Ralika mengelus kepala wanita yang terbaring lemah di hadapannya kini. Matanya tertutup dengan beberapa alat medis tertempel memenuhi tubuh. Suara alat deteksi jantung terdengar mengalun normal mengikuti irama jantungnya. Hal itu menandakan masih ada kehidupan di balik wajah pucat itu.
Ralika bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu, ia sempat berbalik sebentar sebelum akhirnya keluar dengan wajah tertunduk.Untuk beberapa jam yang lalu Ralika sempat khawatir saat Niken ke sekolahnya dan mengatakan 'rumah sakit' Seperti ada dentuman keras yang menyerang dada, pikiran buruk tak bisa dibendung akan kemungkinan yang terjadi.Ruang tempat Nilam--mamanya-- dirawat saat itu sedang tertutup karena dokter sedang menanganinya. Lutut Ralika melemas untuk beberapa saat, yang hanya bisa dilakukannya hanya berdo'a dalam hati.Setelah beberapa menit, pintu ruangan terbuka, dokter dan beberapa suster keluar. Buru-buru Niken mencecar sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Dokter itu terdiam sesaat, sampai akhirnya ia mengatakan kondisi Nilam sudah stabil."Ika."Ralika menutup pintu ruangan. "Maaf Tante nggak bisa lama, hari ini Tante harus ke luar kota.""Nggak papa kok, Tante. Ika bisa jaga mama."Niken menepuk pundak Ralika sebentar, lalu segera berjalan pergi.Ralika mengusap wajahnya, kasar lalu menghembuaskan napas lega. Ia tak bisa membayangkan kalau terjadi apa-apa pada sang mama.Hanya mamanya alasan Ralika masih bertahan di dunia ini. Hanya karena adanya wanita itu, Ralika bisa memasang pertahanan kokoh di tengah-tengah semua orang yang membencinya.Kalau saja bukan karena perkataan Nilam waktu itu mungkin dirinya akan hancur saat ini."Ika harus janji sama Mama. Ika anak kuat, mau apapun yang terjadi Ika harus tetap jadi cewek tangguh."Ralika terduduk di kursi tunggu, menarik napas dalam kemudian menghembuskan secara perlahan. Tangannya merogoh saku rok yang sedari terasa beberapa kali bergetar. Ternyata ada notifikasi chat dari seseorang.Allea Kirana PLo di mana?Allea Kirana PAda masalah apa sampe tante lo jemput ke sekolah?Allea Kirana PHello, Ika.Allea Kirana PRalika Caitlin Andara.Ralika hanya membaca pesan itu tanpa ada kemauan membalas. Seniat itukah Lea ingin menjadi temannya?Ia menatap kembali pesan itu cukup lama, sampai akhirnya tanpa sadar mengetik sesuatu.Ralika C.ANggak ada apa-apa.☁☁☁Sejak tadi El celingak-celinguk mengintip kelas XI IPA 3 di balik ruang olahraga yang hanya berkelang 2 kelas dari kelas itu. Ia sedang menanti seseorang keluar, tapi nampaknya orang yang ditunggu belum muncul juga. Pada dasarnya El memang bukan cowok sabaran, segera setelah beberapa detik ia segera mendekat, berdiri di depan pintu kelas masih dengan mata yang mencari.Beberapa anak yang masih duduk di kelas memandang El heran. Begitupun dengan Lea yang sedang duduk di barisan tengah, cewek itu nampak mengerenyit apalagi tampang El yang terlihat seperti orang bodoh.Lea berjalan menuju pintu. "Ngapain lo ke sini?""Mau nyariin Rara," ucapnya dengan mata menyusuri kelas.Lea kembali mengerenyit. "Di sini nggak ada yang namanya Rara, lagian lo kemaren bilang mau jadi calon pacarnya Ika, kok sekarang nyariin cewek lain. Wah 'kan bener dugaan gue, lo playboy!"El menghembuskan napas kasar, dituduh lagi 'kan?"Aelah lo, Rara itu panggilan khusus gue buat Ralika. Gitu aja