Imam merasa tertampar mendengar ungkapan istrinya.
"Jadi, sebenarnya kamu gak mau menikah sama Aa?""Aku belum siap. Merasa belum pantas, masih ingin menikmati masa muda dengan bebas, juga ingin lanjut kuliah."Imam menarik napas dalam dan dihembuskan pelan. Dirinya merasa malu sudah jatuh pada pesona Salsa yang sebenarnya terpaksa.Merasa sudah mengekang kehidupan gadis itu dengan pernikahan yang baru siang tadi dilaksanakan. Dia pikir Salsa sudah berbesar hati karena tampak ceria selama di pelaminan. Rupanya dia hanya terhibur sesaat oleh kemeriahan pesta. Oleh tamu-tamu yang datang."Pengeen banget lanjut kuliah ... ijinin Salsa menggapai impian Salsa." Gadis itu memohon dengan memelas.Imam meliriknya. Mengamati. Salsa memang masih terlalu muda. Usia mereka timpang. Dari sini harusnya dia menyadari tidak mudah bagi Salsa. Dan dia berhak menempuh pendidikkan ke jenjang lebih tinggi sesuai keinginannya."Yasudah kalau kamu mau kuliah."Salsa tertegun sebelum akhirnya matanya jadi berbinar dan tersenyum lebar. "Beneran boleh kuliah?""Ya."Seperti berhasil melepas beban berat berton-ton. Wajah Salsa tampak lega."Makasi, Aa." Dia yang tadi menolak disentuh, memegang erat dua tangan suaminya saking girang.Imam yang kini tertegun dan terkejut oleh reaksi Salsa. Arah matanya turun pada tangannya yang dalam genggaman sang istri."Ayo, kita solat. Aa Mpi jadi Imamnya!" Salsa berseru seraya beranjak dari tempat tidur.Imam ikutan berdiri. Memperhatikan Salsa yang membuka lemari mencari baju ganti dan menutup lagi. Kemudian ke kamar mandi. Barulah Imam tersenyum dan menggelengkan kepala satu kali.Tidak ada hal romantis di malam pertama mereka. Selain solat isya berjama'ah dan perijinan study Salsa. Gadis itu tak sabaran menanyakannya. Bersyukur, suaminya tidak melarang.Imam melirik pada istrinya. Salsa menghadap padanya sudah tidur duluan, hanya ada sekat guling di antara mereka.Gadis itu lalu membuka mata kembali saat merasakan sentuhan di kening. Imam menyingkirkan rambut yang sedikit menutupi wajahnya."Jangan lupa baca doa."Salsa mengangguk. Dia malu ditatap seperti itu. Selimut di dadanya dinaikkan menutupi mulut lalu menunduk. Matanya memejam kembali. Membalikkan badan perlahan saat Imam sudah menarik tangannya. Tinggal laki-laki itu yang termenung memandangi punggungnya.***Sehari baru hajatan rumah masih berantakan. Saudara-saudara dekat dari Masitah gesit membantu. Mengepel lantai kotor di seluruh ruangan, merapikan dan membersihkan barang-barang.Salsa masih dalam kamar. Tidak peduli meski di luar ramai. Dia memegang buku tamu melihat nama-nama yang hadir di pernikahannya. Kemudian menyentuh kado-kado. Dia belum berniat membuka satu pun.Melihat ke sekeliling, Imam tidak ada bersamanya. Pagi-pagi dia sudah keluar membaur bersama saudaranya.Pintu kamar terbuka masuk dua kakak perempuan Salsa. Mereka yang sudah tinggal mandiri bersama pasangan masing-masing datang menginap."Penganten baru ... penganten baruu." Layla dan Nafis menembangkan dan mengulang-ulang dua kata itu. Masing-masing dari mereka menggendong balita."Apaan sih, Kak, ah." Salsa risih. Dibalas 'cie ... ciee' oleh mereka. Membuatnya