Terhitung, ini adalah hari ketiga El bersekolah di SMA Dharma. Ia juga sudah banyak tahu tentang sekolah ini sekarang, belum lama ini di kelasnya sudah banyak cewek-cewek yang antre berkenalan dengannya, bahkan, tak sungkan memberi hadiah ataupun surat.
Pembawaan sifat El yang supel dan mudah bergaul, membuat orang lain merasa tak canggung padanya, meski baru kenal. Hal itu juga membuat kebanyakan dari mereka sering menyalahartikan sikapnya yang murah senyum, beberapa menganggap kalau El playboy.Padahal yang sebenarnya ... hanya dirinya dan Tuhan yang tau.Tapi, El tetaplah El. Di sekolah baru maupun sekolah lama cowok itu selalu bertingkah sesuka hati, kadang tak jarang ia menjahili teman sekelasnya atau menggoda guru perempuan dari yang muda sampai yang punya anak empat malah."Btw, nggak ada apa gitu hari ini, gue malas ke kantin, pasti rame.""Ya wajarlah rame, orang jam istirahat," timpal Ilham.Ardan menatap El. "Ngaku aja, lo ngindarin cewek-cewek yang mau kenalan sama lo 'kan.""Ya itu salah satunya, digerumbungin kayak gitu, panas."Ardan memutar bola matanya. "Ya kalau nggak mau di gerumbungin. Kenapa lo kasih mereka harapan palsu?""Harapan palsu? Perasaan gue nggak ngasih harapan sama mereka.""Terus lo senyumin mereka sambil ngedipin mata. Menurut lo mereka nggak baper?""Ye gue kagak tau kalau soal itu, gue orangnya emang kayak gini," sahut El dengan santainya.Ilham berdecak. Ia langsung berdiri di tengah-tengah Ardan dan El---berupaya memisahkan keduanya sebelum mereka saling tonjok, tak lucu kalau dua orang ini babak belur karena alasan tak penting."Aduh ngapain malah ngomongin itu sih, mendingan sekarang kita ke lapangan, kita main basket di sana, gimana?" tanya Ilham."Nah, ide bagus, gue udah lama nggak main basket," balas Afdi berbinar-binar.Mereka melangkah menuju lapangan basket. Untungnya lapangan basket hari ini tidak seramai di kantin, bahkan, nyaris sepi, hanya ada tiga orang di sana. El memicingkan mata saat melihat tiga orang berada di tengah lapangan.Dua orang laki-laki yang sedang push up, dan seorang perempuan dengan rambut diikat satu ke belakang yang berdiri sambil gerakan mulut yang menghitung, tak hanya itu ia terlihat memegang buku kecil dan sebuah pena tersampir."Ham, itu mereka ngapain?" tanya El tanpa mengalihkan pandangan. Ia belum bisa melihat wajah orang-orang itu dengan jelas.Ketiganya mengikuti arah pandangnya, lalu detik berikutnya melempar pandang, seolah menentukan siapa yang harus memberi tau."Itu mereka pasti lagi kena hukuman," celetuk Ilham cuek, seolah itu adalah hal biasa.El masih terfokus ke arah 3 orang itu. Ia memperhatikan cewek dengan rambut terikat dengan berwajah datar itu lekat-lekat. "Kok yang hukum cewek?"Afdi sedikit menonjok pinggang El lalu melihat ke arah lapangan, waspada, sedangkan El meringis sambil memegangi pinggangnya yang dipukul tiba-tiba. "Lo ngapain sih, nonjok gue?!""Lo jangan kenceng-kenceng, nanti Ika denger gimana? Bisa berabe!" bisik Afdi."Loh emangnya kenapa?"Ilham menggeser tubuh Afdi yang ada di sebelahnya, mendekati El dengan cepat."Gini ya, lo mesti tau, itu cewek yang lagi bediri di sono, noh," Ilham menunjuk-nunjuk ke lapangan, "bukan sembarang cewek. "El menaikan sebelah alisnya. "Bukan sembarang cewek? Maksud lo, dia bisa