Suara hand phone berbunyi nyaring mengalunkan musik alarm sebagai pengingat bahwa hari telah berganti pagi, namun sosok dibalik selimut rupanya enggan untuk membuka mata karena masih terkunci oleh rasa kantuk yang mendera, bunyi alarm masih saja terdengar begitu memekakkan telinga hingga si empunya menekan tombol off kemudian bunyi pun hilang dalam sekejap. Sinar mentari mulai menerangi celah-celah ruangan yang menembuspori-pori tirai jendela. Altara akhirnya bangkit dari tidur lelapnya, ia segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu di ruang makan Fero sedang menunggu sarapan pagi untuk dihidangkan di meja makan, sambil meneguk teh hangat, ia membuka lembar demi lembar surat kabar untuk membaca berita, beberapa menit kemudian Bik Narti menyajikan hidangan kemudian diletakkan persis di depan Fero. Tanpa banyak berfikir lagi Fero segera melipat dan meletakkan surat kabar yang barusan ia baca, lalu diambilnya semangkok bubur ayam yang tersaji di meja makan, pelan tapi pasti ia pun mulai memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya, namun ada yang berbeda dengan bubur yang ia kunyah kali ini dibanding bubur ayam yang beberapa hari lalu ia makan, baik dari segi rasa, aroma serta tekstur buburnya .
"Bik…!" panggil Fero
"Iya Tuan!" jawab Bik Narti
"Bubur ayam ini siapa yang buat?"
"Saya.... ada apa Tuan?"
"Ooww...., ya sudah Bibik lanjutkan saja pekerjaan Bibik!"
"Kenapa aku tiba-tiba pingin makan bubur ayam buatan gadis menyebalkan itu ya? rasa bubur buatannya itu tidak terlalu strong sehingga pas sekali di lidah, takaran bumbunya juga pas, lagian biasanya jam segini dia sudah bantu-bantu Bibik, tapi hari ini tumben sekali aku tidak melihat batang hidungnya, apa masih males-malesan dia jam segini?" gumam Fero, Ia pun menyantap bubur ayam hanya 2 sendok saja, kemudian tidak melanjutkan lagi sarapannya itu, lalu pergi ke ruang kerja untuk mengawasi layar monitor cctv.
"Aneh dia tidak ada di semua ruangan, mungkin saja dia pergi jalan-jalan ke perkebunan atau juga ke sungai." ucap Fero lirih.
Karena penasaran Fero segera pergi mengelilingi area perkebunan sambil mengawasi para pekerja, karena sosok yang dicarinya itu tidak ada di sana, ia beralih menuju ke sungai di mana ia sering sekali melihat Sinta sedang mencelupkan kakinya ke dalam air sungai, namun ternyata di sana juga Fero tak menemukan sosok yang baginya sangat menyebalkan itu, akhirnya Fero pulang lagi ke rumah, ia naik ke lantai 2 sambil melihat ke segala penjuru dari atas balkon tempat ia berdiri sekarang, namun hasilnya tetap nihil."Aku barusan dari ruang makan, tumben sekali kamu tidak menghabiskan bubur ayamnya? karena setahuku kamu sedari kecil sangat menyukai bubur ayam bikinan Bik Narti?!" tanya Al yang tiba-tiba muncul.
"Aku sedang tidak selera makan bubur ayam hari ini!" jawab Fero, ia dengan sengaja tidak mengatakan kepada sepupunya itu bahwa saat ini sedang menginginkan bubur ayam bikinan Sinta, jika hal itu sampai dikatakan kepada Al maka ia akan dibuly habis-habisan olehnya, karena terkadang memang sepupunya itu bermulut pedas.
"Oh ya? apa kamu sedang tidak enak badan?"
"Aku baik-baik saja, tumben hari ini aku sama sekali tidak melihat penampakan gadis menyebalkan itu ya?"
"Maksud kamu itu siapa sih?"
"Itu gadis menyebalkan yang selalu kamu bela itu!"
"Ooww, maksud kamu istrimu?"
"Memangnya ada berapa sih gadis menyebalkan seperti itu di rumah ini? ah kamu susah nyambung sekarang kalau diajak ngomong, makanya jangan suka deket-deket dia biar gak ketularan tulalit!" ejek Fero sambil menatap sinis.
"Ah..kamu, suka jelek-jelekin dia, tapi nyatanya sekarang kamu cariin dia! dasar lain di mulut lain di hati!" sarkas Altara.
"Kamu jangan mulai lagi ya!"
