Sesuai permintaan Fero, Sinta tidak ingin terlambat untuk datang ke sungai. Karena ia tidak mau Fero mencari-cari alasan untuk tidak memberikan kalung yang sangat berharga baginya itu. Jalan setapak demi setapak ia lalui, karena dini hari usai hujan, kini jalan yang ia lewati itu sedikit licin, dengan sangat berhati-hati sekali ia melangkahkan kakinya. Beberapa saat kemudian sampai jualah ia di tepi sungai.
"Masih sepi, tidak ada seorang pun di sini." bisik sinta dalam hati, sambil mengamati keadaan di sekelilingnya.
"Dia datang apa tidak ya?, jangan-jangan dia hanya ingin mempermainkan aku saja?!" imbuhnya.
Tiba-tiba datang seekor kupu-kupu hinggap di atas bunga-bunga yang berada tepat di depannya. Iapun menghampiri kupu-kupu tersebut, kemudian diletakkannya di atas jari-jari tangannya.
"Wooowww...!, cantik sekali kupu-kupu ini !" ujarnya sambil tersenyum.
"Benar sekali kupu-kupunya memang cantik seperti kamu!" sahut Fero yang tiba- tiba sudah berdiri di belakangnya. Sontak Sintapun menoleh, tanpa Sinta sadari ternyata wajah Fero berada persis di belakangnya hingga akhirnya mereka bertatap muka dengan begitu dekat.
"Kamu tahu apa perbedaan kamu dengan kupu-kupu ini?" tanya Fero
"Jelas sekali kami berbeda!" jawab Sinta asal, sambil melepaskan kupu-kupu tersebut dari jari tangannya.
"Bedanya adalah kupu-kupu itu selalu hinggap di atas bunga-bunga, sedangkan kamu, aku percaya sepenuhnya bahwa kamu akan selalu hinggap dalam hatiku!" sahut Fero ngegombal.
"Hemmm puuufftttt....!" Sinta tidak mampu lagi menahan tawanya kali ini.
"Loh apa ada yang lucu?, apa kamu tidak percaya dengan kata-kataku?"
"Selain pandai berbohong ternyata kamu juga pandai ngegombal."
"Ha..ha..ha...!, sejak pertama kali aku bertemu denganmu, baru kali ini aku melihat tawa indah di wajahmu itu, kamu itu sangat cantik, tapi lebih cantik lagi bila sedang tersenyum dan tertawa seperti ini!"
"Simpan saja pujian itu untuk gadis lain, aku sudah tidak percaya lagi dengan janji manis seseorang yang tidak menepati janjinya!"
Mendengar kata-kata Sinta, Fero pun menarik tangan Sinta hingga kedua tangannya terperangkap di dada Fero.
"Aku mohon percayalah kepadaku!" bisik Fero tepat di telinga kanan Sinta.
"Kamu mengajak bertemu di sini untuk mengembalikan kalungku kan?"
"Ini yang terakhir kalinya, aku benar-benar tidak membohongimu, karena aku tidak ingin terlambat bertemu denganmu, jadinya aku terburu-buru ke sini, sehingga kalungmu itu tertinggal di meja kamarku."
"Haaaa..., lupa ?!, yang benar saja, lihatlah...!, kamu sendiri yang bilang bahwa aku harus percaya dengan ucapanmu, tapi baru beberapa menit kamu sudah .......," Sinta tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena Fero menutup bibir Sinta dengan jari telunjuknya.
"Sssssttttt...!, cobalah lihat mataku lebih dekat lagi, sebuah kejujuran seseorang itu bisa dilihat dari matanya!" ucap Fero yang sedang berusaha untuk meyakinkan Sinta,
Seperti sedang terhipnotis Sinta menuruti perkataan Fero, ia pun melihat kedua mata Fero dengan seksama. Fero mengayunkan langkahnya maju mendekati Sinta, sedang Sinta yang menyadari hal itu berjalan mundur untuk menjauhi Fero, satu langkah, dua, langkah, tiga langkah dan ....,
"Byuurrr.....!"
Karena berjalan mundur, Sinta lupa kalau di belakangnya adalah sungai dan akhirnya dia tercebur ke dalamnya. Refleks nafasnya terengah-engah. Mengetahui hal itu Fero ikut menceburkan diri ke dalam sungai, lalu diangkatnya tubuh Sinta berjalan menuju pohon beringin yang teduh dan rindang, kemudian diletakkannya Sinta di atas akar besar yang menjalar.
"Kamu tidak apa- apakan?" Tanya Fero cemas.
"Aku..., aku tidak apa- apa!" jawab Sinta sambil mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan.
