"Saya terima nikah dan kawinnya Salsabila Putri binti haji Ma'ruf Solihin, dengan maskawin seperangkat alat solat dan cincin emas empat gram. Tunai."
"Bagaimana saksi, Sah?""Sah!" Seruan kalimat hamdalah lalu mengiringi acara ijab kabul yang baru dilaksanakan. Semua hadirin di Masjid kompak mengangkat tangan berdo'a. Begitu pun dengan mempelai Pria—Imam Hanafi. Laki-laki memakai stelan jas dan berkopiah hitam itu tampak khusu mensyukuri acara sakralnya yang berlangsung lancar. Sementara di sebelahnya, gadis cantik berkebaya putih yang beberapa detik berlalu telah 'sah' menjadi pasangan hidupnya hanya menunduk dalam. Acara dilanjutkan dengan sesi serah terima mas kawin dan memakaikan cincin. Imam dan Salsa saling bersitatap. Salsa mengulurkan tangannya sedikit ragu, begitu pun Imam menyambutnya canggung. Perlahan cincin mas kawin pun terpasang di jari manis Salsa. Bapak penghulu kemudian memerintahnya untuk cium tangan pada suaminya. Giliran Imam yang mengulurkan tangan. Laki-laki dewasa itu menarik napas dalam saat Salsa mendiamkannya. "Ayo, Sa." Masitah—Ibunda Salsa dari samping menyikut pelan lengan putrinya. Setelah melirik kanan dan kiri dengan ekor matanya, Salsa pun menyambut Imam cium tangan. Semua anggota keluarga tersenyum melihatnya.Tidak jauh dari mereka fotoghrafer mengarahkan kameranya memotret setiap momen penting untuk diabadikan dalam album pernikahan. Tamu-tamu banyak berdatangan dan bersalaman kepada kedua mempelai di pelaminan. Mengucapkan selamat dan mendoakan. Di atas stage Salsa lebih ceria. Senantiasa tersenyum terutama saat disalami teman-temannya. "Selamat, ya, Sa. Semoga sakinah, mawaddah, warahmah. Gak nyangka kamu bakal nikah cepet." Gadis berhijab tosca senada dengan gamisnya menyalami. "Iya, ih. Jadi, gak bakal balik lagi ke pondok nih?" tanya gadis berhijab lain di belakangnya lalu menyalami. "Makasi banget sudah datang. Aku gak bakal lupain kalian kok." Salsa menjawab ramah. Memeluk mereka sekilas sebelum keduanya berlalu untuk menyalami mempelai pria. Imam pun tampak sumringah saat melihat teman-temannya menghampiri untuk memberikan ucapan selamat. "Ini kan sepupu lo yang waktu itu gue pinta nomor hapenya, tapi gak lo kasih. Ternyata malah nikah sama lo." Pemuda memakai batik coklat berbicara sambil menyalami. Dia masih melirik Salsa. "Gue bilang waktu itu lo minta aja sendiri sama orangnya. Tapi, lo gak berani. Gue gak mau dimarahi ngasih sembarangan." "Lo beruntung, Mam, dapet istri cantik dan berhijab." Pemuda itu melihat lagi Salsa yang tampak mengeryit heran padanya."Etapi, dia beneran mau sama lo. Kalian kan masih ada ikatan tali persaudaraan. Apa gak gimana-gimana gitu, Mam?"Imam hanya tersenyum tanpa berniat membalas lagi ucapannya. "Udah sana, lo, lama. Bisik-bisik segala bikin macet aja." Dari samping temannya yang mengantre menggeser, gantian menyalami Imam. "Selamat, ya, Bro.""Makasi udah datang.""Sama-sama."Lalu teman berikutnya menyalami dan turut mengucapkan kata-kata yang sama.*** Imam dan Salsa tidak bisa menolak saat bapak masing-masing beramanat meminta keduanya bersatu. Mereka bukan sepupu dekat melainkan sepupu jauh. Hanya satu buyut dari pihak ibu. Kediaman mereka masih satu kecamatan beda desa. Salsa adalah putri bungsu, sedangkan Imam putra pertama. Keduanya sempat menolak terlebih Salsa. Dia cemberut begitu ibu dan bapaknya menyampaikan perihal perjodohannya. "Salsa masih muda. Belum mau nikah apalagi sama Aa Mpi. Masa nikah sama sodara?" protesnya. 