El memejamkan matanya menikmati hidup yang kadang menyenangkan. Tidak ada pelajaran matematika yang memenuhi kepalanya, tidak ada ocehan dari guru yang super duper galak seperti Bu Wike.
Free class menurutnya hal yang sangat membahagiakan, rasanya seperti di atas awan. "Gue bosan di kelas mulu."El membuka matanya menoleh ke kanan dimana Afdi sedang menekuk wajahnya. "Mendingan kita ke lapangan basket aja ngeliat pertandingan," ucapnya lagi."Kalau lo mau ke lapangan, ke lapangan aja," Pandangannya berubah memandang Ilham dan Ardan, "lo berdua juga bisa ikut. Gue mau tidur di kelas, lumayan free class capek begadang semalam."Afdi berdecak. "Ya nggak seru kalau lo nggak ikut 'kan jadi nggak lengkap, Emgansi.""Emgansi? Apaan tuh?" bingung Ardan."Empat cogan bergengsi," ujar Afdi menaik turunkan alis.Ardan bergidik melihat tingkah Afdi. "Jijik gue ngeliat lo kayak gitu."El masih menatap ketiga temannya, malas, memindahkan kedua tangannya menjadi bantal. "Kalian kalau mau kelapangan, kelapangan aja. Nggak usah pakai nama apa itu ... terasi?""Emgansi El!" tegur Afdi."Nah itu ... terserah mau namanya apa, buruan sana, gue mau pulesin tidur di sini."El kembali memejamkan matanya. Afdi menganggu saja, padahal ia sedang memimpikan Ralika yang tersenyum manis padanya."Ya kalau lo nggak mau nggak papa biar kita aja." El masih setia memejamkan mata dengan kepala tersandar di kepala kursi, "padahal yang jadi wasitnya Ika."Mendengar nama itu, El seketika membuka matanya. Menatap Afdi yang berwajah pasrah, seperti tak ada harapan. "Serius lo?" tanyanya memastikan."Ya seri-"El langsung beranjak dari duduknya sebelum Afdi melanjutkan kata-katanya. Cowok itu langsung berdiri, berjalan keluar kelas meninggalkan ketiga temannya yang masih melongo melihatnya."Duh tuh anak gilaran cewek aja cepat. Katanya ngantuk!" ujar Ardan sambil menggeleng heran."Ya namanya lagi usaha," balas Ilham.Ketiganya terdiam sejenak. Sesaat kemudian mereka keluar dari kelas menyusul El yang sudah mendahului mereka.Sesampainya di lapangan El mengedarkan pandangan ke sekeliling lapangan yang nampak ramai. Matanya terus mencari keberadaan Ralika.Fokusnya terhenti pada satu titik di mana Ralika sedang berdiri memakai baju kaos berwarna biru dilengkapi celana training hitam, tak lupa di kepala cewek itu terpasang topi dan di lehernya juga terdapat peluit.Tapi, ada hal yang tak disukainya, di sana ada seorang cowok dengan seragam basket yang nampak berbicara dengan Ralika sambil sesekali tersenyum. Walaupun ekspresi Ralika tampak datar, tapi tetap saja ia tak suka melihat itu."El!" El menoleh ke belakang. Afdi, Ardan, dan Ilham mendekat."Ngeliatin apaan? Ika ya?"El menatap lurus, masih dengan pandangan tak suka. "Siapa tuh cowok?" tanya El tanpa menjawab pertanyaan Ilham. Ketiganya mengikuti arah pandang El yang seolah tak bersahabat."Oh itu. Dia namanya Alex, Ketua OSIS kita sekaligus kapten tim basket," jelas Afdi.Iham melirik El yang masih setia pada tatapan datarnya. "Udah nggak usah jealous gitu. Ika 'kan waketos, jadi wajarlah mereka mungkin lagi bicarain soal OSIS. Mendingan kita duduk di sana."El menatap Ardan sekilas kemudian melihat arah mata cowok itu. Mereka berempat berjalan mendekat di bangku penonton yang sudah di padati para siswi. El