Wajah serius dan penuh ketegasan terpencar dari gadis itu. Semua orang memperhatikan Ralika yang sibuk menjelaskan rencananya melalui HUT sekolah. Beberapa diantaranya mengangguk-angguk mendengar sebuah ide keluar dari mulutnya.
"Gue setuju ide lo, Ka," celetuk Ferdi mengangkat tangannya.Neta sang sekretaris OSIS berdiri dari duduknya. "Kalau menurut gue, ide lo itu nggak bagus."Si Ketua Osis yaitu Alex menatap Neta yang memang duduk di sampingnya. Ya, siapa yang akan selalu menentang tentang apa saja yang berhubungan dengan Ralika selain cewek itu, entah itu apapun, mau benar ataupun salah."Ta, idenya Ika itu bagus," balas Alex.Neta duduk kembali ke tempat duduknya menatap Alex. "Menurut gue idenya itu terlalu norak? Gue nggak mesti harus setuju 'kan? Lagian mentang-mentang dia tangan kanan guru, kalian setuju-setuju aja idenya."Alex menghela napas, berusaha sabar sedangkan Ralika, masih setia berdiri, sama sekali tak berniat membalas perkataan Neta. Semua orang bebas berpendapat, itulah pikirnya."Oke kalau lo nggak suka idenya Ika. Sekarang ide lo apa?" pasrah Alex.Neta memainkan rambut ikalnya dengan menggunakan jari telunjuk. "Kalau menurut gue kita undang aja band terkenal ke sini buat isi acaranya."Ralika duduk di kursinya, tepat berhadapan dengan kursi Neta."Tapi, Lex kalau gue sih setuju ide Ika barusan, pake band sekolah, lagian juga band sekolah kita nggak kalah hebat dari band terkenal."Semua orang melontarkan pendapatnya, beberapa diantara mereka bahkan, lebih setuju pendapat Ralika, hal itu membuat Neta semakin geram."Baiklah, kalau menurut gue band sekolah lebih baik tampil. Dengan begitu para murid akan lebih berpatisipasi dalam acara ini, dan anggaran nggak terlalu besar."Neta merenggut kesal. Selalu saja seperti ini, Ralika selalu berada satu langkah darinya. Dari segi fisik Neta memang menang, secara wajah blesteran yang ia miliki, serta rambut coklat panjang agak ke ikalan, menjadikan Neta salah satu cewek yang paling diincar di sekolah.Tapi, rasanya itu tidak cukup, ia selalu ingin menjadi yang paling hebat dan terdepan dan terbaik. Itulah yang menjadikannya selalu ingin mengalahkan Ralika yang dianggap sebagai musuh terbesarnya di SMA Dharma."Gue nggak setuju!" seru Neta tak terima."Neta, lo harus terima, suara terbanyak lebih setuju idenya Ika," jawab Alex berusaha sebijak mungkin.Neta mendengus. Matanya menatap tajam Ralika yang nampak biasa saja, Namun, baginya tatapan itu seperti menghina."Baiklah, hasil keputusan sudah dibuat. Terima kasih, rapat kita tutup."Setelah rapat resmi ditutup, Ralika keluar lebih dulu dari ruangan."Ika!"Ralika berhenti tanpa menoleh. Dari suaranya sudah dapat dipastikan, Neta nampak geram dengannya, pasti gara-gara rapat tadi.Neta berdiri di samping Ralika. "Denger ya! Kalau lo ngerasa menang karena tadi orang-orang ngedukung lo. Lo salah besar! Mereka setuju karena lo tangan kanannya guru."Ralika memutar tubuhnya ke samping, memandang Neta yang menatapnya tak bersahabat."Apa nggak ke balik ya?"Bukan Ralika yang menjawab. Melainkan Lea, cewek itu muncul dari arah belakang dengan pandangan santai seraya berjalan mendekat."Bukannya lo anaknya pejabat tinggi, kalau emang para OSIS ngedukung Ika cuman karna dia tangan kanan guru. Seharusnya 'kan lo lebih berpotensi."Neta mengepalkan tangannya, geram. Lea sekarang berani padanya, Neta cukup tau seberapa pendiam dan cupunya cewek itu pada awal masuk. Tapi sekarang, semua keadaan berubah. Lea yang dulu dan sekarang, berbeda."Lo jangan ikut campur ya?! ini urusan gue sama Ika!""Urusan Ika, urusan gue juga."Ralika menatap dua cewek di hadapannya. Sedetik kemudian, cewek berambut kuncir itu pergi tanpa berkata apapun.