"Tapi iya juga sih, dari aku bangun tidur tadi, aku sama sekali tidak melihat batang hidungnya sama sekali, biasanya jam segini setelah bantu Bik Narti buat sarapan pagi, dia suka pergi ke sungai deket sini!"
"Dia tidak ada di sungai!"
"Kalau gitu masih tiduran mungkin, bukankah kemarin kakinya terkilir?"
"Di kamar juga tidak ada, aku sudah mencarinya ke semua penjuru rumah, perkebunan dan sungai, dia tidak ada di mana-mana!"
"Jadi kamu baru saja keliling perkebunan dan sungai untuk mencari istrimu? syukurlah kalau begitu!"
"Maksud kamu?"
"Yah berarti ada kemajuan dong, berarti kamu sedang merindukan dia!"
"Makin hari kamu makin ngaco saja!"
"Loh…, aku beneran serius, justru aku suka kamu yang seperti sekarang, seorang suami yang merindukan dan memperhatikan istrinya!"
"Kamu itu bukan Ustad, tapi tiap hari kalau ketemu suka ceramah terus, mending pergi aja deh!"
"Wkwkwkwk…!" Al tertawa lepas karena lega sudah berhasil membuat sepupunya itu sewot.
****
Beberapa hari telah berlalu, namun Fero dan Al sama sekali tidak bertemu Sinta, hingga membuat mereka bertanya-tanya kemanakah perginya gadis itu? mulai mereka membuka mata sampai kembali tidur malam Sinta sama sekali belum menampakkan batang hidungnya. Hari ke 5, Fero membulatkan tekad untuk bangun subuh, setelah melaksanakan sholat subuh ia langsung memeriksa layar cctv di ruang kerjanya.
"Kenapa kamar Sinta gelap sekali ya? seperti tidak ada kehidupan saja di sana?" gumam Fero.
"Krreeekk…!"
Fero mendengar suara pintu yang sedang dibuka, tanpa banyak berfikir lagi Fero segera bergegas menuju ke arah sumber suara yang baru saja ia dengar, terlihat sebuah bayangan di lorong, dengan segera ia pun menyalakan lampu lorong, Fero bener-benar kaget bahwa ternyata bayangan itu adalah Sinta.
"Hey..! apa yang kamu lakukan di pagi buta begini? kamu sedang merencanakan sesuatu yang tidak baik ya?" tanya Fero, namun Sinta tetap melangkahkan kakinya tanpa menghiraukan Fero sedikitpun.
"Oeeyy…! aku ini sedang berbicara dengan kamu, kamu itu denger gak?" tambah Fero sambil menarik tangan Sinta, dan untuk kesekian kalinya kembali mereka saling bertatapan satu sama lain. Terlihatlah wajah ayu nan rupawan cukup jelas dari jarak yang sangat dekat dan juga bibir Sinta yang bak jelly berwarna merah begitu kenyal membuat Fero dengan spontan menelan salivanya.
"Bisa tolong lepaskan tanganku?!" pinta Sinta pada Fero
"Jawab dulu pertanyaan ku, kalau kamu tidak mau menjawabnya jangan harap aku akan melepaskannya!" perintah Fero dengan disertai dengan ancaman ringan.
"Terus mau kamu apa?" sahut Sinta enggan.
"Kenapa kamu ini berbelit-belit sih? tinggal jawab pertanyaan ku saja kok susah amat! atau jangan-jangan kamu sedang mencuri sesuatu di rumah ini ya? lalu barang curiannya kamu jual ke pasar pagi-pagi sekali, biar orang rumah tidak ada yang tahu, iya kan?"
"Hemm… terserah!" jawab Sinta singkat, sambil memakai kaos kaki.
"Ooww… jadi begini kelakuanmu sekarang, seenaknya saja datang dan pergi sesuka hati, kamu kira rumah ini milik nenek moyang kamu apa?" sarkas Fero.
"Eemm... mungkin..!" sahut Sinta cuek sambil memakai tas ranselnya kemudian berlalu pergi meninggalkan Fero seorang diri.
~ Beberapa saat kemudian ketika di meja makan ~
Fero dan Altara sedang menikmati menu sarapan yang telah dihidangkan oleh Bik Narti.
