Teman-teman sefakultas Salsa berpamitan setelah melihat kondisinya. Dua orang perempuan dan dua laki-laki ke luar ruangan lebih dulu. Hanya Liana yang masih di dalam bersama ibu dosen pembimbing mereka. "Saya pulang dulu. Salsa semoga lekas sehat ya, dan bisa masuk kampus lagi." Ibu dosen ikut pamitan, setelah mahasiswa lain pergi. "Iya, Bu. Terimakasih sudah datang ke sini." Salsa menyalami tangan ibu dosen yang diulurkan padanya. Bu dosen juga bersalaman pada Masitah. "Terimakasih banyak atas waktunya sudah mau membesuk Salsa anak saya." "Sama-sama." Dia melirik pada Liana. "Ayo, Li, mau pulang bareng Ibu?""Iya, Bu. Sa, aku pergi, ya. Moga cepet sembuh.""Aamiin. Makasi, Li."Dua orang itu keluar setelah mengucap salam. "Ternyata temen-temen kamu perhatian, juga, ya." Salsa tersenyum. Hati gadis itu senang sudah dibesuk teman kelasnya. "Iya, Bu." Dia jadi rindu kampus, beberapa hari tidak masuk setelah kecelakaan. Belum lama pintu ruangan tertutup datang lagi yang membesuk. "
"Alhamdulillah ...." Masitah sangat gembira melihat Ma'ruf sudah membuka mata. Dia seorang yang diperkenankan masuk ke dalam ruangan. Diawasi para perawat yang berjaga di ICU. Anak-anaknya menunggu di luar. Rambut memutih suaminya diusap. "Bu ...." "Ya, Pak. Ini Ibu." "Salsa mana?" Suara Ma'ruf seperti tenggelam dan kurang jelas dengan sorot mata sayu. "Ada, Pak." "Bapak mau ketemu ... mau minta maaf sekaligus berterimakasih." "Kenapa memangnya, Pak?""Bapak sudah maksa nikah. Sudah batesin masa mudanya." "Bapak tidak perlu memikirkan itu." "Anak itu sudah menuruti Bapak ... lega bisa menjadi wali di saat masih sehat, akhirnya Bapak sudah menyaksikan semua anak-anak Bapak menikah." "Ya, Pak. Alhamdulillah.""Tapi, Bapak belum bisa lihat cucu dari Salsa." "Bapak bisa melihatnya kalo sembuh." "Rasanya nggak mungkin." "Bapak jangan bicara seperti itu." Tiba-tiba Masitah sedih. Suaminya terlihat tidak semangat. Susah payah mengatakan itu semua. Gerak mulutnya terbatas masih te
Salsa meringis kesakitan ketika kakinya diterapi pijat lagi. Sudah ke-tiga kali letak tulang tergeser di lututnya dibetulkan. Imam selalu menemani. Hari itu, Rasidah juga ada ikut memperhatikan. Ibu mertua sering datang melihat keadaannya. Salsa tampak kewalahan dan ngos-ngosan setelah selesai diurut. Imam memberinya minum. Gadis itu meneguk habis. "Nanti dipraktekin jalan sedikit-sedikit, ya. Nggak usah pake tongkat. Insya'allah segera pulih. Posisinya sudah kembali ke awal." "Alhamdulillah." Ibu Imam senang mendengarnya. Salsa hanya tersenyum lelah. Kesakitan dan ngilu di kakinya ingin segera berakhir. Bapak tukang urut membereskan minyak dalam tas. Beranjak bangun dari karpet hendak pamit. "Ini, Pak. Buat ongkos. Terimakasih sudah ke sini." Rsidah mengeluarkan amplop dari dalam tasnya. "Jangan, Bu. Udah ada." Imam mencegah ibunya memberikan uang."Nggak apa-apa, Mam. Dari Ibu aja.""Segala biaya pengobatan Salsa ditanggung orang yang nabrak, Bu. Salsa suka ditransfer. Simpan
"Kamu nggak mau nerusin kuliah, Sa?" Imam bertanya seraya menatap langit-langit kamar. Kepala Salsa berada di lengannya. Mereka sehabis menunaikan ibadah paling membahagiakan lahir batin. Meski bukan pengantin baru mereka merasa seperti itu. Sebelum tidur, melakukan ritual hubungan suami istri terlebih dulu. Terkadang tengah malam dan sehabis subuh mengulanginya lagi. Kegiatan bercinta sedang hangat-hangatnya dan sangat disukai. "Belum kepikiran.""Padahal, kamu ingin sekali kuliah, nggak mau di rumah. Menikah sama Aa juga karna ingin bisa kuliah kan?" "Itu, dulu. Sekarang keinginan kuliah di universitas nggak menggebu-gebu, malah aku nggak mau kuliah di tempat itu." "Udah nggak nyaman?" Salsa terdiam. Tangannya menarik selimut menutupi dada yang terlihat separuh. "Karna Albyan?" "Aa jangan sebut orang itu lagi." Tebakan suaminya tepat. Salah satu penyebab dia enggan kembali masuk kampus karna kakak tingkatnya itu. Salsa tidak mau bertemu lagi dengan Albyan. Jika di kampus otoma
