Akhir-akhir ini Leon hampir tiap hari menjemput dan mengantar Sinta pulang kuliah. Jawaban tidak tak mampu terucap dari bibir Sinta. Sebab jikalau menciptakan argumen, Sinta takkan menang dari Leon. Meng-iyakan adalah salah satu cara untuk meredam perbedaan dari berbagai sudut pandang. Jika berkata Iya bisa membuat lawan bicara merasa senang, tentunya Sintapun tenang, itu pula yang dilakukan Sinta saat ini.
Tepatnya pada jam 16.00 WIB Sinta sudah sampai di rumahnya, Leonpun berniat untuk singgah barang sejenak, dan Setelah sang Dosen dipersilahkan duduk di ruang tamu, kemudian Sintapun membuatkan segelas teh untuknya.
"Kamu sudah tinggal berapa lama di sini Sinta?" tanya Leon
"Sejak saya masih kecil pak!" jawab Sinta
"Kalau sudah di luar kampus tidak usah terlalu formal, cukup panggil saja aku Leon!"
"Saya akan canggung sekali kalau langsung panggil nama anda."
"Itu karena belum terbiasa, jadi biasakanlah!"
"Baiklah, Le..Le…Leon!"
"Nah panggilan itu lebih baik, oh ya ngomong-ngomong apa orang tuamu asli penduduk sini?"
"Bukan, saya dan kakak saya hanya mengontrak di sini, Almarhum ayah saya mengontrak rumah ini sejak saya masih balita."
"Oooh begitu...!"
"Iya, sebenarnya saya bukan anak kandung mereka, orang tua kandung saya sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat saat saya berusia 3 tahun. Kedua orang tua angkat saya sangat baik, keduanya memperlakukan saya seperti anak kandung sendiri. Meski hidup sederhana tapi kami sangat bahagia."
"Memang sebuah kebahagiaan itu tidak ditentukan oleh materi, tapi dari rasa syukur. Meskipun kaya raya kalau kurang bersyukur pasti hidupnya tidak akan bahagia. Begitu pula sebaliknya meskipun hidup seseorang itu sederhana tapi jika selalu bersyukur maka kebahagiaan senantiasa hadir dalam hidupnya!"
"Sinta aku tadi...," tiba-tiba Fero datang, ia terkejut karena begitu tiba di ruang tamu Sinta sudah bersama seseorang.
Sementara Leon memberikan senyuman ketika melihat Fero sambil menundukkan kepala sebagai ungkapan menghormati satu sama lain.
Fero pun membalas menganggukkan kepala juga tersenyum kepada Leon. Melihat ada kecangguhan di antara keduanya, Sinta pun memperkenalkan mereka berdua.
"Fero, perkenalkan ini Dosenku di kampus!" ujar Sinta
"Fero...!" Feropun menimpali dengan memulai memperkenalkan dirinya.
"Leon ... !" jawab Leon seraya tersenyum,
"Baiklah kalau begitu saya pamit undur diri dulu!" Tambah Leon berpamitan.
"Terima kasih Leon karena anda sudah mengantarkan saya sampai rumah!" sahut Sinta sambil berjalan mengantarkan Leon ke halaman rumah.
"Oke sama-sama, saya permisi dulu, sampai ketemu di kampus dan jangan lupa tetap semangat terus ya kuliahnya!" sahut Leon pada Sinta.
"Siap...!" jawab Sinta sambil tersenyum.
Setelah itu Leon bergegas masuk ke dalam mobil kemudian duduk di kursi kemudi, dengan perlahan mobil Leon meluncur pergi meninggalkan halaman rumah, hingga akhirnya mobil Pajero berwarna putih itupun tak nampak lagi.
"Dosenmu masih muda sekali ya?!" celetuk Fero
"Iya..., mahasiswi di kampus begitu mengidolakannya, karena bagi mereka beliau lebih cocok sebagai artis atau model dari pada Dosen, kamu tahu gak? kalau Leon ada jadwal memberi materi kuliah waaahhh..., mahasiswi satupun gak akan ada yang absen, tapi kalau Dosen lain yang memberi materi kuliah, kursi ada yang terisi saja sudah bikin viral di kampus, hehehehe...!"
"Wah…, semangat sekali ya kalau bercerita tentang Dosenmu itu?!"
"Pokoknya kalau cerita perihal Leon gak akan pernah ada habisnya deh he..he..!" sahut Sinta sambil tertawa.
