Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.
Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta.Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngurusin murid biang onar."Ralika diam, menatapi Lea yang seperti orang gila. Dia yang bertanya malah dia juga yang menjawab.Ralika menghembuskan napas kasar untuk kesekian kali. Diambilnya buku yang disimpan di laci meja bawah, mencoba mengabaikan Lea yang sedang berbicara."Ka, sesekali lo dengerin gue dong. Bosen. Ini udah mau masuk dua tahun tapi setiap gue ngomong selalu dikacangin."Ralika melirik Lea dari ujung matanya. Terbesit rasa kasihan di dalam hatinya pada cewek itu. Memang sejak lama Ralika selalu mengabaikannya, bahkan, terkesan tak peduli. Siapa suruh ingin berteman dengannya?"Kalau kamu tidak mau diabaikan lebih baik kamu bicara sama anak-anak lain yang bisa nerima ocehan kamu."Lea mengerucutkan bibirnya. "Yaelah 'kan gue maunya jadi temen lo. Yang asli baiknya, bukan cuman orang yang sok baik di depan tapi busuk di belakang!""Kamu pikir saya baik?"Lea mengangguk cepat. "Iya, lo itu orang pertama yang gue kenal waktu pertama kali gue nginjekin kaki di sekolah ini. Lo itu penyelamat gue, kayak wonder woman."Ralika diam. Ia tak tau sisi mana yang Lea lihat dari dirinya hingga mengatakan seperti wonder woman. Padahal Ralika sangat tidak mau dikenal baik, orang baik itu terlalu lemah dan dirinya tak mau menjadi orang lemah!"Saya bukan orang baik!" ucap Ralika meninggikan suara. Lea awalnya kaget, mematung beberapa saat hingga akhirnya kembali tersenyum."Iya deh, lo nggak baik, tapi lo tetap pahlawan buat gue."Ralika jengah mendengar semua itu. Lebih memilih fokus pada bukunya, membaca lagi pelanggaran yang dibuat hari ini. Berbeda dari kelas lain yang sering ribut atau membuat kenakalan jikalau guru tidak masuk atau terlambat, kelas 11 IPA 3 justru kebalikannya, kelas ini sangat sunyi dan tentram. Ya, selama Ralika ada tentunya.Beberapa saat kemudian, Sari yang merupakan guru dari pelajaran Bahasa Indoneia terlihat memasuki kelas dengan senyuman khasnya, senyuman yang dianggap mengerikan bagi seluruh siswa. Semua orang tau betapa killer-nya guru itu."Pagi anak-anak!""Pagi Bu," ucap semuanya serempak."Ika, tolong, kamu ambil LKS di meja saya."Ralika mengangguk lalu berjalan keluar kelas. Suasana koridor pun nampak sepi, ya wajar seluruh murid sedang melakukan proses belajar-mengajar di dalam kelas, sementara sisanya olahraga di lapangan.Samar-samar ia mendengar suara cekikan dari salah satu kelas, padahal jaraknya dan kelas itu lumayan jauh tapi keributannya sangat terdengar. Tepat saat melewati kelas itu, suara siulan terdengar di telinganya, dilihat dari jendela ternyata ada guru yang mengajar, guru itu terlihat masih muda, hal itu mungkin yang membuatnya digoda beberapa murid.Matanya melirik isi kelas, tampak jelas di sana El dan teman-temannya begitu riuh dan dibalas cekikikan oleh beberapa murid. Tak sengaja mata mereka bertemu, El tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ralika langsung mengalihkan pandangannya, mencoba tak peduli.