Imam memberikan Salsa uang lima puluh ribu saat gadis itu bersiap memakai tas. Jatah hariannya semenjak jadi istri Imam. Tanpa protes, Salsa memasukkan uang tersebut. "Aa gak bisa ngasih banyak-banyak. Segitu tiap harinya. Tapi, kalau kurang atau ada keperluan lain dan ada sesuatu yang mau dibeli, minta lagi aja."Sebenarnya cukup untuknya seorang diri. Suka sisa malah dan Salsa simpan. Hidup di perkampungan membeli sesuatu tidak semahal di kota. "Untuk kebutuhan makan, seperti biasa Aa udah kasih ke Ibu. Itu husus untuk keperluan pribadi kamu, Sa. Aa juga usahain sehari nabung segitu." Salsa meliriknya yang sama-sama bersiap untuk pergi. Tas kecil hitam disorenkan di bahunya. Tubuh berbalut kaos hitam itu lalu dilapisi jaket kulit bewarna senada. Salsa tidak tahu penghasilan hariannya berapa di bengkel. Dia juga tidak terlalu mau tahu. Terpenting ada buat dia. Salsa tidak meminta tapi Imam yang selalu lebih dulu memberi. Seperti pagi ini. Kadang malam hari. Jujur saja, dia tidak
"Aku udah ngomong mau tinggal di asrama bareng kalian.""Serius, Sa?" Alifa dan Rahma berbarengan melempar tanya."Iya." "Terus?""Diijinin gak?"Salsa diam."Gak kan?" Rahma menebak."Mana mungkin di ijinin." Alifa juga menerka hal sama. "Ya, kalian benar. Aku gak di ijinin sama semuanya. Dimarahin pula sama Bapak.""Lagian, udah ada suami juga." Alifa terkekeh pelan sambil menutup mulut. "Tapi, aku kan pengen ngerasain masa-masa kaya kalian." "Sekarang status kamu udah beda, Sa. Gak bisa sama kaya kita lagi." Rahma berujar. "Gara-gara kamu, tau.""Loh, kok nyalahin aku?""Iya, gara-gara ajakan kamu itu aku jadi tergoda lagi untuk menetap di asrama.""Yee, tapi, kamunya harus nyadar diri kali, Sa. Bukan malah baper. Sekabawa-bawa." Gadis itu jadi terlihat bete. Andainya mereka tahu, pernikahan itu bukan maunya. Dia masih ingin menyandang status lajang seperti mereka. Bukan status sudah kawin. "Justru aku suka nebak-nebak gimana rasanya jadi kamu, Sa. Ada yang nafkahin, ada yan
Salsa sangat menikmati sarapan. Gadis itu tersenyum dengan pipi mengembung makanan saat Imam melihat padanya. Ceria sekali istrinya.Imam balas tersenyum tipis lalu menyendok makan tidak berselera. Ingatannya kembali ke semalam. Saat syahwat sudah dipuncak dia harus menahan. "Jangan dulu sekarang, A ... Salsa mohon." Istrinya terisak-isak. Tubuh gadis itu juga gemetar. Seketika, Imam merasa seperti lelaki jahat. Tangannya berhenti bergerilya, dan berhenti mengecup bahu Salsa. Pelukan erat itu direnggangkan kemudian dilepas. "Maafin Salsa ... biarin Salsa tidur ...." Gadis itu menunduk menangis tertahan. Imam menghirup udara banyak-banyak lalu mengembuskan sekaligus. Di samping rasa kecewa tidak mendapat sambutan, juga malu sendiri. "Yasudah, tidur saja." Dia mengatakan itu seraya menutup wajah dengan dua telapaknya. Padahal sudah menyarankan bisa pakai kontrasepsi untuk mencegah kehamilan, juga menenangkan tidak akan berbuat kasar. Rupanya itu tidak membantu sama sekali untuk me
Silakan teman-teman komen jika ada sesuatu yang ingin disampaikan atau Krisan.Salsa menatap resah Imam dan Albyan bergantian. Kakak tingkatnya itu masih mengulurkan tangan belum disambut suaminya. Dia menyayangkan kenapa Albyan harus mengajak kenalan? Imam melirik Salsa yang tidak nyaman memperhatikan sekitar. Mahasiswa lain tengah ke arah mereka, meski Albyan lah yang paling menyita perhatian. Semua orang seperti penasaran apa yang hendak mereka dengar. "Imam." Suami Salsa membalas uluran tangan Albyan."Albyan." Mahasiswa itu pun sama menyebutkan nama. "Abangnya Salsa kan?" dia mengulangi pertanyaan yang sama seperti sebelumnya kemudian saling berlepas tangan. Salsa ingin pergi saja. Bila perlu tidak usah dijawab. Gadis itu meremas-remas ujung Jilbab."Ya." Kemudian membelalak hanya mendengar dua huruf itu. Salsa lantas melirik suaminya yang menatap Albyan datar. "Oh, salam kenal." Albyan tersenyum lebar dan orang sekitar bubar. "Ayo, Sa. Pulang.""I-iya."Imam menaiki motor
