Selesai mencuci piring di dapur. Sinta beranjak pergi menuju gudang, namun saat sesampainya di tangga, ia berpapasan dengan Fero yang terlihat memakai jas seperti saat akan pergi ke kantor. Secara refleks Sinta terpukau melihat penampilan Fero dengan rambut klemis serta penampilannya yang rapi itu. Perlahan jarak mereka semakin dekat, tanpa berkedip sedikitpun Sinta memandangi Fero.
"Wah, benar-benar tampan dan gagah sekali suamiku ini, tak salah bila aku begitu mencintainya!" ucap Sinta dalam hati.
Namun Fero yang meski berpapasan dengan Sinta hanya melihat sekilas ke arahnya tanpa ekspresi sedikitpun. Seketika itu pula Sinta sadar bahwa cintanya kepada Fero hanya bertepuk sebelah tangan, Fero sama sekali tidak memiliki perasaan sedikitpun kepadanya, hatinya begitu sakit, hatinya begitu perih. Dengan langkah perlahan ia terus menaiki anak tangga hingga sampai jualah ia di pintu gudang, lalu dibukanya pintu itu dengan pelan. Dan sesampainya di dalam gudang yang sekarang tempat itu adalah tempat tidurnya, Sinta duduk di atas matras sambil bersandar ke dinding. Teringat sesaat kejadian setelah ia menikah dengan Fero, terlintas jelas di benaknya kata-kata Fero yang sangat pedas diucapkan kepadanya, bahwa Fero sedikitpun tidak memiliki perasaan apapun, lebih tepatnya lagi sejak ia bertemu dengan Fero sedikitpun Fero tidak mencintainya, selama ini hanya dia sendiri yang sedang jatuh cinta kepada Fero, namun tak bisa ia hindari perasaan itu tumbuh dan bersemi di hatinya, aneh sekali rasanya meski Fero telah bersikap dan berkata kasar kepadanya perasaan itu tidak berkurang sedikitpun. Tanpa ia sadari air matanyapun menetes.
"Ingin rasanya aku bisa menghapus perasaan ini, ingin sekali aku menghilang dari kehidupannya, tapi aku tidak bisa, semakin hari perasaan ini semakin bertambah dan aku benar-benar mencintainya, bagaimanapun juga dia adalah suamiku, sosok yang sudah aku pilih untuk melanjutkan hidupku di masa depan!" desah Sinta dalam hati. lalu diambilnya foto sesaat setelah ijab qobul bersama Fero di KUA yang terpampang dalam bingkai, kemudian diusapnya foto itu dengan lembut.
"Aku tidak tau bagaimana kelanjutan pernikahan kita?, apakah kau akan terus membenciku seperti ini?, andai kau sedikit saja mau mempercayaiku…sedikiiiit saja... aku benar-benar tidak ada sangkut pautnya dengan kematian kakakmu, aku benar-benar tidak mengenal kakakmu, aku tidak seperti yang kau tuduhkan itu!" ungkapnya pula sambil terisak dan menghembuskan nafas.
Air mata kian menetes dari kedua mata Sinta, Sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa malam pertama pernikahannya akan ia habiskan tidur sendirian di dalam gudang kosong yang tak terpakai, yang memang sebenarnya tidak layak untuk dihuni, namun ia tak mampu berbuat apa-apa selain menuruti kemauan Fero untuk tidur terpisah dengannya, begitu berbanding 180 Derajat, Fero tidur di kamar yang mewah dengan segala fasilitas yang ada di dalamnya, sedang ia harus tidur di dalam gudang kumuh dan kotor sebelum dibersihkan terlebih dulu olehnya. Hari semakin gelap, untung saja lampu di dalam gudang masih berfungsi dengan baik meski penerangannya remang-remang. Beberapa saat Sinta masih meratapi kejadian yang sudah ia alami, hingga pada akhirnya matanyapun terpejam menuju ke alam mimpi.