☁☁☁"Gimana kalau kita labrak rame-rame?"Neta berkata sambil memilin rambut ikalnya sembari tersenyum licik menatap beberapa anak cewek kelas 12 yang nampak sedang berpikir.Neta sengaja mengumpulkan siswi yang memang diketahui membenci Ralika. Bahkan, juga kakak kelasnya, Ralika seringkali mendapat tatapan benci dari beberapa orang, jadi tak sulit jika mengumpulkan mereka untuk sekedar berkerja sama, sikap Ralika yang dianggap sok berkuasa dan menjadi murid kesayangan guru, menjadi poin penting yang membuat Neta melakukan ini.Rata-rata murid SMA Dharma menilai Ralika sebagai pribadi yang tegas dan sangat dihormati. Mungkin, karena jabatannya sebagai Waketos yang membuat dirinya seperti itu, tapi Neta dengan liciknya menambahkan bumbu-bumbu kebencian. Dan, tak jarang memang berdampak pada beberapa murid."Emangnya lo berani?"Neta tersenyum miring. Tak heran, ada yang mengajukan pertanyaan itu. Semua orang tau dengan kepiawaian Ralika dalam seni beladiri karate dan taekwondo yang tentunya tidak bisa diragukan lagi. Tapi, bukan Neta namanya kalau terpengaruh dengan hal itu."Sejago apapun dia dalam hal bela diri nggak akan bisa namanya kalau ngadepin banyak orang sekaligus. Gue juga bakalan ngajak beberapa anak cowok yang pernah dihukum sama Ika." Neta merubah posisinya menjadi berbalik, "Gue bakal buktiin kalau gue lebih hebat dari lo Ralika," gumamnya."Nanti bakal gue kabarin lagi."Semuanya mengangguk. Perlahan membubarkan diri dari ruang musik, hingga akhirnya hanya menyisahkan dirinya seorang. Neta juga baru akan beranjak dari tempat berdirinya, tapi langsung terhenti saat melihat seseorang sedang berdiri dengan tangan terlipat---bersandar di dekat pintu."Lea," gumam Neta.Lea maju dengan langkah pelan, matanya menyorot Neta yang seolah terkejut dengan keberadaanya."Lo ... lo ngapain di sini?" Neta berusaha menahan keterkejutannya.Untuk sesaat Lea tak bicara, ia sibuk meneliti raut wajah Neta yang terlihat kaget dengan kehadirannya. Cewek itu seperti kepergok mencuri sesuatu."Seharusnya 'kan itu yang gue tanyain ke lo. Ngapain lo di ruang musik? Sama anak kelas dua belas lagi."Neta memilin rambutnya kembali, mencoba bersikap tenang. Sepertinya Lea tidak mendengar obrolannya tadi. Kalau memang benar mendengar? Pasti cewek itu sekarang sudah berteriak padanya."Kenapa juga gue harus kasih tau lo? Gue bisa pergi ke mana pun yang gue mau! Terserah mau sama siapapun, bukan urusan lo!""Nggak usah nyolot dong, gue ngomongnya biasa aja keleus atau ... ini taktik lo lagi yang mau jahatin Ika.""Maksud lo apa ngomong kayak gitu? Denger ya, dari segi apapun gue lebih baik dari Ralika, dan semua orang juga tau itu, jadi buat apa gue ngerencanain hal jahat."Neta tersenyum sinis, bangga dengan perkataannya. Tak ada yang bisa menyangkal kalau dirinya lebih cantik, tak sebanding dengan Ralika yang berwajah flat, tanpa senyum.Lea tertawa terbahak detik itu juga, sedangkan Neta melipat tangannya sambil mengangkat sebelah alis, bingung."Ngapain lo ketawa?""Lo itu kayaknya benci banget sama Ika sampe nggak nyadar posisi," ujar Lea disela-sela tawa."Ika sama lo beda jauh. Buktinya cowok kayak El yang termasuk anak baru ganteng di sekolah ini lebih bilang Ika lebih cantik dari pada lo."Skakmat!Neta berusaha menahan emosinya. Sontak perkataan itu membuat tangannya mengepal.Lea berjalan keluar dari ruang musik, dengan langkah yang dibuat-buat. Sengaja membuat Neta meledak, Lea tersenyum miring sambil melambaikan tangan, tak peduli dengan teriakan Neta yang berteriak 'denger ya! Gue lebih segalanya dari tuh cewek'Entah kenapa perasaan curiga pada Neta masih setia dipikirannya. Lea tau betul sifat cewek itu, sejak awal Neta selalu mencoba berbagai macam cara licik untuk menjatuhkan Ralika, yang dianggap lebih berpengaruh di Dharma dari dirinya.Terbukti, untuk apa ia berkumpul dengan anak kelas 12? Padahal setaunya, Neta tidak terlalu suka kalau berteman dengan kakak kelas.