"Aku tadi dari kampusmu, tapi ternyata kamu sudah pulang, kamu pulang sama Dosenmu itu kan?" tanya Fero
"Sepulang kita Dinner itu aku nyampek rumah Jam 23.30 WIB, keesokan harinya di kampus aku ketiduran saat Leon memberikanku soal-soal, dari situlah kemudian beliau mengantar aku pulang!"
"Dan kamu senang sekali kan diantar dia?!" ledek Fero
"Aku sudah menolaknya, tapi saat itu memang sudah mau maghrib, kemudian dia menawarkan untuk mengantar pulang, saat itu aku menolak, ia bilang jam segitu rawan kejahatan, setelah aku pikir-pikir memang ada benarnya juga sih."
"Kamu kan bisa telfon aku?! "
"Aku tidak mau merepotkan kamu, karena jam segitu biasanya kamu sibuk!"
"Kalau misal aku sibuk, aku bisa minta tolong sopir untuk menjemputmu, kenapa harus orang lain?"
"Fero..., kamu sedang tidak cemburu kan dengan Leon?!"
"Haaa, aku cemburu?, mana mungkin?, pantang bagi Fero untuk cemburu!, hanya saja aku tidak suka dengan sikapmu itu, kamu bisa minta tolong kepada orang lain berangkat dan pulang kuliah, sementara kamu tidak mau minta tolong kepada tunanganmu sendiri, apa itu tidak aneh?!"
"Iya Fero..., aku salah aku minta maaf!, kedepannya tidak akan ada kejadian seperti ini lagi, kamu jangan marah ya!, aku mohon..!, please...!!"
"Baiklah, Karena kamu sudah mengerti kesalahanmu, tidak ada untungnya lagi kita bahas masalah ini, oh ya..., kedatanganku ke sini untuk memberitahumu sesuatu!"
"Memberitahu sesuatu, emmmm… apa itu?!"
"Apa kak Sarah ada?!"
"Kak Sarah masih belum pulang, ada apa?"
"Sinta dengarkan aku baik-baik!, aku mohon kamu jangan marah dengan apa yang akan kusampaikan ini!, kamu masih ingatkan saat kemarin kamu menitipkan sebuah map yang berisi KK, KTP juga Foto kamu?" tanya Fero.
"Iya aku ingat!" sahut Sinta.
"Nah...saat itu aku menyuruh anak buahku untuk mendaftarkan pernikahan kita di KUA. Aku minta maaf sekali harus memberitahukan ini baru sekarang, apalagi tidak meminta izin kepadamu terlebih dulu, karena setelah aku pikir dengan seksama kita sudah sama-sama saling mencintai, jadi tidak ada baiknya kalau kita lama-lama berpacaran. Aku ingin segera meresmikan hubungan kita ke jenjang yang lebih serius, aku mohon kamu jangan marah ya!" ucap Fero panjang lebar berusaha untuk meyakinkan Sinta agar tidak marah kepadanya.
"Haaaa...!" Sinta dibuat ternganga mendengar pernyataan yang disampaikan oleh Fero.
"Kamu sedang tidak bercanda kan Fero..?" tanyanya pula.
"Aku serius Sinta, aku ingin secepatnya menikahimu, aku benar-benar minta maaf?!"
"Kenapa harus secepat ini Fero?, aku belum ada persiapan apa-apa sama sekali."
"Kamu tidak perlu menyiapkan apa-apa, karena aku sudah menyuruh anak buahku yang menyiapkan semuanya. Setelah ini aku akan mengantar kamu ke rumah sakit untuk melakukan imunisasi TT, jadi kamu tidak usah bingung dan panik ya!" ucap Fero berusaha untuk menenangkan Sinta.
"Assalamu'alaikum!" Sarah tiba-tiba nongol dari balik pintu sambil mengucapkan salam.
"Wa 'alaikum salam!" jawab Sinta dan Fero bersamaan.
"Wah ada apa ini pak bos sore gini ada di sini?" tanya Sarah
"Kebetulan kami sedang menunggu kak Sarah pulang!" jawab Sinta
"Oh ya…serius…?"
"Betul kak, saya sengaja ke sini karena ada perlu dengan kak Sarah." Sahut Fero
"Sepenting itukah?, jadi penasaran aja, sebenernya ada apa sih?"
"Sini dulu deh….kakak duduk dulu di sini!" jawab Sinta sambil menarik tangan Sarah untuk duduk di sebelahnya.
"Oke sekarang aku sudah duduk, ada apa ini cepat katakan!, jangan buat aku makin penasaran!"