berubah?""Ah elah gue serius nih, namanya Ralika sering dipanggil Ika. WaKetos di sini, orangnya galak dan jutek abis, jago karate ama taekwondo. Siswa teladan plush tangan kanannya para guru."El memperhatikan cewek itu, rasanya ia pernah melihat cewek itu sebelumnya. Seperkian detika mata cowok itu tak pernah luput terus memperhatikan Ralika, beberapa detik kemudian ia teringat satu hal."Oh namanya Ralika," gumamnya.Ilham, Afdi, dan Ardan saling pandang lalu bersamaan menatap El kini tersenyum.El melirik ketiga temannya sekilas lalu memasukan tangannya ke dalam saku celana, lalu berjalan ke arah Ralika dan dua orang cowok di sana, meninggalkan ketiga temannya yang bertanya-tanya dalam pikiran masing-masing."Dan, tuh anak ngapain ke sono?""Gue juga kagak tau, Dol."Senyum El merekah bersamaan dengan langkahnya yang kian lebih dekat."Stop! Hukuman kalian selesai, kalian boleh pergi."Kedua cowok itu nampak terkulai lemas, napas mereka terengah, sekaligus lega hukuman yang mereka jalani telah selesai. Tadi, niatnya ingin menaiki pagar belakang sekolah untuk membolos. Namun, apa yang terjadi?Mereka malah tertangkap. Alhasil, mereka dihukum 30 kali push up."Untuk seterusnya, Saya tidak mau kalian membolos. Kalau sampai hal itu terjadi hukuman kalian lebih dari ini."Ralika berucap sambil menulis di buku kecilnya. Kedua cowok yang notabene-nya kelas 10 itu hanya mengangguk patuh lalu pergi."Hai!"Ralika menoleh, melihat seorang cowok berdiri di sampingnya yang sekarang tersenyum. Ia mengangkat sebelah alis merasa tidak pernah mengenal cowok itu, oh ya Ralika memang tak kenal siapapun.Iham, Afdi, dan Ardan yang ada di pinggir lapangan terkejut. Mereka tak menyangka El akan mengajak cewek itu bicara.Ilham meletakan tangan kanannya di bahu Afdi yang tepat di sebelah kirinya sambil terus menatap ke depan. "Dol temen lu tuh, gila? Mau ngajak Ika kenalan atau apasih?"Afdi menoleh ke Ilham. "Eh ogeb, tuh temen lo juga kali."Ralika tidak menggubris sapaan cowok itu. Ia ingat betul siapa dia, orang yang ada ke ruang kepala sekolah seminggu yang lalu. Cowok yang seenaknya masuk tanpa mengucapkan salam ataupun permisi, benar-benar tidak sopan!Selama beberapa saat pandangan Ralika masih biasa saja, sampai matanya turun ke arah baju cowok itu. "Masukin baju kamu, sekolah ini punya peraturan!"El langsung menunduk, membetulkan bajunya. Ralika melangkah pergi."Eh, tunggu!"El berjalan mengimbangi langkah kaki cewek itu yang bisa dikatakan cepat. El semakin mempercepat langkahnya, berusaha menyamai langkah cewek itu, bahkan ia sudah lupa akan ketiga temannya yang berada di pinggir lapangan---memperhatikan kepergian mereka."Jalannya jangan cepet-cepet dong."Ralika jengah, ia berhenti. "Mau kamu apa? Saya tidak ada waktu mendengarkan perkataan kamu yang tidak penting."El menggaruk tengkuknya, kikuk sendiri. Rasanya sangat aneh, saat cewek itu berbicara dengan sangat formal, layaknya sedang berpidato, bahkan di wajahnya hanya ada wajah tanpa ekspresi."Gue mau kenalan.""Saya tidak punya waktu untuk bermain-main, jangan ganggu saya atau nanti kamu akan dapat masalah!"Ralika langsung melangkah pergi meninggalkan El yang menatap ke pergiannya dengan senyum misterius. Detik berikutnya cowok itu memutar tubuh, berjalan menuju kelas.