"Makasi." Salsa berucap seraya tersenyum saat Imam memberinya jagung bakar manis. "Hati-hati makannya, masih panas.""Iya." Keduanya tengah berada di salah satu warung lesehan tepi jalan. Menikmati jajanan hangat di tengah-tengah udara dingin. Langit sudah gelap. Magrib baru saja berlalu. Mereka belum pulang dari tempat rekreasi. Salsa menggigit pelan jagung bakar. Manis pedas langsung terasa di lidah. Sambil memakan dia melihat-lihat sekitarnya. Di warung lain banyak pasangan muda-mudi menikmati kebersamaan mereka. Ada yang berkelompok memainkan gitar dan bernyanyi. "Apa ... dulu A sering makan-makan jagung bakar gini sama pacar Aa?" Imam baru akan menggigit jagung miliknya, kembali tertuju pada Salsa. "Sa ... Sa. Kenapa sih harus nanya gitu?" Dia heran istrinya jadi suka menanyakan perihal masa lalunya. "Pengen tau aja. Aku nggak pernah. Jadi nggak tau rasanya." "Sekarang udah ngalamin kan, sama Aa?" "Iya. Tapi kan udah menikah.""Kamu nyesel kita nggak pacaran dulu sebelum
Salsa tengah merias diri. Sudah memakai bedak, eyeliner, pensil alis, dan sedang menyapukan tipis-tipis blush-on di pipi. Tersenyum manis setelah mengoleskan lipstik. Memandangi paras jelita miliknya di cermin. Sekarang, dia bukan gadis polos lagi. Suaminya sudah membantu mendewasakan segala-galanya, termasuk membuatnya jadi lebih pandai berhias. Entah kenapa, dia jadi senang menunjukkan kecantikkannya pada Imam. Ingin lelaki itu terus terpesona. Dia sudah membelikan peralatan make-up lebih komplit dan Salsa menggunakan sebaik-baiknya.Punggung jari tangannya menyentuh pipi sendiri, mengelus pelan permukaan halus tanpa jerawat. Terus dia perhatikan wajah di cermin itu dengan bangga. Tangannya lalu berpindah mengelus pipi satunya. "Udah cantik." Imam sedari tadi memerhatikan dari tepi tempat tidur. Mendiamkan Salsa yang sibuk berdandan. Istrinya itu menoleh. Tersenyum. "Cantik banget, kan?""Iya." "Cantik mana aku sama Anita?" Salsa bertanya seraya kembali menghadap depan. Memainka
"Waalaikumsalam. Eh, Uwak." Imam menyalami sepasang suami istri yang merupakan sodara kakak bapaknya. "Salsanya mana?""Ada. Masuk, Wa." Dua orang itu mengikuti Imam ke dalam. Duduk setelah dipersilakannya. Salsa ke luar kamar sudah rapi. Dia hampiri kerabat keluarga Imam. Menyalaminya seraya tersenyum."Uwak, apa kabar?""Alhamdulillah, Sa. Baik. Kamu sendiri?" Uwak perempuan menanyakan balik kabar Salsa."Baik." Istri Imam kebingungan mesti menjamu mereka dengan apa. Ini bukan di rumah orang tuanya. Makan dan minum pun mereka beli. Salsa melirik suaminya. "Mereka kita suguhi apa, A?" "Bawa ke sini makanan yang Aa beli." "Oh, iya, A." "Sa, mau kemana?" Uwak perempuan berdiri melihat Salsa hendak pergi. "Mau ambilin camilan buat Iwak." "Nggak usah, ini justru Uwak bawain makanan buat kalian." Dia memberikan jinjingan rantang plastik. Salsa masih diam saja, melirik lagi pada Imam. "Ambil, Sa. Di sini kan nggak ada makanan harus beli. Itu bisa buat makan siang juga." Uwak laki-l
"Kamu kapan pulang, Sa?" "Kenapa, Bu? Kangen, ya, sama Salsa. Hehe." Masitah tersenyum di kamera ponsel yang tengah dipegang anaknya. Salsa tengah melakukan panggilan video call. "Kita lagi fokus bikin anak, Bu."Salsa melotot Imam bicara seperti itu, lalu buru-buru tertuju pada ibunya. Salsa lega ibunya tidak mendengar karna Imam bicara pelan. Dengan cueknya Imam makan kembali. Mereka sedang menikmati makan malam di sebuah resto tepi jalan. Lelaki itu tersenyum mendapat delikan istrinya. Lucu melihat raut wajah Salsa yang tegang bercampur malu. Jika sang ibu tahu. "Ibu mau dibawain oleh-oleh apa?" "Nggak perlu mikirin itu untuk Ibu. Liat kamu seneng, Ibu ikutan seneng." Salsa jadi tersanjung sekaligus kasihan. Baru dua hari ditinggal pergi Masitah sudah menanyakannya. Dia tahu ibunya itu pasti kesepian sendiri di rumah. "Ya, Bu. Salsa seneng. Ibu kangen sama Salsa, Salsa juga." "Syukurlah kalau kamu menikmati." "Nanti Salsa bawain sesuatu deh buat Ibu, has makanan daerah sini