"Emmm… begini Kak, kedatangan saya ke sini untuk meminta izin bahwa saya akan menikahi Sinta di KUA dalam waktu dekat ini, saya tahu keputusan saya ini sangat tidak sopan dan juga sangat tergesa-gesa, dan Sinta pun baru saja mengetahui keputusan yang saya buat ini. Saya sudah melamar Sinta beberapa waktu yang lalu kak, dan sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya ingin menikahi Sinta dengan waktu yang sangat mendadak sekali!"
"Eeittt…tunggu...tunggu...tunggu!, sebenarnya ini ada apa sih, ayo katakan yang sejujurnya apa yang sudah kamu lakukan kepada Sinta?, jangan katakan kalau kamu sudah menghamili dia hingga kamu harus menikah buru-buru seperti ini?"
"Haaa…. jadi maksud kakak aku hamil?" sahut Sinta keheranan
"Iyalah, terus kalau tidak hamil kenapa harus mendadak sekali seperti ini?"
"Alhamdulillah sampai detik ini saya masih menjaga kehormatan adik kakak ini, justru karena saya takut iman saya goyah ditambah lagi semakin hari perasaan cinta dan sayang saya kepada Sinta semakin bertambah itu akan sangat berbahaya sekali, maka dari itu sebelum hal yang tidak diinginkan itu terjadi, lebih baik kami menikah Kak!"
"Kamu bagaimana Sinta?, apa kamu benar-benar sudah siap untuk menikah dengan Fero?"
"Iya kak, jika Fero sudah memutuskan demikian, tidak ada alasan lagi untuk menolak keputusannya ini, aku yakin dia bisa menjadi imam yang baik untuk kehidupanku kedepannya, untuk itu aku minta doa restu dari kak Sarah ya!, agar pernikahanku dengan Fero bahagia juga langgeng hingga maut memisahkan kami!"
"Sudah…sudah jangan di teruskan lagi!, kalian ini ya, pulang kerja sudah membuat aku menangis."
Sontak Sinta dan Sarah saling berpelukan, keduanya sama-sama meneteskan air mata, namun yang berbeda ialah Sinta meneteskan air mata haru serta bahagia karena ia akan segera menikah dengan laki-laki yang dicintainya, sedang Sarah menangis karena perasaan lega atas kekhawatirannya sejak kematian Fadli beberapa bulan yang lalu. Dengan Fero menikahi Sinta maka peluang untuk mengalihkan kecurigaan Fero kepadanya akan semakin kecil, karena waktu Fero lebih banyak bersama Sinta, bahkan Fero akan disibukkan dengan urusan malam pertama, urusan rumah tangga dan yang tak kalah penting juga urusan Perusahaan, hal itulah yang ada di benak Sarah hingga membuatnya menangis lega.
****
Sesuai hari yang sudah direncanakan oleh Fero dan juga tepatnya pada pukul 10.18 WIB. Telah selesai sudah dilangsungkan akad nikah. Alhamdulillah Prosesi akad nikah berjalan dengan lancar. Dengan dihadiri kedua mempelai yaitu Fero dan Sinta, Wali hakim, 2 orang saksi, Bapak penghulu dan petugas KUA hingga semua prosesinya selesai. Sinta sangat cantik dan anggun dengan mengenakan balutan kebaya berwarna putih. Ia pun bahagia dan lega akhirnya Fero mengucapkan ijab qobul dengan lantang dan lancar hingga akhirnya ia sah menjadi seorang istri dari Fero Ardinata Prayuda, laki-laki yang sangat dicintainya. Sintapun Memandangi buku nikah yang diberikan kepadanya dan Fero dari Bapak Petugas KUA, kedua matanyapun berkaca-kaca hingga ia tak sanggup lagi membendung butiran air mata yang pada akhirnya jatuh membasahi pipinya itu.
"Ayo!, kita langsung pulang ke rumah!" ajak Fero kepada Sinta
"Emm…iya!" jawab Sinta lirih sambil mengusap air matanya dengan menggunakan kedua telapak tangannya.
****
20 menit kemudian mereka sampai di sebuah halaman rumah yang cukup luas, sebelumnya Fero sudah pernah mengajaknya ke rumah itu, namun tetap saja ia nampak merasa canggung. Ia pun mengikuti langkah Fero dari belakang, Saat sudah sampai di lantai 2 ada beberapa orang yang berada di situ.
"Sssstttt!" Fero memberi kode kepada salah seorang diantara mereka untuk mendekat kepadanya, kemudian orang yang dimaksud berjalan mendekati Fero, Sintapun tidak dapat mendengar percakapan mereka karena sangat lirih sekali.