nggak tau," sungutnya, "Sekarang jawab pertanyaan gue Rara di mana?"Lea memutar matanya sambil berkacak pinggang. "Apa untungnya gue ngasih tau ke lo?"El tersenyum aneh membuat perasaan tak enak timbul dibenak Lea. "Oo jadi lo nggak mau ngasih tau. Okey gue bakal bilang kalau kemarin lo diam-diam .... " El mendekatkan wajahnya beberapa senti, "ngirim surat misterius ke meja ... Geri," bisik El diakhir kalimat.Lea membulatkan matanya. Geri, cowok yang disukainya sejak lama, tapi, jujur dirinya tak berani berterus terang. Alhasil setiap seminggu sekali, Lea selalu mengirimkan surat tanpa nama ke laci meja cowok itu pagi-pagi sekali."I ... iya gue bakal ngasih tau. Ika tadi di panggil ke ruang OSIS, kayaknya ada urusan sama Alex.""Alex? Tuh cowok nyolong start gue," gumamnya.El berbalik ingin pergi. Namun, satu detik kemudian ia teringat akan sesuatu, El mundur beberapa langkah."Ngapain masih di sini?""Satu lagi ... kasih gue nomor w******p-nya Rara."☁☁☁Ralika menatap proposal dengan bagian luar berwarna hijau yang di sodorkan Alex beberapa saat yang lalu. Ia mengamati tiap baris kalimat secara detail, berusaha meneliti apa masih ada yang terlewatkan atau ditambahkan."Gimana, udah lo baca?" tanya Alex.Ralika menengadahkan pandangannya, menatap Alex yang menunggu reaksinya. "Di sini memang sudah ada konsep yang bisa dikatakan sesuai rencana, semuanya juga udah tertata. Apa ini udah disodorin ke kepsek?"Oh kalau proposal ini emang belum gue serahin. Gue minta pendapat lo dulu, tapi untuk gambarannya Pak Bima juga udah tau."Ralika melihat Alex sekilas lalu kembali lagi pada benda yang ada di tangannya."Ada yang bilang nggak, kalau cowok sama cewek berduaan. Yang ketiganya itu setan."Ralika dan Alex refleks menoleh mendapati El sedang berdiri di ambang pintu dengan wajah santai. Cowok itu berjalan mendekat."Ini ruang OSIS lo nggak bisa masuk seenak jidat. Kami lagi diskusi," ucap Alex dingin."Emang diskusi harus berduaan, ya? Baru tau gue, kalau gitu kapan-kapan gue mau deh ngajak temen cewek gue berduaan kayak lo bedua, dengan nyeret 'diskusi' sebagai alasan."Alex mengerenyit. Cowok itu tersenyum padanya saat ini, tapi, entah hanya perasaannya saja, pandangan El seolah menyulut permusuhan."Bentar-bentar, lo ke sini mau ngajak gue ribut atau gimana? Kalau kemarin lo ngerasa hebat karna gue tawarin ikut basket. Sebaiknya jangan terlalu bangga diri," balas Alex sedikit sengit.Senyum El masih tetap sama, cowok itu mengangkat tangan kanannya menepuk beberapa kali bahu Alex."Tenang gue nggak ngerasa hebat kok, justru gue ngerasa di sini, lo yang hebat."Ralika melihat interaksi keduanya mulai terasa berbeda, ia tak mau membuang waktu hanya dengan pembicaraan tak penting."Apa maksud kamu ke sini?" Ralika angkat bicara.El mengalihkan pandangannya. "Nggak kok, cuman lewat. Eh nggak taunya, ada yang lagi berduaan."Ralika mulai jengah. "Kami sedang ada urusan OSIS di sini. Seharusnya kamu tau itu, dan soal perkataan kamu tadi kalau cewek dan cowok ada disatu ruangan maka yang ketiganya setan. Berarti kamu sedang menyebut diri sendiri."Alex menunduk, menahan tawa yang hampir saja keluar dari mulutnya. Semua orang tau akan sikap datar dan dingin Ralika, cewek itu paling anti kalau harus mengeluarkan suara, apalagi masalah sepele. Tapi kalau suaranya sudah keluar, kata-katanya pasti akan