menghembuskan napasnya pelan, lalu mengangkat sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman. "Misi, bisa geser nggak? Gue sama temen-temen gue mau duduk di sini."Entah terhipnotis atau apa. Beberapa siswi langsung bergeser, senyuman El begitu membuat jantung mereka seakan loncat, kalau masalah seperti ini seorang Dariel memang sangat pandai."Gile, cuman bilang gitu doang langsung nurut," bisik Ilham pada Afdi yang di beri anggukan oleh cowok itu.Ke empat cowok itu duduk di barisan depan. Beberapa menit setelah itu semua pemain berada di posisi masing-masing.Ralika maju dengan bola basket berwarna hitam di tangannya, peluit menempel di ujung mulut. Alex dan lawannya bersiap mengambil ancang-ancang merebut bola.Setelah peluit dibunyikan dan bola sudah di lambungkan ke atas. Dengan sigap Alex meloncat, cowok itu mengarahkan bola ke arah lawan. Suara riuh terdengar dari para penonton, teriakan histeris terdengar menyemangati Alex.Wira --tim Alex-- melempar bola yang langsung di sambar cowok itu. Alex mengelak kiri ke kanan berusaha mengecoh lawannya. Dengan gerakan lincah Alex mendekati ring lawan dan...Masuk ...Suara tepukan langsung terdengar saat Alex mencetak poin. Ralika meniup peluit, menggerakan tangan kanannya layaknya peran sebagai wasit. El yang sejak tadi tidak fokus pada pertandingan, masih setia memperhatikan Ralika. Tak satupun pergerakan cewek itu yang terlewat dari pandangannya, bahkan, saat Ralika mengusap dahinya karena berkeringat El tak henti-hentinya tersenyum.Permainan masih terus berlanjut. Suporter sudah tak karuan meneriaki nama Alex. Cowok itu melempar bola ke arah Deni, namun justru tak tertangkap. Malah bola itu terlempar ke barisan penonton.El yang melihat sebuah bola mendekat dengan sigap menangkap. Ia berdiri dari duduknya, menatap Ralika sekilas yang kini juga sedang menatapnya.Semua penonton terdiam.Tanpa diduga El justru mendekat ke lapangan dengan tangan men-drible bola. Matanya melihat ke arah ring yang berjarak agak jauh dari tempat berdirinya. Cowok itu melempar bolanya.Semua terperangah. Begitupun ketiga teman El yang masih di tempat semula, yang sama-sama membuka mulut. El melempar bola dengan entengnya dan bola itu masuk dengan sempurna.Sesaat setelah itu, suara tepukan langsung terdengar. Alex mendekat ke arah El sambil berlari kecil. "Sorry, lo nggak apa-apa 'kan?""Nggak, cuman lain kali hati-hati aja. Bisa jadi orang lain bisa kena."Alex tersenyum. "Btw, lo anak pindahan itu, ya? Ternyata, lo jago juga main basket, kalau mau lo bisa gabung di tim.""Thanks, tapi kayaknya gue harus pikirin lagi. Karena jujur gue belum terlalu minat ikut ekskul."Alex tersenyum mencoba mengerti. Dia menepuk pundak El beberapa kali. "Oke, tapi, lo harus pikirin dulu. Lo bisa jadi penguat SMA Dharma."