Salsa meringis kesakitan ketika kakinya diterapi pijat lagi. Sudah ke-tiga kali letak tulang tergeser di lututnya dibetulkan. Imam selalu menemani. Hari itu, Rasidah juga ada ikut memperhatikan. Ibu mertua sering datang melihat keadaannya. Salsa tampak kewalahan dan ngos-ngosan setelah selesai diurut. Imam memberinya minum. Gadis itu meneguk habis. "Nanti dipraktekin jalan sedikit-sedikit, ya. Nggak usah pake tongkat. Insya'allah segera pulih. Posisinya sudah kembali ke awal." "Alhamdulillah." Ibu Imam senang mendengarnya. Salsa hanya tersenyum lelah. Kesakitan dan ngilu di kakinya ingin segera berakhir. Bapak tukang urut membereskan minyak dalam tas. Beranjak bangun dari karpet hendak pamit. "Ini, Pak. Buat ongkos. Terimakasih sudah ke sini." Rsidah mengeluarkan amplop dari dalam tasnya. "Jangan, Bu. Udah ada." Imam mencegah ibunya memberikan uang."Nggak apa-apa, Mam. Dari Ibu aja.""Segala biaya pengobatan Salsa ditanggung orang yang nabrak, Bu. Salsa suka ditransfer. Simpan
"Kamu nggak mau nerusin kuliah, Sa?" Imam bertanya seraya menatap langit-langit kamar. Kepala Salsa berada di lengannya. Mereka sehabis menunaikan ibadah paling membahagiakan lahir batin. Meski bukan pengantin baru mereka merasa seperti itu. Sebelum tidur, melakukan ritual hubungan suami istri terlebih dulu. Terkadang tengah malam dan sehabis subuh mengulanginya lagi. Kegiatan bercinta sedang hangat-hangatnya dan sangat disukai. "Belum kepikiran.""Padahal, kamu ingin sekali kuliah, nggak mau di rumah. Menikah sama Aa juga karna ingin bisa kuliah kan?" "Itu, dulu. Sekarang keinginan kuliah di universitas nggak menggebu-gebu, malah aku nggak mau kuliah di tempat itu." "Udah nggak nyaman?" Salsa terdiam. Tangannya menarik selimut menutupi dada yang terlihat separuh. "Karna Albyan?" "Aa jangan sebut orang itu lagi." Tebakan suaminya tepat. Salah satu penyebab dia enggan kembali masuk kampus karna kakak tingkatnya itu. Salsa tidak mau bertemu lagi dengan Albyan. Jika di kampus otoma
"Aa udah!" Salsa mendorong kencang bahu Imam, setelah mencium cukup lama belum juga dilepaskan. Tapi, kembali lelaki itu melakukannya setelah menarik napas sejenak. Lebih menuntut, bahkan merebahkan paksa tubuh Salsa hingga jatuh ke tanah. Kancing bajunya dibuka, Imam menyusupkan tangan di sana. Salsa menarik napas bebas setelah Imam melepas pagutan di bibir. Menghirup udara sebanyak-banyaknya menyingkirkan sesak. "Aa ...." Tapi tidak terasa mulutnya kini malah mengeluarkan suara desah. Imam tidak hanya menyentuh, tapi juga mengulum dan memainkan lidahnya di sana. Bermesraan di tempat sejuk, asri dan best viuw, sensasinya luar biasa. Tapi, ini gila! Salsa tidak boleh membiarkan lama-lama. "Stop, Aa ...." Susah payah Salsa mencegah, disertai desah-an kecil lagi di bibir. Hatinya berontak, tapi tubuhnya menerima. Apa Imam tidak takut, bagaimana jika diketahui orang? Salsa bertanya-tanya dalam benaknya. Tangannya menyentuh rambut Imam sambil menggigit bibir bawah resah. Antara meni
"Makasi." Salsa berucap seraya tersenyum saat Imam memberinya jagung bakar manis. "Hati-hati makannya, masih panas.""Iya." Keduanya tengah berada di salah satu warung lesehan tepi jalan. Menikmati jajanan hangat di tengah-tengah udara dingin. Langit sudah gelap. Magrib baru saja berlalu. Mereka belum pulang dari tempat rekreasi. Salsa menggigit pelan jagung bakar. Manis pedas langsung terasa di lidah. Sambil memakan dia melihat-lihat sekitarnya. Di warung lain banyak pasangan muda-mudi menikmati kebersamaan mereka. Ada yang berkelompok memainkan gitar dan bernyanyi. "Apa ... dulu A sering makan-makan jagung bakar gini sama pacar Aa?" Imam baru akan menggigit jagung miliknya, kembali tertuju pada Salsa. "Sa ... Sa. Kenapa sih harus nanya gitu?" Dia heran istrinya jadi suka menanyakan perihal masa lalunya. "Pengen tau aja. Aku nggak pernah. Jadi nggak tau rasanya." "Sekarang udah ngalamin kan, sama Aa?" "Iya. Tapi kan udah menikah.""Kamu nyesel kita nggak pacaran dulu sebelum