"Syukurlah kalau tidak apa-apa, aku benar-benar cemas." Sahut Fero lirih, sambil menyingkap rambut yang menutupi wajah Sinta dengan perlahan, kemudian diraihlah janggut Sinta dan dixxxx bibir Sinta dengan lembut, sontak jantung Sinta berdetak kencang dan spontan kedua matanya terbelalak karena kaget.
"Betapa bodohnya aku, mengapa aku membiarkan dia mexxxxx bibirku." bisik Sinta dalam hati.
"Maafkan aku!, aku tidak bermaksud kurang ajar kepadamu, Sinta aku...,"
"Aku harus pergi!" sahut Sinta memotong perkataan Fero dan mendorongnya untuk menjauh, kemudian Sinta berlari meninggalkan Fero seorang diri di bawah pohon beringin yang sangat rindang itu.
***
Malam itu Sinta berusaha memejamkan matanya, namun rasa kantuk belum juga menghampirinya sedikitpun. Ia rebahkan tubuhnya miring ke kiri, miring ke kanan, lalu duduk bersila memeluk bantal. Teringat jelas di benaknya kejadian pagi tadi di sungai. Pelan pelan disentuhlah bibirnya itu dengan jari-jari tangannya.
"Ciuman tadi pagi adalah ciuman pertama dalam hidupku." ucapnya lirih.
"Deg..deg...deg...!" seketika itu pula jantung Sinta berdegup kencang.
"Ya Allah apa yang terjadi dengan ku?, perasaan aneh apakah ini?" bisiknya lirih .
****
Hari demi hari silih berganti, beberapa Bulan pun berlalu, karena kondisi Bu Lina kian hari semakin menurun Sinta dan Sarah memutuskan untuk membawa ibunya ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit Bu Lina langsung dibawa ke IGD. di sana Bu Lina mendapatkan perawatan secara intensif. Di ruang IGD hanya satu orang anggota keluarga saja yang diperbolehkan mendampingi, setelah 2 jam lamanya di IGD akhirnya Bu Lina dipindahkan ke ruang ICU, di situ Sinta dan Sarah hanya bisa menunggu ibunya dari luar ruangan, Sinta sangat menyayangi Bu Lina, karena meskipun Sinta yang secara garis keturunan adalah anak dari Adik perempuannya ( keponakan ), akan tetapi Bu Lina sangat menyanyangi Sinta sama seperti menyayangi anak kandungnya sendiri. Bu Lina tidak pernah membeda-bedakan antara Sarah dan Sinta, Sedangkan Ayah dan Ibu kandung Sinta telah meninggal saat Sinta masih berumur 3 tahun dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang. Dari peristiwa itulah kemudian Bu Lina dan Almarhum suaminya mengurus proses hak asuh Sinta, meski harus melalui proses yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama, sampai pada akhirnya proses tersebut selesai kemudian mereka memasukkan nama Sinta dalam Kartu Keluarga ( KK ).
***
Sudah 3 hari Bu lina dirawat di Rumah Sakit, kondisi Bu Lina bahkan semakin menurun, Sarah dan Sinta tetap menunggu ibunya meski hal tersebut hanya bisa mereka lakukan dari luar ruangan, akan tetapi mereka secara bergantian memantau perkembangan ibunya dengan berkomunikasi lewat perawat. Sementara itu pula Fero memberikan dukungan moril kepada Sinta dengan menemani di rumah sakit meski tidak full 24 jam, jikalau ada urusan Perusahaan yang tidak bisa ditinggal barulah Fero tanya kabar Bu Lina via telfon kepada Sinta. Hingga menjelang siang hari, Perawat memanggil Sarah dan juga Sinta,
"Kondisi ibu anda semakin menurun, saat ini dokter dan beberapa perawat yang lain sedang menangani beliau, saya harap anda tetap tenang dan menunggu kabar perkembangan beliau dari sini!" Setelah perawat tersebut berlalu pergi, beberapa saat kemudian seorang dokter keluar dari ruangan ICU.
"Di mana anggota keluarga Bu Lina?"
"Saya Dok!" Sarah dan Sinta menjawab pertanyaan dokter tersebut bersamaan.
"Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, segala upaya sudah kami lakukan, namun Allah berkehendak lain, ibu anda sudah meninggal dunia baru saja pada pukul 11.01 WIB."