"Aa udah!" Salsa mendorong kencang bahu Imam, setelah mencium cukup lama belum juga dilepaskan. Tapi, kembali lelaki itu melakukannya setelah menarik napas sejenak. Lebih menuntut, bahkan merebahkan paksa tubuh Salsa hingga jatuh ke tanah. Kancing bajunya dibuka, Imam menyusupkan tangan di sana. Salsa menarik napas bebas setelah Imam melepas pagutan di bibir. Menghirup udara sebanyak-banyaknya menyingkirkan sesak. "Aa ...." Tapi tidak terasa mulutnya kini malah mengeluarkan suara desah. Imam tidak hanya menyentuh, tapi juga mengulum dan memainkan lidahnya di sana. Bermesraan di tempat sejuk, asri dan best viuw, sensasinya luar biasa. Tapi, ini gila! Salsa tidak boleh membiarkan lama-lama. "Stop, Aa ...." Susah payah Salsa mencegah, disertai desah-an kecil lagi di bibir. Hatinya berontak, tapi tubuhnya menerima. Apa Imam tidak takut, bagaimana jika diketahui orang? Salsa bertanya-tanya dalam benaknya. Tangannya menyentuh rambut Imam sambil menggigit bibir bawah resah. Antara meni
"Makasi." Salsa berucap seraya tersenyum saat Imam memberinya jagung bakar manis. "Hati-hati makannya, masih panas.""Iya." Keduanya tengah berada di salah satu warung lesehan tepi jalan. Menikmati jajanan hangat di tengah-tengah udara dingin. Langit sudah gelap. Magrib baru saja berlalu. Mereka belum pulang dari tempat rekreasi. Salsa menggigit pelan jagung bakar. Manis pedas langsung terasa di lidah. Sambil memakan dia melihat-lihat sekitarnya. Di warung lain banyak pasangan muda-mudi menikmati kebersamaan mereka. Ada yang berkelompok memainkan gitar dan bernyanyi. "Apa ... dulu A sering makan-makan jagung bakar gini sama pacar Aa?" Imam baru akan menggigit jagung miliknya, kembali tertuju pada Salsa. "Sa ... Sa. Kenapa sih harus nanya gitu?" Dia heran istrinya jadi suka menanyakan perihal masa lalunya. "Pengen tau aja. Aku nggak pernah. Jadi nggak tau rasanya." "Sekarang udah ngalamin kan, sama Aa?" "Iya. Tapi kan udah menikah.""Kamu nyesel kita nggak pacaran dulu sebelum
Salsa tengah merias diri. Sudah memakai bedak, eyeliner, pensil alis, dan sedang menyapukan tipis-tipis blush-on di pipi. Tersenyum manis setelah mengoleskan lipstik. Memandangi paras jelita miliknya di cermin. Sekarang, dia bukan gadis polos lagi. Suaminya sudah membantu mendewasakan segala-galanya, termasuk membuatnya jadi lebih pandai berhias. Entah kenapa, dia jadi senang menunjukkan kecantikkannya pada Imam. Ingin lelaki itu terus terpesona. Dia sudah membelikan peralatan make-up lebih komplit dan Salsa menggunakan sebaik-baiknya.Punggung jari tangannya menyentuh pipi sendiri, mengelus pelan permukaan halus tanpa jerawat. Terus dia perhatikan wajah di cermin itu dengan bangga. Tangannya lalu berpindah mengelus pipi satunya. "Udah cantik." Imam sedari tadi memerhatikan dari tepi tempat tidur. Mendiamkan Salsa yang sibuk berdandan. Istrinya itu menoleh. Tersenyum. "Cantik banget, kan?""Iya." "Cantik mana aku sama Anita?" Salsa bertanya seraya kembali menghadap depan. Memainka
"Waalaikumsalam. Eh, Uwak." Imam menyalami sepasang suami istri yang merupakan sodara kakak bapaknya. "Salsanya mana?""Ada. Masuk, Wa." Dua orang itu mengikuti Imam ke dalam. Duduk setelah dipersilakannya. Salsa ke luar kamar sudah rapi. Dia hampiri kerabat keluarga Imam. Menyalaminya seraya tersenyum."Uwak, apa kabar?""Alhamdulillah, Sa. Baik. Kamu sendiri?" Uwak perempuan menanyakan balik kabar Salsa."Baik." Istri Imam kebingungan mesti menjamu mereka dengan apa. Ini bukan di rumah orang tuanya. Makan dan minum pun mereka beli. Salsa melirik suaminya. "Mereka kita suguhi apa, A?" "Bawa ke sini makanan yang Aa beli." "Oh, iya, A." "Sa, mau kemana?" Uwak perempuan berdiri melihat Salsa hendak pergi. "Mau ambilin camilan buat Iwak." "Nggak usah, ini justru Uwak bawain makanan buat kalian." Dia memberikan jinjingan rantang plastik. Salsa masih diam saja, melirik lagi pada Imam. "Ambil, Sa. Di sini kan nggak ada makanan harus beli. Itu bisa buat makan siang juga." Uwak laki-l