☁☁☁"Ra, gimana gue tadi hebat, nggak?"Ralika berhenti beberapa saat lalu kembali berjalan. "Mungkin hebat untuk semua orang.""Apa itu termasuk lo?"Ralika tak menjawab. Cewek berambut di ikat itu tetap terfokus ke depan. Melihat sikap Ralika, El sama sekali tak menyerah, cowok itu kembali berusaha berjalan cepat mengimbangi langkah Ralika yang tergolong seperti berlari."Kak Ika, Kak El!" panggil seseorang Keduanya terhenti, suara itu terdengar dari belakang, mereka menoleh."Ada apa?" tanya El langsung saat gadis itu telah berdiri dihadapan mereka."Anu ... Kak, kalian dipanggil kepala sekolah.""Ya, nanti kita ke sana," jawab El. Siswi itu mengangguk kemudian, berjalan pergi.Kembali sorot mata El manangkap ekspresi wajah Ralika. "Tuh, Ra. Kepala sekolah aja udah ngasih restu buat kita, tinggal resmiin aja."Ralika mengangkat sebelah alis mendengar perkataan El yang sangat ngawur. "Kamu jangan mengada-ngada!"Ralika berjalan lebih dulu meninggalakan cowok itu. El berdecak pelan---susah sekali dekat dengan cewek itu. "Tuh 'kan ditinggalin lagi!"El menyusul Ralika setengah berlari. Dalam hatinya, ia juga penasaran apa gerangan Bima memanggil dirinya. Apa dia membuat kesalahan? Tapi, rasanya tidak mungkin, karena Ralika juga terlibat. Cewek teladan dan tertib seperti Ralika, membuat kesalahan. Yang benar saja?Ralika mengetuk pintu ruang kepala sekolah. El baru tiba di belakangnya.Walau Ralika tak pernah terlihat tersenyum. Cewek ini masih bisa bersikap sopan, El malah kebalikannya. Ia bahkan, tak pernah yang namanya meminta izin atau mengetuk pintu ruang guru kalau sedang dipanggil. Langsung masuk aja."Oh kalian, silahkan masuk."Ralika dan El mendekat. Langsung duduk di kursi depan kepala sekolah, di sana bukan hanya terlihat Bima, tapi seorang wanita yang menggunakan setelan formal."Tante."El mengamati perempuan yang sedang duduk di sofa. Tante? Otaknya langsung mengambil kesimpulan. El dengan cepat meraih tangan Niken langsung menyaliminya. Niken sempat terkejut, ia sama sekali tak kenal dengan anak muda itu."Selamat siang tante, saya 'temen' nya Ralika," ujarnya menekan kata temen melirik Ralika sekilas."Iya-iya." Niken masih menatap lekat El yang nampak tersenyum. Masih merasa aneh dan setengah bingung."Ada apa Tante ke sini?" Niken mengalihkan pandangan, menatap sang keponakan."Tante mau jemput kamu, sekarang kita ke rumah sakit!"El menangkap ekspresi cewek itu lewat ujung mata. Memang terlihat datar, tapi dari matanya Ralika ada keterkejutan."Kalau begitu, kami permisi dulu, Pak."Bima mengangguk bersamaan dengan Niken dan Ralika yang pergi dari ruangan itu. Setelah keduanya menghilang dari balik pintu, matanya kembali menatap El yang sedang bingung. "Rumah sakit, emang siapa yang sakit, Om?""Om tidak tau. Itu masalah mereka, yang terpenting sekarang kamu."El menelan salivanya susah payah. "El? emangnya El ngelakuin apa?"El berusaha setenang mungkin, berusaha menutupi hatinya yang sedang ketar-ketir. Ia takut Bima tau kelakuannya yang membuat Wike marah beberapa hari yang lalu. Gawat kalau ketahuan mamanya, bisa dipotong uang saku."Kenapa kamu? Kayak mau dihukum aja?" ledek Bima."Nggak papa, Om." Bima mengamati ekspresi El. Bukan El kalau tak dapat mengelak. Cowok itu menegakan badannya."Enggak, cuman heran aja. Pak Bima mau manggil murid biasa seperti saya."Bima terkekeh. "Ya ampun. Kamu mau nyindir Om.""Ah terserah om lah. Terus kenapa El di panggil ke sini?" tanya El"Om dengar dari Alex. Dia sempet nawarin kamu jadi bagian tim basket?" El menghela napas lega. Ia pikir apa?"Iya, tadi tuh KETOS nawarin, El bilang belum minat ikut.""Kalau saran Om. Kamu sebaiknya gabung, selain memperkuat tim basket SMA Dharma, kamu bisa buktiin kamu bukan biang onar.""Ceritanya balik