"El kita nggak balik, nih?" ucap Afdi. Sejak tadi mereka berdiri di depan kendaraan itu cukup lama, tapi tak ada tanda-tandanya El akan menawarkan untuk naik, malah dengan santainya menatap gerbang sambil memainkan kunci mobilnya.
El menoleh. "Kalian kalau mau balik, balik aja, ngapain nungguin gue."Ketiganya saling pandang. "Jadi kita nggak pulang naik mobil lo, nih?""Nggak! lo semua pulang sendiri lah!"Afdi langsung cemberut. El sama sekali tak mengijinkannya ataupun yang lain menaiki kendaraan berwarna hitam itu."Ya, terus lo mau bawa nih mobil sendiri, gitu? Ngapain coba nyuruh supirnya pulang naik taksi, kalau nyatanya nggak ngajak kita pulang bareng," celetuk Ardan.El memandang ketiga temannya sambil berkacak pinggang. "Gue sengaja nyuruh Pak Jodi pulang duluan, biar Ralika pulang bareng gue. Bukan ngajak lo bertiga balik!"Ilham yang mendengar penuturan El menepuk jidatnya. "Ealah, ternyata lo ogeb banget!"El langsung menjitak kepala Ilham cukup keras. "Lo nggak nyadar lo ogeb juga!"Ilham meringis, tangannya mengelus kepalanya. "Kalau nggak ogeb. Apa namanya? Sebelum bertindak seharusnya lo tanya dulu sama kita.""Emangnya kenapa?" tanya El sedikit memiringkan tubuh. Walau sebenarnya ia merasa tak ada yang salah dari perlakuannya, sejauh yang dia tau, Cewek cenderung suka akan perhatian seperti ini.Ardan mengedikan bahunya, mau menjelaskan pun rasanya El sudah terlanjur bertindak. "Tunggu aja, nanti lo bakalan tau."El tampak berpikir dengan raut wajah menerka sambil melirik Afdi dan Ardan yang menatap ke arah gerbang. Sesaat kemudian, suara deru motor terdengar dan kebingungan El langsung lenyap saat melihat motor itu keluar dari pekarangan sekolah.El tanpa sadar membuka mulut, bukan karena motornya melainkan seseorang yang ada di balik helm hitam itu. Ralika, cewek yang sejak tadi di tunggunya.Ia nampak menggunakan celana training di balik rok abu-abunya dengan Helm berwarna hitam menutupi kepala. Sesaat cewek itu berhenti dengan jarak beberapa langkah dari mereka. Mata Ralika sempat melirik El sebentar, sebelum akhirnya menjalankan motor dengan kecepatan normal."Udah bekep tuh mulut," ucap Ilham, El spontan menutup mulutnya dengan wajah cengo, ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya tadi."Itu beneran Ralika?" tanya El memastikan."Bukan! Ya iyalah itu Ika, masa hantu!" balas Ilham gemas sendiri.El masih menatap lurus jalan yang dilalui Ralika tadi. "Udah gue bilang 'kan, Ralika itu bukan sekedar cewek biasa. Dia itu cewek yang berjiwa cowok. Bahkan, beladirinya aja jago.""Kalau beladiri sih, gue percaya tapi ini naik moge?!"☁☁☁Ralika berhenti tepat di depan sebuah rumah. Ia langsung melepas helm yang sejak tadi membuat kepalanya terasa berat, langkahnya dengan cepat memasuki sebuah rumah bercat putih yang tidak terlalu besar, namun sangat nyaman karena di kelilingi tanaman hijau di halamannya."Kamu sudah pulang, sayang?" Suara lembut itu membuat perhatian Ralika teralih, ia melirik ke arah ruang tamu. Di sana ada seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan yang memiliki potongan potongan pendek tengah mentapnya. Ia mendekati Ralika dengan senyum tipis setelah meletakkan majalah yang sejak tadi dibacanya."Iya Tante," jawab Ralika singkat. Niken---tantenya--- tersenyum lalu menyodorkan segelas air putih pada Ralika, dan langsung diminum gadis itu sampai habis.Untuk sesaat