☁☁☁El sibuk memperhatikan pensil di hadapannya sambil memicingkan sebelah mata, sembari menatap Bu Wike yang sedang mengajar di depan kelas, terus membandingkannya dengan sebuah pensil yang menempel di hidungnya."Beda banget."Afdi yang sejak tadi berusaha memelekan mata agar tidak tertidur, langsung menoleh. "Ngapain lo?""Ngeliatin guru bongsor di depan."El terus memperhatikan pensilnya, cukup ampuh menghilangkan jenuh akibat pelajaran yang membosankan. Kalau di sekolah lamanya dulu, biasanya jam seperti ini dia akan tidur di UKS, tapi sepertinya sulit kalau bolos sekarang, mengingat dirinya masih ada dalam pengawasan Bima.Ia mengambil selembar kertas yang di robeknya pada halaman tengah buku tulis. Dengan lincah menggerakkan pensil sambil sesekali melihat ke depan."Dariel, ngapain kamu?"Wike mendekat mengambil secarik kertas di atas meja. "Apa ini? kamu gambar panda?"El menggeleng polos dengan tampang tanpa dosa. "Bukan, ini Ibu nggak liat ada kacamatanya. Ini gambar ibu."Semua murid hampir tertawa sebelum mendapat pelototan dari Wike, mereka langsung merunduk."Kamu mengejek saya?!""Nggak kok Bu, siapa yang ngejek ibu, saya kan cuman gambar.""Kamu ini!"Wike ingin mengeluarkan kata-katanya sebelum matanya menangkap seseorang melalui kelas."Ika!"Ralika berhenti, menatap ke dalam ruang kelas. "Iya Bu, kenapa?"Ia mendekat setelah Wike menyuruhnya mendekat. El tersenyum saat Ralika memasuki kelas, cewek itu terakhir ditemuinya dua hari yang lalu, ya lebih tepatnya saat ia mengajak gadis itu berkenalan. Rasanya Ralika semakin cantik saja."Kamu beri Dariel hukuman."Ralika menoleh mendapati El yang sedang tersenyum, memandangnya sambil menaik-turunkan alis."Dia salah apa, Bu?" tanya Ralika memastikan.Wike mengambil kertas di hadapan El langsung saja memperlihatkannya. "Dia mengejek saya dengan gambaran ini, dan membuat kebisingan di kelas," jelasnya, "Ika kamu tolong urus siswa ini."Ralika mengangguk langsung keluar dari kelas diikuti cowok itu. Sedari sejak tadi ia tak pernah berhenti tersenyum, tidak terlihat akan dihukum melainkan mendapat tiket undian berhadiahSesampainya di lapangan basket."Nama kamu?""Hah?" El cengo."Nama kamu siapa?""Oh mau ngajak kenalan. Bilang dong, lo lupa ya 2 hari yang lalu kita pernah ketemu. Gue El."Ralika memandang tangan terulur itu, tanpa berniat membalasnya. Kepalanya kembali menunduk, menulis sesuatu di buku kecil yang di ambil dari saku rok. Beberapa detik tidak mendapat respon, El kembali bersuara."Nggak di bales nih," Ralika mendongak. "Pegel tau.""Saya ingin tau nama kamu untuk dicatat dalam buku pelanggaran. Bukan mau ngajak kamu kenalan."El menurunkan tangannya dengan perasaan kecewa. "Yaudah deh, sekarang hukuman gue apa nih?""Hal yang kamu langgar yaitu membuat kebisingan di kelas. Dan menghina salah satu guru, kamu push up 15 kali."Cowok itu terkejut. "Kok push