Suara pijakan kaki El terdengar setelah cowok itu keluar dari mobil. El menyandang sebelah tasnya, melirik ke Jodi lalu memberi arahan agar menjemputnya saat pulang. Sang sopir mengangguk, memutar haluan lalu pergi dengan kecepatan normal. El diam beberapa saat, lalu mengambil kerikil kecil di ujung sepatunya, ia melempar benda itu ke atas berulang-ulang menjadikannya sebagai mainan.
Kalau dilihat dari luarnya, sekolah ini tidak jauh berbeda dari sekolahnya dulu, sama-sama tempat belajar dan tergolong cukup bagus.“SMA Dharma, semoga aja nih tempat nggak ngebosenin.”El melangkah masuk, dilihatnya ke arah samping, seorang satpam sedang duduk menyeruput kopi, sepertinya ia belum menyadari kehadiran El yang sudah terlihat santai bersandar di tiang pos.“Pak, kalau minum kopi harus ada yang nemenin, contohnya kayak roti.”Pak satpam yang diketahui namanya Dadang itu mendongak. “Eh mas datang dari mana?”Mata El sedikit menyipit. “Ya dari gerbang lah Pak, masa dari lubang semut.”Dadang terkekeh. “Bukan maksud saya, ini mas baru dateng? Anak baru ya?”El tersenyum, menggapai tas yang ada di punggungnya kemudian mengeluarkan sebungkus roti rasa coklat.“Nih, Pak, enak tuh kalo dimakan ama kopi,” ucap El sambil menyodorkan roti itu.“Eh, buat saya? Makasih, Mas. Baru kali ini ada anak sekolah yang perhatian ke saya.” Dadang nampak memperhatikan bungkusan roti tersebut dengan mata berbinar.“Nama saya El Pak, kalau sama saya mah santai aja, besok saya bawain lagi deh yang rasa keju,” jawabnya, “sampe lupa, duluan ya Pak, nanti kepsek ngamuk.”Dadang mengangguk menatap kepergian El sejenak lalu kembali menyeput kopinya.El memasuki area sekolah, semua orang memandang ke arahnya. Tak sedikit para siswi melempar senyumpadanya. Ia menatap ke sekeliling, berpikir sejenak, bingung harus ke arah mana. Kata mamanya tadi ia harus menemui Bima di ruangannya. Tapi sejak tadi mencari, ia sama sekali tak menemukkan ruangan yang dimaksud.El mendekat ke arah segerombolan siswi, ini saatnya untuk menggunakan pesona dalam dirinya. Salah satu siswi tampak tersenyum lalu saling menyenggol temannya yang lain."Hai kakak cantik, bisa kasih tau nggak ruang kepsek di mana?”Untuk beberapa detik tidak ada yang menjawab, cewek-cewek itu menujukan senyum semanis mungkin. “Lu ... lurus aja. Nanti ada ruangan yang tulisannya kepala sekolah.”“Oh makasih ya.”El mengedipkan sebelah matanya lalu berjalan santai. Sama sekali tak menghiraukan pekikan dari para cewek yang tersipu karenanya. Siapa yang bisa lolos dari pesonanya.Risiko orang ganteng...Cowok itu berhenti, saat mendapati ruangan dengan tulisan KEPALA SEKOLAH menempel di atas pintu. Samar-samar terdengar suara perbincangan dari depan. Sepertinya, ada orang lain yang sedang berbicara. El masuk tanpa permisi. Ia nampak santai menatap seorang lelaki paruh baya yang sedang berbicara bersebrangan dengan salah seorang siswi. Bima mendongak, mendengar derap langkah langkah El.“Hai, Om!” sapanya.Cewek yang duduk membelakangi El, menoleh. Raut wajah El tampak terkejut, ia tak menyangka harapannya akan terkabul dalam secepat ini, El berdehem tetap pada wajh tersenyumnya.Ralika menaikan sebelah alisnya, menatap cowok tak sopan yang masuk ke ruangan tanpa permisi. Tanpa terlihat malu sedikitpun, El duduk tepat di samping Ralika. Bahkan, dengan tak bersalahnya menunjukan senyum tanpa dosa.“El kalau mau masuk, ketuk pintu dulu. Ini sekolah bukan rumah kamu.” El menggaruk tengkuknya yang tak gatal, kebiasaan saat berkunjung ke rumah Bima. Sampai lupa kalau ini tempat berbeda.