☁☁☁Kernyitan di dahi El semakin tampak, ketika mendapat tatapan tak biasa dari ketiga temannya---seperti ia baru keluar dari penjara saja."Kalian kenapa? Natap gue kayak mau nelen?" tanya cowok itu polos.Mereka bertiga maju.Pletak...Pletak...Pletak...El meringis mendapat jitakan yang tiba-tiba. "Duh kalian kenapa sih mukul pala gue?""Eh lo, yang harusnya marah itu kita, seenaknya aja ninggalin di lapangan."El tersenyum kikuk mendengar perkataan Ilham. Ia tadi lupa meninggalkan mereka di sana, malah sibuk mengejar Ralika."Iya maaf gue salah, tadi gue lupa kalian di sana."Afdi yang pertama menggeleng. "Nggak, sebagai gantinya lo harus traktir makan bakso di depan pulang sekolah nanti."El mendengus, ternyata teman barunya itu mengambil kesempatan dalam kesempitan."Iya-iya, nanti kalian boleh makan sepuasnya."Benar saja setelah berkata seperti itu, ketiganya langsung melompat kegirangan seperti mendapat undian mobil. Tapi, hal itu tak berlangsung lama, mereka berhenti dari kegiatan gilanya itu lalu beralih menatap El dengan pandangan seolah ingin bertanya."Kenapa?""Lo tadi ngajak kenalan Ika?"El tersenyum simpul."Iya."☁☁☁Ralika masuk ke kelas. Awalnya suasana di kelas sangatlah bising, bahkan dari jangkauan 50 meter suaranya masih terdengat jelas, tapi hal itu tak lama, begitu Ralika masuk keadaan kelas mendadak hening.Sorot mata Ralika fokus. Ia sekali-kali melirik para siswa laki-laki yang kini diam di pojok ruangan. Begitulah saat ia datang semuanya akan diam tak berani bersuara."Ika!"Seorang cewek dari belakang berjalan mendekat dengan cengiran khas. Lea, cewek berambut sebahu itu tak henti-hentinya menganggunya."Lo baru hukum orang ya?"Ralika duduk di bangkunya. Ia jengah, mengapa cewek itu selalu mendekatinya, padahal jelas-jelas ia dikenal tegas dan tak suka diganggu.Gadis itu tanpa canggung duduk di samping Ralika."Kok nggak dijawab?"Ralika menatap Lea tajam, bukannya takut dengan tatapan mematikan itu ia malah kembali tersenyum tak jelas."Kamu selalu menganggu saya, saya sudah bilang kalau saya tidak suka diganggu! Apalagi dengan gadis cerewet seperti kamu!""Ah elah, kita 'kan temen, sesama teman emang harus saling memperhatikan."Ralika mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ia sudah pusing memikirkan cowok aneh yang di temuinya tadi, sekarang gadis ini membuat beban pikirannya bertambah.Lea memperhatikan Ralika yang menatap bukunya lalu tersenyum. Rasanya sangat susah menjadi teman cewek itu, bahkan hampir setahun mereka sekelas. Ralika tidak pernah bergaul dengan siapapun, kecuali anggota OSIS, itupun kalau penting.Lea tau sebenarnya Ralika orang yang baik. Ia masih ingat waktu pertama kali melihat sekolah ini untuk mengikuti MOS.Lea merupakan orang Sumatera yang pindah ke Jakarta, dan tentu masih asing dengan suasana baru. Saat itu dirinya terlalu pemalu, sehingga senior sering menindasnya dan menyuruhnya semau mereka saat mengikuti MOS. Lea hampir menangis, rasanya tak sanggup berada di sekolah.Namun, hal yang terduga datang, Ralika satu-satunya siswi baru yang berani berhadapan dengan Senior yang menindasnya. Dan saat itulah Lea menganggap Ralika sebagai teman sekaligus penyelamatnya sampai saat ini, walau gadis itu selalu mengabaikannya dan berkata kasar.Bahkan dengan adanya Ralika, sekarang