"Bagaimana?, apa kamu sudah memasang semua cctv di semua ruangan di rumah ini, kecuali di kamar mandi ?" bisik Fero
"Sudah pak, sudah saya pasang semuanya, dan layar monitor pengawas cctvnya saya letakkan di meja kerja bapak!" jawabnya lirih pula
"Bagus!" sahut Fero
Sambil membawa sebuah koper yang berukuran besar di tangannya, kembali Sinta mengikuti langkah Fero, hingga akhirnya ia sampai di sebuah kamar yang cukup luas yang terlihat sangat rapi juga bersih. Langkah Fero pun berhenti tepat di samping tempat tidur, kemudian di lepaskan jas serta kemeja yang ia kenakan itu, kemudian dilemparkannya ke tempat tidur. Nampak jelas terlihat body six pack Fero, sungguh pemandangan yang sangat indah yang tak mungkin mampu bagi Sinta untuk memalingkan muka. Sadar kalau Sinta sedang memandanginya Fero pun berhenti melepaskan ikat pinggang dari celananya.
"Hey…apa yang sedang kamu lakukan di sini haaa?" bentak Fero sambil menatap tajam ke arah Sinta
"Aaa…aaakuu… bukankah ini kamar kita?" ucap Sinta terbata-bata karena terkejut dengan bentakan Fero
"Kamar kita?, siapa bilang kalau ini kamar kita?" Tanya Fero balik dengan nada sinis sambil berjalan terus mendekat ke arah Sinta, sedang Sinta melangkah mundur hingga pada akhirnya langkahnya terhenti tak bisa mundur lagi karena terhalang dinding kamar.
"Bukankah kita sudah menikah, tentu saja kita berdua tidur di kamar ini kan?" jawab sinta lirih dan gugup
"Ini rumahku, semua yang ada di sini juga milikku, jangan bilang karena kamu sudah menikah denganku dan menjadi istriku lalu kamu yang menentukan siapa yang tidur di kamar ini, kamu salah besar nona Sinta Dinda Neytasya!" sahut Fero sambil kedua tangannya mengepal ke tembok memagari wajah Sinta dengan jarak beberapa centimeter dari wajahnya.
"Aku tidak mengerti maksud kamu Fero?"
"Karena kamu tidak mengerti juga maka aku akan menjelaskannya sekarang, camkan dan ingat baik-baik kata-kataku ini!, simpan dalam otakmu yang sok lugu itu ya!, tujuanku mendekatimu lalu menikahimu bukan karena aku mencintaimu, bukan karena aku tergila-gila padamu, tapi semua itu aku lakukan karena aku akan membalas dendam padamu atas kematian kakakku!"
"Balas dendam?, balas dendam apa Fero?, aku semakin tidak mengerti?"
"Tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti haaa?, harus ku akui kau memang memiliki wajah cantik nan rupawan, tapi jangan kamu kira kamu bisa mengelabuiku dengan wajahmu ini, kamu salah besar, karena bagiku wajah cantikmu ini hanyalah sebuah topeng untuk menutupi kebusukan juga tujuanmu dalam mendapatkan laki-laki kaya raya kemudian menguras hartanya, dan setelah kamu mendapatkan semua yang kamu inginkan, kamu campakkan dia begitu saja. Benarkan dengan apa yang ku katakan ini?"
Bagai petir di siang bolong, kata-kata Fero begitu jahat terdengar memekakkan telinga, dan juga menyakitkan hati Sinta. Bulir-bulir air matapun menetes membasahi pipinya yang merah merona itu.
"Atas dasar apa kamu menuduhku seperti ini Fero, aku benar-benar tidak mengerti, kamu bilang aku mencampakkan dan menguras harta kakakmu, lalu kakak siapa?, namanya siapa?, yang mana orangnya saja aku tidak tahu, apa maksud semua ini Fero?"
"Jangan berpura-pura lagi di depanku, jangan kira air matamu bisa mengelabuiku, kamu kira aku adalah lelaki bodoh yang dengan mudahnya bisa kamu tipu?, cukup kakakku yang jadi korbanmu!"
"Sejahat itukah aku di mata Fero?" desah Sinta dalam hati sambil bernafas panjang.
"Bagaimana cara menjelaskan kepadanya bahwa aku tidak ada hubungannya dengan kematian kakaknya itu?, tapi mengapa dia sama sekali tidak mempercayaiku?, mengapa dia harus membenciku?" Sinta bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Saat itu ia begitu syok, sedih juga kecewa, semuanya berasa campur aduk menjadi satu.