****
Suasana pagi kini telah hadir diiringi suara ayam yang berkokok membuat Sinta terbangun dari tidurnya yang lelap. Saat ia memercingkan mata untuk melihat HP, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 04.30 WIB. Ia pun bergegas ke kamar mandi, kemudian melaksanakan sholat subuh, Setelah itu kembali ia menyapu lantai kamarnya, mengelap kaca jendela, juga merapikan sprei. Tak lama berselang Sinta menuju ke kamar Fero, dibukanya pintu kamar dengan perlahan, sambil mengamati suasana di dalam kamar yang terlihat sepi seolah tak berpenghuni, sambil mengendap-endap ia melangkahkan kakinya untuk masuk. Ternyata Fero sudah bangun dan sedang mandi, karena terdengar jelas di telinganya suara gemercik air di dalam kamar mandi, dengan hati-hati sekali Sinta membuka lemari pakaian, dilihatnya deretan jas dalam satu sekat, begitu juga kemeja serta celana berjajar dengan begitu rapi digantung di dalam lemari pakaian yang berukuran sangat besar yang terdiri dari beberapa pintu itu, lalu diambilnya sebuah kemeja berwarna putih, jas dan celana berwarna navy blue, setelah itu ia gantungkan pada gagang pintu lemari. Namun pada saat bersamaan Fero keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk menutupi bagian perut hingga lutut.Tentu saja bentuk tubuh Fero yang terlihat atletis membuat Sinta membelalakkan mata, seperti sedang terhipnotis matanya sama sekali tidak berkedip sedikitpun menyaksikan pemandangan yang indah di hadapannya itu. Sedangkan Fero benar-benar kaget bagaimana bisa sosok yang sudah ia usir, kini masuk lagi ke dalam kamarnya?.
"Hey…..!, apa yang sedang kamu lakukan di sini?, dan siapa yang mengijinkanmu masuk ke dalam kamarku?" teriak Fero
"Aku…aku ke sini hanya ingin membantu kamu me...menyiapkan baju untuk pergi ke..ke..kantor, itu..itu..aku sudah meletakkannya di gagang lemari!" jawab Sinta terbata-bata.
"Apa aku meminta kamu untuk menyiapkannya, ha?"
"Iya, kamu memang tidak memintanya karena ini adalah inisiatifku sendiri, bukankah aku ini istrimu, aku merasa berkewajiban melakukannya Fero!"
"Aku sama sekali tidak butuh bantuanmu, jangan coba-coba kamu bisa seenaknya keluar masuk ke dalam kamarku ini!, memang di atas kertas kamu adalah istriku, tapi di hatiku kamu bukanlah siapa-siapa, kamu sama sekali tidak berarti apa-apa bagiku, jadi jangan sok menjadi orang penting untuk ikut-ikutan menyiapkan keperluanku, apalagi dengan lancang sampai berani membuka lemari dan juga menyentuh barang-barangku!" bentak Fero. Untuk yang kesekian kali kata-kata Fero begitu menyakitkan hati Sinta, apa lagi mendengar kata, "kamu sama sekali tidak berarti apa-apa bagiku." membuat hatinya bagai tersayat pisau yang sangat tajam.
"Baiklah mulai sekarang aku tidak akan menyentuh barang-barangmu lagi!" jawab Sinta dengan nada rendah, sambil mengusap butiran air mata yang keluar membasahi pipinya, kemudian beranjak pergi dari kamar. Dengan jelas sekali Fero melihat Sinta menangis namun ia tidak peduli sedikitpun, karena memang ini salah satu tujuannya yaitu membuat Sinta menangis dan merasakan penderitaan dengan menikahinya. Sinta pun berjalan menuju dapur. Di situ rupanya bibik sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi.
"Permisi Bik !, waah....Bibik sedang sibuk sekali pagi-pagi begini, apa boleh saya ikut bantu-bantu di sini?" sapa Sinta pada Bibik
"Eh…Enon, sebaiknya Enon duduk saja Non, biar saya yang melakukannya!, ntar tangan Enon lecet lagi kecipratan minyak goreng, kan sayang atu Non! " jawab Bibik.
"Tidak apa-apa kok Bik, saya sudah biasa melakukannya di rumah, oh ya...dari kemarin saya ngobrol sama bibik tapi saya belum tau nama Bibik ya?"
"Eh, nama saya Narti non!"
"Lalu yang sedang bersih-bersih kaca dan mengepel itu siapa ya namanya bik?"
"Kalau yang sedang membersihkan kaca itu Inem, lalu yang sedang mengepel itu Ijah, nah Itu tuh non yang sedang bersih-bersih kebun itu, dia sekaligus suami saya namanya Inyong Non!"