nyindir, nih."Bima tersenyum kecil. "Bisa dibilang kayak gitu."El mendengus. Padahal aksinya di lapangan tadi hanya untuk membuat Ralika terkesan. Tapi, nampaknya cewek sama sekali tak peduli dengan usahanya.Ralika mengelus kepala wanita yang terbaring lemah di hadapannya kini. Matanya tertutup dengan beberapa alat medis tertempel memenuhi tubuh. Suara alat deteksi jantung terdengar mengalun normal mengikuti irama jantungnya. Hal itu menandakan masih ada kehidupan di balik wajah pucat itu.Ralika bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu, ia sempat berbalik sebentar sebelum akhirnya keluar dengan wajah tertunduk.Untuk beberapa jam yang lalu Ralika sempat khawatir saat Niken ke sekolahnya dan mengatakan 'rumah sakit' Seperti ada dentuman keras yang menyerang dada, pikiran buruk tak bisa dibendung akan kemungkinan yang terjadi. Ruang tempat Nilam--mamanya-- dirawat saat itu sedang tertutup karena dokter sedang menanganinya. Lutut Ralika melemas untuk beberapa saat, yang hanya bisa dilakukannya hanya berdo'a dalam hati.Setelah beberapa menit, pintu ruangan terbuka, dokter dan beberapa suster keluar. Buru-buru Niken mencecar sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Dokter itu terdiam
Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta. Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngur
Ralika baru saja meletakan kunci motornya di atas nakas, kakinya segera melangkah menuju kamar karena suara tangisan yang sejak tadi terdengar di gendang telinganya. Ralika berhenti disebuah kamar, membuka pintunya sedikit kemudian, menatap siapa yang ada di sana. Niken seperti sangat kesusahan menenangkan balita berumur dua setengah tahun itu, walaupun dirinya berusaha sabar agar balita itu tidak menangis lagi, tapi malah tangisan itu semakin kencang.Ralika membuka pintu itu sepenuhnya, sehingga terdengar bunyi decitan, saat itulah Niken menoleh, lalu tersenyum. Ralika mendekat, langsung mengambil alih sang adik yang ada dalam dekapan tantenya itu."Sini Tante biar Ika aja yang Gendong Nayla."Sesaat setelah mendekap sang adik, tak ada lagi suara tangisan, malah sekarang Nayla nampak menatap Ralika dengan mata bulatnya."Memang cuma kamu yang bisa tenang dia kalau lagi gelisah." Niken sedikit menyentuh pipi Nayla.Ralika sadar akan hal itu. Ia memang jarang sekali mempunyai waktu u
"Ra, makasih udah temenin gue beli perlengkapan prakarya."Ralika mengangguk kecil sambil membuka sealt belt, tangannya beralih ingin membuka pintu mobil sebelum El menghentikannya."Ra," panggil cowok itu."Hati-hati ya." Ralika mengangkat sebelah alis. "Takutnya nanti lo jatuh,"Ralika menghela napas, ia kira apa? Ternyata cuman itu. Setelah keluar dari mobil, El menunggu beberapa detik lalu kembali membuka suara. "Jatuh cinta," sambungnya.Setelah berkata seperti itu---sama seperti tadi. Cowok itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, tak menghiraukan tatapan Ralika yang menajam. Sungguh El itu sangat aneh dan ajaib, heran sendiri melihat cowok itu masih sempat menggodanya.Dasar!"Ika."Ralika menoleh ke belakang. Niken berjalan mendekat ke arahnya dengan raut yang kurang mengenakan, wajah khawatir serta ragu tercetak jelas, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi lidah terasa keluh."Ada masalah apa, Tante? Kok tadi nyuruh Ika cepet pulang?" Ralika langsung menanyakan hal yan