"Aku tadi sudah ketemu gadis menyebalkan itu, seusai sholat subuh aku melihat sebuah bayangan di lorong aku kira kalau itu maling, eh ternyata dia!" ungkap Fero membuka pembicaraan
"Iya tadi malam dia pulangnya juga larut!" sahut Al
"Memangnya kamu tau, ke mana dia berangkat pagi-pagi sekali dan pulang begitu larut?" tanya Fero yang dibuat heran oleh sikap Al dan juga Sinta yang seolah mereka sedang menutupi sesuatu darinya.
" Iya!" jawab Al singkat.
"Kenapa kemarin aku tanya kamu, tapi kamu bilang tidak tau?"
"Aku baru mengetahuinya tadi malam!"
"Terus?"
"Ya aku tanya pulang selarut itu memangnya dari mana? terus dia jawab dia sedang mengejar target untuk bisa wisuda secepatnya, dia berusaha keras untuk bisa segera menyelesaikan semester akhir dengan nilai yang memuaskan, karena sebentar lagi dia skripsi, emmm... ngomong-ngomong apa dia pernah minta ongkos transportasi, uang belanja harian ataupun biaya kuliah sama kamu gak?"
"Tidak!"
"Hemm…. berarti satu tuduhan sudah tidak benar bukan, dan tanpa banyak bercuap-cuap secara tidak langsung Sinta sudah membuktikannya!"
"Maksud kamu?"
"Ya, secara nyata dia sudah membuktikan bahwa dia bukanlah cewek matre yang selalu mengincar harta kan?! karena sepersen pun dia sama sekali tidak pernah meminta uang sama kamu, meskipun dia memiliki hak untuk itu, karena dia adalah istri kamu yang sah menurut hukum dan agama!"
"Tapi bukan berarti bahwa dia bukanlah wanita yang telah mencampakkan dan menyakiti kak Fadli kan?!"
"Bisa jadi itu adalah kode dari Sang Pencipta bahwa dia bukanlah wanita yang kamu maksud!"
"Haaah… capek hampir tiap hari adu argument sama kamu, kamu selalu membela dia, sebaiknya aku segera berangkat ke kantor saja sebelum mood ku menjadi buruk!" sahut Fero sambil berlalu pergi meninggalkan Al di meja makan.
****
Waktu terus berjalan, sinar matahari menghilang ditelan buana. Ketika hari berangsur gelap tampak Sinta yang sedang serius mengerjakan tugas kuliahnya di samping rumah dekat kolam renang, jarak beberapa meter dari kolam renang terdapat bangku panjang yang terbuat dari kayu dengan sentuhan cat kelabu. Sinta duduk di atasnya sambil memangku sebuah laptop. Serius sekali Sinta dalam mengerjakan tugas kuliahnya hingga ia tak menyadari bahwa Fero sedang berada di belakangnya berniat untuk mengerjainya.
"Aku kerjain saja dia, biar konsentrasinya buyar!" ujar Fero dalam hati, lalu diambilnya bangku kecil yang terbuat dari bahan plastik, dengan mengendap-endap Fero mendekati Sinta kemudian dilemparlah bangku kecil tersebut persis di belakang Sinta.
"Allahu Akbar!" teriak Sinta kaget sambil menoleh ke asal suara di belakang tempat duduknya.
"Maaf, karena licin jadinya terlepas dari pegangan tanganku! " ujar Fero tanpa dosa
Sinta hanya menoleh sekilas kemudian kembali menatap layar laptop dengan serius. Merasa Sinta mengacuhkannya, kembali Fero mengambil sebuah pot bunga yang terbuat dari tanah liat, kemudian diangkatnya tinggi-tinggi, lalu dilepaskan begitu saja hingga pecah berkeping-keping.
"Praakk!"
untuk kesekian kalinya Sinta dibuat kaget, namun kali ini ia hanya bereaksi dengan mengelus-ngelus dadanya, itupun hanya dalam hitungan beberapa detik saja tanpa menoleh sedikitpun, setelah itu kembali Sinta menatap laptop.
"Wah.. mungkin yang ketiga kalinya ini bisa bikin dia marah karena kaget!" bisik Fero sambil tersenyum jail, diambilnya sebuah gayung dari samping kolam, kemudian diisinya air ke dalam gayung sampai penuh, lalu dibantingnya gayung tersebut dengan keras hingga airnya terciprat ke wajah Sinta, karena sadar bahwa Fero memang sengaja melakukan semua itu untuk membuatnya marah, Sintapun mengelap wajahnya yang basah dengan T-Shirt yang ia pakai. Tak lama kemudian HP Fero berbunyi, langsung saja ia jawab panggilan masuk dari seseorang,
"Iya sayang... jadi kamu sedang ada di ruang tamu? kalau gitu kamu langsung masuk saja ya! sekarang aku sedang berada di samping kolam renang, oke aku tunggu di sini ya!" ucap Fero sambil melirik ke arah Sinta.