"Kok bisa kebetulan sekali ya Bik, rata-rata namanya pakai awalan huruf I, Inem, Ijah dan Inyong, kecuali Bik Narti nih yang memakai awalan huruf N"
"Iya juga ya Non, apa saya juga ikutan pakai sama depan huruf I juga ya Non?, biar sama gitu dengan mereka he..he…!"
"Tidak usah lah bik, nama bibik sudah bagus kok, Naarr...tiii... , jadi sayang kalau mau di rubah-rubah lagi!"
"Baiklah Non kalau dipikir-pikir Non….?"
"Nama saya Sinta bik? , Sin...ta …!"
"Wah nama Non cantik sekali, seperti di serial India loh, Sri Rama dan Dewi Sinta, itu ceritanya saya suka sekali atu Non, menceritakan tentang kesetiaan, pengorbanan dan juga cinta, hemmm.... pokoknya coo cwittt deh Non!"
"Iya Bik, saya juga suka sekali menonton serial itu, apalagi pemainnya cantik dan juga ganteng."
"Sama seperi Non Sinta dan Tuan Fero, Non Sintanya cantik terus Tuan Fero gagah dan ganteng, benar-benar pasangan yang sangat serasi!"
Mendengar ucapan Bik Narti menyebut dirinya dan Fero adalah pasangan yang serasi membuat hati Sinta begitu sedih, mungkin Bik Narti mengira ia dan Fero adalah pasangan yang saling mencintai satu sama lain, padahal kenyataan yang sebenarnya tidaklah demikian, Fero sama sekali tidak mencintainya, bahkan Fero begitu membencinya, Sinta pun kembali meneteskan air mata, namun dengan cepat ia mengusap air matanya itu agar tidak diketahui oleh Bik Narti.
"Oh ya Bik, bolehkah saya mengajukan permintaan pada Bibik?"
"Permintaan?, permintaan apa itu Non?"
"Karena sarapan pagi yang sekarang sudah matang, berarti saya sudah terlambat untuk membantu bibik memasak, jadi mulai besok dan seterusnya apa boleh saya yang memasak untuk sarapan pagi?, jadi saya akan bangun lebih pagi lagi mulai besok dan seterusnya, supaya saat suami saya mau berangkat kerja sarapannya sudah siap untuk dihidangkan di meja makan, bagaimana bik?, apa boleh mulai besok saya yang memasak untuk sarapan?"
"Tapi Non, kalau tuan Fero tau saya bisa dimarahi atu Non, nanti dikira saya malas-malasan tidak mau memasak, Non Sinta kan Nyonya di rumah ini, seharusnya tinggal main tunjuk-tunjuk saja, maka saya dan yang lain tinggal laksanakan perintah Non Sinta, yang bener kan gitu atu Non?"
"Bik Narti tenang saja, saya pastikan tuan Fero tidak akan tau, jadi beliau tidak akan marah selama bibik tidak memberitahukan kepadanya kalau saya yang memasak setiap paginya, janji bibik tidak akan memberitahukannya ya!"
"Saya tidak bisa menolak lagi kalau Non Sinta yang meminta, dan saya akan memberitahukan pada Inem, Ijah juga Inyong untuk tutup mulut tidak mengatakan hal ini pada Tuan Fero ! "
"Emmm…Bik Narti sangat baik sekali, terima kasih banyak ya Bik!, saya tidak tau kalau tidak ada Bibik di rumah ini, harus ke mana lagi saya mau minta tolong?" ucap Sinta bahagia sambil memeluk Bik Narti.
"Iya Non sama-sama, kalau Non Sinta butuh apapun itu, Non tinggal bilang saja ya!, Insyaa Allah saya akan bantu Non Sinta!"
"Iya…, pokoknya Bik Narti tenang saja, jika saya butuh apa-apa saya akan bilang Bibik, kalau gitu saya mau jalan-jalan dulu ya Bik, mumpung masih pagi, udaranya masih segar!"
"Baik Non silahkan!"
Dengan wajah berbinar Sinta melangkahkan kaki ke halaman rumah, melihat tanaman bunga yang beraneka membuat hatinya turut berbunga-bunga pula, segala kesedihan yang ia alami pun lenyap seketika, lalu dipandanginya dari jarak beberapa meter begitu terlihat jelas hamparan daun-daun teh yang hijau membuatnya makin terkagum-kagum.