tidak ada percakapan dari kedua perempuan beda usia itu, sampai akhirnya Ralika menyadari satu hal yang tampak tak terlihat di matanya saat ini."Nayla mana, Tan?" Ralika langsung bertanya."Dia lagi tidur. Oh ya Bi Leli juga kayaknya nggak bisa dateng, katanya sakit," jelas Niken.Sorot mata Ralika menunduk, selain menanyakan Nayla, ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, hanya saja sedikit ragu. "Gimana keadaan mama?Pertanyaan yang dilontarkan Ralika sangat lirih, bahkan, hampir tak terdengar. Niken menghela napas, mencoba tersenyum sambil mengelus kepala keponakannya itu dengan kasih sayang."Dia sudah membaik, nanti kita jenguk ya. Untuk sekarang, kamu fokus dulu sama sekolah. Dan juga, tante harap kamu bisa luangin waktu lebih buat Nayla, dia butuh kakaknya."Ralika mengangguk masih dengan ekspresi yang sama. Meskipun, ia tau akan tanggung jawabnya sekarang, tapi ia masih belum bisa maksimal memenuhinya."Oh ya, gimana kamu di sekolah?" Niken mengubah topik pembicaraan.Berusaha mengalihkan perhatian Ralika yang nampak terdiam dengan sorot mata berbeda."Baik," jawab Ralika singkat."Katanya sekolah kamu sebentar lagi ulang tahun ya?" Niken kembali bertanya."Iya."Lontaran singkat dari Ralika sudah terbiasa terdengar digendang telinga Niken. Perempuan cantik itu juga sudah sangat maklum dengan wajah tanpa ekspresi yang terkesan judes.Ralika berdiri dari duduknya. "Ika ke kamar dulu, Tante."Setelah melihat Niken mengangguk Ralika melangkah menuju kamarnya dengan tas hitam yang masih tersampir di pundak.Niken masih setia menatap keponakannya itu dengan tatapan teduh, kemudian, beralih ke sebuah foto yang berada di dekat meja kecil. Sebuah lengkung terbentuk begitu saja di bibirnya. Ralika sudah berbeda sekarang, ia lebih dewasa dan tangguh.Ralika mengaitkan baju di balik pintu yang memang dipasang sebuah gantungan. Cewek itu langsung menghempaskan tubuhnya dengan posisi tengkurap di tempat tidur, hidungnya perlahan menghirup dalam aroma bedcover berwarna cream yang terasa sangat nyaman di kulit.Ralika membuka matanya, mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk, kedua sikunya di tekuk dengan dagu yang menempel. Pikirannya melayang, ingin sekali menangis sekencang-kencangnya saat ini, tapi ini bukan saatnya untuk menangis. Ralika harus membuktikan pada semua orang bahwa dia bukan sesosok yang lemah."Ma."Anak kecil itu mengerjap sambil memegang setangkai bunga mawar di tangannya."Ini buat Mama."Tangan mungil anak perempuan itu terulur menyerahkan setangkai bunga mawar pada sang mama.Awalnya senyum mamanya terbentuk, tapi sedetik kemudian senyum itu memudar digantikan dengan tatapan khawatir."Sini bunganya, ini tangan kamu sampe luka kena durinya."Bukannya menangis, gadis kecil itu malah tersenyum."Nggak sakit?"Sang mama meniup pelan tangan putrinya."Nggak dong ma. Ika kan cewek berani, kayak Mama."Melihat senyum polos putrinya mama Ralika mengelus pipi putih sedikit kemerah mudahan itu sambil tersenyum."Ika anak kuat. Makasih ya sayang.""Ika anak kuat, Ma," gumam Ralika lirih sambil merapatkan matanya dalam sebelum akhirnya terbuka.Ralika bangkit dari tempat tidurnya. Mengambil sebuah baju kaos berwarna orange di dalam lemari serta celana pendek santai lalu segera mengenakannya.Sepuluh menit berlalu, Ralika keluar dari kamarnya dan langsung menuju ruang tengah di mana Niken masih setia