Lea lebih bisa menjaga diri dan tidak ditindas kakak kelas lagi."Bu WaKetos sibuk ya? Dari tadi buka buku terus.""Apa kamu tidak ada kerja lain selain mengganggu saya?!""Nggak ada."Ralika mendengus, sudahlah. Lebih baik diam, Lea akan terus bicara kalau dirinya menanggapi.Wajah serius dan penuh ketegasan terpencar dari gadis itu. Semua orang memperhatikan Ralika yang sibuk menjelaskan rencananya melalui HUT sekolah. Beberapa diantaranya mengangguk-angguk mendengar sebuah ide keluar dari mulutnya."Gue setuju ide lo, Ka," celetuk Ferdi mengangkat tangannya.Neta sang sekretaris OSIS berdiri dari duduknya. "Kalau menurut gue, ide lo itu nggak bagus."Si Ketua Osis yaitu Alex menatap Neta yang memang duduk di sampingnya. Ya, siapa yang akan selalu menentang tentang apa saja yang berhubungan dengan Ralika selain cewek itu, entah itu apapun, mau benar ataupun salah."Ta, idenya Ika itu bagus," balas Alex.Neta duduk kembali ke tempat duduknya menatap Alex. "Menurut gue idenya itu terlalu norak? Gue nggak mesti harus setuju 'kan? Lagian mentang-mentang dia tangan kanan guru, kalian setuju-setuju aja idenya."Alex menghela napas, berusaha sabar sedangkan Ralika, masih setia berdiri, sama sekali tak berniat membalas perkataan Neta. Semua orang bebas berpendapa
El bersiul pelan sambil menyisir rambutnya ke arah belakang. Afdi dan Ardan terfokus pada layar playstation yang menampilkan permainan football, sedangkan Ilham, cowok itu asyik sendiri menikmati keripik kentang bumbu balado ukuran jumbo di tangannya."Woh, ganteng banget gue," celetuk El menatap pantulan dirinya di cermin."Dari tadi yang ada ngurusin rambut mulu, kayak cewek aja," timpal Ilham kembali memasukan keripik kentang ke mulutnya. Afdi dan Ardan masih setia pada permainan mereka. Sama sekali tak terganggu dengan celotehan keduanya."Kayak nggak tau aja, orang kasmaran kan emang 11 12 sama orang gila," ujar Afdi tanpa menoleh.El mengambil bantal di atas kasurnya. Melempar asal ke arah Afdi yang masih setia menatap layar permainan, dan tepat sekali mengenai wajahnya."Allahuakbar.""Yes, gue menang," girang Ardan detik itu juga.Afdi mendengus kecewa. Ia kalah permainan karena tiba-tiba di timpuk. Yang tadi awalnya fokus mencetak gol jadi buyar seketika dan berujung kebobol
Ralika masuk ke kelas pada jam istirahat. Ia tak bisa masuk pelajaran pertama karena harus mengawasi cowok tak tahu malu itu membersihkan toilet, meski sebenarnya Ralika harus menghela napas ribuan kali, mendengar gombalan receh tak bermanfaat El. Bagaimana pun ia tak mau mengabaikan amanat Bu Rina, dengan pergi karena jenuh mendengar perkataan tak berguna cowok itu."Ika!"Matanya tertuju pada seorang cewek berambut ikal yang mendekat ke arahnya dengan membawa sebuah buku sambil senyum melebar."Nih."Ralika bergeming menatap sebuah buku yang di sodorkan Lea. "Untuk apa?"Lea tersenyum, cewek itu menarik tangan Ralika lalu meletakan buku tulis itu di telapak tangannya."Ini buku catatan gue, tadi 'kan lo nggak masuk kelas gara-gara gantiin Bu Rina. Jadi, lo pinjem aja buku catetan gue."Ralika menatap Lea tidak berekspresi kemudian matanya turun menatap buku tulis tersebut, perlahan tangannya membuka tiap lembar buku itu dengan teliti. Catatan materi di buku itu lengkap, semua rangku