menyakitkan."Nggak papa dikatain setan, yang penting hati gue bidadari." El menaik-turunkan alis.Ralika mendengus mendengar jawaban tak terduga cowok itu. "Alex untuk urusan ini kita bicarakan nanti."Ralika berjalan pergi. Percuma ia di sini, yang ada El akan terus mengganggunya. "Eh Ra, lo mau ke mana?"El setengah berlari menuju pintu, tapi ia kembali memutar tubuhnya teringat akan sesuatu. Alex masih berdiri di sana."Oh ya, gue mau ngasih tau kalau tawaran lo soal basket ... gue terima."Seusai berkata seperti itu El menghilang dari pintu itu meninggalkan Alex yang masih melongo melihat tingkah El yang bisa dikatakan ajaib.Ralika melangkah cepat menuju ke arah belakang kelas."Eh Ra, lo mau ke mana, sih? Kok ke belakang, mau mojok sama gue, ya? Oke ayo!"Ralika berhenti seketika langsung menatap El dengan sorot mata permusuhan. El sedikit berjalan ke depan dan langsung berhenti, ia menoleh ke samping. Sama sekali tidak terusik dengan delikan Ralika.Sejenak Ralika terdiam. Cewek itu melirik El sekilas, kemudian kembali berjalan. Sungguh cowok itu benar-benar mengangunya, dia bahkan tak terpengaruh dengan kalimat pedas yang ia lontarkan."Ra, ngapain sih, kita ke sini? Jangan-jangan beneran mau mojok! Ya ampun, gue nggak serius kok, gue nggak mau digerebek terus dinikahin, masih pengen sekolah guenya."Benar-benar sulit mengontrol mulut cowok di hadapannya ini. "Sebaiknya kamu diam atau lebih baik pergi dari sini kalau kerjaan kamu hanya mengoceh saja!"El langsung diam daripada Ralika kembali marah karenanya. Cowok itu mengikuti Ralika ke arah sudut tembok, sedikit melewati lorong yang tidak terlalu lebar."Cepat keburu ada guru sama kak Ika."Samar-samar El dapat mendengar suara seseorang dari ujung lorong. Nampak terlihat tiga orang cowok berusaha memanjat tembok. Yang satu naik ke atas punggung temannya dengan kedua tangan berusaha menggapai atas tembok. Sedangkan yang satu lagi sedikit berjinjit menatap ke arah berlawanan, seperti mengawasi."Cepatan naiknya! Pegel nih punggung gue.""Sabar nyet, susah naiknya."Ralika lebih dulu mendekat, El yang terlihat bingung menyusul tepat satu langkah di belakang cewek itu. Sepertinya tiga orang itu belum menyadari kehadiran mereka.Ralika melipat tangan di depan dadanya lengkap dengan pena yang selalu sedia di tangan kanannya."Ehm ... kalian lagi ngapain?"Dua diantaranya menoleh perlahan, tepat seperti kepergok mecuri. Yang awalnya berusaha naik tembok langsung bungkam, sedangkan temannya yang di bawah meneguk saliva susah payah. Ralika masih setia melihat mereka dengan tatapan santai."Udah bel ..." ucapan cowok---mengawasi ke arah depan tadi langsung terhenti, "eh, kak Ika."Ralika masih menatap mereka. Pandangannya yang datar justru membuat Ralika itu lebih menakutkan. Satu tangannya merogoh saku rok abu-abunya, mengeluarkan sebuah buku kecil---catatan hukuman.El melirik Ralika dari ujung matanya selama beberapa detik, kemudian beralih ketiga cowok yang kini sedang menunduk. Dapat dilihat dari badge namanya, ketiganya berasal dari kelas 10."Nama?""Ti ...Tio kak.""Semuanya!" ujar Ralika dingin."Ti ... Tio, Fiko, sama Aldi."Ralika kembali menunduk menulis semua nama yang di sebutkan tadi di buku catatan."Kelas?""Kita semua kelas 10 IPS 2."El melirik buku kecil itu sedikit. Ia sempat terkejut selama beberapa detik, yang benar saja