☁☁☁El keluar dari mobilnya dengan langkah pelan, pandangannya lelah. Tasnya bahkan, sudah terseret-seret di dekat kaki. Kalau dirinya punya kekuatan super, sudah pasti El akan menghilang dan langsung muncul di kasur empuk yang nyaman disertai dengan guling kesayangannya."Duh, cape banget."Langsung saja tubuhnya dihempaskan ke sofa. Rasanya badan seakan remuk. Ini rekor baru untuknya, ternyata punya Om kepala sekolah tidak seenak kedengarannya. El sama sekali tak bisa berkutik. Salah gerak sedikit, jaminannya dilaporkan dan berimbas ke uang jajan yang dipotong."Nih rumah sepi amat," Matanya menatap ke sekeliling, "Maaa! Mama!"Tak ada sahutan, mungkin mamanya sedang pergi dengan teman-temannya, biasalah emak-emak zaman now. Mata El beralih pada ponselnya yang berada di dekat lemari. Benda pipih itu berkedip beberapa kali, serta mengeluarkan bunyi getaran."Halo!"Selang beberapa detik El menjauhkan benda itu, gendang telinganya seakan pecah setelah mendengar suara cempreng seseorang dari sebrang. "Eh, lo ngapa nggak ngomong kalau pindah ke Jakarta?! Wah para nih, lo nggak anggap gue nih. Mestinya-""Stooop! Gendang telinga gue pecah rasanya karna suara lo!""Hehe maaf deh, lo sih nggak ngasih tau gue udah pindah ke Jakarta, sekolah di SMA gue dulu lagi. Sayang banget gue udah tamat."Mona Alesya. Jangan heran dengan sikap toa dan nyablak cewek itu. Terkadang sifatnya tak jauh berbeda dengan El yang seenaknya. Mona sepupunya El, anak dari Bima. Si cewek tomboy yang baru lulus tahun ini. Mungkin kalau dari luar tidak akan ada yang menduga Mona anak dari kepala sekolah SMA Dharma, secara mereka sangat berbeda. Ya, mungkin itulah sebab El selalu memanggil Mona dengan sebutan 'abang'."Yaiyalah, secara lo nggak bisa liat cowok seganteng gue!""Ceilah pede lo. Palingan juga diawasin sama papa atau nggak sama Ika, nyali lo langsung ciut."Ika? Ralika? Mona bahkan mengenalnya juga."Yeay, sok tempe lo! Gue mah orangnya nggak penakut, tapi kalau sama Ralika sih, mau-mau aja."Mona diam, satu detik, dua detik, tiga detik."Halo-halo! Woy Bang!""Tunggu tadi lo bilang apa? Jangan-jangan lo suka Ika ya?"El berdecak. "Ah elah, kok malah nyambung ke situ, sih? Jadi malu."Di sebrang sana Mona rasanya ingin muntah mendengar suara El yang malu-malu kucing padahal anjing."Ya nggak papa sih, tapi gue takutnya lo nyerah kalau kena tonjok Ika. Gue kesian sama tante, masa muka ancur anaknya jadi tambah ancur."El jadi kesal. "Woy gue ganteng kali, malah ngatain gue kayak gitu."Mona malah tertawa. "Oke-oke jangan marah brother. Dia itu junior terbaik kalau urusan beladiri, jadi siap-siap aja. Ika itu formal tapi baik kok. Tapi jangan sesekali bilang kalau dia orang baik."El mengerenyit. "Lo ngomong apaan sih? Kok jadi muter-muter gitu.""Eh, udah deh lo nggak bakal paham. Bocah kaya lo nggak bisa ngertiin anak kuliahan kayak gue."Belum sempat El membalas Mona langsung mematikan sambungannya. "Songong banget lo! Baru jadi anak kuliahan aja belagunya minta ampun!"Ralika baru saja meletakan kunci motornya di atas nakas, kakinya segera melangkah menuju kamar karena suara tangisan yang