'Aa Mpi' adalah panggilan Salsa kepada Imam Hanafi selama ini. "Tidak ada yang salah menikah dengan sodara selama bukan semahram," jawab Ma'ruf kepada putrinya. "Baru satu tahun lalu lulus Aliah. Salsa tuh mau lanjut kuliah!" Gadis itu masih menolak. Dia ingin melanjutkan studynya di perguruan tinggi yang belum sempat terlaksanakan. Selama satu tahun setelah lulus, dia diam di asrama menimba ilmu agama. Dia pikir orang tuanya tidak akan menyuruhnya menikah cepat. "Kamu bisa lanjut kuliah tapi setelah dapat ijin Imam nanti." Bapaknya menimpali. "Bapak siap biayai. Satu pinta Bapak, kamu menikah sekarang." Salsa memilin-milin ujung jilbabnya dengan wajah yang masih masam. "Kamu terima saja, Sa. Kita semua kenal siapa Imam. Dia pemuda yang baik." Ibu Salsa sama menyetujui."Terserah deh." Salsa berlalu dalam kamarnya dengan menghentakkan kakinya. "Gimana, Pak?" tanya Masitah pada suaminya. "Lanjut, Bu. Salsa akan tetap kunikahkan dengan Imam." Mata tua Ma'ruf menerawang ke langit-langit rumah. "Aku ingin saat menutup mata selamanya semua anak-anakku sudah berkeluarga. Dari ke empat anak kita, hanya Salsa yang belum." "Jangan bicara begitu, Pak." Masitah yang juga sudah tidak muda lagi mengelus punggung tangan suaminya. "Kita akan melihat Salsa menikah dan punya anak."Keduanya lalu saling memandang dan tersenyum. Mereka sudah membujuk Salsa sejak jauh-jauh hari. Malam itu mereka putuskan seyakin-yakinnya untuk menikahkannya. Orang tua Imam pun sering membicarakan hal itu sebelum hari pernikahan. Seperti orang tua Salsa, mereka pun punya alasan tersendiri."Sudah dua kali kamu dilangkahi adik-adikmu, Mam. Bapak gak mau kamu dilangkahi lagi." Selalu alasan seperti itu yang bapaknya katakan. Sebagai putra sulung tidak ingin itu terulang lagi pada Imam. "Dilangkahi dua adik perempuan tidak masalah buat Bapak, tapi kamu ada satu lagi adik laki-laki yang sudah besar. Dia sudah punya pacar. Bapak kepengen kamu duluan yang nikah daripada adik laki-lakimu itu." "Iya, Mam. Jangan terus asik sendiri, sibuk sendiri." Ibunya ikut mendesak. "Kamu juga sudah dewasa. Udah cukup umur." Usia Imam 31 tahun, sudah lebih dari pantas untuk berkeluarga. Selama ini dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai pemilik usaha bengkel motor umum. Mencari pasangan seakan dilupakan. Mengalah saat dua adik perempuannya mendapat jodoh duluan. Hanya tinggal satu adik laki-laki dan orang tuanya sangat keberatan jika Imam dilangkahinya. "Salsa sudah Imam anggap sebagai adik sendiri. Apa dia mau?" tanya Imam ragu seraya mengangkat wajah.Ibu Imam menggenggam tangan putranya itu. "Kami sudah sepakat dengan orang tuanya. Ya, kan, Pak?" "Betul Imam. Kamu tenang saja. Kalian akan menikah. Ikatan itu akan semakin mempererat tali persaudaraan kita nantinya."Imam lalu menunduk. Tidak lagi membantah keinginan orang tuanya. Mereka selalu membujuknya. Dalam lubuk hati terdalam, dia pun merasa tak rela jika didahului lagi apalagi oleh adik laki-laki. Keluarga Imam dan Salsa kemudian memusyawarahkan acara pernikahan. Mempersiapkan dengan matang semuanya hingga bisa terlaksanakan dengan lancar. Mereka pun kini sudah resmi menjadi sepasang suami istri. ***Resepsi sudah usai saat malam hari. Keduanya sudah memasuki kamar pengantin mereka. Kado-kado tampak menumpuk di pojokan ranjang. Namun, baik Imam mau pun Salsa sama-sama diam. Mereka terlihat canggung dan tak nyaman. Salsa membuang muka ke samping. Melihat ke almari miliknya. Ini kamarnya yang sudah disulap menjadi berbeda. Terdapat bunga-bunga di sisi kiri dan kanan ranjang. Kelopak