"El kita nggak balik, nih?" ucap Afdi. Sejak tadi mereka berdiri di depan kendaraan itu cukup lama, tapi tak ada tanda-tandanya El akan menawarkan untuk naik, malah dengan santainya menatap gerbang sambil memainkan kunci mobilnya.El menoleh. "Kalian kalau mau balik, balik aja, ngapain nungguin gue."Ketiganya saling pandang. "Jadi kita nggak pulang naik mobil lo, nih?""Nggak! lo semua pulang sendiri lah!"Afdi langsung cemberut. El sama sekali tak mengijinkannya ataupun yang lain menaiki kendaraan berwarna hitam itu."Ya, terus lo mau bawa nih mobil sendiri, gitu? Ngapain coba nyuruh supirnya pulang naik taksi, kalau nyatanya nggak ngajak kita pulang bareng," celetuk Ardan.El memandang ketiga temannya sambil berkacak pinggang. "Gue sengaja nyuruh Pak Jodi pulang duluan, biar Ralika pulang bareng gue. Bukan ngajak lo bertiga balik!"Ilham yang mendengar penuturan El menepuk jidatnya. "Ealah, ternyata lo ogeb banget!"El langsung menjitak kepala Ilham cukup keras. "Lo nggak nyadar lo
El memejamkan matanya menikmati hidup yang kadang menyenangkan. Tidak ada pelajaran matematika yang memenuhi kepalanya, tidak ada ocehan dari guru yang super duper galak seperti Bu Wike.Free class menurutnya hal yang sangat membahagiakan, rasanya seperti di atas awan. "Gue bosan di kelas mulu."El membuka matanya menoleh ke kanan dimana Afdi sedang menekuk wajahnya. "Mendingan kita ke lapangan basket aja ngeliat pertandingan," ucapnya lagi."Kalau lo mau ke lapangan, ke lapangan aja," Pandangannya berubah memandang Ilham dan Ardan, "lo berdua juga bisa ikut. Gue mau tidur di kelas, lumayan free class capek begadang semalam."Afdi berdecak. "Ya nggak seru kalau lo nggak ikut 'kan jadi nggak lengkap, Emgansi.""Emgansi? Apaan tuh?" bingung Ardan."Empat cogan bergengsi," ujar Afdi menaik turunkan alis.Ardan bergidik melihat tingkah Afdi. "Jijik gue ngeliat lo kayak gitu."El masih menatap ketiga temannya, malas, memindahkan kedua tangannya menjadi bantal. "Kalian kalau mau kelapangan,
Ralika mengelus kepala wanita yang terbaring lemah di hadapannya kini. Matanya tertutup dengan beberapa alat medis tertempel memenuhi tubuh. Suara alat deteksi jantung terdengar mengalun normal mengikuti irama jantungnya. Hal itu menandakan masih ada kehidupan di balik wajah pucat itu.Ralika bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu, ia sempat berbalik sebentar sebelum akhirnya keluar dengan wajah tertunduk.Untuk beberapa jam yang lalu Ralika sempat khawatir saat Niken ke sekolahnya dan mengatakan 'rumah sakit' Seperti ada dentuman keras yang menyerang dada, pikiran buruk tak bisa dibendung akan kemungkinan yang terjadi. Ruang tempat Nilam--mamanya-- dirawat saat itu sedang tertutup karena dokter sedang menanganinya. Lutut Ralika melemas untuk beberapa saat, yang hanya bisa dilakukannya hanya berdo'a dalam hati.Setelah beberapa menit, pintu ruangan terbuka, dokter dan beberapa suster keluar. Buru-buru Niken mencecar sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Dokter itu terdiam
Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta. Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngur
Ralika baru saja meletakan kunci motornya di atas nakas, kakinya segera melangkah menuju kamar karena suara tangisan yang sejak tadi terdengar di gendang telinganya. Ralika berhenti disebuah kamar, membuka pintunya sedikit kemudian, menatap siapa yang ada di sana. Niken seperti sangat kesusahan menenangkan balita berumur dua setengah tahun itu, walaupun dirinya berusaha sabar agar balita itu tidak menangis lagi, tapi malah tangisan itu semakin kencang.Ralika membuka pintu itu sepenuhnya, sehingga terdengar bunyi decitan, saat itulah Niken menoleh, lalu tersenyum. Ralika mendekat, langsung mengambil alih sang adik yang ada dalam dekapan tantenya itu."Sini Tante biar Ika aja yang Gendong Nayla."Sesaat setelah mendekap sang adik, tak ada lagi suara tangisan, malah sekarang Nayla nampak menatap Ralika dengan mata bulatnya."Memang cuma kamu yang bisa tenang dia kalau lagi gelisah." Niken sedikit menyentuh pipi Nayla.Ralika sadar akan hal itu. Ia memang jarang sekali mempunyai waktu u
Seolah tersadar kalau sejak tadi matanya tak lepas dengan sosok cowok itu, Ralika segera melangkah keluar."Rara!" teriak El langsung turun begitu saja. Tepat saat ia turun dari panggung sempat El berpapasan dengan Alex. Cowok itu mengangkat tangannya, lalu menepuk punggung El seperti sebelumnya. "Good luck!""Rara!" panggilnya sekali lagi."Stop!" El mencoba mengatur napasnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mata tajam Ralika seperti sudah tak ada lagi, lenyap tanpa jejak."Gue butuh jawaban," ucap El mantap."Minggir, saya harus ke atap sekolah!"El menggeleng. "Gue tadi udah susah-susah, Ra, buat nyanyi, ada yang fals apa? Sampe lo nggak mau bilang ya atau mau?"Ralika melipat tangannya. Seperti anak kecil yang meminta permen, Ralika lebih menganggap El seperti itu saat cowok itu tetap keukeh menghadang jalannya. Ralika mengangkat satu tangannya, menurunkan salah satu tangan El yang terbentang."Apa kamu benar-benar serius?" El mengangguk menyakinkan. "Iya."Ralik
"Lea mau sampai kapan kamu menata rambut seperti itu?"Ralika sejak tadi menatap jamnya. Ia telah membuang waktu cukup banyak untuk sekedar menunggu Lea yang sejak tadi menata rambut."Ya ampun Ika, lo tau nggak, jadwal kalian kumpul semua itu jam 7."Lea berbalik, saat dirasa rambutnya sudah tertata. "Ka, lo pakai ini doang?"Ralika melipat tangannya lalu menunduk. Tidak ada yang salah dengan dirinya, semuanya lengkap. Buku kecil dan pena untuk mencatat kekurangan acara juga sudah disiapkan. Bajun berwarna hitam, serta jelana jins senada. Ini biasa 'kan?"Setidaknya lo dandan dikit lah Ika."Lea menarik Ralika agar duduk. "Lea kita tidak punya waktu, terlebih lagi saya ini adalah panitia bukan yang akan tampil."Lea malah sibuk mengecek tasnya, mengeluarkan benda warna-warna yang Ralika saja tidak tau apa namanya."Sekarang kita pergi, panitia sudah menunggu."Baru berdiri dua detik Ralika kembali dipaksa duduk oleh Lea. Mungkin Lea orang pertama yang membuat Ralika hanya bisa diam s