El dengan santainya memasuki area rumah sambil bersiul, jarinya memilin kunci motor sambil melirik ke kanan ke kiri. Kondisi rumahnya sangat sepi, seperti tidak ada penghuninya.Cowok itu sedikit heran apalagi ada begitu banyak kulit kacang yang berserakan di lantai, dan ya setau El mamanya itu sangat menghindari makanan itu dengan alasan nanti jerawatan. Oke, El memang tau wanita itu agak sulit dengan yang namanya makan. Makan kacang takut jerawatan, makanan berlemak takut berat badan naik, terus mereka juga selalu melakukan diet yang kadang membuat geleng-geleng."Maaa!"Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara detakan jam, sama sekali tak menunjukan ada orang di sana."Woy!"El terperanjak, merasakan sebuah tepukan disertai teriakan di belakang gendang telinganya. Saat menoleh, seorang cewek berambut pendek dengan topi hitam di kepalanya, sedang menyengir."Bang, muncul dari mana lo?" El sempat menunduk mencari lobang jikalau Mona baru saja muncul dari sana, pasalnya tadi sam
Ralika sekarang memakai baju putih longgar yang membuatnya nampak gagah, sabuk hitam terlingkar di pinggangnya. Rambut panjangnya di ikat seperti biasa, berdiri di depan bersama seorang pria berumur dua puluh tahunan."Ralika, kamu tunjukan pada mereka jurus yang kemarin," ucap lelaki ituRalika mengangguk, lalu menatap barisan. Ya, untuk ukuran pemula mereka lumayan siap, apalagi yang mengikuti pelatihan ini mayoritas adalah laki-laki, tak banyak perempuan yang mau ikut untuk sekedar panas-panasan dengan latihan berat, tapi walaupun sedikit semangat mereka masih terlihat."Kalian liat gerakan saya!"Ralika mulai memperagakan gerakannya dengan lihai, pandangannya fokus membuat tertegun semuanya. Cewek itu nampak memukau dengan gerakan tegas lagi hebat. Tak heran, kemampuan Ralika dalam karate memang tak bisa diragukan lagi.Apalagi sekarang El yang sedang menatap cewek itu di seberang lapangan sambil tersenyum kecil. Untungnya jadwal latihan anak karate dan basket sama, jadinya niat
"Eh, nanti kalau lo kenapa-kenapa di jalan, gimana?"Ralika langsung menepis kasar tangan El, yang seenaknya saja menempel di pergelangan tangannya. Ini antara modus dan khawatir, sama sajalah, tak ada bedanya untuk ukuran cowok seperti El. Seharusnya El tau, apa risikonya kalau berani macam-macam dengan Ralika."Sakit banget," gumam El sambil mengelus tangannya."Apa kamu nganggep saya lemah? Saya bisa jaga diri, kalau perlu tulang kamu bisa saya patahkan sekarang juga!" El mundur beberapa langkah, antara takut bercampur ngeri."Jangan dong 'kan nggak enak orang ganteng patah tulang." Untuk kesekian kalinya Ralika menghela napasnya, jengah. Sulit berbicara dengan orang seperti ini. "Eh-eh tunggu dulu!"Ralika berhenti, untuk apa lagi, benar-benar membuang waktunya. "Ada apalagi?""Hati-hati ya." El tersenyum sambil melambaikan tangan.Ia langsung berbalik, tak mau berlama lagi di sana. Seharusnya tadi ia tak menerima begitu saja tawaran cowok itu, sekarang efeknya bukan hanya sebatas