sejak tadi terdengar di gendang telinganya. Ralika berhenti disebuah kamar, membuka pintunya sedikit kemudian, menatap siapa yang ada di sana. Niken seperti sangat kesusahan menenangkan balita berumur dua setengah tahun itu, walaupun dirinya berusaha sabar agar balita itu tidak menangis lagi, tapi malah tangisan itu semakin kencang.Ralika membuka pintu itu sepenuhnya, sehingga terdengar bunyi decitan, saat itulah Niken menoleh, lalu tersenyum. Ralika mendekat, langsung mengambil alih sang adik yang ada dalam dekapan tantenya itu."Sini Tante biar Ika aja yang Gendong Nayla."Sesaat setelah mendekap sang adik, tak ada lagi suara tangisan, malah sekarang Nayla nampak menatap Ralika dengan mata bulatnya."Memang cuma kamu yang bisa tenang dia kalau lagi gelisah." Niken sedikit menyentuh pipi Nayla.Ralika sadar akan hal itu. Ia memang jarang sekali mempunyai waktu u
"Ra, makasih udah temenin gue beli perlengkapan prakarya."Ralika mengangguk kecil sambil membuka sealt belt, tangannya beralih ingin membuka pintu mobil sebelum El menghentikannya."Ra," panggil cowok itu."Hati-hati ya." Ralika mengangkat sebelah alis. "Takutnya nanti lo jatuh,"Ralika menghela napas, ia kira apa? Ternyata cuman itu. Setelah keluar dari mobil, El menunggu beberapa detik lalu kembali membuka suara. "Jatuh cinta," sambungnya.Setelah berkata seperti itu---sama seperti tadi. Cowok itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, tak menghiraukan tatapan Ralika yang menajam. Sungguh El itu sangat aneh dan ajaib, heran sendiri melihat cowok itu masih sempat menggodanya.Dasar!"Ika."Ralika menoleh ke belakang. Niken berjalan mendekat ke arahnya dengan raut yang kurang mengenakan, wajah khawatir serta ragu tercetak jelas, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi lidah terasa keluh."Ada masalah apa, Tante? Kok tadi nyuruh Ika cepet pulang?" Ralika langsung menanyakan hal yan
El dengan santainya memasuki area rumah sambil bersiul, jarinya memilin kunci motor sambil melirik ke kanan ke kiri. Kondisi rumahnya sangat sepi, seperti tidak ada penghuninya.Cowok itu sedikit heran apalagi ada begitu banyak kulit kacang yang berserakan di lantai, dan ya setau El mamanya itu sangat menghindari makanan itu dengan alasan nanti jerawatan. Oke, El memang tau wanita itu agak sulit dengan yang namanya makan. Makan kacang takut jerawatan, makanan berlemak takut berat badan naik, terus mereka juga selalu melakukan diet yang kadang membuat geleng-geleng."Maaa!"Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara detakan jam, sama sekali tak menunjukan ada orang di sana."Woy!"El terperanjak, merasakan sebuah tepukan disertai teriakan di belakang gendang telinganya. Saat menoleh, seorang cewek berambut pendek dengan topi hitam di kepalanya, sedang menyengir."Bang, muncul dari mana lo?" El sempat menunduk mencari lobang jikalau Mona baru saja muncul dari sana, pasalnya tadi sam