semuanya ditulis secara rinci dan rapi di sana. Bahkan, disertai tanggal, hari, serta kesalahan yang diperbuat."Kalian tau kesalahan apa yang kalian diperbuat? Baru kelas 1 saja sudah berani bolos. Seharusnya kalian menjaga nama baik SMA Dharma, bukan sebaliknya!"El sedikit meringis sambil menatap kasihan ketiga cowok itu. Walau mereka semua adalah laki-laki yang bisa dikatakan kekuatannya melebihi perempuan, mereka sama sekali tak berani berkutik.Apa tidak ada yang berani melawan kata-kata Ralika yang notabene-nya adalah seorang cewek? Oh iya lupa Ralika bukan cewek biasa.Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta. Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngur
Ralika baru saja meletakan kunci motornya di atas nakas, kakinya segera melangkah menuju kamar karena suara tangisan yang sejak tadi terdengar di gendang telinganya. Ralika berhenti disebuah kamar, membuka pintunya sedikit kemudian, menatap siapa yang ada di sana. Niken seperti sangat kesusahan menenangkan balita berumur dua setengah tahun itu, walaupun dirinya berusaha sabar agar balita itu tidak menangis lagi, tapi malah tangisan itu semakin kencang.Ralika membuka pintu itu sepenuhnya, sehingga terdengar bunyi decitan, saat itulah Niken menoleh, lalu tersenyum. Ralika mendekat, langsung mengambil alih sang adik yang ada dalam dekapan tantenya itu."Sini Tante biar Ika aja yang Gendong Nayla."Sesaat setelah mendekap sang adik, tak ada lagi suara tangisan, malah sekarang Nayla nampak menatap Ralika dengan mata bulatnya."Memang cuma kamu yang bisa tenang dia kalau lagi gelisah." Niken sedikit menyentuh pipi Nayla.Ralika sadar akan hal itu. Ia memang jarang sekali mempunyai waktu u
"Ra, makasih udah temenin gue beli perlengkapan prakarya."Ralika mengangguk kecil sambil membuka sealt belt, tangannya beralih ingin membuka pintu mobil sebelum El menghentikannya."Ra," panggil cowok itu."Hati-hati ya." Ralika mengangkat sebelah alis. "Takutnya nanti lo jatuh,"Ralika menghela napas, ia kira apa? Ternyata cuman itu. Setelah keluar dari mobil, El menunggu beberapa detik lalu kembali membuka suara. "Jatuh cinta," sambungnya.Setelah berkata seperti itu---sama seperti tadi. Cowok itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, tak menghiraukan tatapan Ralika yang menajam. Sungguh El itu sangat aneh dan ajaib, heran sendiri melihat cowok itu masih sempat menggodanya.Dasar!"Ika."Ralika menoleh ke belakang. Niken berjalan mendekat ke arahnya dengan raut yang kurang mengenakan, wajah khawatir serta ragu tercetak jelas, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi lidah terasa keluh."Ada masalah apa, Tante? Kok tadi nyuruh Ika cepet pulang?" Ralika langsung menanyakan hal yan
El dengan santainya memasuki area rumah sambil bersiul, jarinya memilin kunci motor sambil melirik ke kanan ke kiri. Kondisi rumahnya sangat sepi, seperti tidak ada penghuninya.Cowok itu sedikit heran apalagi ada begitu banyak kulit kacang yang berserakan di lantai, dan ya setau El mamanya itu sangat menghindari makanan itu dengan alasan nanti jerawatan. Oke, El memang tau wanita itu agak sulit dengan yang namanya makan. Makan kacang takut jerawatan, makanan berlemak takut berat badan naik, terus mereka juga selalu melakukan diet yang kadang membuat geleng-geleng."Maaa!"Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara detakan jam, sama sekali tak menunjukan ada orang di sana."Woy!"El terperanjak, merasakan sebuah tepukan disertai teriakan di belakang gendang telinganya. Saat menoleh, seorang cewek berambut pendek dengan topi hitam di kepalanya, sedang menyengir."Bang, muncul dari mana lo?" El sempat menunduk mencari lobang jikalau Mona baru saja muncul dari sana, pasalnya tadi sam