duduk. Sejenak perhatian Niken teralihkan dari layar sedang di depannya, di mana Ralika memilih duduk di single sofa."Ika, Tante mau pergi keluar kota besok."Ralika diam. Tak jarang tantenya itu pergi keluar kota, status Niken sebagai pengacara memang mengharuskannya untuk ke daerah luar Jakarta. Ralika sendiri sudah terbiasa akan hal itu, jangankan di rumah di sekolah pun dia lebih sering menghabiskan waktu sendiri, ralat tak sendiri, bersama adik kecilnya tentu saja."Kapan Tante berangkat?" tanya Ralika."Em, besok. Nggak lama cuman dua hari."Untuk sesaat kedua perempuan itu larut dalam suasana masing-masing. Niken dengan buku majalahnya sedangkan Ralika menatap lurus ke arah TV.Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Niken. Perempuan itu berdiri dari duduknya mengambil sebuah benda pipih berwarna gold yang ada di nakas dekat tv."Oh iya, saya Niken.""Iya-iya.""Ika, bisa tolong ambilin pulpen sama kertas di lemari?"Ralika berdiri dari duduknya, berjalan menuju lemari yang berada di dekat sudut ruangan. Ia sedikit menunduk, Tangannya membuka laci kedua kemudian mengeluarkan pulpen dan sebuah buku, Ralika meletakan kembali pulpen itu. Tangannya membuka buku tulis dan langsung merobek bagian tengah.Ia menegakan tubuhnya dengan pulpen dan kertas masing-masing berada di kedua tangannya, kakinya baru ingin beranjak namun Perhatiannya tiba-tiba terfokus pada sesuatu yang mencolok di balik jendela bening.Ralika mendekat ke arah jendela. Tampak jelas sebuah mobil hitam berada di luar rumah. Tidak sampai masuk ke halaman, jaraknya agak jauh tapi, masih bisa terlihat."Jadi ini rumahnya Ika, bagus juga." El dengan mudahnya berkata demikian. Tak memedulikan ketiga temannya yang masih syok.Tidak sia-sia perjuangannya. Walau Ralika gagal untuk pulang bersama dengannya, yang terpenting El tau sekarang di mana rumah Ralika.Ilham, Ardan dan Afdi masih tidak percaya. Beberapa saat yang lalu El mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi hanya karena ingin mengejar motor Ralika. Bahkan, tadi hampir menabrak ayam yang melintas Asal di jalan dan membuat mereka kehilangan jejak selalu beberapa saat.Walau demikian El tak langsung menyerah. Dia mengitari kawasan tersebut, sambil melihat ke sekeliling komplek sampai akhirnya terhenti saat melihat sebuah motor ninja berwarna merah yang tadi dikendarai Ralika terparkir di depan rumah."Lo gila banget sumpah! Baru kali ini gue liat orang yang penasaran sama cewek sampe segila elo!"El menoleh menatap Afdi yang duduk di sampingnya. Cowok itu masih memegangi dada, merasakan detak jantungnya yang terlampau cepat, tangannya masih bergetar. Belum lagi keringat mengalir dari pelipisnya."Lo udah nggak sayang nyawa?!" ujar Ilham yang berada di belakang, kondisinya sekarang tak lebih parah dari Afdi."Untung gue masih idup." Giliran Ardan menyahut."Salah sendiri kalian maksa ngikut!" El kembali mengamati rumah bercorak putih itu, sampai matanya melihat seseorang yang sedang mengintipnya lewat kaca jendela."Ralika."Ilham, Ardan dan Afdi langsung menoleh ke arah pandangan El, tepat melihat seseorang yang melihat melalui jendela. El tersenyum melihat Ralika, ia mengeluarkan tangan kanannya dari dalam mobil---bermaksud melambaikan tangan.Untuk sedetik Ralika terdiam kemudian langsung membalikan badan. Dalam benaknya masih tak percaya cowok berambut coklat itu sedang berada di