"Sungguh indah sekali ciptaanmu Ya Allah, tiada yang mampu menandingi anugerahmu ini!" ucap Sinta penuh syukur. Kemudian ia berjalan terus menyusuri jalan menuju perkebunan teh, di sepanjang jalan ia berpapasan dengan beberapa pekerja perkebunan dan tak lupa ia tersenyum kepada mereka. Sinta terus berjalan di antara dedaunan teh yang menghijau, kemudian dipetiknya beberapa helai daun teh yang berada di dekatnya.
"Hemmm…. wanginya daun teh ini!" ucapnya sambil mencium daun teh yang ia pegang, tanpa disadarinya Fero yang sedang menunggang kuda untuk mengawasi para pekerja berpapasan dengannya, sontak keduanyapun saling memandang satu sama lain, namun menyadari hal itu Fero langsung membuang muka dan berlalu pergi.
"Apa bisa aku membencimu Fero?, tapi aku tidak bisa membencimu, sampai detik ini aku masih mencintaimu, sekalipun aku tahu bahwa kamu sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa kepadaku, namun perasaanku ini tidak berkurang sedikitpun" bisik Sinta dalam hati.
Tanpa sepengetahuan Sinta beberapa pekerja sedang membicarakannya, namun para pekerja tersebut juga tidak menyadari bahwa Fero sedang mengawasi mereka.
"Cantik sekali ya nona itu, hidungnya mancung, kulitnya putih mulus, bentuk tubuhnya langsing, ngomong-ngomong siapa ya dia?" tanya salah seorang dari mereka,
"Iya bener memang cantik sekali nona itu, tapi baru pertama kali kita melihatnya di sini, mungkin masih saudara dengan tuan Fero, kalau tuan Fero aja cakep kayak bintang pilem, pasti saudaranya kalau cewek ya pastinya cantik" tambah pekerja yang lain,
"Selain cantik, gadis itu juga ramah loh!,
setiap berpapasan dengan teman-teman kita yang lain, dia pasti tersenyum!""Eheemm…!" Fero berdehem kepada mereka, menyadari hal itu mereka pun menundukkan kepala, kemudian melanjutkan lagi memetik daun teh. Fero melanjutkan berkuda menyusuri area perkebunan. Nampak di kejauhan Fero melihat beberapa pekerja laki-laki sedang bergerombol serta bersembunyi di balik sebuah pohon. Sepertinya mereka sedang asyik mengamati seseorang. Fero segera turun dari kuda kemudian mendekati mereka.
"Masyaa Allah cantiknya Nona itu ya, kayak artis yang di tipi-tipi itu loh!" ucap salah seorang di antara mereka.
"Wah…bener banget kamu jo, jarang-jarang kita bisa lihat orang secantik itu"
"Waduh anak'e sopo to yo, kok ayu tenan?"
"Beruntung sekali kalau ada pria yang bisa memperistri gadis itu ya…?!,"
"He..he…he…iya betul sekali kamu jo, pinter banget kamu"
"He..he..he…!"
"Eheemmm….!, Bapak-bapak sedang membicarakan apa ya?, ini masih pagi, jam istirahat masih lama loh!" ujar Fero tiba-tiba mengagetkan mereka.
Sontak para pekerja pun bubar melihat kedatangan Fero, kemudian melanjutkan kembali untuk berkerja. Fero melihat ke arah sungai yang berada di balik pohon tempat para pekerja yang baru saja bergerombol.
"Jadi para pekerja semua sedang mengamati dan membicarakan dia, sampai-sampai asyik bergerombol menghentikan pekerjaannya?" ujar Fero lirih. Lalu didekatinya Sinta yang sedang duduk di atas bebatuan sungai sambil mencelupkan kedua telapak kakinya di atas permukaan air.