Ralika sekarang memakai baju putih longgar yang membuatnya nampak gagah, sabuk hitam terlingkar di pinggangnya. Rambut panjangnya di ikat seperti biasa, berdiri di depan bersama seorang pria berumur dua puluh tahunan."Ralika, kamu tunjukan pada mereka jurus yang kemarin," ucap lelaki ituRalika mengangguk, lalu menatap barisan. Ya, untuk ukuran pemula mereka lumayan siap, apalagi yang mengikuti pelatihan ini mayoritas adalah laki-laki, tak banyak perempuan yang mau ikut untuk sekedar panas-panasan dengan latihan berat, tapi walaupun sedikit semangat mereka masih terlihat."Kalian liat gerakan saya!"Ralika mulai memperagakan gerakannya dengan lihai, pandangannya fokus membuat tertegun semuanya. Cewek itu nampak memukau dengan gerakan tegas lagi hebat. Tak heran, kemampuan Ralika dalam karate memang tak bisa diragukan lagi.Apalagi sekarang El yang sedang menatap cewek itu di seberang lapangan sambil tersenyum kecil. Untungnya jadwal latihan anak karate dan basket sama, jadinya niat
"Eh, nanti kalau lo kenapa-kenapa di jalan, gimana?"Ralika langsung menepis kasar tangan El, yang seenaknya saja menempel di pergelangan tangannya. Ini antara modus dan khawatir, sama sajalah, tak ada bedanya untuk ukuran cowok seperti El. Seharusnya El tau, apa risikonya kalau berani macam-macam dengan Ralika."Sakit banget," gumam El sambil mengelus tangannya."Apa kamu nganggep saya lemah? Saya bisa jaga diri, kalau perlu tulang kamu bisa saya patahkan sekarang juga!" El mundur beberapa langkah, antara takut bercampur ngeri."Jangan dong 'kan nggak enak orang ganteng patah tulang." Untuk kesekian kalinya Ralika menghela napasnya, jengah. Sulit berbicara dengan orang seperti ini. "Eh-eh tunggu dulu!"Ralika berhenti, untuk apa lagi, benar-benar membuang waktunya. "Ada apalagi?""Hati-hati ya." El tersenyum sambil melambaikan tangan.Ia langsung berbalik, tak mau berlama lagi di sana. Seharusnya tadi ia tak menerima begitu saja tawaran cowok itu, sekarang efeknya bukan hanya sebatas
"Ya ampun! Kenapa, sih, nih idung pake mampet!"Sudah setumpuk tisu sudah menggunung di hadapan El saat ini. Bahkan, belum cukup sama sekali meredakan hidungnya yang terasa mengganjal untuk bernapas. Karena hal inilah, ia tak harus izin beberapa hari. Ya, kalau ini semacam liburan, El akan menerimanya dengan senang hati. Tapi ini, huuuuh...Seseorang datang sambil memilin-milin kunci motor, terdengar suara siulan dari bibir pink itu. Mata cewek itu menatap sekilas El, lalu segera menghampiri cowok itu dari belakang. "Ceilah, hidung lo tambah lama kayak badut."El mendengus. "Senang lo, Bang, gue sakit bukannya di do'a-in cepet sembuh, malah ngeledek!" "Iya deh, gue do'a-in ... doa'in biar cepet mati." Kembali tawa Mona terdengar, hal itu kembali membuat El ingin segera menenggelamkan kakaknya itu sekarang juga. Padahal, kemarin ia begitu semangat Ralika mau satu mobil dengannya, walaupun sebentar.Mungkin benar kata orang-orang. Anak yang suka mendahulukan kepentingan sendiri dari p