“Ya maaf Om—”Omongannya langsung dipotong Bima. “Pak!”“Oke, maaf Pak Bima,” ucap El, sambil melirik sekilas cewek di sampingnya.“Ralika,” panggil Bima. “Sekarang kamu boleh kembali ke kelas kamu. Nanti untuk rekap lainnya saya tanyakan dulu pada Bu Asti."Ralika mengangguk. Ia berdiri dan melihat El sekilas sebelum akhirnya pergi dari ruangan itu. Mata El mengikuti Ralika sampai cewek itu tak terlihat lagi dari pandangannya, senyum tipis terukir di wajahnya dengan mata yang tak kunjung beralih. Bima sejak tadi meliriknya, berdehem."Dariel, di sini saya sebagai kepala sekolah dan bukan Om kamu. Kamu wajib mengikuti semua peraturan dan tak boleh melanggarnya, karena setiap kenakalan yang kamu lakukan di sekolah ini akan dilaporkan kepada Mama kamu." Wajah El berubah datar, ini ia sedang mendengar ancaman atau apa.“Ah elah Om, baru juga masuk udah main ancem-anceman.”“Pak!” peringatnya lagi, “tenang saja kalau kamu bersikap baik, hidup kamu aman.”El kesal sekali melihat senyuman meledek omnya itu. Tapi sepertinya ancaman Bima tak cukup ampuh, El akan tetap menjadi dirinya sendiri, lihat saja nanti berapa lama pria itu bisa mengaturnya.☁️☁️☁️Kedua tangan El dimasukkan ke saku celana, berjalan mengikuti seorang guru yang diketahui Bernama Bu Sita, yang memang ditugaskan mengantarnya ke kelas baru.Ia mengekori guru itu bak anak ayam sambil terus melirik beberapa ruangan yang dilewati. Suasana terasa sepi karena bel masuk telah berbunyi 10 menit yang lalu, sehingga para siswa harus kembali ke kelas masing-masing.Langkahnya terhenti di sebuah kelas yang seperti sedang melakukan presentasi. El menarik dirinya, lalu melihat ke kaca jendela.“Fauna daerah oriental meliputi Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan... kita bisa ambil contoh seperti gajah, banteng ....”El malah fokus pada seorang cewek yang kini sedang menjelaskan pelajaran di depan kelas melalui infocus pada powerpoint yang iya tak begitu paham tentang apa. “Takdir banget gue bisa ketemu tuh cewek di sini.”Selama beberapa detik mengamati El sedikit tersentak ketika sadar guru yang tadi memandunya ke kelas baru sudah berjarak sangat jauh darinya. El sedikit berlari menyusul Sita yang tak menyadari sejak tadi berjalan sendirian.“Permisi Bu Tini, ini saya mengantarkan murid baru.”El menatap sekeliling sesaat, semua murid menatapnya dengan reaksi berbeda-beda. Ada yang berbisik-bisik, tak peduli, dan ada pula yang tersenyum ramah. Yah reaksi orang pada umumnya.“Dariel, ini kelas baru kamu. Pesan dari kepala sekolah, jangan buat kerusuhan di hari pertama.”El mengangguk patuh meski dalam hati dongkol sendiri. Bima bahkan menitipkan pesan seperti itu melalui guru. Harus berapa kali lagi dirinya diberi peringatan?Setelah Sita pergi, El dengan santainya masuk setelah diizinkan Tini. Ia nampak menelisik tiap orang yang kini memandangnya. Ayolah, apa mereka tak pernah melihat cowok seganteng dirinya? Kenapa memandang mengintimidasi begitu?"Oh ya silakan perkenalkan diri kamu, Nak," ucap Tini mempersilahkan.El menarik napasnya dalam. “Hai teman-teman. Nama gue—”“Gunakan bahasa indonesia yang baik dan benar,” tegur Tini.“Eh? Baik Bu, perkenalkan nama saya Dariel Magenta Arrafi . Kalian bisa panggil El, umur 17 tahun lebih 2 bulan, tinggi 178 centi meter, berat badan 55 kilogram, ukuran sepatu 41, hobby memikirkan masa depan dan melupakan masa lalu, nomor wa 089999901015. Kalau ada yang kurang atau nggak jelas, silahkan teman-teman tanyakan.”