depan rumahnya. Apa cowok itu mengikutinya, tadi?"Ika, pulpennya?!"Niken sedikit berteriak. Ralika menghela napas, mencoba mengabaikan cowok biang onar itu."Ini Tante."Ralika menyodorkan pulpen dan kertas pada Niken."Makasih sayang," ucap Niken, Ralika menganguk kemudian kembali terduduk di sofa.Ralika mencoba tak peduli tapi, pikirannya masih tertuju pada El. Ralika kembali mendekat ke arah jendela memastikan cowok berambut coklat itu telah pergi. Benar saja, mobil hitam yang berada di depan rumahnya kini sudah pergi."Ternyata dia udah pergi," gumamnya. Setidaknya, dia harus berhati-hati mulai hari ini, bisa saja cowok itu akan semakin masuk dalam hidupnya. Ralika tak mau ada orang yang mampu menembus benteng pertahanannya, termasuk cowok itu.El memejamkan matanya menikmati hidup yang kadang menyenangkan. Tidak ada pelajaran matematika yang memenuhi kepalanya, tidak ada ocehan dari guru yang super duper galak seperti Bu Wike.Free class menurutnya hal yang sangat membahagiakan, rasanya seperti di atas awan. "Gue bosan di kelas mulu."El membuka matanya menoleh ke kanan dimana Afdi sedang menekuk wajahnya. "Mendingan kita ke lapangan basket aja ngeliat pertandingan," ucapnya lagi."Kalau lo mau ke lapangan, ke lapangan aja," Pandangannya berubah memandang Ilham dan Ardan, "lo berdua juga bisa ikut. Gue mau tidur di kelas, lumayan free class capek begadang semalam."Afdi berdecak. "Ya nggak seru kalau lo nggak ikut 'kan jadi nggak lengkap, Emgansi.""Emgansi? Apaan tuh?" bingung Ardan."Empat cogan bergengsi," ujar Afdi menaik turunkan alis.Ardan bergidik melihat tingkah Afdi. "Jijik gue ngeliat lo kayak gitu."El masih menatap ketiga temannya, malas, memindahkan kedua tangannya menjadi bantal. "Kalian kalau mau kelapangan,
Ralika mengelus kepala wanita yang terbaring lemah di hadapannya kini. Matanya tertutup dengan beberapa alat medis tertempel memenuhi tubuh. Suara alat deteksi jantung terdengar mengalun normal mengikuti irama jantungnya. Hal itu menandakan masih ada kehidupan di balik wajah pucat itu.Ralika bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu, ia sempat berbalik sebentar sebelum akhirnya keluar dengan wajah tertunduk.Untuk beberapa jam yang lalu Ralika sempat khawatir saat Niken ke sekolahnya dan mengatakan 'rumah sakit' Seperti ada dentuman keras yang menyerang dada, pikiran buruk tak bisa dibendung akan kemungkinan yang terjadi. Ruang tempat Nilam--mamanya-- dirawat saat itu sedang tertutup karena dokter sedang menanganinya. Lutut Ralika melemas untuk beberapa saat, yang hanya bisa dilakukannya hanya berdo'a dalam hati.Setelah beberapa menit, pintu ruangan terbuka, dokter dan beberapa suster keluar. Buru-buru Niken mencecar sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Dokter itu terdiam
Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta. Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngur
Ralika baru saja meletakan kunci motornya di atas nakas, kakinya segera melangkah menuju kamar karena suara tangisan yang sejak tadi terdengar di gendang telinganya. Ralika berhenti disebuah kamar, membuka pintunya sedikit kemudian, menatap siapa yang ada di sana. Niken seperti sangat kesusahan menenangkan balita berumur dua setengah tahun itu, walaupun dirinya berusaha sabar agar balita itu tidak menangis lagi, tapi malah tangisan itu semakin kencang.Ralika membuka pintu itu sepenuhnya, sehingga terdengar bunyi decitan, saat itulah Niken menoleh, lalu tersenyum. Ralika mendekat, langsung mengambil alih sang adik yang ada dalam dekapan tantenya itu."Sini Tante biar Ika aja yang Gendong Nayla."Sesaat setelah mendekap sang adik, tak ada lagi suara tangisan, malah sekarang Nayla nampak menatap Ralika dengan mata bulatnya."Memang cuma kamu yang bisa tenang dia kalau lagi gelisah." Niken sedikit menyentuh pipi Nayla.Ralika sadar akan hal itu. Ia memang jarang sekali mempunyai waktu u
"Ra, makasih udah temenin gue beli perlengkapan prakarya."Ralika mengangguk kecil sambil membuka sealt belt, tangannya beralih ingin membuka pintu mobil sebelum El menghentikannya."Ra," panggil cowok itu."Hati-hati ya." Ralika mengangkat sebelah alis. "Takutnya nanti lo jatuh,"Ralika menghela napas, ia kira apa? Ternyata cuman itu. Setelah keluar dari mobil, El menunggu beberapa detik lalu kembali membuka suara. "Jatuh cinta," sambungnya.Setelah berkata seperti itu---sama seperti tadi. Cowok itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, tak menghiraukan tatapan Ralika yang menajam. Sungguh El itu sangat aneh dan ajaib, heran sendiri melihat cowok itu masih sempat menggodanya.Dasar!"Ika."Ralika menoleh ke belakang. Niken berjalan mendekat ke arahnya dengan raut yang kurang mengenakan, wajah khawatir serta ragu tercetak jelas, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi lidah terasa keluh."Ada masalah apa, Tante? Kok tadi nyuruh Ika cepet pulang?" Ralika langsung menanyakan hal yan
El dengan santainya memasuki area rumah sambil bersiul, jarinya memilin kunci motor sambil melirik ke kanan ke kiri. Kondisi rumahnya sangat sepi, seperti tidak ada penghuninya.Cowok itu sedikit heran apalagi ada begitu banyak kulit kacang yang berserakan di lantai, dan ya setau El mamanya itu sangat menghindari makanan itu dengan alasan nanti jerawatan. Oke, El memang tau wanita itu agak sulit dengan yang namanya makan. Makan kacang takut jerawatan, makanan berlemak takut berat badan naik, terus mereka juga selalu melakukan diet yang kadang membuat geleng-geleng."Maaa!"Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara detakan jam, sama sekali tak menunjukan ada orang di sana."Woy!"El terperanjak, merasakan sebuah tepukan disertai teriakan di belakang gendang telinganya. Saat menoleh, seorang cewek berambut pendek dengan topi hitam di kepalanya, sedang menyengir."Bang, muncul dari mana lo?" El sempat menunduk mencari lobang jikalau Mona baru saja muncul dari sana, pasalnya tadi sam
Ralika sekarang memakai baju putih longgar yang membuatnya nampak gagah, sabuk hitam terlingkar di pinggangnya. Rambut panjangnya di ikat seperti biasa, berdiri di depan bersama seorang pria berumur dua puluh tahunan."Ralika, kamu tunjukan pada mereka jurus yang kemarin," ucap lelaki ituRalika mengangguk, lalu menatap barisan. Ya, untuk ukuran pemula mereka lumayan siap, apalagi yang mengikuti pelatihan ini mayoritas adalah laki-laki, tak banyak perempuan yang mau ikut untuk sekedar panas-panasan dengan latihan berat, tapi walaupun sedikit semangat mereka masih terlihat."Kalian liat gerakan saya!"Ralika mulai memperagakan gerakannya dengan lihai, pandangannya fokus membuat tertegun semuanya. Cewek itu nampak memukau dengan gerakan tegas lagi hebat. Tak heran, kemampuan Ralika dalam karate memang tak bisa diragukan lagi.Apalagi sekarang El yang sedang menatap cewek itu di seberang lapangan sambil tersenyum kecil. Untungnya jadwal latihan anak karate dan basket sama, jadinya niat