"Ya ampun! Kenapa, sih, nih idung pake mampet!"Sudah setumpuk tisu sudah menggunung di hadapan El saat ini. Bahkan, belum cukup sama sekali meredakan hidungnya yang terasa mengganjal untuk bernapas. Karena hal inilah, ia tak harus izin beberapa hari. Ya, kalau ini semacam liburan, El akan menerimanya dengan senang hati. Tapi ini, huuuuh...Seseorang datang sambil memilin-milin kunci motor, terdengar suara siulan dari bibir pink itu. Mata cewek itu menatap sekilas El, lalu segera menghampiri cowok itu dari belakang. "Ceilah, hidung lo tambah lama kayak badut."El mendengus. "Senang lo, Bang, gue sakit bukannya di do'a-in cepet sembuh, malah ngeledek!" "Iya deh, gue do'a-in ... doa'in biar cepet mati." Kembali tawa Mona terdengar, hal itu kembali membuat El ingin segera menenggelamkan kakaknya itu sekarang juga. Padahal, kemarin ia begitu semangat Ralika mau satu mobil dengannya, walaupun sebentar.Mungkin benar kata orang-orang. Anak yang suka mendahulukan kepentingan sendiri dari p
Seolah tersadar kalau sejak tadi matanya tak lepas dengan sosok cowok itu, Ralika segera melangkah keluar."Rara!" teriak El langsung turun begitu saja. Tepat saat ia turun dari panggung sempat El berpapasan dengan Alex. Cowok itu mengangkat tangannya, lalu menepuk punggung El seperti sebelumnya. "Good luck!""Rara!" panggilnya sekali lagi."Stop!" El mencoba mengatur napasnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mata tajam Ralika seperti sudah tak ada lagi, lenyap tanpa jejak."Gue butuh jawaban," ucap El mantap."Minggir, saya harus ke atap sekolah!"El menggeleng. "Gue tadi udah susah-susah, Ra, buat nyanyi, ada yang fals apa? Sampe lo nggak mau bilang ya atau mau?"Ralika melipat tangannya. Seperti anak kecil yang meminta permen, Ralika lebih menganggap El seperti itu saat cowok itu tetap keukeh menghadang jalannya. Ralika mengangkat satu tangannya, menurunkan salah satu tangan El yang terbentang."Apa kamu benar-benar serius?" El mengangguk menyakinkan. "Iya."Ralik
"Lea mau sampai kapan kamu menata rambut seperti itu?"Ralika sejak tadi menatap jamnya. Ia telah membuang waktu cukup banyak untuk sekedar menunggu Lea yang sejak tadi menata rambut."Ya ampun Ika, lo tau nggak, jadwal kalian kumpul semua itu jam 7."Lea berbalik, saat dirasa rambutnya sudah tertata. "Ka, lo pakai ini doang?"Ralika melipat tangannya lalu menunduk. Tidak ada yang salah dengan dirinya, semuanya lengkap. Buku kecil dan pena untuk mencatat kekurangan acara juga sudah disiapkan. Bajun berwarna hitam, serta jelana jins senada. Ini biasa 'kan?"Setidaknya lo dandan dikit lah Ika."Lea menarik Ralika agar duduk. "Lea kita tidak punya waktu, terlebih lagi saya ini adalah panitia bukan yang akan tampil."Lea malah sibuk mengecek tasnya, mengeluarkan benda warna-warna yang Ralika saja tidak tau apa namanya."Sekarang kita pergi, panitia sudah menunggu."Baru berdiri dua detik Ralika kembali dipaksa duduk oleh Lea. Mungkin Lea orang pertama yang membuat Ralika hanya bisa diam s
