"Aku mau pulang." Imam baru masuk kamar menoleh pada Salsa. Digenggaman tangan lelaki itu terdapat handuk, dia baru habis mandi sepulang dari bengkel. "Kenapa?" Perlahan di dekatinya istrinya. Salsa memeluk lutut di kasur. Gadis itu tak berkata apapun. Hanya mendesah dengan raut tak nyaman. Kemudian menunduk menatap jari-jari ditautkan di lutut. "Baru sehari, Sa. Masa sudah mau pulang?" Imam menemani duduk. Handuk di gosokkan di kepalanya yang basah. "Aa bilang terpenting aku mau ke sini." Gerakkan di rambut itu dihentikan oleh Imam. Menurunkan handuk kembali ke bawah. "Iya, tapi jangan sehari.""Memangnya harus berapa hari?" "Tunggu seminggu, ya.""Lama." "Empat hari aja, baru pulang." "Engga."Giliran Imam mendesah, negosiasinya tidak diterima. "Apa ada perbuatan Ibu yang gak kamu sukai?""Engga ...." "Lalu apa? Di sini rumahmu juga, Sa." Sulit dijelaskan. Salsa menyadari dirinya masih kekanak-kanakan. Dia yang biasa dimanja, di sini terpaksa menjalani peran ibu rumah t
Tiga hari sudah berlalu. Salsa bersemangat mengemasi barang-barangnya dari lemari ke dalam tas. Menutup ketika selesai dan menjinjing. Diliriknya Imam yang mematung tidak jauh. "Sudah, Sa?" tanya lelaki itu menatapnya datar. "Sudah, ayo, pulang." Salsa melewati suaminya begitu saja ke luar kamar. Imam sedikit menghela napas. Bagi Salsa itu disebut pulang tapi dia tidak merasa begitu, karna di sinilah kediamannya selama ini. "Aa gak bawa baju?" tanya Salsa saat suaminya menyusul keluar tidak membawa apa-apa selain yang dipakai."Gampang. Tinggal ambil setelah pulang dari bengkel. Dari sini kan gak jauh." Istrinya manggut-manggut. "Mau pulang sekarang?" Rasidah menghampiri keduanya. "Iya, Bu." Salsa yang menjawab."Baru beberapa hari. Nanti saja pulangnya." "Nanti Salsa ke sini lagi kok." Imam tau itu hanya basa-basi saja. Aslinya entah kapan Salsa mau lagi ke sini. Gadis itu tidak akan secepatnya kemari. "Sampein salam Salsa ke Bapak, ya, Bu." Salsa memeluk ibu mertua. "I-iy
Salsa baru menyadari semua. Dia meremas tepi meja di belakang. Napasnya memburu karena takut, berbeda dengan Imam diliputi hawa nafsu. Wajah laki-laki itu dekat sekali dengan wajahnya. "Aku pake baju dulu." Salsa menyingkir. Membuka lemari meraih pakaian lengkap. "Aa mau makan? Aku temani." "Mau makan kamu." Ingin Imam meneriaki itu, tapi bungkam. Ingin memeluk. Dia menunduk memejam. Mengepalkan tangan. Lalu pergi ke kamar mandi dengan langkah cepat. Menutup pintu cukup kencang, sedikit mengagetkan Salsa.***Salsa menceritakan kabar membahagiakan itu pada kedua orang tuanya. Dia sampaikan dengan semangat membara. "Syukurlah kamu sudah diterima, Sa. Ibu ikut seneng. Kamu bisa menggapai impian kamu.""Iya, Bu. Salsa seneng banget akhirnya akan jadi mahasiswa. Udah lama loh, Salsa nunggu." "Belajar yang bener pokoknya.""Pasti dong." Imam menyuapkan sesendok nasi ke mulut diiringi senyum. Melihat Salsa sebahagia itu, dia ikut merasakannya juga."Nanti berangkat ke kampusnya bisa di
"Kak Al titip salam buat cewek berkerudung biru."Salsa ingat apa yang dikatakan Liana. Yang memakai hijab biru adalah dirinya. Rahma bewarna merah dan Alifa hitam. Dua temannya itu menatap syok ke arahnya, sontak tak percaya. Dia sendiri juga. Gadis itu menggeleng sambil tersenyum kecil. Kemudian tertunduk pada buku. "Kenapa, Sa?" Imam rupanya memperhatikan dari tepi tempat tidur. Dia melihat istrinya yang sudah melamun. Salsa menoleh ke samping sekilas. "Gak apa-apa kok." Suaminya menggeser duduk. Imam kini ada di dekatnya. Meja belajar itu tidak terlalu jauh dari ranjang. "Maaf, ya, hari ini Aa telat jemput."Salsa menoleh lagi. Itu ucapan maaf Imam ke dua kali setelah siang tadi tidak diresponnya. Wajah Salsa cemberut saat Imam datang menjemput. Menghentakkan kaki kesal saat memasuki rumah. Imam cukup menjengkelkan. Di WA centang satu, di telepon pun tidak diangkat. Albyan mengetahui saat Salsa mematung di luar gerbang, meliriknya. Terus melaju karna dia membawa boncengan te