up? Gue kan tadi cuman mau nunjukin seni ke Bu Bongsor, malah jadi di hu---""Bu Wike," potong Ralika, seenaknya saja mengganti nama guru.El menggaruk tengkuknya. "Ya...ya itu maksud gue," ralatnya."Tunggu apalagi, cepat lakukan!" tegas Ralika. Bukannya takut Dariel memasang cengiran, menampakan sederet gigi putih. Tangan kanannya sejajar dengan kening seolah memberi hormat."Satu, dua, tiga ...."Ralika terus mengamati El yang sedang push up dengan kedua tangan terlipat di dada. Sampai hitungan ke lima belas El berdiri. Keningnya di basahi keringat, membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Mungkin, kalau tidak sedang jam pelajaran, akan banyak para siswi yang menjerit saking kerennya."Kamu jangan mengulangi kesalahan ini lagi." Mata Ralika turun ke dada El, "dan untuk seragam kamu, saya minta kamu pakai logo nama SMA Dharma."El mengangguk sambil tersenyum. Pura-pura paham dengan apa yang di sampaikan Ralika, karna sejatinya tak tau apa nanti ia akan ingat atau tidak."Mau ke mana, sih? Kayaknya buru-buru banget.""Masuk kelas.""Jangan dulu, mending kita ke kantin dulu."Ralika langsung menepis tangan yang sangat berani memegang pergelangan tangannya.Ralika menatap El tajam. Sejak tadi, dirinya sudah cukup sabar mendengar ocehan cowok itu sekarang sikapnya sudah melebihi batas."Dengar ya! Saya ini bukan tipe cewek yang langsung luluh dengan sikap manis kamu. Dan jaga batasan kamu, jangan pernah pegang-pegang ataupun ganggu saya?!" tegasnya dengan penuh penekanan."Gue bukan sok manis tau 'kan gue emang manis. Makasih pujiannya,"Ralika menatap El dengan pandangan menusuk, tatapan yang sangat di hindari para siswa di SMA Dharma. Jelas-jelas tadi ucapannya memang sangat tajam, tapi cowok itu malah berkata dengan santainya tanpa sedikitpun merasa terintimidasi."Ika!"Keduanya menoleh. Lea datang membawa sebotol air mineral di tangannya."Duh baik banget, buat gue yah. Makasih."El langsung mengambil air mineral itu tanpa mendengar Lea terlebih dahulu, ia meminum air itu hingga habis.Lea menatap dengan pandangan kesal. "Lo siapa sih?! Nggak kenal juga, main ambil aja minuman orang, itu air buat Ika!"El menyengir seolah tak berbuat apa-apa. "Sorry, gue kagak tau. Oh ya, lo temennya Ralika? Gue El, manusia kelas 11 IPA 1."Lea memandang cowok itu dari atas sampai bawah dengan pandangan menelisik."Gue nggak peduli, ganti air mineral gue! Itu buat Ika!" Ralika lebih memilih pergi, hanya buang waktu melihat tontonan seperti ini, "tuh 'kan Ikanya pergi, lo sih?!"El mengedikan bahunya. Matanya fokus menatap punggung Ralika yang menjauh."Lo tenang aja, nanti calon pacarnya ini yang bakal selalu kasih minum buat dia."Lea yang awalnya melangkah ingin pergi seketika berhenti. Ia memutar tubuhnya kembali mendekati El dengan pandangan bertanya."Lo bilang apa tadi? Calon pacar?"EL tersenyum miring.Lea memicingkan matanya. Pikirannya kembali melayang, cowok itu mungkin saja playboy yang penasaran dengan sikap Ralika yang terkesan kaku dan cuek. Mungkin dia hanya ingin mempermainkan Ralika saja. Lagi pula, dari tampangnya, sama sekali tak menunjukan tipe cowok setia."Kalau lo cuman penasaran sama Ika, mendingan lo jauh-jauh dari dia! Ika itu terlalu baik, gue nggak akan biarin cowok playboy deketin dia!" ucap Lea lalu