Salsa tengah merias diri. Sudah memakai bedak, eyeliner, pensil alis, dan sedang menyapukan tipis-tipis blush-on di pipi. Tersenyum manis setelah mengoleskan lipstik. Memandangi paras jelita miliknya di cermin. Sekarang, dia bukan gadis polos lagi. Suaminya sudah membantu mendewasakan segala-galanya, termasuk membuatnya jadi lebih pandai berhias. Entah kenapa, dia jadi senang menunjukkan kecantikkannya pada Imam. Ingin lelaki itu terus terpesona. Dia sudah membelikan peralatan make-up lebih komplit dan Salsa menggunakan sebaik-baiknya.Punggung jari tangannya menyentuh pipi sendiri, mengelus pelan permukaan halus tanpa jerawat. Terus dia perhatikan wajah di cermin itu dengan bangga. Tangannya lalu berpindah mengelus pipi satunya. "Udah cantik." Imam sedari tadi memerhatikan dari tepi tempat tidur. Mendiamkan Salsa yang sibuk berdandan. Istrinya itu menoleh. Tersenyum. "Cantik banget, kan?""Iya." "Cantik mana aku sama Anita?" Salsa bertanya seraya kembali menghadap depan. Memainka
"Waalaikumsalam. Eh, Uwak." Imam menyalami sepasang suami istri yang merupakan sodara kakak bapaknya. "Salsanya mana?""Ada. Masuk, Wa." Dua orang itu mengikuti Imam ke dalam. Duduk setelah dipersilakannya. Salsa ke luar kamar sudah rapi. Dia hampiri kerabat keluarga Imam. Menyalaminya seraya tersenyum."Uwak, apa kabar?""Alhamdulillah, Sa. Baik. Kamu sendiri?" Uwak perempuan menanyakan balik kabar Salsa."Baik." Istri Imam kebingungan mesti menjamu mereka dengan apa. Ini bukan di rumah orang tuanya. Makan dan minum pun mereka beli. Salsa melirik suaminya. "Mereka kita suguhi apa, A?" "Bawa ke sini makanan yang Aa beli." "Oh, iya, A." "Sa, mau kemana?" Uwak perempuan berdiri melihat Salsa hendak pergi. "Mau ambilin camilan buat Iwak." "Nggak usah, ini justru Uwak bawain makanan buat kalian." Dia memberikan jinjingan rantang plastik. Salsa masih diam saja, melirik lagi pada Imam. "Ambil, Sa. Di sini kan nggak ada makanan harus beli. Itu bisa buat makan siang juga." Uwak laki-l
"Kamu kapan pulang, Sa?" "Kenapa, Bu? Kangen, ya, sama Salsa. Hehe." Masitah tersenyum di kamera ponsel yang tengah dipegang anaknya. Salsa tengah melakukan panggilan video call. "Kita lagi fokus bikin anak, Bu."Salsa melotot Imam bicara seperti itu, lalu buru-buru tertuju pada ibunya. Salsa lega ibunya tidak mendengar karna Imam bicara pelan. Dengan cueknya Imam makan kembali. Mereka sedang menikmati makan malam di sebuah resto tepi jalan. Lelaki itu tersenyum mendapat delikan istrinya. Lucu melihat raut wajah Salsa yang tegang bercampur malu. Jika sang ibu tahu. "Ibu mau dibawain oleh-oleh apa?" "Nggak perlu mikirin itu untuk Ibu. Liat kamu seneng, Ibu ikutan seneng." Salsa jadi tersanjung sekaligus kasihan. Baru dua hari ditinggal pergi Masitah sudah menanyakannya. Dia tahu ibunya itu pasti kesepian sendiri di rumah. "Ya, Bu. Salsa seneng. Ibu kangen sama Salsa, Salsa juga." "Syukurlah kalau kamu menikmati." "Nanti Salsa bawain sesuatu deh buat Ibu, has makanan daerah sini
"Besok kita pulang aja, A." "Loh, kenapa? Baru tiga hari." "Takut kelamaan libur dan ganggu usaha Aa." "Jatah libur kita paling sedikit seminggu. Ibu Aa dulu juga bilang begitu. Soalnya ini kan liburan pertama kita, Sa."Mereka tengah menikmati sarapan bubur ayam. Bubur di mangkuk Salsa masih banyak sedangkan punya Imam sudah tinggal sedikit. Lelaki itu memakan lebih cepat, tidak peduli meski masih agak panas. Istrinya menyendok satu suap saja mesti ditiup-tiup lama, baru dimasukkan mulut. Itu pun masih dikunyah pelan sebelum ditelan. "Nggak ganggu usaha Aa kok, Sa. Bengkel buka dijaga Wawan. Meski nggak full bisa ngerjain semua. Sebisanya dia." "Aku takut ngabisin uang Aa." "Aa punya tabungan. Aa udah bilang sebelumnya kan? Lagian, kita liburannya juga bukan ke luar negri atau luar pulau. Nggak ngabisin budget mahal." Imam sudah menandaskan bubur dan meneguk air minum di gelas. Mendorong mangkuk kosong bekas makan ke hadapannya sendiri. "Malah, Aa ditambahin juga sama Ibu Aa, Sa