Perempuan memakai rok levis lebar memasuki bengkel setelah turun dari motor yang dikendarainya. Berhenti tepat di hadapan Imam yang tengah berjongkok memasang kerangka ban."Assalamualaikum." "Wa'alaikumssa ... lam." Kata-kata Imam memelan di akhir kalimat setelah mendongak, mengetahui yang datang mantan pacarnya. "Anita? Mau apa?" Laki-laki itu lekas berdiri. Anita tersenyum. "Mau ganti Oli, A." Wawan dan beberapa orang lainnya terarah pada mereka. Imam sedikit tidak nyaman Anita kemari. Dia sudah tenang dengan usaha bengkelnya tanpa kedatangan perempuan itu sekali pun. "Wan, mau ganti oli katanya." "Lagi nanggung, A, ditungguin sama yang punya pengen cepet." Iwan tengah menambal ban. "Sama A Imam aja atuh," ujar Anita."Yaudah, mau ganti oli mesin atau oli gardan?" "Oli gardan A." "Merek apa?""Yang itu A?" Anita menunjuk satu merek oli yang berjajar di etalase samping. Imam pergi ke sana. Perempuan itu mengikuti. "Yang ini bukan?" Imam mengambil botol oli, terkejut saat b
Imam memberikan Salsa uang lima puluh ribu saat gadis itu bersiap memakai tas. Jatah hariannya semenjak jadi istri Imam. Tanpa protes, Salsa memasukkan uang tersebut. "Aa gak bisa ngasih banyak-banyak. Segitu tiap harinya. Tapi, kalau kurang atau ada keperluan lain dan ada sesuatu yang mau dibeli, minta lagi aja."Sebenarnya cukup untuknya seorang diri. Suka sisa malah dan Salsa simpan. Hidup di perkampungan membeli sesuatu tidak semahal di kota. "Untuk kebutuhan makan, seperti biasa Aa udah kasih ke Ibu. Itu husus untuk keperluan pribadi kamu, Sa. Aa juga usahain sehari nabung segitu." Salsa meliriknya yang sama-sama bersiap untuk pergi. Tas kecil hitam disorenkan di bahunya. Tubuh berbalut kaos hitam itu lalu dilapisi jaket kulit bewarna senada. Salsa tidak tahu penghasilan hariannya berapa di bengkel. Dia juga tidak terlalu mau tahu. Terpenting ada buat dia. Salsa tidak meminta tapi Imam yang selalu lebih dulu memberi. Seperti pagi ini. Kadang malam hari. Jujur saja, dia tidak
"Aku udah ngomong mau tinggal di asrama bareng kalian.""Serius, Sa?" Alifa dan Rahma berbarengan melempar tanya."Iya." "Terus?""Diijinin gak?"Salsa diam."Gak kan?" Rahma menebak."Mana mungkin di ijinin." Alifa juga menerka hal sama. "Ya, kalian benar. Aku gak di ijinin sama semuanya. Dimarahin pula sama Bapak.""Lagian, udah ada suami juga." Alifa terkekeh pelan sambil menutup mulut. "Tapi, aku kan pengen ngerasain masa-masa kaya kalian." "Sekarang status kamu udah beda, Sa. Gak bisa sama kaya kita lagi." Rahma berujar. "Gara-gara kamu, tau.""Loh, kok nyalahin aku?""Iya, gara-gara ajakan kamu itu aku jadi tergoda lagi untuk menetap di asrama.""Yee, tapi, kamunya harus nyadar diri kali, Sa. Bukan malah baper. Sekabawa-bawa." Gadis itu jadi terlihat bete. Andainya mereka tahu, pernikahan itu bukan maunya. Dia masih ingin menyandang status lajang seperti mereka. Bukan status sudah kawin. "Justru aku suka nebak-nebak gimana rasanya jadi kamu, Sa. Ada yang nafkahin, ada yan
Salsa sangat menikmati sarapan. Gadis itu tersenyum dengan pipi mengembung makanan saat Imam melihat padanya. Ceria sekali istrinya.Imam balas tersenyum tipis lalu menyendok makan tidak berselera. Ingatannya kembali ke semalam. Saat syahwat sudah dipuncak dia harus menahan. "Jangan dulu sekarang, A ... Salsa mohon." Istrinya terisak-isak. Tubuh gadis itu juga gemetar. Seketika, Imam merasa seperti lelaki jahat. Tangannya berhenti bergerilya, dan berhenti mengecup bahu Salsa. Pelukan erat itu direnggangkan kemudian dilepas. "Maafin Salsa ... biarin Salsa tidur ...." Gadis itu menunduk menangis tertahan. Imam menghirup udara banyak-banyak lalu mengembuskan sekaligus. Di samping rasa kecewa tidak mendapat sambutan, juga malu sendiri. "Yasudah, tidur saja." Dia mengatakan itu seraya menutup wajah dengan dua telapaknya. Padahal sudah menyarankan bisa pakai kontrasepsi untuk mencegah kehamilan, juga menenangkan tidak akan berbuat kasar. Rupanya itu tidak membantu sama sekali untuk me