"Apa kamu memiliki bukti Fero, hingga begitu yakinnya menuduhku untuk sesuatu yang sama sekali tidak aku perbuat?""Tentu saja aku punya cukup bukti bahwa kamu adalah orang yang telah menyebabkan kakakku mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya!" teriak Fero lantang sambil menarik kalung dari leher Sinta, hingga membuat mulut Sinta ternganga karena kaget."Lihat ini baik-baik! ini adalah kalung yang aku temukan di tangan kakakku saat ia sudah tidak lagi bernyawa, kalung ini digenggamnya sangat erat, hingga sulit sekali untuk dilepaskan dari tangan kanannya, dan ini adalah Berita utama di sebuah surat kabar, lihat baik-baik kalung milikmu itu terlihat sangat jelas di gambar surat kabar sedang digenggam oleh kakakku!"Sontak Sinta semakin kaget dengan apa yang ia dengar dan lihat dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak habis fikir bagaimana bisa kalungnya benar-benar berada di tangan orang yang tidak ia kenal dalam halaman utama di surat kabar itu. Secara ref
Selesai mencuci piring di dapur. Sinta beranjak pergi menuju gudang, namun saat sesampainya di tangga, ia berpapasan dengan Fero yang terlihat memakai jas seperti saat akan pergi ke kantor. Secara refleks Sinta terpukau melihat penampilan Fero dengan rambut klemis serta penampilannya yang rapi itu. Perlahan jarak mereka semakin dekat, tanpa berkedip sedikitpun Sinta memandangi Fero."Wah, benar-benar tampan dan gagah sekali suamiku ini, tak salah bila aku begitu mencintainya!" ucap Sinta dalam hati.Namun Fero yang meski berpapasan dengan Sinta hanya melihat sekilas ke arahnya tanpa ekspresi sedikitpun. Seketika itu pula Sinta sadar bahwa cintanya kepada Fero hanya bertepuk sebelah tangan, Fero sama sekali tidak memiliki perasaan sedikitpun kepadanya, hatinya begitu sakit, hatinya begitu perih. Dengan langkah perlahan ia terus menaiki anak tangga hingga sampai jualah ia di pintu gudang, lalu dibukanya pintu itu dengan pelan. Dan sesampainya di dalam gudang yang sekaran
"Apa sih yang kamu lakukan di sini? asal kamu tau ya! beberapa pekerja gak fokus kerjanya karena ngomongin kamu, ada juga yang bergerombol ninggalin pekerjaannya karena lihatin kamu kayak anak kecil main air di sini, mendingan kamu di rumah saja deh! dari pada bikin mereka gak fokus sama kerjaannya!" teriak Fero pada Sinta."Kamu ini napa sih, datang-datang kok marah-marah gitu? ganti hobi baru nih sekarang?" sahut Sinta balik bertanya."Hobi baru? hobi baru apa sih? kalau ngomong itu yang jelas?!""Kamu kan sekarang punya hobi baru marah-marah! padahal dulu waktu deketin aku, kamu itu baik, perhatian, meski cenderung tegas tapi sedikitpun kamu gak pernah marah-marah, tapi sekarang sedikit-sedikit marah, jadi aneh saja ngelihatnya!""Aneh?""Iya jadi aneh, berubah drastis 180 derajat!""Aku sendiri juga gak tau, kenapa kalau ketemu kamu bawaannya pingin marah-marah? kamu selalu bikin aku emosi, apa lagi lihat gaya kamu
Sinta masih terus saja berjalan membuntuti Mang Inyong, namun setelah sampai di pintu gerbang tiba-tiba turun hujan begitu deras, Sinta pun berlari menuju rumah agar tidak basah kuyup, namun sesampainya di teras rumah, ia melihat Fero dengan seorang gadis cantik duduk saling berdekatan dengan posisi kepala si gadis bersandar pada bahu Fero. Mereka tampak akrab satu sama lain dan juga begitu mesra. Tentu saja Sinta yang melihat semua itu begitu kaget, karena sebelumnya ia tidak pernah bertemu apalagi mengenal gadis tersebut. Segala perasaan berkecamuk dalam hatinya saat itu, ia yang merasa setelah menikah saja tidak pernah diperlakukan mesra dan manja layaknya gadis itu oleh suaminya, maka dengan segera Sinta bergegas ke dalam rumah kemudian masuk ke dalam kamarnya, setelah itu ditutupnya pintu kamar dan ia pun bersandar pada pintu sambil terduduk lemas.2 kejadian sekaligus dalam kurun waktu yang hampir bersamaan seolah membuat jantungnya hampir lepas, baru saja ia diganggu o