berjalan menjauh.El berdecak. "Ah elah, emang tampang gue keliatan banget suka mainin cewek?"Ia mengambil sebuah cermin kecil dari sakunya, memperhatikan bayangannya. "Tampang ganteng kayak gini memang banyak yang suka. Resiko orang ganteng."El bersiul pelan sambil menyisir rambutnya ke arah belakang. Afdi dan Ardan terfokus pada layar playstation yang menampilkan permainan football, sedangkan Ilham, cowok itu asyik sendiri menikmati keripik kentang bumbu balado ukuran jumbo di tangannya."Woh, ganteng banget gue," celetuk El menatap pantulan dirinya di cermin."Dari tadi yang ada ngurusin rambut mulu, kayak cewek aja," timpal Ilham kembali memasukan keripik kentang ke mulutnya. Afdi dan Ardan masih setia pada permainan mereka. Sama sekali tak terganggu dengan celotehan keduanya."Kayak nggak tau aja, orang kasmaran kan emang 11 12 sama orang gila," ujar Afdi tanpa menoleh.El mengambil bantal di atas kasurnya. Melempar asal ke arah Afdi yang masih setia menatap layar permainan, dan tepat sekali mengenai wajahnya."Allahuakbar.""Yes, gue menang," girang Ardan detik itu juga.Afdi mendengus kecewa. Ia kalah permainan karena tiba-tiba di timpuk. Yang tadi awalnya fokus mencetak gol jadi buyar seketika dan berujung kebobol
Ralika masuk ke kelas pada jam istirahat. Ia tak bisa masuk pelajaran pertama karena harus mengawasi cowok tak tahu malu itu membersihkan toilet, meski sebenarnya Ralika harus menghela napas ribuan kali, mendengar gombalan receh tak bermanfaat El. Bagaimana pun ia tak mau mengabaikan amanat Bu Rina, dengan pergi karena jenuh mendengar perkataan tak berguna cowok itu."Ika!"Matanya tertuju pada seorang cewek berambut ikal yang mendekat ke arahnya dengan membawa sebuah buku sambil senyum melebar."Nih."Ralika bergeming menatap sebuah buku yang di sodorkan Lea. "Untuk apa?"Lea tersenyum, cewek itu menarik tangan Ralika lalu meletakan buku tulis itu di telapak tangannya."Ini buku catatan gue, tadi 'kan lo nggak masuk kelas gara-gara gantiin Bu Rina. Jadi, lo pinjem aja buku catetan gue."Ralika menatap Lea tidak berekspresi kemudian matanya turun menatap buku tulis tersebut, perlahan tangannya membuka tiap lembar buku itu dengan teliti. Catatan materi di buku itu lengkap, semua rangku
"El kita nggak balik, nih?" ucap Afdi. Sejak tadi mereka berdiri di depan kendaraan itu cukup lama, tapi tak ada tanda-tandanya El akan menawarkan untuk naik, malah dengan santainya menatap gerbang sambil memainkan kunci mobilnya.El menoleh. "Kalian kalau mau balik, balik aja, ngapain nungguin gue."Ketiganya saling pandang. "Jadi kita nggak pulang naik mobil lo, nih?""Nggak! lo semua pulang sendiri lah!"Afdi langsung cemberut. El sama sekali tak mengijinkannya ataupun yang lain menaiki kendaraan berwarna hitam itu."Ya, terus lo mau bawa nih mobil sendiri, gitu? Ngapain coba nyuruh supirnya pulang naik taksi, kalau nyatanya nggak ngajak kita pulang bareng," celetuk Ardan.El memandang ketiga temannya sambil berkacak pinggang. "Gue sengaja nyuruh Pak Jodi pulang duluan, biar Ralika pulang bareng gue. Bukan ngajak lo bertiga balik!"Ilham yang mendengar penuturan El menepuk jidatnya. "Ealah, ternyata lo ogeb banget!"El langsung menjitak kepala Ilham cukup keras. "Lo nggak nyadar lo