"Eh, nanti kalau lo kenapa-kenapa di jalan, gimana?"Ralika langsung menepis kasar tangan El, yang seenaknya saja menempel di pergelangan tangannya. Ini antara modus dan khawatir, sama sajalah, tak ada bedanya untuk ukuran cowok seperti El. Seharusnya El tau, apa risikonya kalau berani macam-macam dengan Ralika."Sakit banget," gumam El sambil mengelus tangannya."Apa kamu nganggep saya lemah? Saya bisa jaga diri, kalau perlu tulang kamu bisa saya patahkan sekarang juga!" El mundur beberapa langkah, antara takut bercampur ngeri."Jangan dong 'kan nggak enak orang ganteng patah tulang." Untuk kesekian kalinya Ralika menghela napasnya, jengah. Sulit berbicara dengan orang seperti ini. "Eh-eh tunggu dulu!"Ralika berhenti, untuk apa lagi, benar-benar membuang waktunya. "Ada apalagi?""Hati-hati ya." El tersenyum sambil melambaikan tangan.Ia langsung berbalik, tak mau berlama lagi di sana. Seharusnya tadi ia tak menerima begitu saja tawaran cowok itu, sekarang efeknya bukan hanya sebatas
Seolah tersadar kalau sejak tadi matanya tak lepas dengan sosok cowok itu, Ralika segera melangkah keluar."Rara!" teriak El langsung turun begitu saja. Tepat saat ia turun dari panggung sempat El berpapasan dengan Alex. Cowok itu mengangkat tangannya, lalu menepuk punggung El seperti sebelumnya. "Good luck!""Rara!" panggilnya sekali lagi."Stop!" El mencoba mengatur napasnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mata tajam Ralika seperti sudah tak ada lagi, lenyap tanpa jejak."Gue butuh jawaban," ucap El mantap."Minggir, saya harus ke atap sekolah!"El menggeleng. "Gue tadi udah susah-susah, Ra, buat nyanyi, ada yang fals apa? Sampe lo nggak mau bilang ya atau mau?"Ralika melipat tangannya. Seperti anak kecil yang meminta permen, Ralika lebih menganggap El seperti itu saat cowok itu tetap keukeh menghadang jalannya. Ralika mengangkat satu tangannya, menurunkan salah satu tangan El yang terbentang."Apa kamu benar-benar serius?" El mengangguk menyakinkan. "Iya."Ralik
"Lea mau sampai kapan kamu menata rambut seperti itu?"Ralika sejak tadi menatap jamnya. Ia telah membuang waktu cukup banyak untuk sekedar menunggu Lea yang sejak tadi menata rambut."Ya ampun Ika, lo tau nggak, jadwal kalian kumpul semua itu jam 7."Lea berbalik, saat dirasa rambutnya sudah tertata. "Ka, lo pakai ini doang?"Ralika melipat tangannya lalu menunduk. Tidak ada yang salah dengan dirinya, semuanya lengkap. Buku kecil dan pena untuk mencatat kekurangan acara juga sudah disiapkan. Bajun berwarna hitam, serta jelana jins senada. Ini biasa 'kan?"Setidaknya lo dandan dikit lah Ika."Lea menarik Ralika agar duduk. "Lea kita tidak punya waktu, terlebih lagi saya ini adalah panitia bukan yang akan tampil."Lea malah sibuk mengecek tasnya, mengeluarkan benda warna-warna yang Ralika saja tidak tau apa namanya."Sekarang kita pergi, panitia sudah menunggu."Baru berdiri dua detik Ralika kembali dipaksa duduk oleh Lea. Mungkin Lea orang pertama yang membuat Ralika hanya bisa diam s