Drrt... Drttt...El melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar. Sebenarnya benda itu berungkali berkedip, tapi ia biarkan saja, karena biasanya jam segini yang akan masuk pesan tidak penting. Pesan tidak penting dari nomor tak dikenal, hal itu juga karena Ilham dan Afdi yang memberikan nomornya begitu saja pada semua cewek asal mereka bayar. Teman macam apa itu!"Hallo!"Karena sejak tadi benda itu terus menganggunya. El mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo-hallo lo, lama amat sih ngangkat telfon gue!""Lah!" El menjauhkan ponselnya itu lalu menatapnya beberapa detik. Bang Mona."Lo Bang, ah kenapa nggak bilang!" El berdiri dari tempat tidurnya lalu berdiri dengan wajah berseri. "Lo kenapa nggak ada kabar sih setelah balik, padahal gue mau kasih tau sesuatu. Lo tau nggak kalau-""Eh-eh bentar, gue telfon lo cuman mau titip pesen sama bokap, transfer duit bulanan!""Hah? Lo 'kan bisa telfon Om, kenapa jadi gue?""Hp Papa sama Mama mati, terus Tante Nala kayaknya lag
Lega, rasanya beban yang selama ini hinggap di hati Ralika telah hilang bersamaan dengan perginya sang Papa. Sekali lagi, sebelum berbalik, Ralika sempat menatap gundukan tempat Hendra beristirahat yang tepat di samping makam Kayla selama beberapa detik. Kenangan biarlah menjadi kenangan, meskipun memang berlangsung pahit, tapi semuanya sudah terjadi. Sebuah pelajaran datang saat seseorang mengalami kesulitan di masa lalunya.Kayla, Ralika bisa merasakan kalau adiknya itu akan bahagia di sana."Semangat, okey."Ralika menyentuh tangan Lea yang tersampir di pundaknya lalu mengangguk. Di sana hanya tersisatiga orang sedangkan yang lainnya sudah pulang duluan, kepala sekolah dan guru-guru pun tadi juga datang untuk mengungkapkan bela sungkawa. Nilam juga harus banyak istirahat, karena kondisinya yang kembali drop karena banyak pikiran."Kamu sebaiknya pulang duluan.""Nggak ah, gue mau nemenin lo.""Seragam kamu masih belum diganti, tas kamu juga, itu melanggar aturan sekolah, seharusn
Ika .... " Ralika mengalihkan pandang. Berusaha mengendalikan hatinya, suara lirih Nilam seolah menuntunnya mendekati pria itu."Ma ... afin ... Papa."Ralika masih tak merespon perkataan Hendra yang bersusah payah mengatakan kalimat itu. Salivanya tertegun beberapa kali, ada perasaan tak sanggup saat menatap kembali pria itu, kilasan tentang kekejamannya sangat terekam jelas. Tapi ini untuk pertama kalinya, Hendra terlihat tak berdaya. Begitu lemah.Ralika sudah mengatakan orang baik akan dianggap yang paling lemah. Dan hari ini dia membuktikannya, mamanya kini sedang menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh harap. Memaafkan? Itu hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menutup sebagian hatinya!"Ka, mama mohon."Desakan lirih itu membuat Ralika tak sadar telah menatap Hendra. Matanya terpejam sesaat setelah melihat pria itu, apakah ia kini bermimpi? Sudah jelas Ralika melihat cairan bening dari ujung mata pria itu. Tangan kiri Hendra terangkat dengan sisa-s
Untuk acara HUT kali ini, semua panitia sudah dibagi dari berbagai macam lomba. Seperti rencana awal, SMA Dharma mengadakan banyak lomba yang diikuti dari berbagai sekolah. Dharma murni sebagai tuan rumah dan tak terlibat dalam lomba apapun. Hingga sekarang terhitung 2 hari setelah hari pembukaan. Yang sudah bertanding adalah dari club olahraga, yaitu Futsal dan Volly. Dan hasil penyerehan hadiah bagi yang menang akan dilaksanakan, siangnya, tepat tanggal 31 Desember. "Ka, lo bisa ngira nggak antara SMA Raya sama SMA Wijaya yang mana menang?" ucap Lea sambil menatap ke depan.Ralika diam. Kini pandangannya menyapu satu persatu pemain yang berusaha mencetak poin. Sambil memakai kalung panitia dengan name tag namanya, Ralika kini turut menjadi panitia. Di sebrang ada Alex yang menggunakan baju kaos biru berlengan pendek dengan kalung panitia yang sama dengannya."Ka, jawab!" desak Lea.Terdengar hembusan napas pelan dari hidung Ralika. Padahal dari tadi ia sudah mengatakan agar cewek i