Masih dalam posisi terdiam, Ralika sama sekali tak berkutik ketika ia dibopong keluar oleh Niken.Terlihat murid-murid yang sejak tadi bergerombol di depan ruangan perlahan membubarkan diri saat melihatnya, mereka kembali seperti biasa, seolah tak melihat apa-apa."Terima kasih Pak Bima, nanti saya akan berbicara dengan Ika soal masalah ini."Setelah berjabat tangan dan mengucapkan permisi. Niken dan Ralika langsung menuju area parkiran, demi kenyamanan satu sama lain, Bima memang menyuruh Ralika untuk pulang lebih cepat. Lagian juga ini bukan masalah sepele, ini menyangkut reputasi sekolah, apalagi yang berurusan merupakan salah satu murid terpenting.Ralika sama terdiamnya, meskipun mereka telah meninggalkan kawasan sekolah beberapa menit lalu, cewek itu sama sekali tak menunjukan tanda-tanda ingin bicara, seperti membela diri. Niken pun sama, ia juga tak bicara apa-apa, terlebih dia sangat tau sifat Ralika, keponakannya itu tak akan berbuat sembarangan dalam berbuat. Ralika akan me
Seolah tersadar kalau sejak tadi matanya tak lepas dengan sosok cowok itu, Ralika segera melangkah keluar."Rara!" teriak El langsung turun begitu saja. Tepat saat ia turun dari panggung sempat El berpapasan dengan Alex. Cowok itu mengangkat tangannya, lalu menepuk punggung El seperti sebelumnya. "Good luck!""Rara!" panggilnya sekali lagi."Stop!" El mencoba mengatur napasnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mata tajam Ralika seperti sudah tak ada lagi, lenyap tanpa jejak."Gue butuh jawaban," ucap El mantap."Minggir, saya harus ke atap sekolah!"El menggeleng. "Gue tadi udah susah-susah, Ra, buat nyanyi, ada yang fals apa? Sampe lo nggak mau bilang ya atau mau?"Ralika melipat tangannya. Seperti anak kecil yang meminta permen, Ralika lebih menganggap El seperti itu saat cowok itu tetap keukeh menghadang jalannya. Ralika mengangkat satu tangannya, menurunkan salah satu tangan El yang terbentang."Apa kamu benar-benar serius?" El mengangguk menyakinkan. "Iya."Ralik
"Lea mau sampai kapan kamu menata rambut seperti itu?"Ralika sejak tadi menatap jamnya. Ia telah membuang waktu cukup banyak untuk sekedar menunggu Lea yang sejak tadi menata rambut."Ya ampun Ika, lo tau nggak, jadwal kalian kumpul semua itu jam 7."Lea berbalik, saat dirasa rambutnya sudah tertata. "Ka, lo pakai ini doang?"Ralika melipat tangannya lalu menunduk. Tidak ada yang salah dengan dirinya, semuanya lengkap. Buku kecil dan pena untuk mencatat kekurangan acara juga sudah disiapkan. Bajun berwarna hitam, serta jelana jins senada. Ini biasa 'kan?"Setidaknya lo dandan dikit lah Ika."Lea menarik Ralika agar duduk. "Lea kita tidak punya waktu, terlebih lagi saya ini adalah panitia bukan yang akan tampil."Lea malah sibuk mengecek tasnya, mengeluarkan benda warna-warna yang Ralika saja tidak tau apa namanya."Sekarang kita pergi, panitia sudah menunggu."Baru berdiri dua detik Ralika kembali dipaksa duduk oleh Lea. Mungkin Lea orang pertama yang membuat Ralika hanya bisa diam s