mawar merah berserakan di seprai yang didudukinya. Semua dinding tembok diselimuti kain berenda. "Sudah solat Isya?" Tiba-tiba Imam bertanya. Salsa menoleh. "Belum.""Kita solat dulu. Mau bareng?" "Boleh." Dengan gerakkan kaku keduanya beranjak dari tempat tidur. Imam melepas baju pengantinnya hendak mengganti dengan koko. Melihat itu Salsa membelakangi. Dia sendiri berusaha melepas hijab dan pernak-pernik yang menghiasi kepalanya. Nyatanya tidak mudah. Dia butuh bantuan untuk melepas banyak riasan. Salsa pun memilih duduk kembali. "Kenapa?" Imam yang telah selesai ganti baju heran melihat istrinya yang diam. "Ini ... susah lepas." Salsa memegang kepalanya. "Aa bantu." Imam mendekat dan duduk di hadapannya. Dia mencoba melepas perlahan semua yang menempel di hijab Salsa. Mahkota dan jarum-jarum dikumpulkan pada wadah. Salsa yang menunduk sesekali mengangkat wajahnya dan dilihat Imam. Sepersekian detik mereka beradu pandang. Mereka bukan orang asing tapi malam ini jadi terasa lain. Keduanya buru-buru memutuskan kontak itu. Imam melanjutkan melepas sisa-sisa barang yang menempel. "Sudah." Dia sedikit menjauh.Salsa menyentuh kepalanya untuk melepas jilbab. Ada sanggul besar di dalam yang mesti dia lepas. Perlahan kain penutup itu dibuka meski malu rambutnya akan dilihat. Namun, dia masih kesulitan. Ada konde dan alat-alat lain yang dijepitkan. Gadis itu berdecak kesal. Kemudian sedikit tersentak saat Imam menyentuh rambutnya. "Biar Aa bantu lagi."Salsa pun pasrah. Begitu sanggul berhasil dilepas tampak rambutnya yang tergelung. Imam mengurai rambut itu, menyampirkan di sisi bahunya. Laki-laki itu terpana. Terakhir melihat Salsa masih mengumbar aurat ketika gadis itu masih SD. Sekarang sudah menjelma gadis cantik berambut panjang. Entah dorongan dari mana tangannya terangkat rasa ingin menyentuh pipi Salsa. Namun, gadis itu sigap menahan. Tatapannya tegas pada Imam yang sudah terbuai. Dia takut serta cemas jika sentuhan itu menjalar. "Aku belum mau punya anak. Aku mau kuliah. Aa Mpi jangan apa-apain aku ...."Imam merasa tertampar mendengar ungkapan istrinya."Jadi, sebenarnya kamu gak mau menikah sama Aa?" "Aku belum siap. Merasa belum pantas, masih ingin menikmati masa muda dengan bebas, juga ingin lanjut kuliah." Imam menarik napas dalam dan dihembuskan pelan. Dirinya merasa malu sudah jatuh pada pesona Salsa yang sebenarnya terpaksa. Merasa sudah mengekang kehidupan gadis itu dengan pernikahan yang baru siang tadi dilaksanakan. Dia pikir Salsa sudah berbesar hati karena tampak ceria selama di pelaminan. Rupanya dia hanya terhibur sesaat oleh kemeriahan pesta. Oleh tamu-tamu yang datang. "Pengeen banget lanjut kuliah ... ijinin Salsa menggapai impian Salsa." Gadis itu memohon dengan memelas. Imam meliriknya. Mengamati. Salsa memang masih terlalu muda. Usia mereka timpang. Dari sini harusnya dia menyadari tidak mudah bagi Salsa. Dan dia berhak menempuh pendidikkan ke jenjang lebih tinggi sesuai keinginannya. "Yasudah kalau kamu mau kuliah." Salsa tertegun sebelum akhirnya matanya