Ralika sekarang memakai baju putih longgar yang membuatnya nampak gagah, sabuk hitam terlingkar di pinggangnya. Rambut panjangnya di ikat seperti biasa, berdiri di depan bersama seorang pria berumur dua puluh tahunan."Ralika, kamu tunjukan pada mereka jurus yang kemarin," ucap lelaki ituRalika mengangguk, lalu menatap barisan. Ya, untuk ukuran pemula mereka lumayan siap, apalagi yang mengikuti pelatihan ini mayoritas adalah laki-laki, tak banyak perempuan yang mau ikut untuk sekedar panas-panasan dengan latihan berat, tapi walaupun sedikit semangat mereka masih terlihat."Kalian liat gerakan saya!"Ralika mulai memperagakan gerakannya dengan lihai, pandangannya fokus membuat tertegun semuanya. Cewek itu nampak memukau dengan gerakan tegas lagi hebat. Tak heran, kemampuan Ralika dalam karate memang tak bisa diragukan lagi.Apalagi sekarang El yang sedang menatap cewek itu di seberang lapangan sambil tersenyum kecil. Untungnya jadwal latihan anak karate dan basket sama, jadinya niat
"Eh, nanti kalau lo kenapa-kenapa di jalan, gimana?"Ralika langsung menepis kasar tangan El, yang seenaknya saja menempel di pergelangan tangannya. Ini antara modus dan khawatir, sama sajalah, tak ada bedanya untuk ukuran cowok seperti El. Seharusnya El tau, apa risikonya kalau berani macam-macam dengan Ralika."Sakit banget," gumam El sambil mengelus tangannya."Apa kamu nganggep saya lemah? Saya bisa jaga diri, kalau perlu tulang kamu bisa saya patahkan sekarang juga!" El mundur beberapa langkah, antara takut bercampur ngeri."Jangan dong 'kan nggak enak orang ganteng patah tulang." Untuk kesekian kalinya Ralika menghela napasnya, jengah. Sulit berbicara dengan orang seperti ini. "Eh-eh tunggu dulu!"Ralika berhenti, untuk apa lagi, benar-benar membuang waktunya. "Ada apalagi?""Hati-hati ya." El tersenyum sambil melambaikan tangan.Ia langsung berbalik, tak mau berlama lagi di sana. Seharusnya tadi ia tak menerima begitu saja tawaran cowok itu, sekarang efeknya bukan hanya sebatas
"Ya ampun! Kenapa, sih, nih idung pake mampet!"Sudah setumpuk tisu sudah menggunung di hadapan El saat ini. Bahkan, belum cukup sama sekali meredakan hidungnya yang terasa mengganjal untuk bernapas. Karena hal inilah, ia tak harus izin beberapa hari. Ya, kalau ini semacam liburan, El akan menerimanya dengan senang hati. Tapi ini, huuuuh...Seseorang datang sambil memilin-milin kunci motor, terdengar suara siulan dari bibir pink itu. Mata cewek itu menatap sekilas El, lalu segera menghampiri cowok itu dari belakang. "Ceilah, hidung lo tambah lama kayak badut."El mendengus. "Senang lo, Bang, gue sakit bukannya di do'a-in cepet sembuh, malah ngeledek!" "Iya deh, gue do'a-in ... doa'in biar cepet mati." Kembali tawa Mona terdengar, hal itu kembali membuat El ingin segera menenggelamkan kakaknya itu sekarang juga. Padahal, kemarin ia begitu semangat Ralika mau satu mobil dengannya, walaupun sebentar.Mungkin benar kata orang-orang. Anak yang suka mendahulukan kepentingan sendiri dari p
Masih dalam posisi terdiam, Ralika sama sekali tak berkutik ketika ia dibopong keluar oleh Niken.Terlihat murid-murid yang sejak tadi bergerombol di depan ruangan perlahan membubarkan diri saat melihatnya, mereka kembali seperti biasa, seolah tak melihat apa-apa."Terima kasih Pak Bima, nanti saya akan berbicara dengan Ika soal masalah ini."Setelah berjabat tangan dan mengucapkan permisi. Niken dan Ralika langsung menuju area parkiran, demi kenyamanan satu sama lain, Bima memang menyuruh Ralika untuk pulang lebih cepat. Lagian juga ini bukan masalah sepele, ini menyangkut reputasi sekolah, apalagi yang berurusan merupakan salah satu murid terpenting.Ralika sama terdiamnya, meskipun mereka telah meninggalkan kawasan sekolah beberapa menit lalu, cewek itu sama sekali tak menunjukan tanda-tanda ingin bicara, seperti membela diri. Niken pun sama, ia juga tak bicara apa-apa, terlebih dia sangat tau sifat Ralika, keponakannya itu tak akan berbuat sembarangan dalam berbuat. Ralika akan me