"Jadi kamu sama sekali tidak pernah mengenal Fadli?" tanya Al keheranan."Jangankan mengenal, bagaimana wajahnya saja aku tidak pernah tau, aku baru tau setelah Fero memberikan sebuah surat kabar kepadaku, dalam surat kabar itu aku baru tau berita meninggalnya Fadli serta gambarnya.""Tapi bagaimana bisa kalung milikmu ada di tempat kejadian?""Kak sarah meminjam kalung itu kepadaku, dia bilang cuma meminjamnya sebentar saja, tapi nyatanya sebulan lebih kalungku baru ketemu, Fero yang memberikannya kepadaku!""Apa kamu tidak pernah cerita ke Fero, kalau sebenarnya kakakmu yang sudah meminjam kalung itu?""Saat Fero marah dan menuduhku bahwa akulah yang menyebabkan kakaknya bunuh diri, aku sudah berusaha menjelaskan yang sebenarnya, tapi dia sedikitpun tidak mau mempercayaiku, tapi aku yakin waktulah yang yang akan menjawab semuanya,
Suara hand phone berbunyi nyaring mengalunkan musik alarm sebagai pengingat bahwa hari telah berganti pagi, namun sosok dibalik selimut rupanya enggan untuk membuka mata karena masih terkunci oleh rasa kantuk yang mendera, bunyi alarm masih saja terdengar begitu memekakkan telinga hingga si empunya menekan tombol off kemudian bunyi pun hilang dalam sekejap. Sinar mentari mulai menerangi celah-celah ruangan yang menembuspori-pori tirai jendela. Altara akhirnya bangkit dari tidur lelapnya, ia segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu di ruang makan Fero sedang
Sore itu Sinta pergi ke sungai ia begitu merindukan suara gemercik air yang mengalir, segarnya air sungai, serta hembusan angin yang sepoi-sepoi. Beberapa hari ini ia tidak bisa pergi ke tempat favoritnya itu, dikarenakan ia disibukkan dengan aktifitas kuliah yang sangat padat, tanpa sepengetahuan Sinta seseorang telah meneropongnya dari jarak 60 meter, sosok itu telah mengamati aktifitas Sinta selama beberapa hari ini. "Roy… Roy….!"Seorang pemuda tampan, berkulit putih dan berhidung mancung sedang memanggil sang asisten untuk segera datang kepadanya. "Iya Tuan!" jawab sang asisten. "ini kamu lihat, siapa gadis itu? beberapa hari ini aku melihat dia sedang berada di area Fero?" ujar Devano sambil memberikan teropong yang baru saja ia pakai kepada asistennya tersebut. "Oow.. gadis cantik itu Tuan, iya Tuan saya tau siapa dia!" jawab Roy. "Siapa?" "Berdasarkan info dari salah seorang pekerja perkebunan dia adalah istri Fero Ardinata
Mendengar kabar bahwa dirinya akan diantarkan kembali pulang ke rumah, membuat Sinta mengucap syukur yang tak terhingga. Mereka akan membebaskannya dengan satu syarat, ia harus mau makan nasi kotak yang sudah disiapkan, sebenarnya enggan bagi Sinta untuk makan pemberian mereka, namun karena itu adalah satu-satunya syarat agar ia dibebaskan, maka mau tidak mau Sinta pun memakan nasi kotak tersebut meski hanya beberapa sendok saja. Sedih plus bahagia bahwa ia akan segera bebas dari para penculik, hal yang membuatnya sedih yaitu sebisa mungkin ia akan menjauh dari suami yang teramat sangat membencinya, hatinya begitu sedih bahwasanya Fero tak pernah menganggapnya ada. Hingga tiba jualah para penculik itu menepati janjinya, sesuai dengan instruksi dari tuannya, mereka mengantarkan Sinta sampai beberapa meter dari pintu gerbang rumah, sama seperti tempat dimana mereka beberapa hari yang lalu membiusnya kemudian membawanya pergi. Setelah Sinta turun dari mobil yang mengantarkannya
Hari-hari Sinta semakin berwarna dengan hadirnya Fero di tengah kehidupannya saat ini. Fero telah membuktikan bahwa dia adalah suami yang baik, begitu mencintai keluarga serta bertanggung jawab. Fero sudah bertekad ia akan selalu membahagiakan keluarga kecilnya tersebut, apalagi ia begitu menyayangi Azka seperti putra kandungnya sendiri begitu pula sebaliknya. Sinta yang bukan single parent lagi tentunya benar-benar merasakan kebahagiaan seutuhnya. Setelah rentetan kejadian tragis yang telah ia alami di sepanjang hidupnya kini telah tergantikan dengan kehidupan yang tentram serta bergelimang kebahagiaan. Memiliki 2 buah rumah yang saling berhadapan yang hanya terpisah oleh sebuah jalan raya membuat Sinta lebih banyak tinggal di rumah yang dibeli oleh Fero. Sejak malam pertama ia sudah lebih banyak tinggal di rumah tersebut dan untungnya pula putranya sama sekali tidak mempermasalahkan itu karena selama ada Fero maka Azka akan meng-iyakan.