Drrt... Drttt...El melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar. Sebenarnya benda itu berungkali berkedip, tapi ia biarkan saja, karena biasanya jam segini yang akan masuk pesan tidak penting. Pesan tidak penting dari nomor tak dikenal, hal itu juga karena Ilham dan Afdi yang memberikan nomornya begitu saja pada semua cewek asal mereka bayar. Teman macam apa itu!"Hallo!"Karena sejak tadi benda itu terus menganggunya. El mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo-hallo lo, lama amat sih ngangkat telfon gue!""Lah!" El menjauhkan ponselnya itu lalu menatapnya beberapa detik. Bang Mona."Lo Bang, ah kenapa nggak bilang!" El berdiri dari tempat tidurnya lalu berdiri dengan wajah berseri. "Lo kenapa nggak ada kabar sih setelah balik, padahal gue mau kasih tau sesuatu. Lo tau nggak kalau-""Eh-eh bentar, gue telfon lo cuman mau titip pesen sama bokap, transfer duit bulanan!""Hah? Lo 'kan bisa telfon Om, kenapa jadi gue?""Hp Papa sama Mama mati, terus Tante Nala kayaknya lag
Lega, rasanya beban yang selama ini hinggap di hati Ralika telah hilang bersamaan dengan perginya sang Papa. Sekali lagi, sebelum berbalik, Ralika sempat menatap gundukan tempat Hendra beristirahat yang tepat di samping makam Kayla selama beberapa detik. Kenangan biarlah menjadi kenangan, meskipun memang berlangsung pahit, tapi semuanya sudah terjadi. Sebuah pelajaran datang saat seseorang mengalami kesulitan di masa lalunya.Kayla, Ralika bisa merasakan kalau adiknya itu akan bahagia di sana."Semangat, okey."Ralika menyentuh tangan Lea yang tersampir di pundaknya lalu mengangguk. Di sana hanya tersisatiga orang sedangkan yang lainnya sudah pulang duluan, kepala sekolah dan guru-guru pun tadi juga datang untuk mengungkapkan bela sungkawa. Nilam juga harus banyak istirahat, karena kondisinya yang kembali drop karena banyak pikiran."Kamu sebaiknya pulang duluan.""Nggak ah, gue mau nemenin lo.""Seragam kamu masih belum diganti, tas kamu juga, itu melanggar aturan sekolah, seharusn
Ika .... " Ralika mengalihkan pandang. Berusaha mengendalikan hatinya, suara lirih Nilam seolah menuntunnya mendekati pria itu."Ma ... afin ... Papa."Ralika masih tak merespon perkataan Hendra yang bersusah payah mengatakan kalimat itu. Salivanya tertegun beberapa kali, ada perasaan tak sanggup saat menatap kembali pria itu, kilasan tentang kekejamannya sangat terekam jelas. Tapi ini untuk pertama kalinya, Hendra terlihat tak berdaya. Begitu lemah.Ralika sudah mengatakan orang baik akan dianggap yang paling lemah. Dan hari ini dia membuktikannya, mamanya kini sedang menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh harap. Memaafkan? Itu hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menutup sebagian hatinya!"Ka, mama mohon."Desakan lirih itu membuat Ralika tak sadar telah menatap Hendra. Matanya terpejam sesaat setelah melihat pria itu, apakah ia kini bermimpi? Sudah jelas Ralika melihat cairan bening dari ujung mata pria itu. Tangan kiri Hendra terangkat dengan sisa-s
Untuk acara HUT kali ini, semua panitia sudah dibagi dari berbagai macam lomba. Seperti rencana awal, SMA Dharma mengadakan banyak lomba yang diikuti dari berbagai sekolah. Dharma murni sebagai tuan rumah dan tak terlibat dalam lomba apapun. Hingga sekarang terhitung 2 hari setelah hari pembukaan. Yang sudah bertanding adalah dari club olahraga, yaitu Futsal dan Volly. Dan hasil penyerehan hadiah bagi yang menang akan dilaksanakan, siangnya, tepat tanggal 31 Desember. "Ka, lo bisa ngira nggak antara SMA Raya sama SMA Wijaya yang mana menang?" ucap Lea sambil menatap ke depan.Ralika diam. Kini pandangannya menyapu satu persatu pemain yang berusaha mencetak poin. Sambil memakai kalung panitia dengan name tag namanya, Ralika kini turut menjadi panitia. Di sebrang ada Alex yang menggunakan baju kaos biru berlengan pendek dengan kalung panitia yang sama dengannya."Ka, jawab!" desak Lea.Terdengar hembusan napas pelan dari hidung Ralika. Padahal dari tadi ia sudah mengatakan agar cewek i
