Perut rata Salsa sudah terlihat besar di usia kandungannya yang ke enam bulan. Mual, pusing, tidak terasa lagi. Kini, dia lahap makan apapun. Tidak melulu harus bubur atau sayur sup lagi. Membuat tubuhnya semakin berisi. "Widih, bumil kerjanya makan mulu sekarang." Faisal memasuki rumah mendapati Salsa tengah menyantap mie ayam. "Biarin." Salsa menimpali ketus dan hanya melihatnya sekilas. Terus melanjutkan makan. "Udah nggak cengeng lagi, ya." Ucapan Faisal tidak ditanggapi lagi. Lelaki itu melirik Imam di belakangnya. "Mam, siap-siap aja disuruh beli ini itu." Imam tersenyum. Memang benar, mie ayam itu pun dia yang belikan. Saat ingin sesuatu Salsa selalu meminta kepadanya. "Rese banget sih, Aa Isal. Nggak usah ngeledek aku." "Siapa yang ngeledek?" "Nggak usah ember itu mulutnya. Orang Aa Mpi sendiri nggak keberatan kok, ngebeliin sesuatu untuk aku. Iya, kan A?" Imam mengangguk. "Abisin mie ayamnya.""Iya, Aa, aku pasti abisin kok." Salsa menjawab tersenyum manis. Faisal p
"Saya terima nikah dan kawinnya Salsabila Putri binti haji Ma'ruf Solihin, dengan maskawin seperangkat alat solat dan cincin emas empat gram. Tunai." "Bagaimana saksi, Sah?""Sah!" Seruan kalimat hamdalah lalu mengiringi acara ijab kabul yang baru dilaksanakan. Semua hadirin di Masjid kompak mengangkat tangan berdo'a. Begitu pun dengan mempelai Pria—Imam Hanafi. Laki-laki memakai stelan jas dan berkopiah hitam itu tampak khusu mensyukuri acara sakralnya yang berlangsung lancar. Sementara di sebelahnya, gadis cantik berkebaya putih yang beberapa detik berlalu telah 'sah' menjadi pasangan hidupnya hanya menunduk dalam. Acara dilanjutkan dengan sesi serah terima mas kawin dan memakaikan cincin. Imam dan Salsa saling bersitatap. Salsa mengulurkan tangannya sedikit ragu, begitu pun Imam menyambutnya canggung. Perlahan cincin mas kawin pun terpasang di jari manis Salsa. Bapak penghulu kemudian memerintahnya untuk cium tangan pada suaminya. Giliran Imam yang mengulurkan tangan. Laki-laki
Imam merasa tertampar mendengar ungkapan istrinya."Jadi, sebenarnya kamu gak mau menikah sama Aa?" "Aku belum siap. Merasa belum pantas, masih ingin menikmati masa muda dengan bebas, juga ingin lanjut kuliah." Imam menarik napas dalam dan dihembuskan pelan. Dirinya merasa malu sudah jatuh pada pesona Salsa yang sebenarnya terpaksa. Merasa sudah mengekang kehidupan gadis itu dengan pernikahan yang baru siang tadi dilaksanakan. Dia pikir Salsa sudah berbesar hati karena tampak ceria selama di pelaminan. Rupanya dia hanya terhibur sesaat oleh kemeriahan pesta. Oleh tamu-tamu yang datang. "Pengeen banget lanjut kuliah ... ijinin Salsa menggapai impian Salsa." Gadis itu memohon dengan memelas. Imam meliriknya. Mengamati. Salsa memang masih terlalu muda. Usia mereka timpang. Dari sini harusnya dia menyadari tidak mudah bagi Salsa. Dan dia berhak menempuh pendidikkan ke jenjang lebih tinggi sesuai keinginannya. "Yasudah kalau kamu mau kuliah." Salsa tertegun sebelum akhirnya matanya
"Kamu boleh ajak Salsa tinggal bersama kamu, Mam.""Nggak, ah. Salsa mau tetap di sini. Sama Ibu sama Bapak." Salsa tiba-tiba datang lebih dulu menjawab. Suaminya yang baru membuka mulut hendak bicara tidak jadi. Mengatup kembali. "Bapak nanya sama Imam, bukan sama kamu." Salsa cemberut. Diliriknya Masitah ingin meminta bantuan."Ke sini dulu." Ibunya menyuruhnya duduk bergabung. Salsa pun menurut duduk di sampingnya. Tempat yang mereka duduki jadi sempit karena bertiga. Sementara Imam dibiarkan sendiri di sofa sebrang. Masitah menghela napas. Maksudnya Salsa duduk di dekat Imam. Bukan nyempil di tengah-tengah orang tuanya. "Duduknya di sana, Sa." Masitah pun mengulang memperjelas supaya putrinya mengerti. Gadis itu pun pindah dengan ogah-ogahan. Ma'ruf mendes-ah melihat tingkah putrinya. "Tempat tinggal kamu dekat dengan tempat kerja. Maksud Bapak biar gak kejauhan pulangnya, bolak-balik sini, kamu bisa bawa Salsa." "Cuma beda desa doang kok, Pak. Dua puluh menit juga nyampe