"Loh duduk dulu, gue cuman mau ngobrol doang kok sama lo, siapa tau lo bisa tenang."Ralika sama sekali tak beranjak, cewek itu terus menatapi tangan El yang menepuk-nepuk ke samping. Dalam kondisi seperti ini Ralika masih tak mempercayai apapun. Tangannya terkepal seketika, pikirannya tertuju akan suatu hal, mungkin cowok ini ada di sini hanya ingin melihat sisi lemahnya. Kasihan? Ia tak butuh!"Saya nggak butuh, buat apa kamu ke sini, kamu tau 'kan saya ini anak narapidana, kenapa kamu terus-terusan ganggu saya?!"El sempat terdiam mendengarnya, ia cukup kaget akan perkataan Ralika yang langsung dengan nada tinggi. Tapi, El paham betul kondisi cewek itu. "Saya nggak butuh kasian kamu!"Ralika berbalik, seharusnya ia tak begitu saja terbawa emosi. Baru saja berjalan selangkah El berteriak, "tapi yang narapidana itu bokap lo bukan lo-nya!"Langkah Ralika terhenti, lalu seketika memejamkan mata berusaha meredam emosinya. Seperti yang selalu mamanya bilang, kalau emosi akan memperburuk
Seolah tersadar kalau sejak tadi matanya tak lepas dengan sosok cowok itu, Ralika segera melangkah keluar."Rara!" teriak El langsung turun begitu saja. Tepat saat ia turun dari panggung sempat El berpapasan dengan Alex. Cowok itu mengangkat tangannya, lalu menepuk punggung El seperti sebelumnya. "Good luck!""Rara!" panggilnya sekali lagi."Stop!" El mencoba mengatur napasnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mata tajam Ralika seperti sudah tak ada lagi, lenyap tanpa jejak."Gue butuh jawaban," ucap El mantap."Minggir, saya harus ke atap sekolah!"El menggeleng. "Gue tadi udah susah-susah, Ra, buat nyanyi, ada yang fals apa? Sampe lo nggak mau bilang ya atau mau?"Ralika melipat tangannya. Seperti anak kecil yang meminta permen, Ralika lebih menganggap El seperti itu saat cowok itu tetap keukeh menghadang jalannya. Ralika mengangkat satu tangannya, menurunkan salah satu tangan El yang terbentang."Apa kamu benar-benar serius?" El mengangguk menyakinkan. "Iya."Ralik
"Lea mau sampai kapan kamu menata rambut seperti itu?"Ralika sejak tadi menatap jamnya. Ia telah membuang waktu cukup banyak untuk sekedar menunggu Lea yang sejak tadi menata rambut."Ya ampun Ika, lo tau nggak, jadwal kalian kumpul semua itu jam 7."Lea berbalik, saat dirasa rambutnya sudah tertata. "Ka, lo pakai ini doang?"Ralika melipat tangannya lalu menunduk. Tidak ada yang salah dengan dirinya, semuanya lengkap. Buku kecil dan pena untuk mencatat kekurangan acara juga sudah disiapkan. Bajun berwarna hitam, serta jelana jins senada. Ini biasa 'kan?"Setidaknya lo dandan dikit lah Ika."Lea menarik Ralika agar duduk. "Lea kita tidak punya waktu, terlebih lagi saya ini adalah panitia bukan yang akan tampil."Lea malah sibuk mengecek tasnya, mengeluarkan benda warna-warna yang Ralika saja tidak tau apa namanya."Sekarang kita pergi, panitia sudah menunggu."Baru berdiri dua detik Ralika kembali dipaksa duduk oleh Lea. Mungkin Lea orang pertama yang membuat Ralika hanya bisa diam s