jadi bertambah sebal."Kadonya banyak, nih. Minta, dong.""Aku juga mau deh."Mereka menyentuh kado-kado yang menumpuk. "Ambil kalo mau. Pilih aja.""Bener, Sa?""Jangan marah. Soalnya mau ngambil lebih dari satu.""Terseraah."Duo mama muda itu terkikik senang. Masing-masing meletakkan balitanya yang berumur dua tahunan di kasur dan mereka mengambil kado.Salsa mencium satu-satu pipi ponakannya dengan gemas. Hingga salah satunya menangis. Rupanya itu anak Layla, kakak perempuan tertua. Dia yang tengah memilih kado berbalik bertolak pinggang mendelik pada Salsa."Dasar nganten anyar!"Salsa langsung beranjak kabur ke luar kamar dengan tawanya.Langkahnya kemudian terhenti. Hampir bertabrakan dengan adik perempuan Masitah."Bibi! ngagetin aja.""Ah, nggak. Kamunya tuh yang gak hati-hati jalan. Mentang-mentang penganten baru."Doa bola mata Salsa menggulir ke atas. Jengah dengan kata-kata 'pengantin baru'. Tadi kakaknya sekarang bibinya. Entah selanjutnya siapa lagi yang akan menggodanya seperti itu."Kok gak basah sih rambutnya, Sa?" Bibi meraba-raba hijab Salsa bagian belakang."Apaan sih, Bii." Wajah Salsa seketika memerah. Sementara bibinya tertawa kecil sudah berhasil menggoda pengantin baru. Lalu pergi membawa baskom kotor.Mulut Salsa manyun jadinya. Itu tak luput dari perhatian Imam yang tengah duduk di sofa bersama Faisal—kakak laki-laki Salsa.Masitah datang memberi Imam segelas kopi dan sepiring kue basah. Ada kue kering juga di toples."Terimakasih, Bu.""Sama-sama. Ayo, sarapan dulu, Mam."Imam mengangguk sungkan. Sedikit tidak enak hati sudah disediakan ibu mertua."Ya, Mam. Sarapan dulu.""Ya, A."Faisal kemudian pamit menerima panggilan telepon. Dia berada di sana lebih dulu dan kopinya sudah habis."Harusnya istri yang nyiapin suami sarapan. Bukan Ibu Mertua." Bibi yang tadi menggoda Salsa kembali datang.Gadis itu masih mematung di tempat melihat betapa baik ibunya menjamu suaminya. Sedangkan dia masih merasa dirinya gadis lajang seperti biasa."Hayok, temani suamimu. Jangan bengong." Bibi kembali pergi membawa barang kotor untuk dibersihkan di tempat lain."Sarapan dulu, Sa. Atau mau langsung makan?" Ibunya kini menawarinya. Salsa tersentuh. Dia masih diperlakukan manja seperti biasanya. "Kemari."Gadis itu pun mendekat dan duduk di samping suaminya. "Temani Imam. Ibu mau beres-beres."Salsa mengangguk. Ibunya lalu pamit. Imam mencomot potongan tipis bolu pandan dan memakannya pelan."Kok diem? Makan, nih." Dia menggeser pelan piring berisi kue ke hadapan Salsa. Gadis itu sedikit serba salah. Malah dia yang ditawari."Aa kalo mau makan, makan aja ya, gak usah sungkan di sini. Bisa ambil sendiri.""Oh ... gampang. Aa punya dua tangan dan punya dua kaki. Aa bisa ngambil sendiri."Salsa tersenyum. "Kita sudah saling kenal sebelumnya. Anggap rumah Aa sendiri.""Iya, Sa."