El memejamkan matanya menikmati hidup yang kadang menyenangkan. Tidak ada pelajaran matematika yang memenuhi kepalanya, tidak ada ocehan dari guru yang super duper galak seperti Bu Wike.Free class menurutnya hal yang sangat membahagiakan, rasanya seperti di atas awan. "Gue bosan di kelas mulu."El membuka matanya menoleh ke kanan dimana Afdi sedang menekuk wajahnya. "Mendingan kita ke lapangan basket aja ngeliat pertandingan," ucapnya lagi."Kalau lo mau ke lapangan, ke lapangan aja," Pandangannya berubah memandang Ilham dan Ardan, "lo berdua juga bisa ikut. Gue mau tidur di kelas, lumayan free class capek begadang semalam."Afdi berdecak. "Ya nggak seru kalau lo nggak ikut 'kan jadi nggak lengkap, Emgansi.""Emgansi? Apaan tuh?" bingung Ardan."Empat cogan bergengsi," ujar Afdi menaik turunkan alis.Ardan bergidik melihat tingkah Afdi. "Jijik gue ngeliat lo kayak gitu."El masih menatap ketiga temannya, malas, memindahkan kedua tangannya menjadi bantal. "Kalian kalau mau kelapangan,
Ralika mengelus kepala wanita yang terbaring lemah di hadapannya kini. Matanya tertutup dengan beberapa alat medis tertempel memenuhi tubuh. Suara alat deteksi jantung terdengar mengalun normal mengikuti irama jantungnya. Hal itu menandakan masih ada kehidupan di balik wajah pucat itu.Ralika bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu, ia sempat berbalik sebentar sebelum akhirnya keluar dengan wajah tertunduk.Untuk beberapa jam yang lalu Ralika sempat khawatir saat Niken ke sekolahnya dan mengatakan 'rumah sakit' Seperti ada dentuman keras yang menyerang dada, pikiran buruk tak bisa dibendung akan kemungkinan yang terjadi. Ruang tempat Nilam--mamanya-- dirawat saat itu sedang tertutup karena dokter sedang menanganinya. Lutut Ralika melemas untuk beberapa saat, yang hanya bisa dilakukannya hanya berdo'a dalam hati.Setelah beberapa menit, pintu ruangan terbuka, dokter dan beberapa suster keluar. Buru-buru Niken mencecar sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Dokter itu terdiam
Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta. Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngur
Ralika baru saja meletakan kunci motornya di atas nakas, kakinya segera melangkah menuju kamar karena suara tangisan yang sejak tadi terdengar di gendang telinganya. Ralika berhenti disebuah kamar, membuka pintunya sedikit kemudian, menatap siapa yang ada di sana. Niken seperti sangat kesusahan menenangkan balita berumur dua setengah tahun itu, walaupun dirinya berusaha sabar agar balita itu tidak menangis lagi, tapi malah tangisan itu semakin kencang.Ralika membuka pintu itu sepenuhnya, sehingga terdengar bunyi decitan, saat itulah Niken menoleh, lalu tersenyum. Ralika mendekat, langsung mengambil alih sang adik yang ada dalam dekapan tantenya itu."Sini Tante biar Ika aja yang Gendong Nayla."Sesaat setelah mendekap sang adik, tak ada lagi suara tangisan, malah sekarang Nayla nampak menatap Ralika dengan mata bulatnya."Memang cuma kamu yang bisa tenang dia kalau lagi gelisah." Niken sedikit menyentuh pipi Nayla.Ralika sadar akan hal itu. Ia memang jarang sekali mempunyai waktu u