"Besok kita pulang aja, A." "Loh, kenapa? Baru tiga hari." "Takut kelamaan libur dan ganggu usaha Aa." "Jatah libur kita paling sedikit seminggu. Ibu Aa dulu juga bilang begitu. Soalnya ini kan liburan pertama kita, Sa."Mereka tengah menikmati sarapan bubur ayam. Bubur di mangkuk Salsa masih banyak sedangkan punya Imam sudah tinggal sedikit. Lelaki itu memakan lebih cepat, tidak peduli meski masih agak panas. Istrinya menyendok satu suap saja mesti ditiup-tiup lama, baru dimasukkan mulut. Itu pun masih dikunyah pelan sebelum ditelan. "Nggak ganggu usaha Aa kok, Sa. Bengkel buka dijaga Wawan. Meski nggak full bisa ngerjain semua. Sebisanya dia." "Aku takut ngabisin uang Aa." "Aa punya tabungan. Aa udah bilang sebelumnya kan? Lagian, kita liburannya juga bukan ke luar negri atau luar pulau. Nggak ngabisin budget mahal." Imam sudah menandaskan bubur dan meneguk air minum di gelas. Mendorong mangkuk kosong bekas makan ke hadapannya sendiri. "Malah, Aa ditambahin juga sama Ibu Aa, Sa
Pada uwaknya, Imam menyerahkan kunci villa sekaligus pamitan. Dia sengaja mendatangi kediamannya. Mengobrol sebentar di dalam rumah, lalu keluar hendak pergi lagi. "Padahal, bermalam saja dulu di sini, Mam. Salsa kan belum pernah menginap di rumah Uwak ini." Uwak perempuan menawarkan mereka untuk lebih lama lagi di kediamannya. "Iya, Mam. Kirain nggak bakal mau pergi cepet-cepet," timpal uwak laki-laki. "Nanti lain kali ke sini lagi. Terimakasih sebelumnya dan maaf kalo merepotkan. Villa masih agak berantakan." "Nggak apa-apa, Mam. Tamu emang nggak harus rapiin. Nanti sama Uwak dibersihin lagi." Uwak perempuan menjawabnya. "Kalo begitu, Imam pamit dulu." Imam cium tangan pada kedua uwaknya. Salsa juga menyalami mereka. "Nanti, ke sini lagi, ya, Sa." Uwak perempuan menyapa Salsa untuk terakhir kali sebelum pergi."Insya'allah, Uwak." "Ayo, Sa." "Iya, A." Kedua pasutri muda itu lekas ke motor yang terparkir di halaman. Masing-masing memakai helem dan membenarkan jaket, kemudian
"Apaan sih, Aa. Aku mau solat?!" Salsa berusaha bangun. Imam menahan bahunya. Tubuh Salsa yang setengah terbangun dibaringkan lagi. Lelaki itu mengamati wajah terus turun ke bawah. "Seksii. Kamu sangat menggoda, Sa." "Aku baru abis mandi, Aa Mpi jangan apa-apain aku deh." "Kalo Aa pengen gimana?""Katanya capek, katanya nyuruh aku solat, malah ganggu sekarang." Salsa ingin menutupi tubuh polosnya. Tangannya meraih handuk, namun direbut Imam. "Aa!" Lelaki itu tersenyum menyeringai. Menyentuh dada Salsa menatapnya penuh damba. "Betah Aa liatnya." Dia cepat menunduk menikmatinya. "Aa stop." Salsa menarik rambut Imam menjauhkan. Rasanya memang selalu enak setiap diperlakukan begitu. Tapi, Salsa ingin beribadah solat tidak mau mandi lagi. "Masa Aa mimi sama kamu nggak boleh?""Aku mau solat Aa. Kan tadi Aa sendiri yang nyuruh. Aa tuh suka pura-pura, yah. Pura-pura tidur tadi, sekarang pura-pura lupa suruh aku solat." "Aa nggak lupa kok. Aa pengen aja seneng-seneng dulu sama kamu."
"Assalamualaikum!" Salsa mengetuk pintu rumah. Masitah memutar kunci dan menarik hendel. "Waalaikumsalam. Salsa, udah pulang?""Ya, Bu." Dia memeluk ibunya sekilas. "Masuk, Sa. Ajak suamimu ke dalam." Imam menyalaminya. Lalu masuk mengikuti dua perempuan itu. Salsa duduk bersandar di sofa. Menikmati lelah sehabis perjalanan. Imam menunda tas besar dan satu jinjingan berisi buah tangan di bawah. Lelaki itu duduk di samping istrinya. Menghela napas tenang sudah selamat sampai tujuan. "Kalian pasti lelah, Ibu ambilin minum, ya." Masitah bergegas ke dapur. Salsa sudah duduk tegap ingin menolak, tapi ibunya keburu pergi. Perempuan itu pun bersandar kembali di sofa. Menoleh saat merasakan sentuhan di pipi. Imam sedang ke arahnya. "Padahal, kita masih ada jatah dua hari, tapi kamu malah mau pulang." "Aku nggak enak Aa libur kelamaan dan ngabisin banyak duit Aa. Lima hari di luar aku udah cukup kok." Mereka hanya dua hari menginap di pantai dan tiga hari di villa. Pukul sembilan malam m