Ralika masuk ke kelas pada jam istirahat. Ia tak bisa masuk pelajaran pertama karena harus mengawasi cowok tak tahu malu itu membersihkan toilet, meski sebenarnya Ralika harus menghela napas ribuan kali, mendengar gombalan receh tak bermanfaat El. Bagaimana pun ia tak mau mengabaikan amanat Bu Rina, dengan pergi karena jenuh mendengar perkataan tak berguna cowok itu.
"Ika!"Matanya tertuju pada seorang cewek berambut ikal yang mendekat ke arahnya dengan membawa sebuah buku sambil senyum melebar."Nih."Ralika bergeming menatap sebuah buku yang di sodorkan Lea. "Untuk apa?"Lea tersenyum, cewek itu menarik tangan Ralika lalu meletakan buku tulis itu di telapak tangannya."Ini buku catatan gue, tadi 'kan lo nggak masuk kelas gara-gara gantiin Bu Rina. Jadi, lo pinjem aja buku catetan gue."Ralika menatap Lea tidak berekspresi kemudian matanya turun menatap buku tulis tersebut, perlahan tangannya membuka tiap lembar buku itu dengan teliti. Catatan materi di buku itu lengkap, semua rangkuman tersusun rapi.Ralika kembali mendongak menatap Lea yang seperti menunggu responnya. Ia cukup tau, cewek di hadapannya ini paling malas dalam urusan catat mencatat, walau ia cuek dengan segala yang berhubungan dengan dunia, tapi Ralika tak bisa mengelak, dirinya cukup tau bagaimana sikap Lea selama ini, walau tak banyak."Bukannya, kamu paling nggak suka mencatat?"Lea menggaruk tengkuknya. "Iya sih, gue emang males kalau yang namanya nyatet. Tapi, gue paksain nyatet buat lo."Ralika diam. Matanya menatap ke sekeliling kelas yang nampak sepi. Ia berjalan ke arah bangkunya langsung memasukan buku catatan yang di berikan Lea ke dalam tasnya."Ka, ke kantin yuk! Gue yang traktir, deh," tawar Lea."Saya nggak laper.""Ya sekali ini aja, gue 'kan temen lo. Masa sama temen sendiri aja kayak gitu," ujar Lea pura-pura merajuk.Ralika menghembuskan napas pelan saat mendengar kata teman."Kamu? Teman saya?"Lea mengangguk cepat. "Ya teman, emang sih, lo nggak pernah anggap gue temen. Tapi gue tetap mau jadi temen lo, gue maksa lo jadi teman gue!"Lea dengan semangatnya berucap seperti itu. Mungkin, bagi orang sekitar, Ralika hanya cewek flat tanpa ekspresi, si tangan kanan guru yang kerjanya cuman menghukum murid. Tapi, baginya Ralika adalah gadis hebat. Seperti wonder woman."Lo 'kan kerjaannya ngehukum orang, sekarang giliran lo yang gue hukum. Yaitu makan bareng gue." Tanpa persetujuan dari Ralika Lea menarik tangan cewek itu keluar dari kelas.☁☁☁"Duh, sumpah gue laper banget!"El langsung mengambil semangkuk mie ayam di hadapan Ilham setelah memakan semangkok mie ayam yang baru saja dihabiskannya. Tentu saja Ilham langsung melotot. "Eh, itu mie ayam gue!"Ilham mendengus melihat El yang kini memakan mie ayamnya dengan lahap. Dia seperti orang yang belum makan selama seminggu dan baru mendapat jatah makan hari ini."Lo kayak orang kurang makan, tau nggak?" celetuk Ardan dengan santainya.El melirik Ardan kemudian kembali melanjutkan makannya sampai ke mie terakhir di mangkuk, sama sekali tak peduli---yang penting kenyang."Gue laper banget, tadi nggak sempet sarapan," ucap El, sambil meraih segelas air lalu meminumnya. Ketiganya saling pandang."Kan emang lo sengaja nelatin diri buat ketemu Ika," balas Afdi santai.El menghentikan kunyahannya dengan mie yang masih bergelayut di mulut, ia menyengir sambil mengusap tengkuk. "Iya sih, nggak apa deh gue laper. Perjuangan