Sementara Sinta tetap berkutat dengan tugas-tugasnya. Beberapa menit kemudian Nindy datang dan langsung mendekati Fero di ayunan yang terletak di tepi kolam renang.
"Kamu makin cantik saja sayang, kecantikanmu yang alami ini loh yang membuatku gak bisa berpaling ke lain hati!" ucap Fero sengaja dengan volume besar agar terdengar oleh Sinta.
"Iiihh.. kamu bisa aja, jangan keras-keras dong, malu kalau ada yang dengar!" jawab Nindy malu-malu.
"Ngapain harus malu, kan kenyataannya memang seperti itu?!"
Obrolan mereka terdengar jelas sekali di telinga Sinta, namun Sinta berusaha untuk tetap tenang dan pura-pura tidak mendengar, meski hatinya saat itu benar-benar sakit, bagaimana bisa secara terang-terangan Fero mempertontonkan keromantisan juga perhatiannya pada wanita lain dihadapannya secara langsung. Ingin rasanya ia menangis saat itu juga, ia berusaha sekuat mungkin agar air mata yang sudah penuh itu tidak jatuh dan berlinang membasahi pipinya,
"Huftt…!" Sinta menghembuskan nafas secara perlahan untuk menetralisir suasana hatinya yang terasa tidak nyaman.
"Eemm.... sayang, besok kita ada rencana ke mana nih? aku ingin kita seharian menghabiskan waktu hanya berdua saja, bagaimana kalau kita pergi ke villa ku saja di puncak, bagaimana apa kamu setuju?" ucap Nindy sambil mendekap serta menyandarkan kepalanya ke pundak Fero dengan manja.
"Apa sih yang nggak buat kamu, kamu mau apapun itu pasti aku penuhi!"
"Oh ya, bener nih?"
"Iya bener!" jawab Fero sambil menggesek-gesekkan dahinya ke dahi Nindy dengan lembut."
"Perasaanmu kepadaku masih tetap sama kan tidak berubah sedikitpun?"
"Bagaimana bisa berubah?! tidak ada seorangpun yang bisa menandingi kecantikan, keanggunan, kelembutan, juga pesona mu ini sayang!" jawab Fero seraya memberikan sebuah kecupan lembut ke dahi Nindy.
Sinta benar-benar sudah tak tahan lagi, ingin sekali ia melempar laptop yang berada di pangkuannya itu ke muka mereka berdua, jantungnya kian berpacu menahan emosi yang sebisa mungkin agar tidak meledak saat itu juga.
"Sabar... Sinta... Sabar…! anggap saja ini sebagai test psikologi mengendalikan diri serta mengendalikan emosi, ayo…, kamu pasti bisa!" bisik Sinta dalam hati untuk memotivasi dirinya sendiri.
Hari semakin gelap dan tugas kuliah yang ia kerjakan pun telah selesai, jam telah menunjukkan pukul 22.05 WIB. Sinta mengemasi semua buku, alat tulis serta menutup laptopnya, kemudian ia segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Tak lupa ia melaksanakan sholat isyak dan witir terlebih dahulu sebelum tidur. Saat ia panjatkan do’a, air mata yang sedari tadi ditahannya kini tak mampu lagi ia bendung, ia adukan semua yang dirasakannya itu kepada Sang Pencipta, ia mohon agar diberikan kekuatan dan ketabahan dalam menjalani hari-harinya, mungkin secara fisik memang Fero tidak pernah melakukan KDRT, tapi secara verbal, mental juga perasaan sudah sering sekali Fero telah membuat hatinya kian tercabik-cabik. Tak lama kemudian dilepaskan mukena dari tubuhnya, direbahkan tubuhnya itu ke tempat tidur, sambil sesekali menyeka air matanya yang masih saja jatuh berlinang.
"Aku tidak tahu bagaimana pernikahanku kedepannya, akan berakhir bahagia ataukah sebaliknya?! andai aku tidak mencintainya mungkin rasanya tidak sesakit ini, hiikks…hiikks..! hamba tidak punya siapa-siapa lagi selain engkau Ya Allah! hamba dan kak Sarah kami sudah memiliki kehidupan masing-masing, aku tidak ingin membuat kak sarah sedih dan khawatir, sudah cukup aku menjadi beban untuknya selama bertahun-tahun, untuk itu cukup kupendam sendiri segala kepedihan ini. Hanya kepada Engkaulah ku adukan semua keluh kesah ini, dan karena hanya Engkaulah yang tak pernah meninggalkan ku sendirian di manapun itu serta dalam keadaan apapun!" batin Sinta sambil menyeka air matanya.