"Iiibbuuuuu....!" sontak Sarah dan Sinta berlari meninggalkan dokter menuju pintu masuk ruang ICU, di situ mereka melihat para perawat sedang melepas semua peralatan infus dan selang oksigen. Sarah dan Sinta sudah tidak bisa lagi membendung air mata yang mengucur deras. Kemudian salah seorang perawat menyarankan kepada mereka untuk mengurus administrasi pemulangan jenazah. Mendengar kabar meninggalnya Bu Lina dari Sinta, maka Fero menginstruksikan beberapa anak buahnya untuk mengurus Administrasi rumah sakit dan prosesi pemakaman termasuk memanggil seorang Ustad dan juga mencarikan beberapa orang untuk menggali makam. Ibu-ibu yang jarak rumahnya dekat juga membantu Sarah dan Sinta memandikan serta mengkafani jenazah. Para tetangga pun mulai berdatangan, ada yang membantu mengangkat meja dan kursi ke halaman samping rumah, ada yang membantu memasak di dapur, ada yang menggelar tikar di ruang tamu dan teras. semua tetangga memiliki perannya masing-masing. Maklum saja, semasa hidup Bu Lina dikenal sangat baik, ramah dan suka menolong, terutama jika ada tetangga yang kesusahan ataupun tertimpa musibah, Almarhumah tidak akan segan-segan mengulurkan tangannya membantu tanpa pamrih.
*******
Seminggu sudah Bu Lina telah berpulang, Sinta begitu sedih, ia merasa sangat kesepian, karena memang ia mengajukan cuti kuliah sementara saat Bu Lina mulai sakit-sakitan. Sinta lebih banyak di rumah menemani hari-hari ibunya. Sebenarnya Bu Lina keberatan bila Sinta sampai harus cuti kuliah, tapi Sinta tetap bersikeras, karena terkadang ia harus menemani ibunya pergi ke Rumah Sakit, membantu pekerjaan rumah, menjaga toko, juga berbelanja barang-barang yang dijual di toko. Namun setelah 7 hari kepergian Bu Lina, keesokan harinya Sinta sudah memberikan surat permohonan aktif kembali kuliah kepada Dekan dan Rektor. Puji Syukur Alhamdulillah Dekan juga sudah memberikan surat ijin aktif kembali kuliah kepada Sinta, maka hari ini pun ia harus bersiap-siap untuk pergi ke kampus.
Sinta bangun pagi-pagi sekali memasak dan menyiapkan sarapan. Setelah semua masakannya matang ia hidangkan semuanya ke meja makan, kemudian Sinta mandi dan berganti pakaian, lalu lanjut ke meja makan kembali untuk sarapan pagi. Dengan agak terburu-buru Sinta pun menyantap menu yang ada di hadapannya itu, tak lama berselang, Sarah pun ikut bergabung di meja makan.
"Apa menu sarapan kita pagi ini?" tanya Sarah
"Ini ada sayur sop, udang goreng tepung, tempe goreng tepung, dan perkedel kentang."
"Kok rapi sekali kamu hari ini?, apa kamu mau ke kampus?"
"Iya Kak aku ada kuliah pagi hari ini, karena sarapanku sudah selesai aku harus cepat-cepat berangkat, aku takut terlambat kak, sudah ya!, jangan lupa kunci pintunya!"
"Iya..iya...!, cepat kamu berangkat sana!"
Rupanya seorang tukang ojek sudah menunggu Sinta di depan rumah.
Jarak kampus dan rumah Sinta memang terbilang jauh, membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk sampai di kampus. Karena tukang ojek tersebut sudah langganan, ditambah beliau adalah tetangga, jadinya Sinta membayar jasa beliau jauh lebih murah dari tukang ojek lainnya. Untungnya lalu lintas lancar, 50 menit kemudian Sinta sudah sampai di depan kampus. Di pintu gerbang ia bertemu dengan salah seorang temannya.
"Hai apa kabar ?" sapa Erna.
"Alhamdulillah kabar baik, kamu sendiri gimana kabar?" tanya Sinta balik
"Aku juga baik, oh ya aku turut berduka cita ya atas meninggalnya ibu kamu!"
"Iya terima kasih ...!"
"Ayo cepat sekarang jamnya pak Leon, jangan sampai kita terlambat!" ajak Erna
"Oke..oke...!" sahut Sinta
Beberapa menit kemudian Sinta telah tiba di ruangan kuliahnya. Baru saja ia duduk di kursi, namun tak lama kemudian pak Leon masuk ke dalam ruangan.
"Selamat pagi semuanya!" sapa Pak Leon kepada semua Mahasiswa dan Mahasiswi di ruangan itu.
"Selamat pagi pak!" jawab mereka.
"Ssstttt.... ini Dosen mirip artis ya?, sudah gagah, tinggi, ganteng, putih, hidungnya mancung pula, makin semangat aja jadinya ikut mata kuliahnya, bener nggak?" bisik Erna
"Husss, nanti kedengaran orangnya, diam jangan berisik, ah !" sahut Sinta.