mendapatkan sang pujaan hati."Ketiganya mencebik bersamaan, menanggapi perkataan El yang sok puitis lagi dramatis."El, tuh ...."El mengernyit, sama sekali tak mengerti dengan apa yang Afdi katakan, alisnya naik turun dengan dagu sedikit terangkat, menunjuk satu arah. "Apaan sih?"Afdi berdecak, sepertinya tingkat kepekaan El telah terkuras habis gara-gara dihukum tadi, sehingga tak mengerti kode yang sudah sangat jelas Afdi lemparkan. "Itu, ada Ika," bisiknya.Mendengar nama Ralika, El langsung memutar tubuhnya. Matanya tertuju pada dua orang cewek yang baru saja memasuki kantin. Dari kejauhan nampak jelas Ralika diam tanpa ekspresi sementara Lea nampak sedang berbicara, lebih tepatnya mengoceh, entah apa itu.Senyum bulan sabitnya mulai terbentuk, pandangan mata El terkunci pada pada mata bulat Ralika yang selalu ingin ditatapnya."Cantik banget, sih, kayak gitu aja udah cantik, gimana kalau senyum," gumamnya yang tentu saja terdengar oleh ketiga temannya. Bagi mereka itu terdengar mustahil."Ika? Senyum? Yang bener aja El. Kita hampir dua tahun sekolah di SMA Dharma, nggak pernah yang namanya ngeliat tuh cewek senyum."El mengalihkan perhatiannya menatap Afdi yang mengatakan hal yang membuatnya mengangkat alis, penuh tanya. "Beneran Ralika nggak pernah senyum?""Yey beneran lah. Kalau nggak percaya tanya aja Ardan, betul nggak, Dan?" Ardan mengangguk tanda membenarkan."Emang kita nggak pernah ngeliat Ralika senyum," timpalnya.El kembali melihat ke arah Ralika yang tak jauh darinya, gadis itu sekarang duduk sendiri tanpa ditemani Lea, mungkin cewek itu sedang memesan makanan. El menopang kepalanya dengan mata yang masih terfokus pada satu titik, memang selama beberapa hari ini, Ralika nyaris tak berekspresi apa-apa. Bahkan, selalu menampakan wajah yang terkesan flat dan cuek.Tanpa diduganya Ralika balik menatap ke arahnya, membuat El langsung memperlihatkan senyum lalu melambaikan tangan. Tapi tak berlangsung lama, seketika Ralika mengalihkan tatapannya.El berdiri dari duduknya. Ketiga temannya hanya saling pandang kemudian menghela napas bersamaan, mereka sudah tau ke mana tujuan El sekarang."Hai!"Ralika menatapnya sekilas, sama sekali tak berniat membalas sapaan cowok itu. El sama sekali tak melunturkan senyumnya, bahkan persetujuan Ralika, ia langsung duduk tepat berhadapan dengan cewek itu."Ngapain kamu di sini?" tanya Ralika akhirnya."Mau duduk, gue nggak akan dihukum 'kan kalau duduk di meja kantin?" Nada bicaranya santai, tapi terkesan menyidir di gendang telinga."Kamu bisa 'kan cari tempat duduk yang lain?"El menggeleng. "Pengennya gitu, cuman, kayaknya ada sesuatu yang narik gue ke sini."Ralika tak menjawab. Percuma ia berkata, yang ada cowok itu akan terus mengoce dan berujung dirinya yang emosi. Untuk sesaat tidak ada percakapan di antara mereka. Bagi Ralika suasana tenang sangat disukainya, tapi lain halnya untuk cowok berambut coklat itu. Biasanya ia akan berkata ceplas-ceplos mengenai banyak hal, sekalipun pada orang yang baru dikenal, tapi sekarang, suasananya berbeda, diam tanpa bicara. Itu sangat bukan dirinya."Tumben banget lo mau ke kantin."Ralika melirik ke arah samping. Entah sejak kapan, Neta sudah berdiri dengan tangan terlipat sambil menatapnya sinis. El mendongak, nampaknya Neta tidak menyadari bahwa di sana masih ada orang lain, selain Ralika."Kalau Ralika ke kantin, apa urusannya sama lo?"Neta menggerakan