"Ra, makasih udah temenin gue beli perlengkapan prakarya."Ralika mengangguk kecil sambil membuka sealt belt, tangannya beralih ingin membuka pintu mobil sebelum El menghentikannya."Ra," panggil cowok itu."Hati-hati ya." Ralika mengangkat sebelah alis. "Takutnya nanti lo jatuh,"Ralika menghela napas, ia kira apa? Ternyata cuman itu. Setelah keluar dari mobil, El menunggu beberapa detik lalu kembali membuka suara. "Jatuh cinta," sambungnya.Setelah berkata seperti itu---sama seperti tadi. Cowok itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, tak menghiraukan tatapan Ralika yang menajam. Sungguh El itu sangat aneh dan ajaib, heran sendiri melihat cowok itu masih sempat menggodanya.Dasar!"Ika."Ralika menoleh ke belakang. Niken berjalan mendekat ke arahnya dengan raut yang kurang mengenakan, wajah khawatir serta ragu tercetak jelas, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi lidah terasa keluh."Ada masalah apa, Tante? Kok tadi nyuruh Ika cepet pulang?" Ralika langsung menanyakan hal yan
Seolah tersadar kalau sejak tadi matanya tak lepas dengan sosok cowok itu, Ralika segera melangkah keluar."Rara!" teriak El langsung turun begitu saja. Tepat saat ia turun dari panggung sempat El berpapasan dengan Alex. Cowok itu mengangkat tangannya, lalu menepuk punggung El seperti sebelumnya. "Good luck!""Rara!" panggilnya sekali lagi."Stop!" El mencoba mengatur napasnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Mata tajam Ralika seperti sudah tak ada lagi, lenyap tanpa jejak."Gue butuh jawaban," ucap El mantap."Minggir, saya harus ke atap sekolah!"El menggeleng. "Gue tadi udah susah-susah, Ra, buat nyanyi, ada yang fals apa? Sampe lo nggak mau bilang ya atau mau?"Ralika melipat tangannya. Seperti anak kecil yang meminta permen, Ralika lebih menganggap El seperti itu saat cowok itu tetap keukeh menghadang jalannya. Ralika mengangkat satu tangannya, menurunkan salah satu tangan El yang terbentang."Apa kamu benar-benar serius?" El mengangguk menyakinkan. "Iya."Ralik
"Lea mau sampai kapan kamu menata rambut seperti itu?"Ralika sejak tadi menatap jamnya. Ia telah membuang waktu cukup banyak untuk sekedar menunggu Lea yang sejak tadi menata rambut."Ya ampun Ika, lo tau nggak, jadwal kalian kumpul semua itu jam 7."Lea berbalik, saat dirasa rambutnya sudah tertata. "Ka, lo pakai ini doang?"Ralika melipat tangannya lalu menunduk. Tidak ada yang salah dengan dirinya, semuanya lengkap. Buku kecil dan pena untuk mencatat kekurangan acara juga sudah disiapkan. Bajun berwarna hitam, serta jelana jins senada. Ini biasa 'kan?"Setidaknya lo dandan dikit lah Ika."Lea menarik Ralika agar duduk. "Lea kita tidak punya waktu, terlebih lagi saya ini adalah panitia bukan yang akan tampil."Lea malah sibuk mengecek tasnya, mengeluarkan benda warna-warna yang Ralika saja tidak tau apa namanya."Sekarang kita pergi, panitia sudah menunggu."Baru berdiri dua detik Ralika kembali dipaksa duduk oleh Lea. Mungkin Lea orang pertama yang membuat Ralika hanya bisa diam s