Sementara itu Pak Leon menerangkan materi kuliah secera detail dan jelas. Tidak bisa dipungkiri bila Pak Leon adalah salah satu Dosen yang diidolakan di kampus Brata Jaya Atmaja yang di singkat dengan kampus BJA. Saat jam kuliah Pak Leon telah selesai, Sinta mencari buku tulisnya yang berisi materi yang disampaikan oleh pak Leon barusan.
"Sin... aku duluan ya!, karena aku ada janji dengan kakakku, kalau gak on time bisa kena damprat aku!" pamit Erna
"Iya.. iya...!" jawab Sinta sambil mengambil isi tasnya kemudian meletakkannya di atas meja kemudian mengeluarkan semua isi tasnya untuk mencari buku catatannya.
Melihat salah seorang mahasiswinya seorang diri di kelas seperti kehilangan sesuatu, Leon pun menghampiri Sinta.
"Kenapa belum pulang?, apa yang sedang kamu cari ?" tanya Leon
"Eh maaf Pak, saya sedang mencari buku catatan saya." jawab Sinta
Mendengar jawaban dari mahasiswinya itu, membuat Leon juga ikut mencarikan buku yang dimaksud. Setelah bola matanya menyisir ke kolong meja dan kursi, akhirnya Leon menemukan sebuah buku tulis yang berada persis di kolong kursi yang duduki Sinta saat ini, kemudian diambilnya buku tersebut.
"Apakah kamu mencari ini?" ucap leon sambil memberikan sebuah buku kepada Sinta.
"Iya benar Pak, ini buku yang saya cari."
"Saya tidak pernah melihat wajah kamu sebelumnya, apa kamu baru pertama kali ikut mata kuliah saya?"
"Sebenarnya ini bukan yang pertama kali Pak, akan tetapi sejak ibu saya sakit-sakitan memang saya mengajukan ijin cuti kuliah."
"Lantas bagaimana keadaan ibu kamu sekarang?, apa sudah sehat-sehat saja?"
"Ibu saya sudah meninggal 8 hari yang lalu pak!" jawab Sinta, Sontak matanya pun berkaca- kaca.
"Saya minta maaf, saya tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan kamu?"
"Tidak pak, kalau membicarakan ibu saya memang saya agak sensitif. Mendengar nama Almarhumah saja saya rasanya ingin menangis."
"Insyaa Allah ibumu sudah tenang di Alam sana, sekarang tinggal tugas kamu untuk mengikuti kuliah dengan sebaik-baiknya!, bukankan kamu sudah ketingalan satu semester jadi kamu harus mengejar ketertinggalanmu itu!"
"Baik pak terima kasih atas masukannya!, saya akan berusaha mengejar ketertinggalan tersebut dengan sebaik-baiknya!" jawab Sinta yakin.
"Untuk mata kuliah saya yaitu Psikologi Pendidikan, maka saya akan memberikan jam tambahan untuk kamu, jadi pada saat saya selesai mengajar saya akan memberitahu kamu, bagaimana?"
"Baik pak, saya mohon maaf sebelumnya, jika kedepannya saya akan sering sekali menyita waktu Bapak!"
"Tidak apa-apa justru saya lebih suka jika semua mahasiswi memiliki semangat belajar yang tinggi seperti kamu."
"Iya Pak terima kasih banyak, kalau begitu saya undur diri dulu!" pamit Sinta.
"Baik silahkan!" jawab Leon.
Setelah Sinta keluar ruangan, segera Sinta menuruni anak tangga untuk turun ke lantai satu kemudian menuju ke jalan raya yang terletak persis di depan kampus. Sinta bermaksud naik kendaraan umum, biarpun sedikit terlambat ketika sampai di rumah bila dibandingkan dengan naik ojek, itu tidak masalah baginya, yang penting ia bisa sampai di rumah dengan aman dan selamat.