Drrt... Drttt...El melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar. Sebenarnya benda itu berungkali berkedip, tapi ia biarkan saja, karena biasanya jam segini yang akan masuk pesan tidak penting. Pesan tidak penting dari nomor tak dikenal, hal itu juga karena Ilham dan Afdi yang memberikan nomornya begitu saja pada semua cewek asal mereka bayar. Teman macam apa itu!"Hallo!"Karena sejak tadi benda itu terus menganggunya. El mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo-hallo lo, lama amat sih ngangkat telfon gue!""Lah!" El menjauhkan ponselnya itu lalu menatapnya beberapa detik. Bang Mona."Lo Bang, ah kenapa nggak bilang!" El berdiri dari tempat tidurnya lalu berdiri dengan wajah berseri. "Lo kenapa nggak ada kabar sih setelah balik, padahal gue mau kasih tau sesuatu. Lo tau nggak kalau-""Eh-eh bentar, gue telfon lo cuman mau titip pesen sama bokap, transfer duit bulanan!""Hah? Lo 'kan bisa telfon Om, kenapa jadi gue?""Hp Papa sama Mama mati, terus Tante Nala kayaknya lag
Lega, rasanya beban yang selama ini hinggap di hati Ralika telah hilang bersamaan dengan perginya sang Papa. Sekali lagi, sebelum berbalik, Ralika sempat menatap gundukan tempat Hendra beristirahat yang tepat di samping makam Kayla selama beberapa detik. Kenangan biarlah menjadi kenangan, meskipun memang berlangsung pahit, tapi semuanya sudah terjadi. Sebuah pelajaran datang saat seseorang mengalami kesulitan di masa lalunya.Kayla, Ralika bisa merasakan kalau adiknya itu akan bahagia di sana."Semangat, okey."Ralika menyentuh tangan Lea yang tersampir di pundaknya lalu mengangguk. Di sana hanya tersisatiga orang sedangkan yang lainnya sudah pulang duluan, kepala sekolah dan guru-guru pun tadi juga datang untuk mengungkapkan bela sungkawa. Nilam juga harus banyak istirahat, karena kondisinya yang kembali drop karena banyak pikiran."Kamu sebaiknya pulang duluan.""Nggak ah, gue mau nemenin lo.""Seragam kamu masih belum diganti, tas kamu juga, itu melanggar aturan sekolah, seharusn
Ika .... " Ralika mengalihkan pandang. Berusaha mengendalikan hatinya, suara lirih Nilam seolah menuntunnya mendekati pria itu."Ma ... afin ... Papa."Ralika masih tak merespon perkataan Hendra yang bersusah payah mengatakan kalimat itu. Salivanya tertegun beberapa kali, ada perasaan tak sanggup saat menatap kembali pria itu, kilasan tentang kekejamannya sangat terekam jelas. Tapi ini untuk pertama kalinya, Hendra terlihat tak berdaya. Begitu lemah.Ralika sudah mengatakan orang baik akan dianggap yang paling lemah. Dan hari ini dia membuktikannya, mamanya kini sedang menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh harap. Memaafkan? Itu hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menutup sebagian hatinya!"Ka, mama mohon."Desakan lirih itu membuat Ralika tak sadar telah menatap Hendra. Matanya terpejam sesaat setelah melihat pria itu, apakah ia kini bermimpi? Sudah jelas Ralika melihat cairan bening dari ujung mata pria itu. Tangan kiri Hendra terangkat dengan sisa-s
Untuk acara HUT kali ini, semua panitia sudah dibagi dari berbagai macam lomba. Seperti rencana awal, SMA Dharma mengadakan banyak lomba yang diikuti dari berbagai sekolah. Dharma murni sebagai tuan rumah dan tak terlibat dalam lomba apapun. Hingga sekarang terhitung 2 hari setelah hari pembukaan. Yang sudah bertanding adalah dari club olahraga, yaitu Futsal dan Volly. Dan hasil penyerehan hadiah bagi yang menang akan dilaksanakan, siangnya, tepat tanggal 31 Desember. "Ka, lo bisa ngira nggak antara SMA Raya sama SMA Wijaya yang mana menang?" ucap Lea sambil menatap ke depan.Ralika diam. Kini pandangannya menyapu satu persatu pemain yang berusaha mencetak poin. Sambil memakai kalung panitia dengan name tag namanya, Ralika kini turut menjadi panitia. Di sebrang ada Alex yang menggunakan baju kaos biru berlengan pendek dengan kalung panitia yang sama dengannya."Ka, jawab!" desak Lea.Terdengar hembusan napas pelan dari hidung Ralika. Padahal dari tadi ia sudah mengatakan agar cewek i