"Apa sih yang kamu lakukan di sini? asal kamu tau ya! beberapa pekerja gak fokus kerjanya karena ngomongin kamu, ada juga yang bergerombol ninggalin pekerjaannya karena lihatin kamu kayak anak kecil main air di sini, mendingan kamu di rumah saja deh! dari pada bikin mereka gak fokus sama kerjaannya!" teriak Fero pada Sinta."Kamu ini napa sih, datang-datang kok marah-marah gitu? ganti hobi baru nih sekarang?" sahut Sinta balik bertanya."Hobi baru? hobi baru apa sih? kalau ngomong itu yang jelas?!""Kamu kan sekarang punya hobi baru marah-marah! padahal dulu waktu deketin aku, kamu itu baik, perhatian, meski cenderung tegas tapi sedikitpun kamu gak pernah marah-marah, tapi sekarang sedikit-sedikit marah, jadi aneh saja ngelihatnya!""Aneh?""Iya jadi aneh, berubah drastis 180 derajat!""Aku sendiri juga gak tau, kenapa kalau ketemu kamu bawaannya pingin marah-marah? kamu selalu bikin aku emosi, apa lagi lihat gaya kamu
Sinta masih terus saja berjalan membuntuti Mang Inyong, namun setelah sampai di pintu gerbang tiba-tiba turun hujan begitu deras, Sinta pun berlari menuju rumah agar tidak basah kuyup, namun sesampainya di teras rumah, ia melihat Fero dengan seorang gadis cantik duduk saling berdekatan dengan posisi kepala si gadis bersandar pada bahu Fero. Mereka tampak akrab satu sama lain dan juga begitu mesra. Tentu saja Sinta yang melihat semua itu begitu kaget, karena sebelumnya ia tidak pernah bertemu apalagi mengenal gadis tersebut. Segala perasaan berkecamuk dalam hatinya saat itu, ia yang merasa setelah menikah saja tidak pernah diperlakukan mesra dan manja layaknya gadis itu oleh suaminya, maka dengan segera Sinta bergegas ke dalam rumah kemudian masuk ke dalam kamarnya, setelah itu ditutupnya pintu kamar dan ia pun bersandar pada pintu sambil terduduk lemas.2 kejadian sekaligus dalam kurun waktu yang hampir bersamaan seolah membuat jantungnya hampir lepas, baru saja ia diganggu o
"Jadi kamu sama sekali tidak pernah mengenal Fadli?" tanya Al keheranan."Jangankan mengenal, bagaimana wajahnya saja aku tidak pernah tau, aku baru tau setelah Fero memberikan sebuah surat kabar kepadaku, dalam surat kabar itu aku baru tau berita meninggalnya Fadli serta gambarnya.""Tapi bagaimana bisa kalung milikmu ada di tempat kejadian?""Kak sarah meminjam kalung itu kepadaku, dia bilang cuma meminjamnya sebentar saja, tapi nyatanya sebulan lebih kalungku baru ketemu, Fero yang memberikannya kepadaku!""Apa kamu tidak pernah cerita ke Fero, kalau sebenarnya kakakmu yang sudah meminjam kalung itu?""Saat Fero marah dan menuduhku bahwa akulah yang menyebabkan kakaknya bunuh diri, aku sudah berusaha menjelaskan yang sebenarnya, tapi dia sedikitpun tidak mau mempercayaiku, tapi aku yakin waktulah yang yang akan menjawab semuanya,
Suara hand phone berbunyi nyaring mengalunkan musik alarm sebagai pengingat bahwa hari telah berganti pagi, namun sosok dibalik selimut rupanya enggan untuk membuka mata karena masih terkunci oleh rasa kantuk yang mendera, bunyi alarm masih saja terdengar begitu memekakkan telinga hingga si empunya menekan tombol off kemudian bunyi pun hilang dalam sekejap. Sinar mentari mulai menerangi celah-celah ruangan yang menembuspori-pori tirai jendela. Altara akhirnya bangkit dari tidur lelapnya, ia segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu di ruang makan Fero sedang