"Ika, ya ampun, gue nggak nyangka banget Pak Bima ngumumin lo nggak salah hari ini, ah kenapa kepala gue harus pusing sih, gue pengen banget deh ngeliat mukanya Neta, pasti dia kesel banget tuh."Lea mencerocos tak jelas saat Ralika masuk, sudahlah tak masalah kalau hanya dibalas diam Ralika. Hari ini, hari bahagianya, wajah-wajah yang pernah menghujat Ralika rasanya sudah terhantam oleh kebenaran yang ada. Sayang sekali momen itu harus terlwat saat dirinya di UKS.Ralika duduk di kursinya. Meski secara tak langsung, ia bisa melihat kumpulan murid di sebelah kanan dari ujung matanya. Ralika juga sebenarnya tau kalau mereka tampak bingung ingin mendekat sambil mendorong satu sama lain. Jika kata orang siapapun tak akan luput dari pengawasannya selama berada di SMA Dharma, jawabannya benar. Ralika tau kalau merekalah yang mencoret mejanya dengan berbagai kata kasar selama ini secara diam-diam.Ralika berdiri lalu mendekati mereka. Pandangannya datar. Melihat Ralika yang mendekat, mereka
Ralika memandang lurus-lurus, tepat menatap manik mata El yang menunggu ucapan keluar dari mulutnya. Perlahan matanya turun ke tangan El yang tengah menggenggam lengannya. Dengan sekali hentak cekalan itu terlepas."Saya masih ada urusan."El tak beranjak. "Tapi lo belum jawab pertanyaan gue!"Ralika berhenti. Mengepalkan kedua tangannya, lalu berbalik. "Lebih baik kamu sembuhin dulu luka kamu, baru bisa ngomong."El dibuat terdiam. Otaknya berpikir keras, biasanya Ralika akan dengan tegas menjawab sesuatu yang ditanyakan padanya. Tapi tampaknya cewek itu tak ada sedikit pun menerima atau menolak. Senyum miring El terukir, tepat saat Ralika berbelok."Gue masih punya kesempatan."El meloncat kecil, lalu berbalik. Tepat saat itu pula Alex berada di depannya, dengan kedua mata sulit diartikan."Ngapain lo ke sini? Nguping gue sama Rara ya?" ucapnya sinis. Tapi kemudian El mengelus dagunya, mendekati Alex."Lo denger 'kan tadi gue bilang apa?""Gue denger."El tersenyum puas. Ia kemudian
"Nayla." Ralika baru saja yang pulang dari sekolah. Tujuannya ingin langsung masuk ke kamar dan mempersiapkan diri untuk latihan karate sore ini, tapi perhatiannya langsung tertarik pada Nayla yang tengah duduk di lantai sambil memainkan bonekanya."Bi Leli ke mana?" Pandangan Ralika mengedar, mencari keberadaan wanita itu.Sedikit ragu untuk mendekat, cewek itu menatapi Nayla selama beberapa saat sebelum akhirnya mendekat lalu berjongkok. Balita itu spontan menatapnya lalu tersenyum sambil menampilkan 2 buah gigi yang tumbuh di bagian bawah."Kakak."Ralika terdiam, padahal tak ada yang dirinya lakukan tapi balita itu malah tertawa dan kakak? Hatinya berdesir mendengarnya."Lo tau senyum itu ibadah, dengan senyum berarti bahagia,"Otaknya memutar kembali perkataan cowok itu, hingga tanpa sadar tangan kanannya terulur mengelus pipi gembul Nayla yang masih menampakkan senyum. Setelahnya Ralika menarik Nayla dalam dekapan. Matanya terpejam, merasa baru kali ini dia merasa begitu dekat d