“Kocak nih anak!” celetuk salah satunya.Seluruh isi kelas termasuk Tini melongo sesaat. Lalu berubah gaduh setelahnya. El masih dengan raut yang sama sambil terus memperhatikan seisi kelas, padahal iya belum memulai aksi apapun tapi mereka sudah tertawa.“Sudah-sudah,” Tini memukul mejanya beberapa kali,“Kamu…,”“El, Bu,” ucap El, karena Tini seperti kesulitan menyebut namanya.“Sepertinya pengenalan El sudah cukup jelas, apa ada yang mau bertanya?” ucap Tini.Seorang mengangkat tangannya. “Eh kok nama lo ada Magenta-nya kenapa nggak pink aja?”“Magenta bukan pink bro, itu kombinasi dari warna ungu dan merah. Warnanya juga lebih cerah, sama cerahnya kayak muka gue, jadi bonyok kasih nama itu!” jelas El, ia terlalu sering menjawab pertanyaan seperti itu mengenai namanya yang cukup unik.Tini hanya menghela napas, sepertinya kelas ini kedatangan murid limited lagi. “Baiklah, kalau sudah silahkan duduk di…,” “Di samping saya Bu, kosong nih,” celetuk Afdi. “Oke, kamu duduk di sebelah Afdi.”El hanya menggangguk, berjalan ke arah bangku yang ditunjuk."Gue suka gaya lo, kayaknya kita bisa jadi sejoli deh, gue Afdi dan yang belakang Ardan sama Ilham,” tunjuknya pada dua orang di belakang mereka. “Hai El, perkenalan lo kek ngisi biodata, keren!”El ikut tertawa mendengarnya. Ternyata tak begitu sulit baginya mendapat teman di sekolah ini. Sepertinya ada juga yang bersikap seperti dirinya. Akan seru. “Eh yang belakang perhatikan ke depan!” tegur Tini.Terhitung, ini adalah hari ketiga El bersekolah di SMA Dharma. Ia juga sudah banyak tahu tentang sekolah ini sekarang, belum lama ini di kelasnya sudah banyak cewek-cewek yang antre berkenalan dengannya, bahkan, tak sungkan memberi hadiah ataupun surat.Pembawaan sifat El yang supel dan mudah bergaul, membuat orang lain merasa tak canggung padanya, meski baru kenal. Hal itu juga membuat kebanyakan dari mereka sering menyalahartikan sikapnya yang murah senyum, beberapa menganggap kalau El playboy.Padahal yang sebenarnya ... hanya dirinya dan Tuhan yang tau.Tapi, El tetaplah El. Di sekolah baru maupun sekolah lama cowok itu selalu bertingkah sesuka hati, kadang tak jarang ia menjahili teman sekelasnya atau menggoda guru perempuan dari yang muda sampai yang punya anak empat malah. "Btw, nggak ada apa gitu hari ini, gue malas ke kantin, pasti rame.""Ya wajarlah rame, orang jam istirahat," timpal Ilham.Ardan menatap El. "Ngaku aja, lo ngindarin cewek-cewek yang mau kenalan sama lo 'ka
Wajah serius dan penuh ketegasan terpencar dari gadis itu. Semua orang memperhatikan Ralika yang sibuk menjelaskan rencananya melalui HUT sekolah. Beberapa diantaranya mengangguk-angguk mendengar sebuah ide keluar dari mulutnya."Gue setuju ide lo, Ka," celetuk Ferdi mengangkat tangannya.Neta sang sekretaris OSIS berdiri dari duduknya. "Kalau menurut gue, ide lo itu nggak bagus."Si Ketua Osis yaitu Alex menatap Neta yang memang duduk di sampingnya. Ya, siapa yang akan selalu menentang tentang apa saja yang berhubungan dengan Ralika selain cewek itu, entah itu apapun, mau benar ataupun salah."Ta, idenya Ika itu bagus," balas Alex.Neta duduk kembali ke tempat duduknya menatap Alex. "Menurut gue idenya itu terlalu norak? Gue nggak mesti harus setuju 'kan? Lagian mentang-mentang dia tangan kanan guru, kalian setuju-setuju aja idenya."Alex menghela napas, berusaha sabar sedangkan Ralika, masih setia berdiri, sama sekali tak berniat membalas perkataan Neta. Semua orang bebas berpendapa