Sore itu Sinta pergi ke sungai ia begitu merindukan suara gemercik air yang mengalir, segarnya air sungai, serta hembusan angin yang sepoi-sepoi. Beberapa hari ini ia tidak bisa pergi ke tempat favoritnya itu, dikarenakan ia disibukkan dengan aktifitas kuliah yang sangat padat, tanpa sepengetahuan Sinta seseorang telah meneropongnya dari jarak 60 meter, sosok itu telah mengamati aktifitas Sinta selama beberapa hari ini. "Roy… Roy….!"Seorang pemuda tampan, berkulit putih dan berhidung mancung sedang memanggil sang asisten untuk segera datang kepadanya. "Iya Tuan!" jawab sang asisten. "ini kamu lihat, siapa gadis itu? beberapa hari ini aku melihat dia sedang berada di area Fero?" ujar Devano sambil memberikan teropong yang baru saja ia pakai kepada asistennya tersebut. "Oow.. gadis cantik itu Tuan, iya Tuan saya tau siapa dia!" jawab Roy. "Siapa?" "Berdasarkan info dari salah seorang pekerja perkebunan dia adalah istri Fero Ardinata
Mendengar kabar bahwa dirinya akan diantarkan kembali pulang ke rumah, membuat Sinta mengucap syukur yang tak terhingga. Mereka akan membebaskannya dengan satu syarat, ia harus mau makan nasi kotak yang sudah disiapkan, sebenarnya enggan bagi Sinta untuk makan pemberian mereka, namun karena itu adalah satu-satunya syarat agar ia dibebaskan, maka mau tidak mau Sinta pun memakan nasi kotak tersebut meski hanya beberapa sendok saja. Sedih plus bahagia bahwa ia akan segera bebas dari para penculik, hal yang membuatnya sedih yaitu sebisa mungkin ia akan menjauh dari suami yang teramat sangat membencinya, hatinya begitu sedih bahwasanya Fero tak pernah menganggapnya ada. Hingga tiba jualah para penculik itu menepati janjinya, sesuai dengan instruksi dari tuannya, mereka mengantarkan Sinta sampai beberapa meter dari pintu gerbang rumah, sama seperti tempat dimana mereka beberapa hari yang lalu membiusnya kemudian membawanya pergi. Setelah Sinta turun dari mobil yang mengantarkannya
Fero menyaksikan dengan jelas sedari Sinta terjerembab dipelukan Devano saat pertukaran pasangan dansa, jauh di lubuk hatinya yang teramat dalam, ia terbakar api cemburu menyaksikan istrinya bersentuhan dengan laki-laki lain, namun ia juga menyadari bahwa ia harus menerima konsekuensinya karena ia memang tidak mengajak istrinya untuk ikut bersamanya menghadiri undangan pesta ini, justru sepupunya lah yang mengajak istrinya itu. Sementara itu dari jarak beberapa meter dengan dirinya, Devano menatap dengan tatapan tajam dan sinis. Maklum saja sedari kecil Fero dan Devano merupakan 2 orang rival yang tidak dapat disatukan dalam berbagai ha
"Gimana Dok, apa ada yang serius?" tanya Devano pada Dokter pribadinya. "Tidak ada yang serius Pak, anda tenang saja! ini sudah saya tuliskan resep, jangan lupa untuk sementara luka yang di dahi jangan terkena air dulu sebelum benar-benar kering dan sembuh!" jawab Dokter Boby. "Syukurlah kalau begitu Dok, karena dia jatuh ke dasar jurang yang sangat curam, jadi saya khawatir sekali!" ungkap Devano cemas. "Saya yakin dia adalah gadis yang sangat kuat dan syukurlah Allah masih melindungi dia!" Dokter Boby memberikan semangat agar Devano tetap tenang. "Iya Dok!" "Baiklah kalau begitu saya permisi dulu, kalau ada apa-apa Pak Devano silahkan hubungi saya!" pam
Hari-hari Sinta semakin berwarna dengan hadirnya Fero di tengah kehidupannya saat ini. Fero telah membuktikan bahwa dia adalah suami yang baik, begitu mencintai keluarga serta bertanggung jawab. Fero sudah bertekad ia akan selalu membahagiakan keluarga kecilnya tersebut, apalagi ia begitu menyayangi Azka seperti putra kandungnya sendiri begitu pula sebaliknya. Sinta yang bukan single parent lagi tentunya benar-benar merasakan kebahagiaan seutuhnya. Setelah rentetan kejadian tragis yang telah ia alami di sepanjang hidupnya kini telah tergantikan dengan kehidupan yang tentram serta bergelimang kebahagiaan. Memiliki 2 buah rumah yang saling berhadapan yang hanya terpisah oleh sebuah jalan raya membuat Sinta lebih banyak tinggal di rumah yang dibeli oleh Fero. Sejak malam pertama ia sudah lebih banyak tinggal di rumah tersebut dan untungnya pula putranya sama sekali tidak mempermasalahkan itu karena selama ada Fero maka Azka akan meng-iyakan.