Imam memperhatikan Faisal dan Andri—suami Layla, mengangkat kayu-kayu ke atas mobil losbak. Dia pun bergegas menghampiri membantu. "Gak usah, Mam. Biar aja." Faisal tidak ingin mempekerjakan adik iparnya. Terlebih dia masih pengantin baru.Imam tetap mengambil balok kayu yang sudah dihitung milik konsumen menaikkan ke mobil. "Masa cuma liatin doang. Gak apa-apa kan bantu biar cepet selesai.""Udah, biarin, Mam." Andri berujar sambil menata kayu di mobil tersebut bersiap mengikatnya.Imam tersenyum dan tetap melanjutkan mengangkut sampai benar-benar selesai. Faisal dan Andri masuk di depan mobil. Faisallah yang duduk di balik kemudi. Mereka mau mengantarkan pesanan pelanggan. "Mau ikut gak, Mam?" tanya Faisal."Biar Imam di sini aja sama Bapak." Ma'ruf menghampiri. "Yaudah, pergi dulu." Faisal dan Andri pergi dengan mobil berisi muatan kayu-kayu yang sudah dipotong rapi. Ma'ruf dan menantunya berjalan beriringan. Di dalam gudang banyak tumpukkan kayu-kayu kaso dan balok. Ada pun ya
"Itu Aa Mpi, Bu!" seruan itu Salsa dengar saat turun dari motor. Dua orang perempuan yang tengah duduk segera berdiri melihat dia datang."Ayo." Imam juga sudah turun dari motor dan sudah membuka helemnya. Dia mengajak Salsa untuk ke teras rumah orang tuanya itu. Salasa menurut. Dia berjalan sedikit menunduk sambil menggenggam erat tas. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Dua orang perempuan itu menjawab salam Imam. Dia naik ke teras diikuti Salsa. "Gak nyangka kalian mau ke sini sekarang." Rasidah—Ibunda Imam menyapa saat anak dan menantunya menyalaminya. "Iya, Bu." Imam menjawabnya. Rani salim pada kakak laki-lakinya, dia juga menyalami Salsa. Gadis itu canggung karena sebenarnya usia dia masih di bawah Rani. Tapi, karena sudah menikah dengan kakaknya jadi Ranilah yang harus lebih menghormati. "Ayo, masuk, Sa." Salsa langsung digandeng ibu mertuanya ke dalam rumah. "Kamar Aa udah dirapiin kan, Ran?" Mendengar Imam berkata seperti itu Salsa tertegun. Tiba-tiba langsung dise
Seperti yang sudah disepakati, Imam membawa motor dengan santai. Salsa merasa nyaman dan menikmati semilir angin yang tidak terlalu kencang. Dilihatnya sepasang muda-mudi menikmati dinner di kedai yang dilewati pada sabtu malam ini. Ada juga yang sama sedang di perjalanan seperti dirinya. Gadis itu tersenyum kecil sambil merapatkan jaket. Tidak buruk menyetujui ajakan Imam, Salsa dapat menikmati keindahan malam yang langka dia rasakan. Tidak ada obrolan, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Imam terus fokus berkendara mencari tempat yang hendak ditujunya dan Salsa diam memperhatikan pemandangan asing sekitar. "Aku baru pertama kali loh, A, jalan kayak gini sama lawan jenis." Salsa mencolek es durian dengan sendok kecil, kemudian dimasukkan dalam mulut. "Oh, ya?" Imam menoleh padanya. "Iya. Selama ini aku kebanyakan diem di asrama. Dari SMP hingga lulus SMA pun masih di sana." Salsa kemudian mengambil satu telur gulung dalam plastik lalu memakannya. Menunda wadah esnya.
"Kamu mandinya di keramas, ya?""Hah?" Salsa menunda membuka pintu kamar mendengar Imam. "Kita emang gak ngapa-ngapain. Tapi, Aa mau kamu mandinya di keramas. Biar Bapak Ibu tau kita baik-baik aja." Lelaki itu mau solat subuh, sudah memakai koko dan sarung. Sedang bersiap memasang peci di kepala. "Aa juga di keramas ini." Salsa melihat rambutnya sekilas dan memang basah. Dia terdiam menunduk lalu mengangguk. Imam menghampirinya. "Aa ke mesjid dulu." Salsa menyingkir membiarkan suaminya yang pada akhirnya membuka pintu dan pergi. Gadis itu berbalik lagi mengambil handuk di lemari disampirkan di bahunya. Dia yang berencana mau wudhu saja tidak jadi. Beruntungnya air di tempat orang tua Imam tidak begitu dingin. Mungkin karena lebih padat penduduk, dekat pasar, juga banyaknya bangunan seperti pabrik. Tidak seperti di kediaman Salsa mandi subuh terasa menggigil. Baju Salsa dipakai kembali selesai mandi, sementara handuk dililitkan di kepala membungkus rambut basahnya. Gadis itu bewu