El bersiul pelan sambil menyisir rambutnya ke arah belakang. Afdi dan Ardan terfokus pada layar playstation yang menampilkan permainan football, sedangkan Ilham, cowok itu asyik sendiri menikmati keripik kentang bumbu balado ukuran jumbo di tangannya."Woh, ganteng banget gue," celetuk El menatap pantulan dirinya di cermin."Dari tadi yang ada ngurusin rambut mulu, kayak cewek aja," timpal Ilham kembali memasukan keripik kentang ke mulutnya. Afdi dan Ardan masih setia pada permainan mereka. Sama sekali tak terganggu dengan celotehan keduanya."Kayak nggak tau aja, orang kasmaran kan emang 11 12 sama orang gila," ujar Afdi tanpa menoleh.El mengambil bantal di atas kasurnya. Melempar asal ke arah Afdi yang masih setia menatap layar permainan, dan tepat sekali mengenai wajahnya."Allahuakbar.""Yes, gue menang," girang Ardan detik itu juga.Afdi mendengus kecewa. Ia kalah permainan karena tiba-tiba di timpuk. Yang tadi awalnya fokus mencetak gol jadi buyar seketika dan berujung kebobol
Ralika masuk ke kelas pada jam istirahat. Ia tak bisa masuk pelajaran pertama karena harus mengawasi cowok tak tahu malu itu membersihkan toilet, meski sebenarnya Ralika harus menghela napas ribuan kali, mendengar gombalan receh tak bermanfaat El. Bagaimana pun ia tak mau mengabaikan amanat Bu Rina, dengan pergi karena jenuh mendengar perkataan tak berguna cowok itu."Ika!"Matanya tertuju pada seorang cewek berambut ikal yang mendekat ke arahnya dengan membawa sebuah buku sambil senyum melebar."Nih."Ralika bergeming menatap sebuah buku yang di sodorkan Lea. "Untuk apa?"Lea tersenyum, cewek itu menarik tangan Ralika lalu meletakan buku tulis itu di telapak tangannya."Ini buku catatan gue, tadi 'kan lo nggak masuk kelas gara-gara gantiin Bu Rina. Jadi, lo pinjem aja buku catetan gue."Ralika menatap Lea tidak berekspresi kemudian matanya turun menatap buku tulis tersebut, perlahan tangannya membuka tiap lembar buku itu dengan teliti. Catatan materi di buku itu lengkap, semua rangku
"El kita nggak balik, nih?" ucap Afdi. Sejak tadi mereka berdiri di depan kendaraan itu cukup lama, tapi tak ada tanda-tandanya El akan menawarkan untuk naik, malah dengan santainya menatap gerbang sambil memainkan kunci mobilnya.El menoleh. "Kalian kalau mau balik, balik aja, ngapain nungguin gue."Ketiganya saling pandang. "Jadi kita nggak pulang naik mobil lo, nih?""Nggak! lo semua pulang sendiri lah!"Afdi langsung cemberut. El sama sekali tak mengijinkannya ataupun yang lain menaiki kendaraan berwarna hitam itu."Ya, terus lo mau bawa nih mobil sendiri, gitu? Ngapain coba nyuruh supirnya pulang naik taksi, kalau nyatanya nggak ngajak kita pulang bareng," celetuk Ardan.El memandang ketiga temannya sambil berkacak pinggang. "Gue sengaja nyuruh Pak Jodi pulang duluan, biar Ralika pulang bareng gue. Bukan ngajak lo bertiga balik!"Ilham yang mendengar penuturan El menepuk jidatnya. "Ealah, ternyata lo ogeb banget!"El langsung menjitak kepala Ilham cukup keras. "Lo nggak nyadar lo
El memejamkan matanya menikmati hidup yang kadang menyenangkan. Tidak ada pelajaran matematika yang memenuhi kepalanya, tidak ada ocehan dari guru yang super duper galak seperti Bu Wike.Free class menurutnya hal yang sangat membahagiakan, rasanya seperti di atas awan. "Gue bosan di kelas mulu."El membuka matanya menoleh ke kanan dimana Afdi sedang menekuk wajahnya. "Mendingan kita ke lapangan basket aja ngeliat pertandingan," ucapnya lagi."Kalau lo mau ke lapangan, ke lapangan aja," Pandangannya berubah memandang Ilham dan Ardan, "lo berdua juga bisa ikut. Gue mau tidur di kelas, lumayan free class capek begadang semalam."Afdi berdecak. "Ya nggak seru kalau lo nggak ikut 'kan jadi nggak lengkap, Emgansi.""Emgansi? Apaan tuh?" bingung Ardan."Empat cogan bergengsi," ujar Afdi menaik turunkan alis.Ardan bergidik melihat tingkah Afdi. "Jijik gue ngeliat lo kayak gitu."El masih menatap ketiga temannya, malas, memindahkan kedua tangannya menjadi bantal. "Kalian kalau mau kelapangan,