Sore itu Sinta pergi ke sungai ia begitu merindukan suara gemercik air yang mengalir, segarnya air sungai, serta hembusan angin yang sepoi-sepoi. Beberapa hari ini ia tidak bisa pergi ke tempat favoritnya itu, dikarenakan ia disibukkan dengan aktifitas kuliah yang sangat padat, tanpa sepengetahuan Sinta seseorang telah meneropongnya dari jarak 60 meter, sosok itu telah mengamati aktifitas Sinta selama beberapa hari ini. "Roy… Roy….!"Seorang pemuda tampan, berkulit putih dan berhidung mancung sedang memanggil sang asisten untuk segera datang kepadanya. "Iya Tuan!" jawab sang asisten. "ini kamu lihat, siapa gadis itu? beberapa hari ini aku melihat dia sedang berada di area Fero?" ujar Devano sambil memberikan teropong yang baru saja ia pakai kepada asistennya tersebut. "Oow.. gadis cantik itu Tuan, iya Tuan saya tau siapa dia!" jawab Roy. "Siapa?" "Berdasarkan info dari salah seorang pekerja perkebunan dia adalah istri Fero Ardinata
Mendengar kabar bahwa dirinya akan diantarkan kembali pulang ke rumah, membuat Sinta mengucap syukur yang tak terhingga. Mereka akan membebaskannya dengan satu syarat, ia harus mau makan nasi kotak yang sudah disiapkan, sebenarnya enggan bagi Sinta untuk makan pemberian mereka, namun karena itu adalah satu-satunya syarat agar ia dibebaskan, maka mau tidak mau Sinta pun memakan nasi kotak tersebut meski hanya beberapa sendok saja. Sedih plus bahagia bahwa ia akan segera bebas dari para penculik, hal yang membuatnya sedih yaitu sebisa mungkin ia akan menjauh dari suami yang teramat sangat membencinya, hatinya begitu sedih bahwasanya Fero tak pernah menganggapnya ada. Hingga tiba jualah para penculik itu menepati janjinya, sesuai dengan instruksi dari tuannya, mereka mengantarkan Sinta sampai beberapa meter dari pintu gerbang rumah, sama seperti tempat dimana mereka beberapa hari yang lalu membiusnya kemudian membawanya pergi. Setelah Sinta turun dari mobil yang mengantarkannya
Fero menyaksikan dengan jelas sedari Sinta terjerembab dipelukan Devano saat pertukaran pasangan dansa, jauh di lubuk hatinya yang teramat dalam, ia terbakar api cemburu menyaksikan istrinya bersentuhan dengan laki-laki lain, namun ia juga menyadari bahwa ia harus menerima konsekuensinya karena ia memang tidak mengajak istrinya untuk ikut bersamanya menghadiri undangan pesta ini, justru sepupunya lah yang mengajak istrinya itu. Sementara itu dari jarak beberapa meter dengan dirinya, Devano menatap dengan tatapan tajam dan sinis. Maklum saja sedari kecil Fero dan Devano merupakan 2 orang rival yang tidak dapat disatukan dalam berbagai ha
"Gimana Dok, apa ada yang serius?" tanya Devano pada Dokter pribadinya. "Tidak ada yang serius Pak, anda tenang saja! ini sudah saya tuliskan resep, jangan lupa untuk sementara luka yang di dahi jangan terkena air dulu sebelum benar-benar kering dan sembuh!" jawab Dokter Boby. "Syukurlah kalau begitu Dok, karena dia jatuh ke dasar jurang yang sangat curam, jadi saya khawatir sekali!" ungkap Devano cemas. "Saya yakin dia adalah gadis yang sangat kuat dan syukurlah Allah masih melindungi dia!" Dokter Boby memberikan semangat agar Devano tetap tenang. "Iya Dok!" "Baiklah kalau begitu saya permisi dulu, kalau ada apa-apa Pak Devano silahkan hubungi saya!" pam
"Ini semua gara-gara kamu Fero, kamu yang menyarankan agar kuda berwarna coklat terang itu ditunggangi oleh Sinta, dia jatuh ke dalam jurang jadinya, kamu bilang kuda itu jinak dan sudah terlatih tapi nyatanya apa? jangan-jangan kamu memang sengaja melakukannya kan? agar sesuatu terjadi pada Sinta sehingga kamu bisa meresmikan hubunganmu dengan Nindy ke jenjang yang lebih serius, iyakan Fero?!" Al mencoba mengintrogasi Fero "Aku bilang juga apa, jangan kebanyakan lihat sinetron biar kamu itu gak berhalusinasi, kalau aku sudah tidak ingin mempertahankan pernikahanku dengan dia, ngapain harus ribet-ribet seperti yang kamu pikirkan itu, aku tinggal hubungi pengacaraku lalu aku perintahkan dia untuk mengurus perceraian kami, gitu aja sudah beres, ngapain harus bikin drama yang seperti kamu pikirkan