"Jaga bicaramu!" Salsa lalu diam. "Suami pulang bukannya disambut baik-baik." Ma'ruf menatap tajam. Geram melihat tingkah putrinya barusan. Dia sendiri tidak senang mendengarnya apalagi Imam. Ucapan Salsa sangat tidak pantas. Tidak segan menegur keras. Baru tadi pagi bersikap baik pada suaminya, sekarang tidak lagi. "Iya, Sa. Jangan gitu." Ibunya pun sama tidak senang. Tidak menyangka Salsa akan bicara begitu pada Imam yang baru pulang bekerja. Gadis itu menggigit bibir kuat-kuat. Tidak berani melirik Imam karna sudah melontarkan kalimat menyakitkan. Tiba-tiba saja ucapan itu keluar tanpa bisa ditahan. "Jangan dengerin Salsa, Mam." Ma'ruf malu dan merasa bersalah atas sikap putrinya. Imam mengangguk kecil lalu beranjak dari tempat duduk. "Imam mau mandi dulu." Lelaki itu pergi. Diikuti pandangan Masitah dan Ma'ruf yang iba padanya. Salsa juga sama meliriknya, melihat punggung itu yang menjauh. Lalu menunduk saat ditatap tajam lagi oleh Ma'ruf. "Apa aku jelek?" Dalam hati Imam
"Loh. Mam. Tumben pulang dari bengkel ke sini?" Rasidah heran melihat putranya datang ketika larut sore. "Imam mau numpang mandi." Lelaki itu bergegas ke kamar miliknya. Mengambil handuk di lemari. Sejenak Imam memperhatikan tempat tidur yang rapi. Dia rindu bermalam di sini. Kemudian ke luar lagi. Ibunya masih mematung, menatapnya berlalu ke kamar mandi. Imam membersihkan diri, seluruh tubuhnya disabuni. Sampai sela ketiak pun diperhatikan baik-baik. Seakan takut kotoran tertinggal. Setelah merasa cukup membersihkan tubuh dan menggosok gigi. Dia lalu mencuci muka memakai fasial wash husus laki-laki, memijat-mijat wajah lama. "Ada siapa di dalam kamar mandi, Bu?" Kholid bertanya pada istrinya yang menata makanan di meja makan."Si Imam, Pak.""Oh, tumben kemari. Biasa langsung pulang ke rumah Mertuaya.""Entah. Udah, Bapak makan aja." Rasidah memberikan seporsi makan pada suaminya. "Ibu udah makan?""Tadi makan jam dua, sekarang belum laper. Bapak aja makan duluan.""Yasudah."
"Aa gak mau liat kamu sama dia lagi. Aa gak suka, Salsa!" Gadis itu mendongak. Kilat marah di sepasang mata Imam menghujaminya. "Dia cuma temen, A ...."Imam berpaling. Lelaki itu cemburu sekaligus kecewa. "Kenapa orang itu ada pas kamu keluar asrama? Sengaja ditunggu, iya?""Salsa gak tau ada dia. Kebetulan aja.""Harusnya kamu nolak, dan tunggu Aa ke sana." "Tadinya Salsa mau nelpon Aa, tapi takut Aa capek. Tadinya Salsa mau naik ojek." "Terus, kenapa Aa telpon gak diangkat?""Lagi di jalan A. Hape Salsa ada di tas, mode getar, gak tau." Salsa heran kenapa Imam harus semarah itu? Apa bedanya jika dia pulang dengan ojek? Sama-sama diantar lawan jenis. Imam membelakangi Salsa kembali. Wajahnya masih masam. Masih ada unek-unek yang ingin dikeluarkan. "Harusnya, kamu jangan pulang malam, Sa. Usahakan sebelum magrib atau sore sudah ada di rumah." Inginnya Imam, Salsa ada di rumah ketika pulang bekerja. Dia sudah mencoba berpenampilan baik hari ini. Mengikuti kemauan gadis itu. Salsa
"Sa, maafin aku, ya, kalo kamu kurang berkenan sama kejadian pagi." Alifa membuka suara disela-sela menikmati makan. "Aku juga, Sa." Rahma menyahut. Mereka merasa tidak enak setelah membongkar status pernikahan Salsa pada orang yang menyukainya. "Gak apa-apa. Kalian bener kok." Salsa menjawab tidak semangat. "Tapi, kok, kamu kaya keliatan sedih. Apa sebenarnya kamu suka sama Kak Albyan?" Salsa terdiam sejenak, lalu menatap Alifa yang sudah menanyakan itu. "Bukan begitu." "Lalu?" Istri Imam kini menatap Rahma dan gantian melihat pada Alifa kembali. "Apa boleh aku curhat sama kalian?" Salsa berkata sedikit parau suaranya. Merasakan pilu kembali. Ada hal yang sebenarnya ingin dibagi pada dua sahabatnya. "Boleh, Sa. Biasanya juga kita saling berbagi. Gak perlu nanya-nanya. Kamu mau curhat apa?" Ya, Salsa tahu itu. Mereka sering berbagi dan menceritakan apa saja. Tapi, curahan hatinya kali ini lain. "Gak mau di sini." "Yaudah kita cari tempat lain. Tapi, sebelumnya habiskan dulu