Ralika mengelus kepala wanita yang terbaring lemah di hadapannya kini. Matanya tertutup dengan beberapa alat medis tertempel memenuhi tubuh. Suara alat deteksi jantung terdengar mengalun normal mengikuti irama jantungnya. Hal itu menandakan masih ada kehidupan di balik wajah pucat itu.Ralika bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu, ia sempat berbalik sebentar sebelum akhirnya keluar dengan wajah tertunduk.Untuk beberapa jam yang lalu Ralika sempat khawatir saat Niken ke sekolahnya dan mengatakan 'rumah sakit' Seperti ada dentuman keras yang menyerang dada, pikiran buruk tak bisa dibendung akan kemungkinan yang terjadi. Ruang tempat Nilam--mamanya-- dirawat saat itu sedang tertutup karena dokter sedang menanganinya. Lutut Ralika melemas untuk beberapa saat, yang hanya bisa dilakukannya hanya berdo'a dalam hati.Setelah beberapa menit, pintu ruangan terbuka, dokter dan beberapa suster keluar. Buru-buru Niken mencecar sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Dokter itu terdiam
Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta. Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngur
Seolah tersadar kalau sejak tadi matanya tak lepas dengan sosok cowok itu, Ralika segera melangkah keluar."Rara!" teriak El langsung turun begitu saja. Tepat saat ia turun dari panggung sempat El berpapasan dengan Alex. Cowok itu mengangkat tangannya, lalu menepuk punggung El seperti sebelumnya. "Good luck!""Rara!" panggilnya sekali lagi."Stop!" El mencoba mengatur napasnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mata tajam Ralika seperti sudah tak ada lagi, lenyap tanpa jejak."Gue butuh jawaban," ucap El mantap."Minggir, saya harus ke atap sekolah!"El menggeleng. "Gue tadi udah susah-susah, Ra, buat nyanyi, ada yang fals apa? Sampe lo nggak mau bilang ya atau mau?"Ralika melipat tangannya. Seperti anak kecil yang meminta permen, Ralika lebih menganggap El seperti itu saat cowok itu tetap keukeh menghadang jalannya. Ralika mengangkat satu tangannya, menurunkan salah satu tangan El yang terbentang."Apa kamu benar-benar serius?" El mengangguk menyakinkan. "Iya."Ralik
"Lea mau sampai kapan kamu menata rambut seperti itu?"Ralika sejak tadi menatap jamnya. Ia telah membuang waktu cukup banyak untuk sekedar menunggu Lea yang sejak tadi menata rambut."Ya ampun Ika, lo tau nggak, jadwal kalian kumpul semua itu jam 7."Lea berbalik, saat dirasa rambutnya sudah tertata. "Ka, lo pakai ini doang?"Ralika melipat tangannya lalu menunduk. Tidak ada yang salah dengan dirinya, semuanya lengkap. Buku kecil dan pena untuk mencatat kekurangan acara juga sudah disiapkan. Bajun berwarna hitam, serta jelana jins senada. Ini biasa 'kan?"Setidaknya lo dandan dikit lah Ika."Lea menarik Ralika agar duduk. "Lea kita tidak punya waktu, terlebih lagi saya ini adalah panitia bukan yang akan tampil."Lea malah sibuk mengecek tasnya, mengeluarkan benda warna-warna yang Ralika saja tidak tau apa namanya."Sekarang kita pergi, panitia sudah menunggu."Baru berdiri dua detik Ralika kembali dipaksa duduk oleh Lea. Mungkin Lea orang pertama yang membuat Ralika hanya bisa diam s