Sebuah mobil warna hitam mengkilat meluncur lirih ke arah Sinta, kemudian berhenti tepat di depannya. Pintu mobil tersebut pun terbuka, lalu keluarlah sosok pemuda gagah yang mengenakan setelan jas hitam dengan memakai sebuah kaca mata hitam berjalan mendatangi Sinta, sedangkan Sinta acuh tak acuh dengan kehadiran pemuda tersebut karena merasa tidak mengenalnya. Karena jengkel dengan perlakuan Sinta yang tidak merespon kehadirannya, pemuda tersebut membuka kaca matanya. Terlihatlah jelas wajahnya yang tampan, putih, dengan brewok tipis di wajahnya. Sinta dibuat kaget, Ia tak percaya bahwa Fero sedang berdiri di hadapannya saat ini."Fero....!, apa yang sedang kamu lakukan di sini?""Coba tebak apa yang akan aku lakukan?""Bagaimana aku tau?" jawab Sinta sambil mengangkat kedua pundak dan tangannya sebagai isyarat kalau ia benar-benar tidak tahu."Aku mau menculik kamu agar kamu mau menjadi kekasihku!" jawab Fero sambil menarik tangan Sinta untuk
Akhir-akhir ini, Fero sering berkunjung ke rumah Sinta. Semula Sinta ragu akan hubungannya dengan Fero karena status sosial mereka yang jauh berbeda. Ia merasa tak pantas dicintai oleh Fero. Karena Selain memiliki paras yang tampan, Fero juga memiliki postur yang gagah, serta materi yang berlimpah. Dengan memiliki segudang kelebihan inilah mustahil jika Fero tak digandrungi gadis-gadis cantik di luar sana.***Malam ini Sinta sedang mengerjakan tugas kuliah di dalam kamar. Sudah 50 Menit Sinta berkutat dengan laptop dan buku-bukunya. Ia tidak boleh menunda lagi mengerjakan semua tugas karena ia sudah tertinggal 1 semester, ini merupakan efek dari mengajukan cuti kuliah sementara beberapa waktu yang lalu."Tok..tok...tok...!"Suara ketukan berbunyi dari pintu depan. Tanpa menunggu ketukan berikutnya, Sinta segera membukakan pintu. Setelah pintu ruang tamu terbuka. Ternyata sudah berdiri sopir Fero dengan membawa sebuah kado di tangannya.
Akhir-akhir ini Leon hampir tiap hari menjemput dan mengantar Sinta pulang kuliah. Jawaban tidak tak mampu terucap dari bibir Sinta. Sebab jikalau menciptakan argumen, Sinta takkan menang dari Leon. Meng-iyakan adalah salah satu cara untuk meredam perbedaan dari berbagai sudut pandang. Jika berkata Iya bisa membuat lawan bicara merasa senang, tentunya Sintapun tenang, itu pula yang dilakukan Sinta saat ini.Tepatnya pada jam 16.00 WIB Sinta sudah sampai di rumahnya, Leonpun berniat untuk singgah barang sejenak, dan Setelah sang Dosen dipersilahkan duduk di ruang tamu, kemudian Sintapun membuatkan segelas teh untuknya."Kamu sudah tinggal berapa lama di sini Sinta?" tanya Leon"Sejak saya masih kecil pak!" jawab Sinta"Kalau sudah di luar kampus tidak usah terlalu formal, cukup panggil saja aku Leon!""Saya akan canggung sekali kalau langsung panggil nama anda.""Itu karena belum terbiasa, jadi biasakanlah!""Baiklah, Le..L
"Apa kamu memiliki bukti Fero, hingga begitu yakinnya menuduhku untuk sesuatu yang sama sekali tidak aku perbuat?""Tentu saja aku punya cukup bukti bahwa kamu adalah orang yang telah menyebabkan kakakku mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya!" teriak Fero lantang sambil menarik kalung dari leher Sinta, hingga membuat mulut Sinta ternganga karena kaget."Lihat ini baik-baik! ini adalah kalung yang aku temukan di tangan kakakku saat ia sudah tidak lagi bernyawa, kalung ini digenggamnya sangat erat, hingga sulit sekali untuk dilepaskan dari tangan kanannya, dan ini adalah Berita utama di sebuah surat kabar, lihat baik-baik kalung milikmu itu terlihat sangat jelas di gambar surat kabar sedang digenggam oleh kakakku!"Sontak Sinta semakin kaget dengan apa yang ia dengar dan lihat dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak habis fikir bagaimana bisa kalungnya benar-benar berada di tangan orang yang tidak ia kenal dalam halaman utama di surat kabar itu. Secara ref