Drrt... Drttt...El melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar. Sebenarnya benda itu berungkali berkedip, tapi ia biarkan saja, karena biasanya jam segini yang akan masuk pesan tidak penting. Pesan tidak penting dari nomor tak dikenal, hal itu juga karena Ilham dan Afdi yang memberikan nomornya begitu saja pada semua cewek asal mereka bayar. Teman macam apa itu!"Hallo!"Karena sejak tadi benda itu terus menganggunya. El mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon."Hallo-hallo lo, lama amat sih ngangkat telfon gue!""Lah!" El menjauhkan ponselnya itu lalu menatapnya beberapa detik. Bang Mona."Lo Bang, ah kenapa nggak bilang!" El berdiri dari tempat tidurnya lalu berdiri dengan wajah berseri. "Lo kenapa nggak ada kabar sih setelah balik, padahal gue mau kasih tau sesuatu. Lo tau nggak kalau-""Eh-eh bentar, gue telfon lo cuman mau titip pesen sama bokap, transfer duit bulanan!""Hah? Lo 'kan bisa telfon Om, kenapa jadi gue?""Hp Papa sama Mama mati, terus Tante Nala kayaknya lag
Lega, rasanya beban yang selama ini hinggap di hati Ralika telah hilang bersamaan dengan perginya sang Papa. Sekali lagi, sebelum berbalik, Ralika sempat menatap gundukan tempat Hendra beristirahat yang tepat di samping makam Kayla selama beberapa detik. Kenangan biarlah menjadi kenangan, meskipun memang berlangsung pahit, tapi semuanya sudah terjadi. Sebuah pelajaran datang saat seseorang mengalami kesulitan di masa lalunya.Kayla, Ralika bisa merasakan kalau adiknya itu akan bahagia di sana."Semangat, okey."Ralika menyentuh tangan Lea yang tersampir di pundaknya lalu mengangguk. Di sana hanya tersisatiga orang sedangkan yang lainnya sudah pulang duluan, kepala sekolah dan guru-guru pun tadi juga datang untuk mengungkapkan bela sungkawa. Nilam juga harus banyak istirahat, karena kondisinya yang kembali drop karena banyak pikiran."Kamu sebaiknya pulang duluan.""Nggak ah, gue mau nemenin lo.""Seragam kamu masih belum diganti, tas kamu juga, itu melanggar aturan sekolah, seharusn
Ika .... " Ralika mengalihkan pandang. Berusaha mengendalikan hatinya, suara lirih Nilam seolah menuntunnya mendekati pria itu."Ma ... afin ... Papa."Ralika masih tak merespon perkataan Hendra yang bersusah payah mengatakan kalimat itu. Salivanya tertegun beberapa kali, ada perasaan tak sanggup saat menatap kembali pria itu, kilasan tentang kekejamannya sangat terekam jelas. Tapi ini untuk pertama kalinya, Hendra terlihat tak berdaya. Begitu lemah.Ralika sudah mengatakan orang baik akan dianggap yang paling lemah. Dan hari ini dia membuktikannya, mamanya kini sedang menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh harap. Memaafkan? Itu hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menutup sebagian hatinya!"Ka, mama mohon."Desakan lirih itu membuat Ralika tak sadar telah menatap Hendra. Matanya terpejam sesaat setelah melihat pria itu, apakah ia kini bermimpi? Sudah jelas Ralika melihat cairan bening dari ujung mata pria itu. Tangan kiri Hendra terangkat dengan sisa-s
Untuk acara HUT kali ini, semua panitia sudah dibagi dari berbagai macam lomba. Seperti rencana awal, SMA Dharma mengadakan banyak lomba yang diikuti dari berbagai sekolah. Dharma murni sebagai tuan rumah dan tak terlibat dalam lomba apapun. Hingga sekarang terhitung 2 hari setelah hari pembukaan. Yang sudah bertanding adalah dari club olahraga, yaitu Futsal dan Volly. Dan hasil penyerehan hadiah bagi yang menang akan dilaksanakan, siangnya, tepat tanggal 31 Desember. "Ka, lo bisa ngira nggak antara SMA Raya sama SMA Wijaya yang mana menang?" ucap Lea sambil menatap ke depan.Ralika diam. Kini pandangannya menyapu satu persatu pemain yang berusaha mencetak poin. Sambil memakai kalung panitia dengan name tag namanya, Ralika kini turut menjadi panitia. Di sebrang ada Alex yang menggunakan baju kaos biru berlengan pendek dengan kalung panitia yang sama dengannya."Ka, jawab!" desak Lea.Terdengar hembusan napas pelan dari hidung Ralika. Padahal dari tadi ia sudah mengatakan agar cewek i