Drrt... Drttt...El melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar. Sebenarnya benda itu berungkali berkedip, tapi ia biarkan saja, karena biasanya jam segini yang akan masuk pesan tidak penting. Pesan tidak penting dari nomor tak dikenal, hal itu juga karena Ilham dan Afdi yang memberikan nomornya begitu saja pada semua cewek asal mereka bayar. Teman macam apa itu!"Hallo!"Karena sejak tadi benda itu terus menganggunya. El mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo-hallo lo, lama amat sih ngangkat telfon gue!""Lah!" El menjauhkan ponselnya itu lalu menatapnya beberapa detik. Bang Mona."Lo Bang, ah kenapa nggak bilang!" El berdiri dari tempat tidurnya lalu berdiri dengan wajah berseri. "Lo kenapa nggak ada kabar sih setelah balik, padahal gue mau kasih tau sesuatu. Lo tau nggak kalau-""Eh-eh bentar, gue telfon lo cuman mau titip pesen sama bokap, transfer duit bulanan!""Hah? Lo 'kan bisa telfon Om, kenapa jadi gue?""Hp Papa sama Mama mati, terus Tante Nala kayaknya lag
Lega, rasanya beban yang selama ini hinggap di hati Ralika telah hilang bersamaan dengan perginya sang Papa. Sekali lagi, sebelum berbalik, Ralika sempat menatap gundukan tempat Hendra beristirahat yang tepat di samping makam Kayla selama beberapa detik. Kenangan biarlah menjadi kenangan, meskipun memang berlangsung pahit, tapi semuanya sudah terjadi. Sebuah pelajaran datang saat seseorang mengalami kesulitan di masa lalunya.Kayla, Ralika bisa merasakan kalau adiknya itu akan bahagia di sana."Semangat, okey."Ralika menyentuh tangan Lea yang tersampir di pundaknya lalu mengangguk. Di sana hanya tersisatiga orang sedangkan yang lainnya sudah pulang duluan, kepala sekolah dan guru-guru pun tadi juga datang untuk mengungkapkan bela sungkawa. Nilam juga harus banyak istirahat, karena kondisinya yang kembali drop karena banyak pikiran."Kamu sebaiknya pulang duluan.""Nggak ah, gue mau nemenin lo.""Seragam kamu masih belum diganti, tas kamu juga, itu melanggar aturan sekolah, seharusn
Ika .... " Ralika mengalihkan pandang. Berusaha mengendalikan hatinya, suara lirih Nilam seolah menuntunnya mendekati pria itu."Ma ... afin ... Papa."Ralika masih tak merespon perkataan Hendra yang bersusah payah mengatakan kalimat itu. Salivanya tertegun beberapa kali, ada perasaan tak sanggup saat menatap kembali pria itu, kilasan tentang kekejamannya sangat terekam jelas. Tapi ini untuk pertama kalinya, Hendra terlihat tak berdaya. Begitu lemah.Ralika sudah mengatakan orang baik akan dianggap yang paling lemah. Dan hari ini dia membuktikannya, mamanya kini sedang menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh harap. Memaafkan? Itu hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menutup sebagian hatinya!"Ka, mama mohon."Desakan lirih itu membuat Ralika tak sadar telah menatap Hendra. Matanya terpejam sesaat setelah melihat pria itu, apakah ia kini bermimpi? Sudah jelas Ralika melihat cairan bening dari ujung mata pria itu. Tangan kiri Hendra terangkat dengan sisa-s