"Kamu boleh ajak Salsa tinggal bersama kamu, Mam.""Nggak, ah. Salsa mau tetap di sini. Sama Ibu sama Bapak." Salsa tiba-tiba datang lebih dulu menjawab. Suaminya yang baru membuka mulut hendak bicara tidak jadi. Mengatup kembali. "Bapak nanya sama Imam, bukan sama kamu." Salsa cemberut. Diliriknya Masitah ingin meminta bantuan."Ke sini dulu." Ibunya menyuruhnya duduk bergabung. Salsa pun menurut duduk di sampingnya. Tempat yang mereka duduki jadi sempit karena bertiga. Sementara Imam dibiarkan sendiri di sofa sebrang. Masitah menghela napas. Maksudnya Salsa duduk di dekat Imam. Bukan nyempil di tengah-tengah orang tuanya. "Duduknya di sana, Sa." Masitah pun mengulang memperjelas supaya putrinya mengerti. Gadis itu pun pindah dengan ogah-ogahan. Ma'ruf mendes-ah melihat tingkah putrinya. "Tempat tinggal kamu dekat dengan tempat kerja. Maksud Bapak biar gak kejauhan pulangnya, bolak-balik sini, kamu bisa bawa Salsa." "Cuma beda desa doang kok, Pak. Dua puluh menit juga nyampe
Imam memperhatikan Faisal dan Andri—suami Layla, mengangkat kayu-kayu ke atas mobil losbak. Dia pun bergegas menghampiri membantu. "Gak usah, Mam. Biar aja." Faisal tidak ingin mempekerjakan adik iparnya. Terlebih dia masih pengantin baru.Imam tetap mengambil balok kayu yang sudah dihitung milik konsumen menaikkan ke mobil. "Masa cuma liatin doang. Gak apa-apa kan bantu biar cepet selesai.""Udah, biarin, Mam." Andri berujar sambil menata kayu di mobil tersebut bersiap mengikatnya.Imam tersenyum dan tetap melanjutkan mengangkut sampai benar-benar selesai. Faisal dan Andri masuk di depan mobil. Faisallah yang duduk di balik kemudi. Mereka mau mengantarkan pesanan pelanggan. "Mau ikut gak, Mam?" tanya Faisal."Biar Imam di sini aja sama Bapak." Ma'ruf menghampiri. "Yaudah, pergi dulu." Faisal dan Andri pergi dengan mobil berisi muatan kayu-kayu yang sudah dipotong rapi. Ma'ruf dan menantunya berjalan beriringan. Di dalam gudang banyak tumpukkan kayu-kayu kaso dan balok. Ada pun ya
"Itu Aa Mpi, Bu!" seruan itu Salsa dengar saat turun dari motor. Dua orang perempuan yang tengah duduk segera berdiri melihat dia datang."Ayo." Imam juga sudah turun dari motor dan sudah membuka helemnya. Dia mengajak Salsa untuk ke teras rumah orang tuanya itu. Salasa menurut. Dia berjalan sedikit menunduk sambil menggenggam erat tas. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Dua orang perempuan itu menjawab salam Imam. Dia naik ke teras diikuti Salsa. "Gak nyangka kalian mau ke sini sekarang." Rasidah—Ibunda Imam menyapa saat anak dan menantunya menyalaminya. "Iya, Bu." Imam menjawabnya. Rani salim pada kakak laki-lakinya, dia juga menyalami Salsa. Gadis itu canggung karena sebenarnya usia dia masih di bawah Rani. Tapi, karena sudah menikah dengan kakaknya jadi Ranilah yang harus lebih menghormati. "Ayo, masuk, Sa." Salsa langsung digandeng ibu mertuanya ke dalam rumah. "Kamar Aa udah dirapiin kan, Ran?" Mendengar Imam berkata seperti itu Salsa tertegun. Tiba-tiba langsung dise
Seperti yang sudah disepakati, Imam membawa motor dengan santai. Salsa merasa nyaman dan menikmati semilir angin yang tidak terlalu kencang. Dilihatnya sepasang muda-mudi menikmati dinner di kedai yang dilewati pada sabtu malam ini. Ada juga yang sama sedang di perjalanan seperti dirinya. Gadis itu tersenyum kecil sambil merapatkan jaket. Tidak buruk menyetujui ajakan Imam, Salsa dapat menikmati keindahan malam yang langka dia rasakan. Tidak ada obrolan, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Imam terus fokus berkendara mencari tempat yang hendak ditujunya dan Salsa diam memperhatikan pemandangan asing sekitar. "Aku baru pertama kali loh, A, jalan kayak gini sama lawan jenis." Salsa mencolek es durian dengan sendok kecil, kemudian dimasukkan dalam mulut. "Oh, ya?" Imam menoleh padanya. "Iya. Selama ini aku kebanyakan diem di asrama. Dari SMP hingga lulus SMA pun masih di sana." Salsa kemudian mengambil satu telur gulung dalam plastik lalu memakannya. Menunda wadah esnya.