matanya, untuk sekejap tertegun menatap cowok tampan di hadapannya.Gila, ganteng banget nih cowok.Ia langsung melupakan tujuan awalnya mendekat. Neta merapikan sebagian rambutnya ke depan kemudian menampakan senyum semanis mungkin. "Lo anak baru ya?"El mengernyit. Bukannya menjawab pertanyaannya Neta, ia malah menanyakan namanya dengan nada yang dibuat-buat."Misi-misi bakso panas."Lea datang membawa dua mangkuk bakso panas di sebuah nampan. Lea mendekat, berjalan ke samping bangku di mana Neta ada di sana, ia tak peduli dengan mata Neta yang melebar karena sikunya menyenggol lengan gadis itu."Eh, Neta ... ngapain lo ke sini mau makan juga?" tanya Lea seolah baru menyadari kehadiran Neta.Neta melirik Lea sinis, tanpa berniat membalas perkataan cewek itu. Sekarang yang perlu dilakukan Neta adalah jaga image, buat sikap seanggun dan semanis mungkin."Kita belum kenalan 'kan? Gue Neta cewek paling cantik di SMA Dharma."Neta mengulurkan tangan dengan senyum yang masih mengembang, bermaksud membuat cowok itu terpesona.Lea melihat El dan Neta bergantian. Pantas saja cewek itu tidak mengeluarkan kata-kata kasar seperti biasanya, ternyata sebabnya itu toh. El terdiam sesaat membiarkan tangan Neta mengambang di udara. Matanya diam-diam melirik Ralika yang juga sedang menatapnya.Sedetik kemudian, El membalas uluran tangan Neta dengan senyum yang tak kalah manisnya. "Gue El, murid pindahan seminggu yang lalu."El melepas jabatan tangannya, dengan mata yang terus melirik Ralika yang setia bungkam."Lo bilang katanya lo cewek paling cantik 'kan?" Neta dengan percaya dirinya mengangguk seraya terus tersenyum."Tapi bagi gue," matanya terfokus ke depan, "Ralika lebih cantik."Skakmat!Lea langsung membekap mulutnya sendiri, hampir saja suara tawa akan keluar dari mulutnya setelah mendengar perkataan El yang dirasa sangat menohok hati Neta. Kapan lagi coba, Neta, seorang cewek yang merasa dirinya cantik seperti bidadari mendapat perlakuan demikian dari dari seorang cowok, apalagi cowok itu adalah anak baru. Benar-benar langkah.Neta pergi sambil menghentak-hentakan kakinya. Sekilas, ia melirik Ralika penuh kebencian, tak ada yang paling dibencinya selain cewek itu.☁☁☁"Masukin baju kamu!"El dengan polosnya mengangguk, lalu menunuduk merapikan bajunya secepat kilat. Senyumnya setia mengembang, daritadi ia memang menunggu Ralika untuk bicara. Sejak kejadian di kantin, cewek itu semakin cuek padanya. Bahkan terkesan tidak menganggap dirinya ada, Lea sendiri sejak tadi menghilang dengan alasan ingin pergi ke toilet."Lo mau ke mana?" El sedikit berteriak melihat Ralika akan melangkah ke arah lorong. Cewek itu berbalik."Kamu punya jam?" El mengangguk cepat, "kalau gitu sekarang jam berapa?"El mengangkat lengannya. "Jam sepuluh lima belas.""Ini waktunya masuk kelas."El baru ingat bel telah berbunyi nyaring tadi. Mungkin terlambat bagi El menyadari kalau tempatnya sekarang tak jauh dari kelas Ralika."Oh bel ya," El tersenyum bodoh. "Kalau gitu gue ke kelas dulu. Lo belajar yang rajin ya."Ralika tak menjawab, ia memutar tubuhnya membelakangi El, tapi tidak bisa dipungkiri senyum miringnya terbentuk, perkataan El sungguh sangat polos atau pura-pura polos?Namun, hal itu tak bertahan lama, cewek itu langsung tersadar saat dirinya teringat akan sesuatu. Ralika langsung melangkah masuk ke kelasnya."Kayaknya Ralika ngehindar banget dari gue," gumam El dengan