***"Lho, kok ambil sayur sendiri. Ke mana Salsanya?" Bibi Salsa memergoki Imam membuka tutup panci di dapur. Mengambil kuah sup ke piringnya. Laki-laki itu merasakan lapar hendak makan."Gak apa-apa kok, Bi. Imam bisa ambil sendiri.""Yoo, gak enak gitu lho, masih penganten baru. Di rumah mertua baru sehari jadinya kayak orang asing gitu.""Biarinlah Bi, orang Aa Mpi sendiri gak keberatan kok makan sendiri." Salsa datang mendebat bibinya yang sedari pagi membuatnya jengkel. Bibi itu belum pulang di hari menjelang siang."Yaa emang gak keberatan. Tapi sebagai istri masa mau dibiarin gitu aja. Imam baru sehari di sini, apa kamu gak mikir dia masih malu atau gak, pasti belum leluasa. Apa gak kasian? Bayangin kalo kamu yang di posisi sebaliknya, Sa. Kamu sungkan gak? Kayaknya kalau kamu pasti bakal nahan-nahan lapar kalo gak ditawari. Gak bakal berani ngambil ini itu sendiri di rumah mertuamu kalo masih baru."Salsa terdiam dibegitukan. Apa yang diucapkan bibinya tepat menusuk dalam hati. Kekesalannya perlahan sirna. Dia yang kurang peka."Imam memang masih sepupuan sama kamu. Tapi, kan bukan sepupu lima langkah. Gak tiap hari ke sini. Apa kamu gak ngerasa gak enak gitu lho, Sa, ngebiarin."Salsa masih mematung."Pula, gak ada ruginya melayani suami selama kita gak sibuk ngapa-ngapain bisa dapat pahala." Sang bibi pun berlalu setelah puas bicara.Tahu melayani suami bisa mendapat pahala. Tetapi, Salsa cenderung berat hati. Merasa pernikahan bukanlah keinginannya jadi tidak perlu begini-begitu."Kamu tenang aja, Aa bukan tipe laki-laki seperti raja. Kalo mau apa-apa bisa ambil sendiri." Imam menepuk pelan bahunya seraya tersenyum. Kemudian duduk menaruh piring di meja dan menyantap makanannya."Lho, kok makan sendiri. Salsanya mana?" Ma'ruf menghampiri menantunya yang makan sendirian."Ada, lagi istirahat. Makan, Pak?""Yaudah, Bapak temenin. Kebetulan Bapak juga belum makan. Tadi habis ada urusan dulu dengan tetangga." Ma'ruf mengambil nasi dan lauk di piring. Juga lalap dan sambalnya. Salsa mengintip keduanya di partisi dinding. Dia belum benar-benar pergi."Kamu gak ikut makan?" Masitah sedikit mengagetkannya."Eh, Ibu. Belum, ntar aja.""Ibu tau kamu belum terbiasa, Sa." Masitah melihat pada menantunya, kemudian pada Salsa lagi. "Imam laki-laki sabar dan gak suka nuntut. Ibu harap kamu mau berbesar hati menerima. Kalau bisa secepatnya."Putrinya hanya diam."Ibu mau ke sana, menemani Bapakmu. Kamu mau ikut? Imam masih belum selesai makan."Salsa melengos pergi. Masitah menghela napas melihatnya. Bukan apa-apa, Salsa terlanjur malu dan tak enak hati. Mungkin lain kali dia akan mencobanya."Kamu boleh ajak Salsa tinggal bersama kamu, Mam.""Nggak, ah. Salsa mau tetap di sini. Sama Ibu sama Bapak." Salsa tiba-tiba datang lebih dulu menjawab. Suaminya yang baru membuka mulut hendak bicara tidak jadi. Mengatup kembali. "Bapak nanya sama Imam, bukan sama kamu." Salsa cemberut. Diliriknya Masitah ingin meminta bantuan."Ke sini dulu." Ibunya menyuruhnya duduk bergabung. Salsa pun menurut duduk di sampingnya. Tempat yang mereka duduki jadi sempit karena bertiga. Sementara Imam dibiarkan sendiri di sofa sebrang. Masitah menghela napas. Maksudnya Salsa duduk di dekat Imam. Bukan nyempil di tengah-tengah orang tuanya. "Duduknya di sana, Sa." Masitah pun mengulang memperjelas supaya putrinya mengerti. Gadis itu pun pindah dengan ogah-ogahan. Ma'ruf mendes-ah melihat tingkah putrinya. "Tempat tinggal kamu dekat dengan tempat kerja. Maksud Bapak biar gak kejauhan pulangnya, bolak-balik sini, kamu bisa bawa Salsa." "Cuma beda desa doang kok, Pak. Dua puluh menit juga nyampe