"Ika, ya ampun, gue nggak nyangka banget Pak Bima ngumumin lo nggak salah hari ini, ah kenapa kepala gue harus pusing sih, gue pengen banget deh ngeliat mukanya Neta, pasti dia kesel banget tuh."Lea mencerocos tak jelas saat Ralika masuk, sudahlah tak masalah kalau hanya dibalas diam Ralika. Hari ini, hari bahagianya, wajah-wajah yang pernah menghujat Ralika rasanya sudah terhantam oleh kebenaran yang ada. Sayang sekali momen itu harus terlwat saat dirinya di UKS.Ralika duduk di kursinya. Meski secara tak langsung, ia bisa melihat kumpulan murid di sebelah kanan dari ujung matanya. Ralika juga sebenarnya tau kalau mereka tampak bingung ingin mendekat sambil mendorong satu sama lain. Jika kata orang siapapun tak akan luput dari pengawasannya selama berada di SMA Dharma, jawabannya benar. Ralika tau kalau merekalah yang mencoret mejanya dengan berbagai kata kasar selama ini secara diam-diam.Ralika berdiri lalu mendekati mereka. Pandangannya datar. Melihat Ralika yang mendekat, mereka
Ralika memandang lurus-lurus, tepat menatap manik mata El yang menunggu ucapan keluar dari mulutnya. Perlahan matanya turun ke tangan El yang tengah menggenggam lengannya. Dengan sekali hentak cekalan itu terlepas."Saya masih ada urusan."El tak beranjak. "Tapi lo belum jawab pertanyaan gue!"Ralika berhenti. Mengepalkan kedua tangannya, lalu berbalik. "Lebih baik kamu sembuhin dulu luka kamu, baru bisa ngomong."El dibuat terdiam. Otaknya berpikir keras, biasanya Ralika akan dengan tegas menjawab sesuatu yang ditanyakan padanya. Tapi tampaknya cewek itu tak ada sedikit pun menerima atau menolak. Senyum miring El terukir, tepat saat Ralika berbelok."Gue masih punya kesempatan."El meloncat kecil, lalu berbalik. Tepat saat itu pula Alex berada di depannya, dengan kedua mata sulit diartikan."Ngapain lo ke sini? Nguping gue sama Rara ya?" ucapnya sinis. Tapi kemudian El mengelus dagunya, mendekati Alex."Lo denger 'kan tadi gue bilang apa?""Gue denger."El tersenyum puas. Ia kemudian
"Nayla." Ralika baru saja yang pulang dari sekolah. Tujuannya ingin langsung masuk ke kamar dan mempersiapkan diri untuk latihan karate sore ini, tapi perhatiannya langsung tertarik pada Nayla yang tengah duduk di lantai sambil memainkan bonekanya."Bi Leli ke mana?" Pandangan Ralika mengedar, mencari keberadaan wanita itu.Sedikit ragu untuk mendekat, cewek itu menatapi Nayla selama beberapa saat sebelum akhirnya mendekat lalu berjongkok. Balita itu spontan menatapnya lalu tersenyum sambil menampilkan 2 buah gigi yang tumbuh di bagian bawah."Kakak."Ralika terdiam, padahal tak ada yang dirinya lakukan tapi balita itu malah tertawa dan kakak? Hatinya berdesir mendengarnya."Lo tau senyum itu ibadah, dengan senyum berarti bahagia,"Otaknya memutar kembali perkataan cowok itu, hingga tanpa sadar tangan kanannya terulur mengelus pipi gembul Nayla yang masih menampakkan senyum. Setelahnya Ralika menarik Nayla dalam dekapan. Matanya terpejam, merasa baru kali ini dia merasa begitu dekat d