pandangan lurus, memperhatikan punggung Ralika yang menjauh hingga akhirnya menghilang."Ya kalau mau dapatin Ika itu perlu perjuangan."Ia segera menoleh ke belakang. Lea berjalan mendekat."Ika bukan cewek sembarangan. Dia nggak ada duanya, harus cowok sejati yang bisa nyairin hati bekunya." El memicingkan mata, dengan alis menaut."Ngapain ngeliatin gue kayak gitu?" ketus Lea."Bukannya lo kemaren nggak suka gue deketin Ralika?"Lea mengedikan bahu. "Mungkin lo harus diberi kesempatan. Ika itu butuh orang yang selalu sayang dia, tapi tetap lo bakalan terus gue awasi!"Usai berkata seperti itu Lea berjalan masuk ke kelasnya. Meninggalkan El yang masih melongo, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Sedetik kemudian, El langsung melompat seperti orang gila, membuat beberapa orang yang tak sengaja lewat memandangnya heran."El kita nggak balik, nih?" ucap Afdi. Sejak tadi mereka berdiri di depan kendaraan itu cukup lama, tapi tak ada tanda-tandanya El akan menawarkan untuk naik, malah dengan santainya menatap gerbang sambil memainkan kunci mobilnya.El menoleh. "Kalian kalau mau balik, balik aja, ngapain nungguin gue."Ketiganya saling pandang. "Jadi kita nggak pulang naik mobil lo, nih?""Nggak! lo semua pulang sendiri lah!"Afdi langsung cemberut. El sama sekali tak mengijinkannya ataupun yang lain menaiki kendaraan berwarna hitam itu."Ya, terus lo mau bawa nih mobil sendiri, gitu? Ngapain coba nyuruh supirnya pulang naik taksi, kalau nyatanya nggak ngajak kita pulang bareng," celetuk Ardan.El memandang ketiga temannya sambil berkacak pinggang. "Gue sengaja nyuruh Pak Jodi pulang duluan, biar Ralika pulang bareng gue. Bukan ngajak lo bertiga balik!"Ilham yang mendengar penuturan El menepuk jidatnya. "Ealah, ternyata lo ogeb banget!"El langsung menjitak kepala Ilham cukup keras. "Lo nggak nyadar lo
El memejamkan matanya menikmati hidup yang kadang menyenangkan. Tidak ada pelajaran matematika yang memenuhi kepalanya, tidak ada ocehan dari guru yang super duper galak seperti Bu Wike.Free class menurutnya hal yang sangat membahagiakan, rasanya seperti di atas awan. "Gue bosan di kelas mulu."El membuka matanya menoleh ke kanan dimana Afdi sedang menekuk wajahnya. "Mendingan kita ke lapangan basket aja ngeliat pertandingan," ucapnya lagi."Kalau lo mau ke lapangan, ke lapangan aja," Pandangannya berubah memandang Ilham dan Ardan, "lo berdua juga bisa ikut. Gue mau tidur di kelas, lumayan free class capek begadang semalam."Afdi berdecak. "Ya nggak seru kalau lo nggak ikut 'kan jadi nggak lengkap, Emgansi.""Emgansi? Apaan tuh?" bingung Ardan."Empat cogan bergengsi," ujar Afdi menaik turunkan alis.Ardan bergidik melihat tingkah Afdi. "Jijik gue ngeliat lo kayak gitu."El masih menatap ketiga temannya, malas, memindahkan kedua tangannya menjadi bantal. "Kalian kalau mau kelapangan,
Ralika mengelus kepala wanita yang terbaring lemah di hadapannya kini. Matanya tertutup dengan beberapa alat medis tertempel memenuhi tubuh. Suara alat deteksi jantung terdengar mengalun normal mengikuti irama jantungnya. Hal itu menandakan masih ada kehidupan di balik wajah pucat itu.Ralika bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu, ia sempat berbalik sebentar sebelum akhirnya keluar dengan wajah tertunduk.Untuk beberapa jam yang lalu Ralika sempat khawatir saat Niken ke sekolahnya dan mengatakan 'rumah sakit' Seperti ada dentuman keras yang menyerang dada, pikiran buruk tak bisa dibendung akan kemungkinan yang terjadi. Ruang tempat Nilam--mamanya-- dirawat saat itu sedang tertutup karena dokter sedang menanganinya. Lutut Ralika melemas untuk beberapa saat, yang hanya bisa dilakukannya hanya berdo'a dalam hati.Setelah beberapa menit, pintu ruangan terbuka, dokter dan beberapa suster keluar. Buru-buru Niken mencecar sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Dokter itu terdiam
Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta. Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngur
Ralika baru saja meletakan kunci motornya di atas nakas, kakinya segera melangkah menuju kamar karena suara tangisan yang sejak tadi terdengar di gendang telinganya. Ralika berhenti disebuah kamar, membuka pintunya sedikit kemudian, menatap siapa yang ada di sana. Niken seperti sangat kesusahan menenangkan balita berumur dua setengah tahun itu, walaupun dirinya berusaha sabar agar balita itu tidak menangis lagi, tapi malah tangisan itu semakin kencang.Ralika membuka pintu itu sepenuhnya, sehingga terdengar bunyi decitan, saat itulah Niken menoleh, lalu tersenyum. Ralika mendekat, langsung mengambil alih sang adik yang ada dalam dekapan tantenya itu."Sini Tante biar Ika aja yang Gendong Nayla."Sesaat setelah mendekap sang adik, tak ada lagi suara tangisan, malah sekarang Nayla nampak menatap Ralika dengan mata bulatnya."Memang cuma kamu yang bisa tenang dia kalau lagi gelisah." Niken sedikit menyentuh pipi Nayla.Ralika sadar akan hal itu. Ia memang jarang sekali mempunyai waktu u
"Ra, makasih udah temenin gue beli perlengkapan prakarya."Ralika mengangguk kecil sambil membuka sealt belt, tangannya beralih ingin membuka pintu mobil sebelum El menghentikannya."Ra," panggil cowok itu."Hati-hati ya." Ralika mengangkat sebelah alis. "Takutnya nanti lo jatuh,"Ralika menghela napas, ia kira apa? Ternyata cuman itu. Setelah keluar dari mobil, El menunggu beberapa detik lalu kembali membuka suara. "Jatuh cinta," sambungnya.Setelah berkata seperti itu---sama seperti tadi. Cowok itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, tak menghiraukan tatapan Ralika yang menajam. Sungguh El itu sangat aneh dan ajaib, heran sendiri melihat cowok itu masih sempat menggodanya.Dasar!"Ika."Ralika menoleh ke belakang. Niken berjalan mendekat ke arahnya dengan raut yang kurang mengenakan, wajah khawatir serta ragu tercetak jelas, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi lidah terasa keluh."Ada masalah apa, Tante? Kok tadi nyuruh Ika cepet pulang?" Ralika langsung menanyakan hal yan
El dengan santainya memasuki area rumah sambil bersiul, jarinya memilin kunci motor sambil melirik ke kanan ke kiri. Kondisi rumahnya sangat sepi, seperti tidak ada penghuninya.Cowok itu sedikit heran apalagi ada begitu banyak kulit kacang yang berserakan di lantai, dan ya setau El mamanya itu sangat menghindari makanan itu dengan alasan nanti jerawatan. Oke, El memang tau wanita itu agak sulit dengan yang namanya makan. Makan kacang takut jerawatan, makanan berlemak takut berat badan naik, terus mereka juga selalu melakukan diet yang kadang membuat geleng-geleng."Maaa!"Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara detakan jam, sama sekali tak menunjukan ada orang di sana."Woy!"El terperanjak, merasakan sebuah tepukan disertai teriakan di belakang gendang telinganya. Saat menoleh, seorang cewek berambut pendek dengan topi hitam di kepalanya, sedang menyengir."Bang, muncul dari mana lo?" El sempat menunduk mencari lobang jikalau Mona baru saja muncul dari sana, pasalnya tadi sam