Sekali lagi Sinta merasakan dilema yang teramat sangat dengan kejutan yang dibuat Fero bersama sang putra kali ini. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa karena untuk saat ini ia masih belum memikirkan untuk menikah kembali karena jujur saja perasaannya kepada Devano masih sangat kuat karena bagaimanapun juga dialah laki-laki pertama yang banyak memberikannya cinta dengan penuh ketulusan dan kesungguhan tanpa adanya rekayasa, dusta serta pengkhianatan. Namun mengapa saat ini perasaan takut karena trauma yang pernah dialaminya kian membuatnya bimbang. “Mama…Om Ganteng telah menolong Aka dali bahaya, Om Ganteng hampil meninjal kalena tolonyin Aka apa itu maci belum cukup buat Mama?” protes Azka yang tiba-tiba mengagetkan Sinta, lagi-lagi ucapan sang putra makin membuatnya heran karena bagaimana bisa ia melontarkan kata-kata yang begitu menohok. “Azka tidak boleh berkata demikian sama Mama ya sayang! biarkan Mama mengamb
“Aka cayang banget cama Om ganteng, Aka pingin punya Papa cepelti teman-teman teyus Aka pingin Om Ganteng jadi Papanya Aka!” jelas Azka dengan berterus terang. “Seperti yang Om bilang sebelumnya, Om akan selalu ada buat Azka dan juga Mama, Om tinggal menunggu kesiapan Mamanya Azka, begitu Mama bilang setuju dan siap untuk menikah dengan Om maka secepatnya Om akan menikahi Mama Azka!” terang Fero dengan begitu jelas. “Om Ganteng gak bohonyin Aka kan?” “Apa yang Om ucapkan pada Azka baru saja itu semua benar, dalam berbicara Om tidak boleh berbohong nanti kalau berbohong Allah bisa marah!” Azka mendengarkan penjelasan Feri sambil menganggukkan kepalanya. “Ya sudah kalau begitu sekarang Om pingin lihat mana senyum manisnya buat Om pagi ini?” seru Fero yang kemudian dibalas dengan sebuah senyuman manis yang tersungging dari bocah lucu tersebut. Dengan segera dipeluknya Azka oleh Fero dengan begitu hangat.
Pintu kamar Sinta tidak ditutup rapat, hanya beberapa centimeter saja pintu tersebut sedikit terbuka, maka dengan langkah pelan Fero memasuki kamar Sinta. Cukup luas sekali ukuran kamarnya berkisar 6 x 6 meter. Tatapan netra pemuda tersebut menelisik ke setiap penjuru ruangan, karena baru pertama kalinya ia masuk dengan tatapan menelisik seperti ini meski sebelumnya karena kondisi mendesak ia pernah masuk untuk melihat kondisi Sinta yang sedang pingsan begitu mendengar berita kepergian suaminya. Saat itu ia mencari foto pernikahan mereka di kamar tersebut namun ternyata ia tak menemukannya, bukankah kebanyakan pasangan pada umumnya selain memajang foto mereka di ruang keluarga, maka mereka juga akan memajangnya di dalam kamar, namun sepertinya hal tersebut tidak berlaku bagi Sinta dan juga Devano. Terlihat Sinta yang sedang tertidur lelap menggunakan selimut wol dengan warna cerah. Fero masih saja berdiri menatap wajah cantik itu,
Setelah dirawat di rumah sakit selama 2 minggu akhirnya Fero oleh Dokter diperbolehkan untuk pulang dengan catatan ia harus tetap rajin kontrol sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh Dokter di buku Kontrol. Tentu saja hal tersebut disambut dengan sangat antusias oleh Fero karena menurutnya berada di rumah sakit dengan durasi waktu selama itu berasa setahun lamanya dan untungnya ada Sinta yang selalu berada di sampingnya yang selalu setia menunggunya sedari awal dia terbaring tak sadarkan diri karena koma hingga sekarang kondisinya yang sudah berangsur pulih. Tak dipungkiri lagi bahwa Sinta adalah motivasinya selama ini untuk bisa berjuang melawan koma selama seminggu lamanya, dan itu juga merupakan keajaiban serta anugerah tak terhingga yang telah diberikan Sang Pencipta kepadanya. Ditambah dengan kehadiran Azka putra semata wayang dari wanita yang sangat dicintainya kian menambah nuansa suka cita yang ia rasakan selama ini. Kehadiran Azka