Selesai mencuci piring di dapur. Sinta beranjak pergi menuju gudang, namun saat sesampainya di tangga, ia berpapasan dengan Fero yang terlihat memakai jas seperti saat akan pergi ke kantor. Secara refleks Sinta terpukau melihat penampilan Fero dengan rambut klemis serta penampilannya yang rapi itu. Perlahan jarak mereka semakin dekat, tanpa berkedip sedikitpun Sinta memandangi Fero."Wah, benar-benar tampan dan gagah sekali suamiku ini, tak salah bila aku begitu mencintainya!" ucap Sinta dalam hati.Namun Fero yang meski berpapasan dengan Sinta hanya melihat sekilas ke arahnya tanpa ekspresi sedikitpun. Seketika itu pula Sinta sadar bahwa cintanya kepada Fero hanya bertepuk sebelah tangan, Fero sama sekali tidak memiliki perasaan sedikitpun kepadanya, hatinya begitu sakit, hatinya begitu perih. Dengan langkah perlahan ia terus menaiki anak tangga hingga sampai jualah ia di pintu gudang, lalu dibukanya pintu itu dengan pelan. Dan sesampainya di dalam gudang yang sekaran
"Apa sih yang kamu lakukan di sini? asal kamu tau ya! beberapa pekerja gak fokus kerjanya karena ngomongin kamu, ada juga yang bergerombol ninggalin pekerjaannya karena lihatin kamu kayak anak kecil main air di sini, mendingan kamu di rumah saja deh! dari pada bikin mereka gak fokus sama kerjaannya!" teriak Fero pada Sinta."Kamu ini napa sih, datang-datang kok marah-marah gitu? ganti hobi baru nih sekarang?" sahut Sinta balik bertanya."Hobi baru? hobi baru apa sih? kalau ngomong itu yang jelas?!""Kamu kan sekarang punya hobi baru marah-marah! padahal dulu waktu deketin aku, kamu itu baik, perhatian, meski cenderung tegas tapi sedikitpun kamu gak pernah marah-marah, tapi sekarang sedikit-sedikit marah, jadi aneh saja ngelihatnya!""Aneh?""Iya jadi aneh, berubah drastis 180 derajat!""Aku sendiri juga gak tau, kenapa kalau ketemu kamu bawaannya pingin marah-marah? kamu selalu bikin aku emosi, apa lagi lihat gaya kamu
Sinta masih terus saja berjalan membuntuti Mang Inyong, namun setelah sampai di pintu gerbang tiba-tiba turun hujan begitu deras, Sinta pun berlari menuju rumah agar tidak basah kuyup, namun sesampainya di teras rumah, ia melihat Fero dengan seorang gadis cantik duduk saling berdekatan dengan posisi kepala si gadis bersandar pada bahu Fero. Mereka tampak akrab satu sama lain dan juga begitu mesra. Tentu saja Sinta yang melihat semua itu begitu kaget, karena sebelumnya ia tidak pernah bertemu apalagi mengenal gadis tersebut. Segala perasaan berkecamuk dalam hatinya saat itu, ia yang merasa setelah menikah saja tidak pernah diperlakukan mesra dan manja layaknya gadis itu oleh suaminya, maka dengan segera Sinta bergegas ke dalam rumah kemudian masuk ke dalam kamarnya, setelah itu ditutupnya pintu kamar dan ia pun bersandar pada pintu sambil terduduk lemas.2 kejadian sekaligus dalam kurun waktu yang hampir bersamaan seolah membuat jantungnya hampir lepas, baru saja ia diganggu o
"Jadi kamu sama sekali tidak pernah mengenal Fadli?" tanya Al keheranan."Jangankan mengenal, bagaimana wajahnya saja aku tidak pernah tau, aku baru tau setelah Fero memberikan sebuah surat kabar kepadaku, dalam surat kabar itu aku baru tau berita meninggalnya Fadli serta gambarnya.""Tapi bagaimana bisa kalung milikmu ada di tempat kejadian?""Kak sarah meminjam kalung itu kepadaku, dia bilang cuma meminjamnya sebentar saja, tapi nyatanya sebulan lebih kalungku baru ketemu, Fero yang memberikannya kepadaku!""Apa kamu tidak pernah cerita ke Fero, kalau sebenarnya kakakmu yang sudah meminjam kalung itu?""Saat Fero marah dan menuduhku bahwa akulah yang menyebabkan kakaknya bunuh diri, aku sudah berusaha menjelaskan yang sebenarnya, tapi dia sedikitpun tidak mau mempercayaiku, tapi aku yakin waktulah yang yang akan menjawab semuanya,
Hari-hari Sinta semakin berwarna dengan hadirnya Fero di tengah kehidupannya saat ini. Fero telah membuktikan bahwa dia adalah suami yang baik, begitu mencintai keluarga serta bertanggung jawab. Fero sudah bertekad ia akan selalu membahagiakan keluarga kecilnya tersebut, apalagi ia begitu menyayangi Azka seperti putra kandungnya sendiri begitu pula sebaliknya. Sinta yang bukan single parent lagi tentunya benar-benar merasakan kebahagiaan seutuhnya. Setelah rentetan kejadian tragis yang telah ia alami di sepanjang hidupnya kini telah tergantikan dengan kehidupan yang tentram serta bergelimang kebahagiaan. Memiliki 2 buah rumah yang saling berhadapan yang hanya terpisah oleh sebuah jalan raya membuat Sinta lebih banyak tinggal di rumah yang dibeli oleh Fero. Sejak malam pertama ia sudah lebih banyak tinggal di rumah tersebut dan untungnya pula putranya sama sekali tidak mempermasalahkan itu karena selama ada Fero maka Azka akan meng-iyakan.