Ralika sekarang memakai baju putih longgar yang membuatnya nampak gagah, sabuk hitam terlingkar di pinggangnya. Rambut panjangnya di ikat seperti biasa, berdiri di depan bersama seorang pria berumur dua puluh tahunan."Ralika, kamu tunjukan pada mereka jurus yang kemarin," ucap lelaki ituRalika mengangguk, lalu menatap barisan. Ya, untuk ukuran pemula mereka lumayan siap, apalagi yang mengikuti pelatihan ini mayoritas adalah laki-laki, tak banyak perempuan yang mau ikut untuk sekedar panas-panasan dengan latihan berat, tapi walaupun sedikit semangat mereka masih terlihat."Kalian liat gerakan saya!"Ralika mulai memperagakan gerakannya dengan lihai, pandangannya fokus membuat tertegun semuanya. Cewek itu nampak memukau dengan gerakan tegas lagi hebat. Tak heran, kemampuan Ralika dalam karate memang tak bisa diragukan lagi.Apalagi sekarang El yang sedang menatap cewek itu di seberang lapangan sambil tersenyum kecil. Untungnya jadwal latihan anak karate dan basket sama, jadinya niat
Seolah tersadar kalau sejak tadi matanya tak lepas dengan sosok cowok itu, Ralika segera melangkah keluar."Rara!" teriak El langsung turun begitu saja. Tepat saat ia turun dari panggung sempat El berpapasan dengan Alex. Cowok itu mengangkat tangannya, lalu menepuk punggung El seperti sebelumnya. "Good luck!""Rara!" panggilnya sekali lagi."Stop!" El mencoba mengatur napasnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mata tajam Ralika seperti sudah tak ada lagi, lenyap tanpa jejak."Gue butuh jawaban," ucap El mantap."Minggir, saya harus ke atap sekolah!"El menggeleng. "Gue tadi udah susah-susah, Ra, buat nyanyi, ada yang fals apa? Sampe lo nggak mau bilang ya atau mau?"Ralika melipat tangannya. Seperti anak kecil yang meminta permen, Ralika lebih menganggap El seperti itu saat cowok itu tetap keukeh menghadang jalannya. Ralika mengangkat satu tangannya, menurunkan salah satu tangan El yang terbentang."Apa kamu benar-benar serius?" El mengangguk menyakinkan. "Iya."Ralik
"Lea mau sampai kapan kamu menata rambut seperti itu?"Ralika sejak tadi menatap jamnya. Ia telah membuang waktu cukup banyak untuk sekedar menunggu Lea yang sejak tadi menata rambut."Ya ampun Ika, lo tau nggak, jadwal kalian kumpul semua itu jam 7."Lea berbalik, saat dirasa rambutnya sudah tertata. "Ka, lo pakai ini doang?"Ralika melipat tangannya lalu menunduk. Tidak ada yang salah dengan dirinya, semuanya lengkap. Buku kecil dan pena untuk mencatat kekurangan acara juga sudah disiapkan. Bajun berwarna hitam, serta jelana jins senada. Ini biasa 'kan?"Setidaknya lo dandan dikit lah Ika."Lea menarik Ralika agar duduk. "Lea kita tidak punya waktu, terlebih lagi saya ini adalah panitia bukan yang akan tampil."Lea malah sibuk mengecek tasnya, mengeluarkan benda warna-warna yang Ralika saja tidak tau apa namanya."Sekarang kita pergi, panitia sudah menunggu."Baru berdiri dua detik Ralika kembali dipaksa duduk oleh Lea. Mungkin Lea orang pertama yang membuat Ralika hanya bisa diam s