Drrt... Drttt...El melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar. Sebenarnya benda itu berungkali berkedip, tapi ia biarkan saja, karena biasanya jam segini yang akan masuk pesan tidak penting. Pesan tidak penting dari nomor tak dikenal, hal itu juga karena Ilham dan Afdi yang memberikan nomornya begitu saja pada semua cewek asal mereka bayar. Teman macam apa itu!"Hallo!"Karena sejak tadi benda itu terus menganggunya. El mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo-hallo lo, lama amat sih ngangkat telfon gue!""Lah!" El menjauhkan ponselnya itu lalu menatapnya beberapa detik. Bang Mona."Lo Bang, ah kenapa nggak bilang!" El berdiri dari tempat tidurnya lalu berdiri dengan wajah berseri. "Lo kenapa nggak ada kabar sih setelah balik, padahal gue mau kasih tau sesuatu. Lo tau nggak kalau-""Eh-eh bentar, gue telfon lo cuman mau titip pesen sama bokap, transfer duit bulanan!""Hah? Lo 'kan bisa telfon Om, kenapa jadi gue?""Hp Papa sama Mama mati, terus Tante Nala kayaknya lag
Lega, rasanya beban yang selama ini hinggap di hati Ralika telah hilang bersamaan dengan perginya sang Papa. Sekali lagi, sebelum berbalik, Ralika sempat menatap gundukan tempat Hendra beristirahat yang tepat di samping makam Kayla selama beberapa detik. Kenangan biarlah menjadi kenangan, meskipun memang berlangsung pahit, tapi semuanya sudah terjadi. Sebuah pelajaran datang saat seseorang mengalami kesulitan di masa lalunya.Kayla, Ralika bisa merasakan kalau adiknya itu akan bahagia di sana."Semangat, okey."Ralika menyentuh tangan Lea yang tersampir di pundaknya lalu mengangguk. Di sana hanya tersisatiga orang sedangkan yang lainnya sudah pulang duluan, kepala sekolah dan guru-guru pun tadi juga datang untuk mengungkapkan bela sungkawa. Nilam juga harus banyak istirahat, karena kondisinya yang kembali drop karena banyak pikiran."Kamu sebaiknya pulang duluan.""Nggak ah, gue mau nemenin lo.""Seragam kamu masih belum diganti, tas kamu juga, itu melanggar aturan sekolah, seharusn
Ika .... " Ralika mengalihkan pandang. Berusaha mengendalikan hatinya, suara lirih Nilam seolah menuntunnya mendekati pria itu."Ma ... afin ... Papa."Ralika masih tak merespon perkataan Hendra yang bersusah payah mengatakan kalimat itu. Salivanya tertegun beberapa kali, ada perasaan tak sanggup saat menatap kembali pria itu, kilasan tentang kekejamannya sangat terekam jelas. Tapi ini untuk pertama kalinya, Hendra terlihat tak berdaya. Begitu lemah.Ralika sudah mengatakan orang baik akan dianggap yang paling lemah. Dan hari ini dia membuktikannya, mamanya kini sedang menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh harap. Memaafkan? Itu hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menutup sebagian hatinya!"Ka, mama mohon."Desakan lirih itu membuat Ralika tak sadar telah menatap Hendra. Matanya terpejam sesaat setelah melihat pria itu, apakah ia kini bermimpi? Sudah jelas Ralika melihat cairan bening dari ujung mata pria itu. Tangan kiri Hendra terangkat dengan sisa-s
Untuk acara HUT kali ini, semua panitia sudah dibagi dari berbagai macam lomba. Seperti rencana awal, SMA Dharma mengadakan banyak lomba yang diikuti dari berbagai sekolah. Dharma murni sebagai tuan rumah dan tak terlibat dalam lomba apapun. Hingga sekarang terhitung 2 hari setelah hari pembukaan. Yang sudah bertanding adalah dari club olahraga, yaitu Futsal dan Volly. Dan hasil penyerehan hadiah bagi yang menang akan dilaksanakan, siangnya, tepat tanggal 31 Desember. "Ka, lo bisa ngira nggak antara SMA Raya sama SMA Wijaya yang mana menang?" ucap Lea sambil menatap ke depan.Ralika diam. Kini pandangannya menyapu satu persatu pemain yang berusaha mencetak poin. Sambil memakai kalung panitia dengan name tag namanya, Ralika kini turut menjadi panitia. Di sebrang ada Alex yang menggunakan baju kaos biru berlengan pendek dengan kalung panitia yang sama dengannya."Ka, jawab!" desak Lea.Terdengar hembusan napas pelan dari hidung Ralika. Padahal dari tadi ia sudah mengatakan agar cewek i