Sekali lagi Sinta merasakan dilema yang teramat sangat dengan kejutan yang dibuat Fero bersama sang putra kali ini. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa karena untuk saat ini ia masih belum memikirkan untuk menikah kembali karena jujur saja perasaannya kepada Devano masih sangat kuat karena bagaimanapun juga dialah laki-laki pertama yang banyak memberikannya cinta dengan penuh ketulusan dan kesungguhan tanpa adanya rekayasa, dusta serta pengkhianatan. Namun mengapa saat ini perasaan takut karena trauma yang pernah dialaminya kian membuatnya bimbang. “Mama…Om Ganteng telah menolong Aka dali bahaya, Om Ganteng hampil meninjal kalena tolonyin Aka apa itu maci belum cukup buat Mama?” protes Azka yang tiba-tiba mengagetkan Sinta, lagi-lagi ucapan sang putra makin membuatnya heran karena bagaimana bisa ia melontarkan kata-kata yang begitu menohok. “Azka tidak boleh berkata demikian sama Mama ya sayang! biarkan Mama mengamb
“Aka cayang banget cama Om ganteng, Aka pingin punya Papa cepelti teman-teman teyus Aka pingin Om Ganteng jadi Papanya Aka!” jelas Azka dengan berterus terang. “Seperti yang Om bilang sebelumnya, Om akan selalu ada buat Azka dan juga Mama, Om tinggal menunggu kesiapan Mamanya Azka, begitu Mama bilang setuju dan siap untuk menikah dengan Om maka secepatnya Om akan menikahi Mama Azka!” terang Fero dengan begitu jelas. “Om Ganteng gak bohonyin Aka kan?” “Apa yang Om ucapkan pada Azka baru saja itu semua benar, dalam berbicara Om tidak boleh berbohong nanti kalau berbohong Allah bisa marah!” Azka mendengarkan penjelasan Feri sambil menganggukkan kepalanya. “Ya sudah kalau begitu sekarang Om pingin lihat mana senyum manisnya buat Om pagi ini?” seru Fero yang kemudian dibalas dengan sebuah senyuman manis yang tersungging dari bocah lucu tersebut. Dengan segera dipeluknya Azka oleh Fero dengan begitu hangat.
Pintu kamar Sinta tidak ditutup rapat, hanya beberapa centimeter saja pintu tersebut sedikit terbuka, maka dengan langkah pelan Fero memasuki kamar Sinta. Cukup luas sekali ukuran kamarnya berkisar 6 x 6 meter. Tatapan netra pemuda tersebut menelisik ke setiap penjuru ruangan, karena baru pertama kalinya ia masuk dengan tatapan menelisik seperti ini meski sebelumnya karena kondisi mendesak ia pernah masuk untuk melihat kondisi Sinta yang sedang pingsan begitu mendengar berita kepergian suaminya. Saat itu ia mencari foto pernikahan mereka di kamar tersebut namun ternyata ia tak menemukannya, bukankah kebanyakan pasangan pada umumnya selain memajang foto mereka di ruang keluarga, maka mereka juga akan memajangnya di dalam kamar, namun sepertinya hal tersebut tidak berlaku bagi Sinta dan juga Devano. Terlihat Sinta yang sedang tertidur lelap menggunakan selimut wol dengan warna cerah. Fero masih saja berdiri menatap wajah cantik itu,
Setelah dirawat di rumah sakit selama 2 minggu akhirnya Fero oleh Dokter diperbolehkan untuk pulang dengan catatan ia harus tetap rajin kontrol sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh Dokter di buku Kontrol. Tentu saja hal tersebut disambut dengan sangat antusias oleh Fero karena menurutnya berada di rumah sakit dengan durasi waktu selama itu berasa setahun lamanya dan untungnya ada Sinta yang selalu berada di sampingnya yang selalu setia menunggunya sedari awal dia terbaring tak sadarkan diri karena koma hingga sekarang kondisinya yang sudah berangsur pulih. Tak dipungkiri lagi bahwa Sinta adalah motivasinya selama ini untuk bisa berjuang melawan koma selama seminggu lamanya, dan itu juga merupakan keajaiban serta anugerah tak terhingga yang telah diberikan Sang Pencipta kepadanya. Ditambah dengan kehadiran Azka putra semata wayang dari wanita yang sangat dicintainya kian menambah nuansa suka cita yang ia rasakan selama ini. Kehadiran Azka