"Kamu mandinya di keramas, ya?""Hah?" Salsa menunda membuka pintu kamar mendengar Imam. "Kita emang gak ngapa-ngapain. Tapi, Aa mau kamu mandinya di keramas. Biar Bapak Ibu tau kita baik-baik aja." Lelaki itu mau solat subuh, sudah memakai koko dan sarung. Sedang bersiap memasang peci di kepala. "Aa juga di keramas ini." Salsa melihat rambutnya sekilas dan memang basah. Dia terdiam menunduk lalu mengangguk. Imam menghampirinya. "Aa ke mesjid dulu." Salsa menyingkir membiarkan suaminya yang pada akhirnya membuka pintu dan pergi. Gadis itu berbalik lagi mengambil handuk di lemari disampirkan di bahunya. Dia yang berencana mau wudhu saja tidak jadi. Beruntungnya air di tempat orang tua Imam tidak begitu dingin. Mungkin karena lebih padat penduduk, dekat pasar, juga banyaknya bangunan seperti pabrik. Tidak seperti di kediaman Salsa mandi subuh terasa menggigil. Baju Salsa dipakai kembali selesai mandi, sementara handuk dililitkan di kepala membungkus rambut basahnya. Gadis itu bewu
"Eh, penganten baru udah kerja aja." Imam tersenyum saat disapa salah satu pelanggan yang datang. "Ya harus. Buat masa depan." "Mau nambah angin nih, Mam. Kempes ban belakang.""Iya, boleh. Wan, nambah angin katanya." "Iya, A." Wawan adalah nama pekerja yang membantu Imam. Usianya jauh lebih muda. Laki-laki itu menunda sejenak memasangkan skotlet pada motor, menyiapkan selang ngin dari dekat kompresor kemudian memompa ban motor pelanggan yang sangat mengenali Imam. Imam sendiri sedang melayani satu pembeli yang memilih jenis sparepart di dekat etalase. Ada beberapa motor lain yang berjejer antre diperbaiki di luar. "Makasi, Mam." Orang tadi berseru lagi saat ban motornya selesai di isi angin. "Sama-sama."Dia lalu pamit setelah membayar tarif pada Wawan. Pemuda itu menyerahkan lagi uangnya pada Imam.Wawan kembali melajutkan memasangkan skotlet yang ditunggui satu orang sebaya dengannya. Sementara Imam bersiap mengganti lampu motor bagian depan pelanggan yang rusak. Seperti i
"Aku mau pulang." Imam baru masuk kamar menoleh pada Salsa. Digenggaman tangan lelaki itu terdapat handuk, dia baru habis mandi sepulang dari bengkel. "Kenapa?" Perlahan di dekatinya istrinya. Salsa memeluk lutut di kasur. Gadis itu tak berkata apapun. Hanya mendesah dengan raut tak nyaman. Kemudian menunduk menatap jari-jari ditautkan di lutut. "Baru sehari, Sa. Masa sudah mau pulang?" Imam menemani duduk. Handuk di gosokkan di kepalanya yang basah. "Aa bilang terpenting aku mau ke sini." Gerakkan di rambut itu dihentikan oleh Imam. Menurunkan handuk kembali ke bawah. "Iya, tapi jangan sehari.""Memangnya harus berapa hari?" "Tunggu seminggu, ya.""Lama." "Empat hari aja, baru pulang." "Engga."Giliran Imam mendesah, negosiasinya tidak diterima. "Apa ada perbuatan Ibu yang gak kamu sukai?""Engga ...." "Lalu apa? Di sini rumahmu juga, Sa." Sulit dijelaskan. Salsa menyadari dirinya masih kekanak-kanakan. Dia yang biasa dimanja, di sini terpaksa menjalani peran ibu rumah t