"Ika, ya ampun, gue nggak nyangka banget Pak Bima ngumumin lo nggak salah hari ini, ah kenapa kepala gue harus pusing sih, gue pengen banget deh ngeliat mukanya Neta, pasti dia kesel banget tuh."Lea mencerocos tak jelas saat Ralika masuk, sudahlah tak masalah kalau hanya dibalas diam Ralika. Hari ini, hari bahagianya, wajah-wajah yang pernah menghujat Ralika rasanya sudah terhantam oleh kebenaran yang ada. Sayang sekali momen itu harus terlwat saat dirinya di UKS.Ralika duduk di kursinya. Meski secara tak langsung, ia bisa melihat kumpulan murid di sebelah kanan dari ujung matanya. Ralika juga sebenarnya tau kalau mereka tampak bingung ingin mendekat sambil mendorong satu sama lain. Jika kata orang siapapun tak akan luput dari pengawasannya selama berada di SMA Dharma, jawabannya benar. Ralika tau kalau merekalah yang mencoret mejanya dengan berbagai kata kasar selama ini secara diam-diam.Ralika berdiri lalu mendekati mereka. Pandangannya datar. Melihat Ralika yang mendekat, mereka
Ralika memandang lurus-lurus, tepat menatap manik mata El yang menunggu ucapan keluar dari mulutnya. Perlahan matanya turun ke tangan El yang tengah menggenggam lengannya. Dengan sekali hentak cekalan itu terlepas."Saya masih ada urusan."El tak beranjak. "Tapi lo belum jawab pertanyaan gue!"Ralika berhenti. Mengepalkan kedua tangannya, lalu berbalik. "Lebih baik kamu sembuhin dulu luka kamu, baru bisa ngomong."El dibuat terdiam. Otaknya berpikir keras, biasanya Ralika akan dengan tegas menjawab sesuatu yang ditanyakan padanya. Tapi tampaknya cewek itu tak ada sedikit pun menerima atau menolak. Senyum miring El terukir, tepat saat Ralika berbelok."Gue masih punya kesempatan."El meloncat kecil, lalu berbalik. Tepat saat itu pula Alex berada di depannya, dengan kedua mata sulit diartikan."Ngapain lo ke sini? Nguping gue sama Rara ya?" ucapnya sinis. Tapi kemudian El mengelus dagunya, mendekati Alex."Lo denger 'kan tadi gue bilang apa?""Gue denger."El tersenyum puas. Ia kemudian
"Nayla." Ralika baru saja yang pulang dari sekolah. Tujuannya ingin langsung masuk ke kamar dan mempersiapkan diri untuk latihan karate sore ini, tapi perhatiannya langsung tertarik pada Nayla yang tengah duduk di lantai sambil memainkan bonekanya."Bi Leli ke mana?" Pandangan Ralika mengedar, mencari keberadaan wanita itu.Sedikit ragu untuk mendekat, cewek itu menatapi Nayla selama beberapa saat sebelum akhirnya mendekat lalu berjongkok. Balita itu spontan menatapnya lalu tersenyum sambil menampilkan 2 buah gigi yang tumbuh di bagian bawah."Kakak."Ralika terdiam, padahal tak ada yang dirinya lakukan tapi balita itu malah tertawa dan kakak? Hatinya berdesir mendengarnya."Lo tau senyum itu ibadah, dengan senyum berarti bahagia,"Otaknya memutar kembali perkataan cowok itu, hingga tanpa sadar tangan kanannya terulur mengelus pipi gembul Nayla yang masih menampakkan senyum. Setelahnya Ralika menarik Nayla dalam dekapan. Matanya terpejam, merasa baru kali ini dia merasa begitu dekat d