Entah ini mimpi atau nyata, Sinta merasa ada seseorang di sampingnya saat ini, ia pun perlahan membuka mata, ternyata bukanlah mitos bahwa di dekatnya saat ini benar-benar ada sosok yang ia kenal sedang berusaha untuk membuatnya bangun dari mimpi indah. "Dev… !" ucapnya lirih sambil memercingkan mata. "Hemm…. sang putri tidur akhirnya bangun juga!" sahut Devano sambil tersenyum. "Apa kamu tadi bangunin aku?" "Yup betul sekali, begitu dibangunin bukannya membuka mata, malah main peluk-peluk aja!" "Apa peluk? maksudnya tadi aku peluk ka
Dengan muka tanpa Ekspresi Fero sembari membalikkan badannya, "Aku ke sini untuk menjemput Sinta?" sahut Fero "Oh ya?! sejak kapan kamu peduli dengan istrimu?" tanya Devano sinis. "Itu bukan urusanmu!" jawab Fero serius "Siapa bilang itu bukan urusanku?! aku yang menyelamatkan nyawanya ketika dia butuh pertolongan, sedang kau yang suaminya sama sekali tidak bisa diandalkan, ingat baik-baik saat aku sudah menyelamatkan seseorang! maka kedepannya aku akan berusaha melindunginya apapun itu keadaannya, dan aku tidak peduli lagi dengan statusnya!" "Wow…! kenapa kau bisa sangat percaya diri sekali, kau itu bukan siapa-siapanya, baik di mata hukum ataupun di hatinya, sekali lagi kau bukan siapa-siapa baginya!" "Bukankah sudah aku bilang aku tidak peduli sekalipun secara hukum kau adalah suaminya, aku tau semuanya bahwa kau menikahinya hanya karena kau ingin menyakitinya kan? kau menikahinya hanya karena dendam bodoh mu itu!"
Tanpa jenuh dipandangi wajah suaminya itu, tak terasa jarum jam dinding terus berputar. Hingga akhirnya Sinta pun tertidur di samping wajah Fero, kejadian ini merupakan kejadian yang langka selama mereka menikah, bagaimana tidak ?! setelah mereka sah menjadi suami istri belum pernah sekalipun tidur dalam satu ranjang, apa lagi saat ini Sinta dan Fero sedang tertidur dengan wajah yang saling berdekatan satu sama lain, meskipun posisi kepala Sinta saja yang berada persis di samping suaminya itu, namun tubuh dan kakinya dengan posisi duduk di lantai yang dingin, Sinta sama sekali tak mempermasalahkan karena mendampingi suami yang sedang demam itu jauh lebih penting dari apapun. Hingga pagi menyingsing dan bunyi Alarm dari HP yang berasal dari kamarnya terdengar jelas hingga membuatnya terbangun dari tidur, Sinta memegang dahi suaminya untuk memastikan apakah demamnya sudah turun? dan puji syukur Alhamdulillah ternyata suhu panas tubuh Fero sudah kembali normal, terselip perasaan lega d
Hari-hari Sinta semakin berwarna dengan hadirnya Fero di tengah kehidupannya saat ini. Fero telah membuktikan bahwa dia adalah suami yang baik, begitu mencintai keluarga serta bertanggung jawab. Fero sudah bertekad ia akan selalu membahagiakan keluarga kecilnya tersebut, apalagi ia begitu menyayangi Azka seperti putra kandungnya sendiri begitu pula sebaliknya. Sinta yang bukan single parent lagi tentunya benar-benar merasakan kebahagiaan seutuhnya. Setelah rentetan kejadian tragis yang telah ia alami di sepanjang hidupnya kini telah tergantikan dengan kehidupan yang tentram serta bergelimang kebahagiaan. Memiliki 2 buah rumah yang saling berhadapan yang hanya terpisah oleh sebuah jalan raya membuat Sinta lebih banyak tinggal di rumah yang dibeli oleh Fero. Sejak malam pertama ia sudah lebih banyak tinggal di rumah tersebut dan untungnya pula putranya sama sekali tidak mempermasalahkan itu karena selama ada Fero maka Azka akan meng-iyakan.