Imam memperhatikan Faisal dan Andri—suami Layla, mengangkat kayu-kayu ke atas mobil losbak. Dia pun bergegas menghampiri membantu. "Gak usah, Mam. Biar aja." Faisal tidak ingin mempekerjakan adik iparnya. Terlebih dia masih pengantin baru.Imam tetap mengambil balok kayu yang sudah dihitung milik konsumen menaikkan ke mobil. "Masa cuma liatin doang. Gak apa-apa kan bantu biar cepet selesai.""Udah, biarin, Mam." Andri berujar sambil menata kayu di mobil tersebut bersiap mengikatnya.Imam tersenyum dan tetap melanjutkan mengangkut sampai benar-benar selesai. Faisal dan Andri masuk di depan mobil. Faisallah yang duduk di balik kemudi. Mereka mau mengantarkan pesanan pelanggan. "Mau ikut gak, Mam?" tanya Faisal."Biar Imam di sini aja sama Bapak." Ma'ruf menghampiri. "Yaudah, pergi dulu." Faisal dan Andri pergi dengan mobil berisi muatan kayu-kayu yang sudah dipotong rapi. Ma'ruf dan menantunya berjalan beriringan. Di dalam gudang banyak tumpukkan kayu-kayu kaso dan balok. Ada pun ya
"Itu Aa Mpi, Bu!" seruan itu Salsa dengar saat turun dari motor. Dua orang perempuan yang tengah duduk segera berdiri melihat dia datang."Ayo." Imam juga sudah turun dari motor dan sudah membuka helemnya. Dia mengajak Salsa untuk ke teras rumah orang tuanya itu. Salasa menurut. Dia berjalan sedikit menunduk sambil menggenggam erat tas. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Dua orang perempuan itu menjawab salam Imam. Dia naik ke teras diikuti Salsa. "Gak nyangka kalian mau ke sini sekarang." Rasidah—Ibunda Imam menyapa saat anak dan menantunya menyalaminya. "Iya, Bu." Imam menjawabnya. Rani salim pada kakak laki-lakinya, dia juga menyalami Salsa. Gadis itu canggung karena sebenarnya usia dia masih di bawah Rani. Tapi, karena sudah menikah dengan kakaknya jadi Ranilah yang harus lebih menghormati. "Ayo, masuk, Sa." Salsa langsung digandeng ibu mertuanya ke dalam rumah. "Kamar Aa udah dirapiin kan, Ran?" Mendengar Imam berkata seperti itu Salsa tertegun. Tiba-tiba langsung dise
Seperti yang sudah disepakati, Imam membawa motor dengan santai. Salsa merasa nyaman dan menikmati semilir angin yang tidak terlalu kencang. Dilihatnya sepasang muda-mudi menikmati dinner di kedai yang dilewati pada sabtu malam ini. Ada juga yang sama sedang di perjalanan seperti dirinya. Gadis itu tersenyum kecil sambil merapatkan jaket. Tidak buruk menyetujui ajakan Imam, Salsa dapat menikmati keindahan malam yang langka dia rasakan. Tidak ada obrolan, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Imam terus fokus berkendara mencari tempat yang hendak ditujunya dan Salsa diam memperhatikan pemandangan asing sekitar. "Aku baru pertama kali loh, A, jalan kayak gini sama lawan jenis." Salsa mencolek es durian dengan sendok kecil, kemudian dimasukkan dalam mulut. "Oh, ya?" Imam menoleh padanya. "Iya. Selama ini aku kebanyakan diem di asrama. Dari SMP hingga lulus SMA pun masih di sana." Salsa kemudian mengambil satu telur gulung dalam plastik lalu memakannya. Menunda wadah esnya.