Sekali lagi Sinta merasakan dilema yang teramat sangat dengan kejutan yang dibuat Fero bersama sang putra kali ini. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa karena untuk saat ini ia masih belum memikirkan untuk menikah kembali karena jujur saja perasaannya kepada Devano masih sangat kuat karena bagaimanapun juga dialah laki-laki pertama yang banyak memberikannya cinta dengan penuh ketulusan dan kesungguhan tanpa adanya rekayasa, dusta serta pengkhianatan. Namun mengapa saat ini perasaan takut karena trauma yang pernah dialaminya kian membuatnya bimbang. “Mama…Om Ganteng telah menolong Aka dali bahaya, Om Ganteng hampil meninjal kalena tolonyin Aka apa itu maci belum cukup buat Mama?” protes Azka yang tiba-tiba mengagetkan Sinta, lagi-lagi ucapan sang putra makin membuatnya heran karena bagaimana bisa ia melontarkan kata-kata yang begitu menohok. “Azka tidak boleh berkata demikian sama Mama ya sayang! biarkan Mama mengamb
“Aka cayang banget cama Om ganteng, Aka pingin punya Papa cepelti teman-teman teyus Aka pingin Om Ganteng jadi Papanya Aka!” jelas Azka dengan berterus terang. “Seperti yang Om bilang sebelumnya, Om akan selalu ada buat Azka dan juga Mama, Om tinggal menunggu kesiapan Mamanya Azka, begitu Mama bilang setuju dan siap untuk menikah dengan Om maka secepatnya Om akan menikahi Mama Azka!” terang Fero dengan begitu jelas. “Om Ganteng gak bohonyin Aka kan?” “Apa yang Om ucapkan pada Azka baru saja itu semua benar, dalam berbicara Om tidak boleh berbohong nanti kalau berbohong Allah bisa marah!” Azka mendengarkan penjelasan Feri sambil menganggukkan kepalanya. “Ya sudah kalau begitu sekarang Om pingin lihat mana senyum manisnya buat Om pagi ini?” seru Fero yang kemudian dibalas dengan sebuah senyuman manis yang tersungging dari bocah lucu tersebut. Dengan segera dipeluknya Azka oleh Fero dengan begitu hangat.
Pintu kamar Sinta tidak ditutup rapat, hanya beberapa centimeter saja pintu tersebut sedikit terbuka, maka dengan langkah pelan Fero memasuki kamar Sinta. Cukup luas sekali ukuran kamarnya berkisar 6 x 6 meter. Tatapan netra pemuda tersebut menelisik ke setiap penjuru ruangan, karena baru pertama kalinya ia masuk dengan tatapan menelisik seperti ini meski sebelumnya karena kondisi mendesak ia pernah masuk untuk melihat kondisi Sinta yang sedang pingsan begitu mendengar berita kepergian suaminya. Saat itu ia mencari foto pernikahan mereka di kamar tersebut namun ternyata ia tak menemukannya, bukankah kebanyakan pasangan pada umumnya selain memajang foto mereka di ruang keluarga, maka mereka juga akan memajangnya di dalam kamar, namun sepertinya hal tersebut tidak berlaku bagi Sinta dan juga Devano. Terlihat Sinta yang sedang tertidur lelap menggunakan selimut wol dengan warna cerah. Fero masih saja berdiri menatap wajah cantik itu,
Setelah dirawat di rumah sakit selama 2 minggu akhirnya Fero oleh Dokter diperbolehkan untuk pulang dengan catatan ia harus tetap rajin kontrol sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh Dokter di buku Kontrol. Tentu saja hal tersebut disambut dengan sangat antusias oleh Fero karena menurutnya berada di rumah sakit dengan durasi waktu selama itu berasa setahun lamanya dan untungnya ada Sinta yang selalu berada di sampingnya yang selalu setia menunggunya sedari awal dia terbaring tak sadarkan diri karena koma hingga sekarang kondisinya yang sudah berangsur pulih. Tak dipungkiri lagi bahwa Sinta adalah motivasinya selama ini untuk bisa berjuang melawan koma selama seminggu lamanya, dan itu juga merupakan keajaiban serta anugerah tak terhingga yang telah diberikan Sang Pencipta kepadanya. Ditambah dengan kehadiran Azka putra semata wayang dari wanita yang sangat dicintainya kian menambah nuansa suka cita yang ia rasakan selama ini. Kehadiran Azka