Drrt... Drttt...El melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar. Sebenarnya benda itu berungkali berkedip, tapi ia biarkan saja, karena biasanya jam segini yang akan masuk pesan tidak penting. Pesan tidak penting dari nomor tak dikenal, hal itu juga karena Ilham dan Afdi yang memberikan nomornya begitu saja pada semua cewek asal mereka bayar. Teman macam apa itu!"Hallo!"Karena sejak tadi benda itu terus menganggunya. El mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo-hallo lo, lama amat sih ngangkat telfon gue!""Lah!" El menjauhkan ponselnya itu lalu menatapnya beberapa detik. Bang Mona."Lo Bang, ah kenapa nggak bilang!" El berdiri dari tempat tidurnya lalu berdiri dengan wajah berseri. "Lo kenapa nggak ada kabar sih setelah balik, padahal gue mau kasih tau sesuatu. Lo tau nggak kalau-""Eh-eh bentar, gue telfon lo cuman mau titip pesen sama bokap, transfer duit bulanan!""Hah? Lo 'kan bisa telfon Om, kenapa jadi gue?""Hp Papa sama Mama mati, terus Tante Nala kayaknya lag
Lega, rasanya beban yang selama ini hinggap di hati Ralika telah hilang bersamaan dengan perginya sang Papa. Sekali lagi, sebelum berbalik, Ralika sempat menatap gundukan tempat Hendra beristirahat yang tepat di samping makam Kayla selama beberapa detik. Kenangan biarlah menjadi kenangan, meskipun memang berlangsung pahit, tapi semuanya sudah terjadi. Sebuah pelajaran datang saat seseorang mengalami kesulitan di masa lalunya.Kayla, Ralika bisa merasakan kalau adiknya itu akan bahagia di sana."Semangat, okey."Ralika menyentuh tangan Lea yang tersampir di pundaknya lalu mengangguk. Di sana hanya tersisatiga orang sedangkan yang lainnya sudah pulang duluan, kepala sekolah dan guru-guru pun tadi juga datang untuk mengungkapkan bela sungkawa. Nilam juga harus banyak istirahat, karena kondisinya yang kembali drop karena banyak pikiran."Kamu sebaiknya pulang duluan.""Nggak ah, gue mau nemenin lo.""Seragam kamu masih belum diganti, tas kamu juga, itu melanggar aturan sekolah, seharusn
Ika .... " Ralika mengalihkan pandang. Berusaha mengendalikan hatinya, suara lirih Nilam seolah menuntunnya mendekati pria itu."Ma ... afin ... Papa."Ralika masih tak merespon perkataan Hendra yang bersusah payah mengatakan kalimat itu. Salivanya tertegun beberapa kali, ada perasaan tak sanggup saat menatap kembali pria itu, kilasan tentang kekejamannya sangat terekam jelas. Tapi ini untuk pertama kalinya, Hendra terlihat tak berdaya. Begitu lemah.Ralika sudah mengatakan orang baik akan dianggap yang paling lemah. Dan hari ini dia membuktikannya, mamanya kini sedang menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh harap. Memaafkan? Itu hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menutup sebagian hatinya!"Ka, mama mohon."Desakan lirih itu membuat Ralika tak sadar telah menatap Hendra. Matanya terpejam sesaat setelah melihat pria itu, apakah ia kini bermimpi? Sudah jelas Ralika melihat cairan bening dari ujung mata pria itu. Tangan kiri Hendra terangkat dengan sisa-s
Untuk acara HUT kali ini, semua panitia sudah dibagi dari berbagai macam lomba. Seperti rencana awal, SMA Dharma mengadakan banyak lomba yang diikuti dari berbagai sekolah. Dharma murni sebagai tuan rumah dan tak terlibat dalam lomba apapun. Hingga sekarang terhitung 2 hari setelah hari pembukaan. Yang sudah bertanding adalah dari club olahraga, yaitu Futsal dan Volly. Dan hasil penyerehan hadiah bagi yang menang akan dilaksanakan, siangnya, tepat tanggal 31 Desember. "Ka, lo bisa ngira nggak antara SMA Raya sama SMA Wijaya yang mana menang?" ucap Lea sambil menatap ke depan.Ralika diam. Kini pandangannya menyapu satu persatu pemain yang berusaha mencetak poin. Sambil memakai kalung panitia dengan name tag namanya, Ralika kini turut menjadi panitia. Di sebrang ada Alex yang menggunakan baju kaos biru berlengan pendek dengan kalung panitia yang sama dengannya."Ka, jawab!" desak Lea.Terdengar hembusan napas pelan dari hidung Ralika. Padahal dari tadi ia sudah mengatakan agar cewek i