Untuk acara HUT kali ini, semua panitia sudah dibagi dari berbagai macam lomba. Seperti rencana awal, SMA Dharma mengadakan banyak lomba yang diikuti dari berbagai sekolah. Dharma murni sebagai tuan rumah dan tak terlibat dalam lomba apapun. Hingga sekarang terhitung 2 hari setelah hari pembukaan. Yang sudah bertanding adalah dari club olahraga, yaitu Futsal dan Volly. Dan hasil penyerehan hadiah bagi yang menang akan dilaksanakan, siangnya, tepat tanggal 31 Desember. "Ka, lo bisa ngira nggak antara SMA Raya sama SMA Wijaya yang mana menang?" ucap Lea sambil menatap ke depan.Ralika diam. Kini pandangannya menyapu satu persatu pemain yang berusaha mencetak poin. Sambil memakai kalung panitia dengan name tag namanya, Ralika kini turut menjadi panitia. Di sebrang ada Alex yang menggunakan baju kaos biru berlengan pendek dengan kalung panitia yang sama dengannya."Ka, jawab!" desak Lea.Terdengar hembusan napas pelan dari hidung Ralika. Padahal dari tadi ia sudah mengatakan agar cewek i
"Ika, ya ampun, gue nggak nyangka banget Pak Bima ngumumin lo nggak salah hari ini, ah kenapa kepala gue harus pusing sih, gue pengen banget deh ngeliat mukanya Neta, pasti dia kesel banget tuh."Lea mencerocos tak jelas saat Ralika masuk, sudahlah tak masalah kalau hanya dibalas diam Ralika. Hari ini, hari bahagianya, wajah-wajah yang pernah menghujat Ralika rasanya sudah terhantam oleh kebenaran yang ada. Sayang sekali momen itu harus terlwat saat dirinya di UKS.Ralika duduk di kursinya. Meski secara tak langsung, ia bisa melihat kumpulan murid di sebelah kanan dari ujung matanya. Ralika juga sebenarnya tau kalau mereka tampak bingung ingin mendekat sambil mendorong satu sama lain. Jika kata orang siapapun tak akan luput dari pengawasannya selama berada di SMA Dharma, jawabannya benar. Ralika tau kalau merekalah yang mencoret mejanya dengan berbagai kata kasar selama ini secara diam-diam.Ralika berdiri lalu mendekati mereka. Pandangannya datar. Melihat Ralika yang mendekat, mereka
Ralika memandang lurus-lurus, tepat menatap manik mata El yang menunggu ucapan keluar dari mulutnya. Perlahan matanya turun ke tangan El yang tengah menggenggam lengannya. Dengan sekali hentak cekalan itu terlepas."Saya masih ada urusan."El tak beranjak. "Tapi lo belum jawab pertanyaan gue!"Ralika berhenti. Mengepalkan kedua tangannya, lalu berbalik. "Lebih baik kamu sembuhin dulu luka kamu, baru bisa ngomong."El dibuat terdiam. Otaknya berpikir keras, biasanya Ralika akan dengan tegas menjawab sesuatu yang ditanyakan padanya. Tapi tampaknya cewek itu tak ada sedikit pun menerima atau menolak. Senyum miring El terukir, tepat saat Ralika berbelok."Gue masih punya kesempatan."El meloncat kecil, lalu berbalik. Tepat saat itu pula Alex berada di depannya, dengan kedua mata sulit diartikan."Ngapain lo ke sini? Nguping gue sama Rara ya?" ucapnya sinis. Tapi kemudian El mengelus dagunya, mendekati Alex."Lo denger 'kan tadi gue bilang apa?""Gue denger."El tersenyum puas. Ia kemudian
"Nayla." Ralika baru saja yang pulang dari sekolah. Tujuannya ingin langsung masuk ke kamar dan mempersiapkan diri untuk latihan karate sore ini, tapi perhatiannya langsung tertarik pada Nayla yang tengah duduk di lantai sambil memainkan bonekanya."Bi Leli ke mana?" Pandangan Ralika mengedar, mencari keberadaan wanita itu.Sedikit ragu untuk mendekat, cewek itu menatapi Nayla selama beberapa saat sebelum akhirnya mendekat lalu berjongkok. Balita itu spontan menatapnya lalu tersenyum sambil menampilkan 2 buah gigi yang tumbuh di bagian bawah."Kakak."Ralika terdiam, padahal tak ada yang dirinya lakukan tapi balita itu malah tertawa dan kakak? Hatinya berdesir mendengarnya."Lo tau senyum itu ibadah, dengan senyum berarti bahagia,"Otaknya memutar kembali perkataan cowok itu, hingga tanpa sadar tangan kanannya terulur mengelus pipi gembul Nayla yang masih menampakkan senyum. Setelahnya Ralika menarik Nayla dalam dekapan. Matanya terpejam, merasa baru kali ini dia merasa begitu dekat d