah ibunya memberikan uang."Nggak apa-apa, Mam. Dari Ibu aja.""Segala biaya pengobatan Salsa ditanggung orang yang nabrak, Bu. Salsa suka ditransfer. Simpan
"Kamu nggak mau nerusin kuliah, Sa?" Imam bertanya seraya menatap langit-langit kamar. Kepala Salsa berada di lengannya. Mereka sehabis menunaikan ibadah paling membahagiakan lahir batin. Meski bukan pengantin baru mereka merasa seperti itu. Sebelum tidur, melakukan ritual hubungan suami istri terlebih dulu. Terkadang tengah malam dan sehabis subuh mengulanginya lagi. Kegiatan bercinta sedang hangat-hangatnya dan sangat disukai. "Belum kepikiran.""Padahal, kamu ingin sekali kuliah, nggak mau di rumah. Menikah sama Aa juga karna ingin bisa kuliah kan?" "Itu, dulu. Sekarang keinginan kuliah di universitas nggak menggebu-gebu, malah aku nggak mau kuliah di tempat itu." "Udah nggak nyaman?" Salsa terdiam. Tangannya menarik selimut menutupi dada yang terlihat separuh. "Karna Albyan?" "Aa jangan sebut orang itu lagi." Tebakan suaminya tepat. Salah satu penyebab dia enggan kembali masuk kampus karna kakak tingkatnya itu. Salsa tidak mau bertemu lagi dengan Albyan. Jika di kampus otoma
"Aa udah!" Salsa mendorong kencang bahu Imam, setelah mencium cukup lama belum juga dilepaskan. Tapi, kembali lelaki itu melakukannya setelah menarik napas sejenak. Lebih menuntut, bahkan merebahkan paksa tubuh Salsa hingga jatuh ke tanah. Kancing bajunya dibuka, Imam menyusupkan tangan di sana. Salsa menarik napas bebas setelah Imam melepas pagutan di bibir. Menghirup udara sebanyak-banyaknya menyingkirkan sesak. "Aa ...." Tapi tidak terasa mulutnya kini malah mengeluarkan suara desah. Imam tidak hanya menyentuh, tapi juga mengulum dan memainkan lidahnya di sana. Bermesraan di tempat sejuk, asri dan best viuw, sensasinya luar biasa. Tapi, ini gila! Salsa tidak boleh membiarkan lama-lama. "Stop, Aa ...." Susah payah Salsa mencegah, disertai desah-an kecil lagi di bibir. Hatinya berontak, tapi tubuhnya menerima. Apa Imam tidak takut, bagaimana jika diketahui orang? Salsa bertanya-tanya dalam benaknya. Tangannya menyentuh rambut Imam sambil menggigit bibir bawah resah. Antara meni