Sekali lagi Sinta merasakan dilema yang teramat sangat dengan kejutan yang dibuat Fero bersama sang putra kali ini. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa karena untuk saat ini ia masih belum memikirkan untuk menikah kembali karena jujur saja perasaannya kepada Devano masih sangat kuat karena bagaimanapun juga dialah laki-laki pertama yang banyak memberikannya cinta dengan penuh ketulusan dan kesungguhan tanpa adanya rekayasa, dusta serta pengkhianatan. Namun mengapa saat ini perasaan takut karena trauma yang pernah dialaminya kian membuatnya bimbang. “Mama…Om Ganteng telah menolong Aka dali bahaya, Om Ganteng hampil meninjal kalena tolonyin Aka apa itu maci belum cukup buat Mama?” protes Azka yang tiba-tiba mengagetkan Sinta, lagi-lagi ucapan sang putra makin membuatnya heran karena bagaimana bisa ia melontarkan kata-kata yang begitu menohok. “Azka tidak boleh berkata demikian sama Mama ya sayang! biarkan Mama mengamb
“Aka cayang banget cama Om ganteng, Aka pingin punya Papa cepelti teman-teman teyus Aka pingin Om Ganteng jadi Papanya Aka!” jelas Azka dengan berterus terang. “Seperti yang Om bilang sebelumnya, Om akan selalu ada buat Azka dan juga Mama, Om tinggal menunggu kesiapan Mamanya Azka, begitu Mama bilang setuju dan siap untuk menikah dengan Om maka secepatnya Om akan menikahi Mama Azka!” terang Fero dengan begitu jelas. “Om Ganteng gak bohonyin Aka kan?” “Apa yang Om ucapkan pada Azka baru saja itu semua benar, dalam berbicara Om tidak boleh berbohong nanti kalau berbohong Allah bisa marah!” Azka mendengarkan penjelasan Feri sambil menganggukkan kepalanya. “Ya sudah kalau begitu sekarang Om pingin lihat mana senyum manisnya buat Om pagi ini?” seru Fero yang kemudian dibalas dengan sebuah senyuman manis yang tersungging dari bocah lucu tersebut. Dengan segera dipeluknya Azka oleh Fero dengan begitu hangat.
Pintu kamar Sinta tidak ditutup rapat, hanya beberapa centimeter saja pintu tersebut sedikit terbuka, maka dengan langkah pelan Fero memasuki kamar Sinta. Cukup luas sekali ukuran kamarnya berkisar 6 x 6 meter. Tatapan netra pemuda tersebut menelisik ke setiap penjuru ruangan, karena baru pertama kalinya ia masuk dengan tatapan menelisik seperti ini meski sebelumnya karena kondisi mendesak ia pernah masuk untuk melihat kondisi Sinta yang sedang pingsan begitu mendengar berita kepergian suaminya. Saat itu ia mencari foto pernikahan mereka di kamar tersebut namun ternyata ia tak menemukannya, bukankah kebanyakan pasangan pada umumnya selain memajang foto mereka di ruang keluarga, maka mereka juga akan memajangnya di dalam kamar, namun sepertinya hal tersebut tidak berlaku bagi Sinta dan juga Devano. Terlihat Sinta yang sedang tertidur lelap menggunakan selimut wol dengan warna cerah. Fero masih saja berdiri menatap wajah cantik itu,
Setelah dirawat di rumah sakit selama 2 minggu akhirnya Fero oleh Dokter diperbolehkan untuk pulang dengan catatan ia harus tetap rajin kontrol sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh Dokter di buku Kontrol. Tentu saja hal tersebut disambut dengan sangat antusias oleh Fero karena menurutnya berada di rumah sakit dengan durasi waktu selama itu berasa setahun lamanya dan untungnya ada Sinta yang selalu berada di sampingnya yang selalu setia menunggunya sedari awal dia terbaring tak sadarkan diri karena koma hingga sekarang kondisinya yang sudah berangsur pulih. Tak dipungkiri lagi bahwa Sinta adalah motivasinya selama ini untuk bisa berjuang melawan koma selama seminggu lamanya, dan itu juga merupakan keajaiban serta anugerah tak terhingga yang telah diberikan Sang Pencipta kepadanya. Ditambah dengan kehadiran Azka putra semata wayang dari wanita yang sangat dicintainya kian menambah nuansa suka cita yang ia rasakan selama ini. Kehadiran Azka