"Ika, ya ampun, gue nggak nyangka banget Pak Bima ngumumin lo nggak salah hari ini, ah kenapa kepala gue harus pusing sih, gue pengen banget deh ngeliat mukanya Neta, pasti dia kesel banget tuh."Lea mencerocos tak jelas saat Ralika masuk, sudahlah tak masalah kalau hanya dibalas diam Ralika. Hari ini, hari bahagianya, wajah-wajah yang pernah menghujat Ralika rasanya sudah terhantam oleh kebenaran yang ada. Sayang sekali momen itu harus terlwat saat dirinya di UKS.Ralika duduk di kursinya. Meski secara tak langsung, ia bisa melihat kumpulan murid di sebelah kanan dari ujung matanya. Ralika juga sebenarnya tau kalau mereka tampak bingung ingin mendekat sambil mendorong satu sama lain. Jika kata orang siapapun tak akan luput dari pengawasannya selama berada di SMA Dharma, jawabannya benar. Ralika tau kalau merekalah yang mencoret mejanya dengan berbagai kata kasar selama ini secara diam-diam.Ralika berdiri lalu mendekati mereka. Pandangannya datar. Melihat Ralika yang mendekat, mereka
Ralika memandang lurus-lurus, tepat menatap manik mata El yang menunggu ucapan keluar dari mulutnya. Perlahan matanya turun ke tangan El yang tengah menggenggam lengannya. Dengan sekali hentak cekalan itu terlepas."Saya masih ada urusan."El tak beranjak. "Tapi lo belum jawab pertanyaan gue!"Ralika berhenti. Mengepalkan kedua tangannya, lalu berbalik. "Lebih baik kamu sembuhin dulu luka kamu, baru bisa ngomong."El dibuat terdiam. Otaknya berpikir keras, biasanya Ralika akan dengan tegas menjawab sesuatu yang ditanyakan padanya. Tapi tampaknya cewek itu tak ada sedikit pun menerima atau menolak. Senyum miring El terukir, tepat saat Ralika berbelok."Gue masih punya kesempatan."El meloncat kecil, lalu berbalik. Tepat saat itu pula Alex berada di depannya, dengan kedua mata sulit diartikan."Ngapain lo ke sini? Nguping gue sama Rara ya?" ucapnya sinis. Tapi kemudian El mengelus dagunya, mendekati Alex."Lo denger 'kan tadi gue bilang apa?""Gue denger."El tersenyum puas. Ia kemudian
"Nayla." Ralika baru saja yang pulang dari sekolah. Tujuannya ingin langsung masuk ke kamar dan mempersiapkan diri untuk latihan karate sore ini, tapi perhatiannya langsung tertarik pada Nayla yang tengah duduk di lantai sambil memainkan bonekanya."Bi Leli ke mana?" Pandangan Ralika mengedar, mencari keberadaan wanita itu.Sedikit ragu untuk mendekat, cewek itu menatapi Nayla selama beberapa saat sebelum akhirnya mendekat lalu berjongkok. Balita itu spontan menatapnya lalu tersenyum sambil menampilkan 2 buah gigi yang tumbuh di bagian bawah."Kakak."Ralika terdiam, padahal tak ada yang dirinya lakukan tapi balita itu malah tertawa dan kakak? Hatinya berdesir mendengarnya."Lo tau senyum itu ibadah, dengan senyum berarti bahagia,"Otaknya memutar kembali perkataan cowok itu, hingga tanpa sadar tangan kanannya terulur mengelus pipi gembul Nayla yang masih menampakkan senyum. Setelahnya Ralika menarik Nayla dalam dekapan. Matanya terpejam, merasa baru kali ini dia merasa begitu dekat d