Drrt... Drttt...El melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar. Sebenarnya benda itu berungkali berkedip, tapi ia biarkan saja, karena biasanya jam segini yang akan masuk pesan tidak penting. Pesan tidak penting dari nomor tak dikenal, hal itu juga karena Ilham dan Afdi yang memberikan nomornya begitu saja pada semua cewek asal mereka bayar. Teman macam apa itu!"Hallo!"Karena sejak tadi benda itu terus menganggunya. El mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo-hallo lo, lama amat sih ngangkat telfon gue!""Lah!" El menjauhkan ponselnya itu lalu menatapnya beberapa detik. Bang Mona."Lo Bang, ah kenapa nggak bilang!" El berdiri dari tempat tidurnya lalu berdiri dengan wajah berseri. "Lo kenapa nggak ada kabar sih setelah balik, padahal gue mau kasih tau sesuatu. Lo tau nggak kalau-""Eh-eh bentar, gue telfon lo cuman mau titip pesen sama bokap, transfer duit bulanan!""Hah? Lo 'kan bisa telfon Om, kenapa jadi gue?""Hp Papa sama Mama mati, terus Tante Nala kayaknya lag
Lega, rasanya beban yang selama ini hinggap di hati Ralika telah hilang bersamaan dengan perginya sang Papa. Sekali lagi, sebelum berbalik, Ralika sempat menatap gundukan tempat Hendra beristirahat yang tepat di samping makam Kayla selama beberapa detik. Kenangan biarlah menjadi kenangan, meskipun memang berlangsung pahit, tapi semuanya sudah terjadi. Sebuah pelajaran datang saat seseorang mengalami kesulitan di masa lalunya.Kayla, Ralika bisa merasakan kalau adiknya itu akan bahagia di sana."Semangat, okey."Ralika menyentuh tangan Lea yang tersampir di pundaknya lalu mengangguk. Di sana hanya tersisatiga orang sedangkan yang lainnya sudah pulang duluan, kepala sekolah dan guru-guru pun tadi juga datang untuk mengungkapkan bela sungkawa. Nilam juga harus banyak istirahat, karena kondisinya yang kembali drop karena banyak pikiran."Kamu sebaiknya pulang duluan.""Nggak ah, gue mau nemenin lo.""Seragam kamu masih belum diganti, tas kamu juga, itu melanggar aturan sekolah, seharusn
Ika .... " Ralika mengalihkan pandang. Berusaha mengendalikan hatinya, suara lirih Nilam seolah menuntunnya mendekati pria itu."Ma ... afin ... Papa."Ralika masih tak merespon perkataan Hendra yang bersusah payah mengatakan kalimat itu. Salivanya tertegun beberapa kali, ada perasaan tak sanggup saat menatap kembali pria itu, kilasan tentang kekejamannya sangat terekam jelas. Tapi ini untuk pertama kalinya, Hendra terlihat tak berdaya. Begitu lemah.Ralika sudah mengatakan orang baik akan dianggap yang paling lemah. Dan hari ini dia membuktikannya, mamanya kini sedang menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh harap. Memaafkan? Itu hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menutup sebagian hatinya!"Ka, mama mohon."Desakan lirih itu membuat Ralika tak sadar telah menatap Hendra. Matanya terpejam sesaat setelah melihat pria itu, apakah ia kini bermimpi? Sudah jelas Ralika melihat cairan bening dari ujung mata pria itu. Tangan kiri Hendra terangkat dengan sisa-s
Untuk acara HUT kali ini, semua panitia sudah dibagi dari berbagai macam lomba. Seperti rencana awal, SMA Dharma mengadakan banyak lomba yang diikuti dari berbagai sekolah. Dharma murni sebagai tuan rumah dan tak terlibat dalam lomba apapun. Hingga sekarang terhitung 2 hari setelah hari pembukaan. Yang sudah bertanding adalah dari club olahraga, yaitu Futsal dan Volly. Dan hasil penyerehan hadiah bagi yang menang akan dilaksanakan, siangnya, tepat tanggal 31 Desember. "Ka, lo bisa ngira nggak antara SMA Raya sama SMA Wijaya yang mana menang?" ucap Lea sambil menatap ke depan.Ralika diam. Kini pandangannya menyapu satu persatu pemain yang berusaha mencetak poin. Sambil memakai kalung panitia dengan name tag namanya, Ralika kini turut menjadi panitia. Di sebrang ada Alex yang menggunakan baju kaos biru berlengan pendek dengan kalung panitia yang sama dengannya."Ka, jawab!" desak Lea.Terdengar hembusan napas pelan dari hidung Ralika. Padahal dari tadi ia sudah mengatakan agar cewek i