"Kamu mandinya di keramas, ya?""Hah?" Salsa menunda membuka pintu kamar mendengar Imam. "Kita emang gak ngapa-ngapain. Tapi, Aa mau kamu mandinya di keramas. Biar Bapak Ibu tau kita baik-baik aja." Lelaki itu mau solat subuh, sudah memakai koko dan sarung. Sedang bersiap memasang peci di kepala. "Aa juga di keramas ini." Salsa melihat rambutnya sekilas dan memang basah. Dia terdiam menunduk lalu mengangguk. Imam menghampirinya. "Aa ke mesjid dulu." Salsa menyingkir membiarkan suaminya yang pada akhirnya membuka pintu dan pergi. Gadis itu berbalik lagi mengambil handuk di lemari disampirkan di bahunya. Dia yang berencana mau wudhu saja tidak jadi. Beruntungnya air di tempat orang tua Imam tidak begitu dingin. Mungkin karena lebih padat penduduk, dekat pasar, juga banyaknya bangunan seperti pabrik. Tidak seperti di kediaman Salsa mandi subuh terasa menggigil. Baju Salsa dipakai kembali selesai mandi, sementara handuk dililitkan di kepala membungkus rambut basahnya. Gadis itu bewu
"Eh, penganten baru udah kerja aja." Imam tersenyum saat disapa salah satu pelanggan yang datang. "Ya harus. Buat masa depan." "Mau nambah angin nih, Mam. Kempes ban belakang.""Iya, boleh. Wan, nambah angin katanya." "Iya, A." Wawan adalah nama pekerja yang membantu Imam. Usianya jauh lebih muda. Laki-laki itu menunda sejenak memasangkan skotlet pada motor, menyiapkan selang ngin dari dekat kompresor kemudian memompa ban motor pelanggan yang sangat mengenali Imam. Imam sendiri sedang melayani satu pembeli yang memilih jenis sparepart di dekat etalase. Ada beberapa motor lain yang berjejer antre diperbaiki di luar. "Makasi, Mam." Orang tadi berseru lagi saat ban motornya selesai di isi angin. "Sama-sama."Dia lalu pamit setelah membayar tarif pada Wawan. Pemuda itu menyerahkan lagi uangnya pada Imam.Wawan kembali melajutkan memasangkan skotlet yang ditunggui satu orang sebaya dengannya. Sementara Imam bersiap mengganti lampu motor bagian depan pelanggan yang rusak. Seperti i
"Aku mau pulang." Imam baru masuk kamar menoleh pada Salsa. Digenggaman tangan lelaki itu terdapat handuk, dia baru habis mandi sepulang dari bengkel. "Kenapa?" Perlahan di dekatinya istrinya. Salsa memeluk lutut di kasur. Gadis itu tak berkata apapun. Hanya mendesah dengan raut tak nyaman. Kemudian menunduk menatap jari-jari ditautkan di lutut. "Baru sehari, Sa. Masa sudah mau pulang?" Imam menemani duduk. Handuk di gosokkan di kepalanya yang basah. "Aa bilang terpenting aku mau ke sini." Gerakkan di rambut itu dihentikan oleh Imam. Menurunkan handuk kembali ke bawah. "Iya, tapi jangan sehari.""Memangnya harus berapa hari?" "Tunggu seminggu, ya.""Lama." "Empat hari aja, baru pulang." "Engga."Giliran Imam mendesah, negosiasinya tidak diterima. "Apa ada perbuatan Ibu yang gak kamu sukai?""Engga ...." "Lalu apa? Di sini rumahmu juga, Sa." Sulit dijelaskan. Salsa menyadari dirinya masih kekanak-kanakan. Dia yang biasa dimanja, di sini terpaksa menjalani peran ibu rumah t
Tiga hari sudah berlalu. Salsa bersemangat mengemasi barang-barangnya dari lemari ke dalam tas. Menutup ketika selesai dan menjinjing. Diliriknya Imam yang mematung tidak jauh. "Sudah, Sa?" tanya lelaki itu menatapnya datar. "Sudah, ayo, pulang." Salsa melewati suaminya begitu saja ke luar kamar. Imam sedikit menghela napas. Bagi Salsa itu disebut pulang tapi dia tidak merasa begitu, karna di sinilah kediamannya selama ini. "Aa gak bawa baju?" tanya Salsa saat suaminya menyusul keluar tidak membawa apa-apa selain yang dipakai."Gampang. Tinggal ambil setelah pulang dari bengkel. Dari sini kan gak jauh." Istrinya manggut-manggut. "Mau pulang sekarang?" Rasidah menghampiri keduanya. "Iya, Bu." Salsa yang menjawab."Baru beberapa hari. Nanti saja pulangnya." "Nanti Salsa ke sini lagi kok." Imam tau itu hanya basa-basi saja. Aslinya entah kapan Salsa mau lagi ke sini. Gadis itu tidak akan secepatnya kemari. "Sampein salam Salsa ke Bapak, ya, Bu." Salsa memeluk ibu mertua. "I-iy