"Ika, ya ampun, gue nggak nyangka banget Pak Bima ngumumin lo nggak salah hari ini, ah kenapa kepala gue harus pusing sih, gue pengen banget deh ngeliat mukanya Neta, pasti dia kesel banget tuh."Lea mencerocos tak jelas saat Ralika masuk, sudahlah tak masalah kalau hanya dibalas diam Ralika. Hari ini, hari bahagianya, wajah-wajah yang pernah menghujat Ralika rasanya sudah terhantam oleh kebenaran yang ada. Sayang sekali momen itu harus terlwat saat dirinya di UKS.Ralika duduk di kursinya. Meski secara tak langsung, ia bisa melihat kumpulan murid di sebelah kanan dari ujung matanya. Ralika juga sebenarnya tau kalau mereka tampak bingung ingin mendekat sambil mendorong satu sama lain. Jika kata orang siapapun tak akan luput dari pengawasannya selama berada di SMA Dharma, jawabannya benar. Ralika tau kalau merekalah yang mencoret mejanya dengan berbagai kata kasar selama ini secara diam-diam.Ralika berdiri lalu mendekati mereka. Pandangannya datar. Melihat Ralika yang mendekat, mereka
Ralika memandang lurus-lurus, tepat menatap manik mata El yang menunggu ucapan keluar dari mulutnya. Perlahan matanya turun ke tangan El yang tengah menggenggam lengannya. Dengan sekali hentak cekalan itu terlepas."Saya masih ada urusan."El tak beranjak. "Tapi lo belum jawab pertanyaan gue!"Ralika berhenti. Mengepalkan kedua tangannya, lalu berbalik. "Lebih baik kamu sembuhin dulu luka kamu, baru bisa ngomong."El dibuat terdiam. Otaknya berpikir keras, biasanya Ralika akan dengan tegas menjawab sesuatu yang ditanyakan padanya. Tapi tampaknya cewek itu tak ada sedikit pun menerima atau menolak. Senyum miring El terukir, tepat saat Ralika berbelok."Gue masih punya kesempatan."El meloncat kecil, lalu berbalik. Tepat saat itu pula Alex berada di depannya, dengan kedua mata sulit diartikan."Ngapain lo ke sini? Nguping gue sama Rara ya?" ucapnya sinis. Tapi kemudian El mengelus dagunya, mendekati Alex."Lo denger 'kan tadi gue bilang apa?""Gue denger."El tersenyum puas. Ia kemudian
"Nayla." Ralika baru saja yang pulang dari sekolah. Tujuannya ingin langsung masuk ke kamar dan mempersiapkan diri untuk latihan karate sore ini, tapi perhatiannya langsung tertarik pada Nayla yang tengah duduk di lantai sambil memainkan bonekanya."Bi Leli ke mana?" Pandangan Ralika mengedar, mencari keberadaan wanita itu.Sedikit ragu untuk mendekat, cewek itu menatapi Nayla selama beberapa saat sebelum akhirnya mendekat lalu berjongkok. Balita itu spontan menatapnya lalu tersenyum sambil menampilkan 2 buah gigi yang tumbuh di bagian bawah."Kakak."Ralika terdiam, padahal tak ada yang dirinya lakukan tapi balita itu malah tertawa dan kakak? Hatinya berdesir mendengarnya."Lo tau senyum itu ibadah, dengan senyum berarti bahagia,"Otaknya memutar kembali perkataan cowok itu, hingga tanpa sadar tangan kanannya terulur mengelus pipi gembul Nayla yang masih menampakkan senyum. Setelahnya Ralika menarik Nayla dalam dekapan. Matanya terpejam, merasa baru kali ini dia merasa begitu dekat d