"Ika, ya ampun, gue nggak nyangka banget Pak Bima ngumumin lo nggak salah hari ini, ah kenapa kepala gue harus pusing sih, gue pengen banget deh ngeliat mukanya Neta, pasti dia kesel banget tuh."Lea mencerocos tak jelas saat Ralika masuk, sudahlah tak masalah kalau hanya dibalas diam Ralika. Hari ini, hari bahagianya, wajah-wajah yang pernah menghujat Ralika rasanya sudah terhantam oleh kebenaran yang ada. Sayang sekali momen itu harus terlwat saat dirinya di UKS.Ralika duduk di kursinya. Meski secara tak langsung, ia bisa melihat kumpulan murid di sebelah kanan dari ujung matanya. Ralika juga sebenarnya tau kalau mereka tampak bingung ingin mendekat sambil mendorong satu sama lain. Jika kata orang siapapun tak akan luput dari pengawasannya selama berada di SMA Dharma, jawabannya benar. Ralika tau kalau merekalah yang mencoret mejanya dengan berbagai kata kasar selama ini secara diam-diam.Ralika berdiri lalu mendekati mereka. Pandangannya datar. Melihat Ralika yang mendekat, mereka
Ralika memandang lurus-lurus, tepat menatap manik mata El yang menunggu ucapan keluar dari mulutnya. Perlahan matanya turun ke tangan El yang tengah menggenggam lengannya. Dengan sekali hentak cekalan itu terlepas."Saya masih ada urusan."El tak beranjak. "Tapi lo belum jawab pertanyaan gue!"Ralika berhenti. Mengepalkan kedua tangannya, lalu berbalik. "Lebih baik kamu sembuhin dulu luka kamu, baru bisa ngomong."El dibuat terdiam. Otaknya berpikir keras, biasanya Ralika akan dengan tegas menjawab sesuatu yang ditanyakan padanya. Tapi tampaknya cewek itu tak ada sedikit pun menerima atau menolak. Senyum miring El terukir, tepat saat Ralika berbelok."Gue masih punya kesempatan."El meloncat kecil, lalu berbalik. Tepat saat itu pula Alex berada di depannya, dengan kedua mata sulit diartikan."Ngapain lo ke sini? Nguping gue sama Rara ya?" ucapnya sinis. Tapi kemudian El mengelus dagunya, mendekati Alex."Lo denger 'kan tadi gue bilang apa?""Gue denger."El tersenyum puas. Ia kemudian
"Nayla." Ralika baru saja yang pulang dari sekolah. Tujuannya ingin langsung masuk ke kamar dan mempersiapkan diri untuk latihan karate sore ini, tapi perhatiannya langsung tertarik pada Nayla yang tengah duduk di lantai sambil memainkan bonekanya."Bi Leli ke mana?" Pandangan Ralika mengedar, mencari keberadaan wanita itu.Sedikit ragu untuk mendekat, cewek itu menatapi Nayla selama beberapa saat sebelum akhirnya mendekat lalu berjongkok. Balita itu spontan menatapnya lalu tersenyum sambil menampilkan 2 buah gigi yang tumbuh di bagian bawah."Kakak."Ralika terdiam, padahal tak ada yang dirinya lakukan tapi balita itu malah tertawa dan kakak? Hatinya berdesir mendengarnya."Lo tau senyum itu ibadah, dengan senyum berarti bahagia,"Otaknya memutar kembali perkataan cowok itu, hingga tanpa sadar tangan kanannya terulur mengelus pipi gembul Nayla yang masih menampakkan senyum. Setelahnya Ralika menarik Nayla dalam dekapan. Matanya terpejam, merasa baru kali ini dia merasa begitu dekat d