"Ika, ya ampun, gue nggak nyangka banget Pak Bima ngumumin lo nggak salah hari ini, ah kenapa kepala gue harus pusing sih, gue pengen banget deh ngeliat mukanya Neta, pasti dia kesel banget tuh."Lea mencerocos tak jelas saat Ralika masuk, sudahlah tak masalah kalau hanya dibalas diam Ralika. Hari ini, hari bahagianya, wajah-wajah yang pernah menghujat Ralika rasanya sudah terhantam oleh kebenaran yang ada. Sayang sekali momen itu harus terlwat saat dirinya di UKS.Ralika duduk di kursinya. Meski secara tak langsung, ia bisa melihat kumpulan murid di sebelah kanan dari ujung matanya. Ralika juga sebenarnya tau kalau mereka tampak bingung ingin mendekat sambil mendorong satu sama lain. Jika kata orang siapapun tak akan luput dari pengawasannya selama berada di SMA Dharma, jawabannya benar. Ralika tau kalau merekalah yang mencoret mejanya dengan berbagai kata kasar selama ini secara diam-diam.Ralika berdiri lalu mendekati mereka. Pandangannya datar. Melihat Ralika yang mendekat, mereka
Ralika memandang lurus-lurus, tepat menatap manik mata El yang menunggu ucapan keluar dari mulutnya. Perlahan matanya turun ke tangan El yang tengah menggenggam lengannya. Dengan sekali hentak cekalan itu terlepas."Saya masih ada urusan."El tak beranjak. "Tapi lo belum jawab pertanyaan gue!"Ralika berhenti. Mengepalkan kedua tangannya, lalu berbalik. "Lebih baik kamu sembuhin dulu luka kamu, baru bisa ngomong."El dibuat terdiam. Otaknya berpikir keras, biasanya Ralika akan dengan tegas menjawab sesuatu yang ditanyakan padanya. Tapi tampaknya cewek itu tak ada sedikit pun menerima atau menolak. Senyum miring El terukir, tepat saat Ralika berbelok."Gue masih punya kesempatan."El meloncat kecil, lalu berbalik. Tepat saat itu pula Alex berada di depannya, dengan kedua mata sulit diartikan."Ngapain lo ke sini? Nguping gue sama Rara ya?" ucapnya sinis. Tapi kemudian El mengelus dagunya, mendekati Alex."Lo denger 'kan tadi gue bilang apa?""Gue denger."El tersenyum puas. Ia kemudian
"Nayla." Ralika baru saja yang pulang dari sekolah. Tujuannya ingin langsung masuk ke kamar dan mempersiapkan diri untuk latihan karate sore ini, tapi perhatiannya langsung tertarik pada Nayla yang tengah duduk di lantai sambil memainkan bonekanya."Bi Leli ke mana?" Pandangan Ralika mengedar, mencari keberadaan wanita itu.Sedikit ragu untuk mendekat, cewek itu menatapi Nayla selama beberapa saat sebelum akhirnya mendekat lalu berjongkok. Balita itu spontan menatapnya lalu tersenyum sambil menampilkan 2 buah gigi yang tumbuh di bagian bawah."Kakak."Ralika terdiam, padahal tak ada yang dirinya lakukan tapi balita itu malah tertawa dan kakak? Hatinya berdesir mendengarnya."Lo tau senyum itu ibadah, dengan senyum berarti bahagia,"Otaknya memutar kembali perkataan cowok itu, hingga tanpa sadar tangan kanannya terulur mengelus pipi gembul Nayla yang masih menampakkan senyum. Setelahnya Ralika menarik Nayla dalam dekapan. Matanya terpejam, merasa baru kali ini dia merasa begitu dekat d