Terlihat seorang Dokter sedang melakukan resusitasi ( CPR ), usaha tersebut dilakukan untuk mengembalikan irama jantung yang telah terhenti. Sinta yang mengetahui hal tersebut langsung meraih telapak tangan Fero kemudian digenggamnya dengan erat sambil berkata, “Ayo Fero kamu harus kuat, kamu harus bisa, jangan tinggalkan aku dengan perasaan bersalah seperti ini! bagaimana aku harus menjawab pertanyaan putraku jika dia bertanya tentangmu? Fero ayo bangun! Aku mohon jangan tinggalkan aku! bukankah kamu sering mengatakan kalau aku tidak boleh meninggalkan kamu, tapi mengapa justru kamu sendiri yang akan meninggalkan aku? aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi Fero, yang aku mau hanya satu yaitu kamu tepati kata-katamu dan kamu buktikan kepadaku bahwa kamu….bahwa kamu tidak akan pergi meninggalkanku, maka aku juga akan buktikan kata-kataku dan aku berjanji untuk memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu kepadaku maka aku juga tidak akan pernah me
“Sin..ta..Sin..ta…ma..af..kan a..ku!” Ucapan Fero yang di ulang-ulang pada saat itu membuat Sinta terbangun dari tidurnya, suaranya meski tidak keras namun masih terdengar jelas di pendengaran Sinta. Perlahan tapi pasti mata Sinta yang sedang tertutup rapat karena rasa kantuk yang hinggap kini terbuka. Di tatapnya Fero yang masih memejamkan mata dihadapannya. “Sin..ta…Si..nta...ma..af..kan a..ku! ja..ngan ting..gal..kan a..ku!” rintih Fero. Hal itu membuat Sinta kaget, ternyata ucapan Wika tadi sebelum pulang benar adanya bahwa ketika dalam kondisi yang tak sadarkan diri Fero masih mengingat dirinya. Seketika itu pula Sinta menutup bibir dengan kedua telapak tangannya tanpa disadarinya pula tetesan air mata bening mengalir dari sudut kedua netranya yang kian memerah. Semula ucapan Wika itu baginya hanyalah sekedar guyonan semata yang disematkan kepadanya, namun kali ini yang dikatakan Wika itu adalah fakta. “Sin..t
Suara tangisan Azka yang begitu kencang terdengar hingga di dapur tempat Sinta berada, dengan segera Sinta berlari ke halaman rumah namun ia tidak menemukan keberadaan putranya di tempat yang baru saja ia lihat. Curiga dengan pintu gerbang yang kini sedang terbuka membuatnya semakin mempercepat lagi laju larinya ke luar rumah, saat ia tiba di sana terlihat dari jarak beberapa meter darinya nampak kerumunan orang yang berada di tengah jalan raya persis sekali dengan asal suara tangisan putra semata wayangnya. Jantungnya semakin berdetak kencang tak mampu membayangkan jika suatu hal terjadi kepada putranya tersebut. Kakinya kian terasa lemas nafasnya tak beraturan, rasa takut kian menghantuinya pada saat ini. Sinta semakin mempercepat pace larinya, ia juga harus berani menerima kenyataan apapun yang akan terjadi di hadapannya kini. Bibirnya hanya mampu terkatup namun batinnya sama sekali tak berhenti untuk terus berdo’a serta berharap agar t
Sinta begitu asyik menonton acara talk show di sebuah stasiun televisi yang ditayangkan secara live sambil ngemil keripik tempe kesukaannya. Sudah 15 menit sudah ia menonton acara tersebut tanpa beranjak sama sekali dari atas sofa yang ia duduki di ruang tengah, beberapa saat kemudian Azka ikut bergabung duduk di sofa untuk duduk di sampingnya. “Mama!” panggil Azka “Iya sayang!” sahut Sinta. “Tadi di cekolah Aka ketemu Om Ganteng!” pamer Azka kepada Mamanya. “Om ganteng? siapa itu sayang?” tanya Sinta. “Om yang pelnah ke cini caat Mama gak mau banyun, Mama di kamal teyus nangis gak mau belhenti!” ungkap Azka. “Oh ya? apa benar itu?” tanya Sinta. “Iya benel!” jawab Azka yakin. Tiba-tiba terdengar sebuah truk berhenti di seberang jalan, Sinta mengecilkan volume televisinya. Melihat apa yang terjadi dari balik tirai jendela ternyata sebuah truk kontainer sedang menurunkan barang-barang yang se