Terlihat seorang Dokter sedang melakukan resusitasi ( CPR ), usaha tersebut dilakukan untuk mengembalikan irama jantung yang telah terhenti. Sinta yang mengetahui hal tersebut langsung meraih telapak tangan Fero kemudian digenggamnya dengan erat sambil berkata, “Ayo Fero kamu harus kuat, kamu harus bisa, jangan tinggalkan aku dengan perasaan bersalah seperti ini! bagaimana aku harus menjawab pertanyaan putraku jika dia bertanya tentangmu? Fero ayo bangun! Aku mohon jangan tinggalkan aku! bukankah kamu sering mengatakan kalau aku tidak boleh meninggalkan kamu, tapi mengapa justru kamu sendiri yang akan meninggalkan aku? aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi Fero, yang aku mau hanya satu yaitu kamu tepati kata-katamu dan kamu buktikan kepadaku bahwa kamu….bahwa kamu tidak akan pergi meninggalkanku, maka aku juga akan buktikan kata-kataku dan aku berjanji untuk memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu kepadaku maka aku juga tidak akan pernah me
“Sin..ta..Sin..ta…ma..af..kan a..ku!” Ucapan Fero yang di ulang-ulang pada saat itu membuat Sinta terbangun dari tidurnya, suaranya meski tidak keras namun masih terdengar jelas di pendengaran Sinta. Perlahan tapi pasti mata Sinta yang sedang tertutup rapat karena rasa kantuk yang hinggap kini terbuka. Di tatapnya Fero yang masih memejamkan mata dihadapannya. “Sin..ta…Si..nta...ma..af..kan a..ku! ja..ngan ting..gal..kan a..ku!” rintih Fero. Hal itu membuat Sinta kaget, ternyata ucapan Wika tadi sebelum pulang benar adanya bahwa ketika dalam kondisi yang tak sadarkan diri Fero masih mengingat dirinya. Seketika itu pula Sinta menutup bibir dengan kedua telapak tangannya tanpa disadarinya pula tetesan air mata bening mengalir dari sudut kedua netranya yang kian memerah. Semula ucapan Wika itu baginya hanyalah sekedar guyonan semata yang disematkan kepadanya, namun kali ini yang dikatakan Wika itu adalah fakta. “Sin..t
Suara tangisan Azka yang begitu kencang terdengar hingga di dapur tempat Sinta berada, dengan segera Sinta berlari ke halaman rumah namun ia tidak menemukan keberadaan putranya di tempat yang baru saja ia lihat. Curiga dengan pintu gerbang yang kini sedang terbuka membuatnya semakin mempercepat lagi laju larinya ke luar rumah, saat ia tiba di sana terlihat dari jarak beberapa meter darinya nampak kerumunan orang yang berada di tengah jalan raya persis sekali dengan asal suara tangisan putra semata wayangnya. Jantungnya semakin berdetak kencang tak mampu membayangkan jika suatu hal terjadi kepada putranya tersebut. Kakinya kian terasa lemas nafasnya tak beraturan, rasa takut kian menghantuinya pada saat ini. Sinta semakin mempercepat pace larinya, ia juga harus berani menerima kenyataan apapun yang akan terjadi di hadapannya kini. Bibirnya hanya mampu terkatup namun batinnya sama sekali tak berhenti untuk terus berdo’a serta berharap agar t
Sinta begitu asyik menonton acara talk show di sebuah stasiun televisi yang ditayangkan secara live sambil ngemil keripik tempe kesukaannya. Sudah 15 menit sudah ia menonton acara tersebut tanpa beranjak sama sekali dari atas sofa yang ia duduki di ruang tengah, beberapa saat kemudian Azka ikut bergabung duduk di sofa untuk duduk di sampingnya. “Mama!” panggil Azka “Iya sayang!” sahut Sinta. “Tadi di cekolah Aka ketemu Om Ganteng!” pamer Azka kepada Mamanya. “Om ganteng? siapa itu sayang?” tanya Sinta. “Om yang pelnah ke cini caat Mama gak mau banyun, Mama di kamal teyus nangis gak mau belhenti!” ungkap Azka. “Oh ya? apa benar itu?” tanya Sinta. “Iya benel!” jawab Azka yakin. Tiba-tiba terdengar sebuah truk berhenti di seberang jalan, Sinta mengecilkan volume televisinya. Melihat apa yang terjadi dari balik tirai jendela ternyata sebuah truk kontainer sedang menurunkan barang-barang yang se