Terlihat seorang Dokter sedang melakukan resusitasi ( CPR ), usaha tersebut dilakukan untuk mengembalikan irama jantung yang telah terhenti. Sinta yang mengetahui hal tersebut langsung meraih telapak tangan Fero kemudian digenggamnya dengan erat sambil berkata, “Ayo Fero kamu harus kuat, kamu harus bisa, jangan tinggalkan aku dengan perasaan bersalah seperti ini! bagaimana aku harus menjawab pertanyaan putraku jika dia bertanya tentangmu? Fero ayo bangun! Aku mohon jangan tinggalkan aku! bukankah kamu sering mengatakan kalau aku tidak boleh meninggalkan kamu, tapi mengapa justru kamu sendiri yang akan meninggalkan aku? aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi Fero, yang aku mau hanya satu yaitu kamu tepati kata-katamu dan kamu buktikan kepadaku bahwa kamu….bahwa kamu tidak akan pergi meninggalkanku, maka aku juga akan buktikan kata-kataku dan aku berjanji untuk memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu kepadaku maka aku juga tidak akan pernah me
“Sin..ta..Sin..ta…ma..af..kan a..ku!” Ucapan Fero yang di ulang-ulang pada saat itu membuat Sinta terbangun dari tidurnya, suaranya meski tidak keras namun masih terdengar jelas di pendengaran Sinta. Perlahan tapi pasti mata Sinta yang sedang tertutup rapat karena rasa kantuk yang hinggap kini terbuka. Di tatapnya Fero yang masih memejamkan mata dihadapannya. “Sin..ta…Si..nta...ma..af..kan a..ku! ja..ngan ting..gal..kan a..ku!” rintih Fero. Hal itu membuat Sinta kaget, ternyata ucapan Wika tadi sebelum pulang benar adanya bahwa ketika dalam kondisi yang tak sadarkan diri Fero masih mengingat dirinya. Seketika itu pula Sinta menutup bibir dengan kedua telapak tangannya tanpa disadarinya pula tetesan air mata bening mengalir dari sudut kedua netranya yang kian memerah. Semula ucapan Wika itu baginya hanyalah sekedar guyonan semata yang disematkan kepadanya, namun kali ini yang dikatakan Wika itu adalah fakta. “Sin..t
Suara tangisan Azka yang begitu kencang terdengar hingga di dapur tempat Sinta berada, dengan segera Sinta berlari ke halaman rumah namun ia tidak menemukan keberadaan putranya di tempat yang baru saja ia lihat. Curiga dengan pintu gerbang yang kini sedang terbuka membuatnya semakin mempercepat lagi laju larinya ke luar rumah, saat ia tiba di sana terlihat dari jarak beberapa meter darinya nampak kerumunan orang yang berada di tengah jalan raya persis sekali dengan asal suara tangisan putra semata wayangnya. Jantungnya semakin berdetak kencang tak mampu membayangkan jika suatu hal terjadi kepada putranya tersebut. Kakinya kian terasa lemas nafasnya tak beraturan, rasa takut kian menghantuinya pada saat ini. Sinta semakin mempercepat pace larinya, ia juga harus berani menerima kenyataan apapun yang akan terjadi di hadapannya kini. Bibirnya hanya mampu terkatup namun batinnya sama sekali tak berhenti untuk terus berdo’a serta berharap agar t
Sinta begitu asyik menonton acara talk show di sebuah stasiun televisi yang ditayangkan secara live sambil ngemil keripik tempe kesukaannya. Sudah 15 menit sudah ia menonton acara tersebut tanpa beranjak sama sekali dari atas sofa yang ia duduki di ruang tengah, beberapa saat kemudian Azka ikut bergabung duduk di sofa untuk duduk di sampingnya. “Mama!” panggil Azka “Iya sayang!” sahut Sinta. “Tadi di cekolah Aka ketemu Om Ganteng!” pamer Azka kepada Mamanya. “Om ganteng? siapa itu sayang?” tanya Sinta. “Om yang pelnah ke cini caat Mama gak mau banyun, Mama di kamal teyus nangis gak mau belhenti!” ungkap Azka. “Oh ya? apa benar itu?” tanya Sinta. “Iya benel!” jawab Azka yakin. Tiba-tiba terdengar sebuah truk berhenti di seberang jalan, Sinta mengecilkan volume televisinya. Melihat apa yang terjadi dari balik tirai jendela ternyata sebuah truk kontainer sedang menurunkan barang-barang yang se