Terlihat seorang Dokter sedang melakukan resusitasi ( CPR ), usaha tersebut dilakukan untuk mengembalikan irama jantung yang telah terhenti. Sinta yang mengetahui hal tersebut langsung meraih telapak tangan Fero kemudian digenggamnya dengan erat sambil berkata, “Ayo Fero kamu harus kuat, kamu harus bisa, jangan tinggalkan aku dengan perasaan bersalah seperti ini! bagaimana aku harus menjawab pertanyaan putraku jika dia bertanya tentangmu? Fero ayo bangun! Aku mohon jangan tinggalkan aku! bukankah kamu sering mengatakan kalau aku tidak boleh meninggalkan kamu, tapi mengapa justru kamu sendiri yang akan meninggalkan aku? aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi Fero, yang aku mau hanya satu yaitu kamu tepati kata-katamu dan kamu buktikan kepadaku bahwa kamu….bahwa kamu tidak akan pergi meninggalkanku, maka aku juga akan buktikan kata-kataku dan aku berjanji untuk memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu kepadaku maka aku juga tidak akan pernah me
“Sin..ta..Sin..ta…ma..af..kan a..ku!” Ucapan Fero yang di ulang-ulang pada saat itu membuat Sinta terbangun dari tidurnya, suaranya meski tidak keras namun masih terdengar jelas di pendengaran Sinta. Perlahan tapi pasti mata Sinta yang sedang tertutup rapat karena rasa kantuk yang hinggap kini terbuka. Di tatapnya Fero yang masih memejamkan mata dihadapannya. “Sin..ta…Si..nta...ma..af..kan a..ku! ja..ngan ting..gal..kan a..ku!” rintih Fero. Hal itu membuat Sinta kaget, ternyata ucapan Wika tadi sebelum pulang benar adanya bahwa ketika dalam kondisi yang tak sadarkan diri Fero masih mengingat dirinya. Seketika itu pula Sinta menutup bibir dengan kedua telapak tangannya tanpa disadarinya pula tetesan air mata bening mengalir dari sudut kedua netranya yang kian memerah. Semula ucapan Wika itu baginya hanyalah sekedar guyonan semata yang disematkan kepadanya, namun kali ini yang dikatakan Wika itu adalah fakta. “Sin..t
Suara tangisan Azka yang begitu kencang terdengar hingga di dapur tempat Sinta berada, dengan segera Sinta berlari ke halaman rumah namun ia tidak menemukan keberadaan putranya di tempat yang baru saja ia lihat. Curiga dengan pintu gerbang yang kini sedang terbuka membuatnya semakin mempercepat lagi laju larinya ke luar rumah, saat ia tiba di sana terlihat dari jarak beberapa meter darinya nampak kerumunan orang yang berada di tengah jalan raya persis sekali dengan asal suara tangisan putra semata wayangnya. Jantungnya semakin berdetak kencang tak mampu membayangkan jika suatu hal terjadi kepada putranya tersebut. Kakinya kian terasa lemas nafasnya tak beraturan, rasa takut kian menghantuinya pada saat ini. Sinta semakin mempercepat pace larinya, ia juga harus berani menerima kenyataan apapun yang akan terjadi di hadapannya kini. Bibirnya hanya mampu terkatup namun batinnya sama sekali tak berhenti untuk terus berdo’a serta berharap agar t
Sinta begitu asyik menonton acara talk show di sebuah stasiun televisi yang ditayangkan secara live sambil ngemil keripik tempe kesukaannya. Sudah 15 menit sudah ia menonton acara tersebut tanpa beranjak sama sekali dari atas sofa yang ia duduki di ruang tengah, beberapa saat kemudian Azka ikut bergabung duduk di sofa untuk duduk di sampingnya. “Mama!” panggil Azka “Iya sayang!” sahut Sinta. “Tadi di cekolah Aka ketemu Om Ganteng!” pamer Azka kepada Mamanya. “Om ganteng? siapa itu sayang?” tanya Sinta. “Om yang pelnah ke cini caat Mama gak mau banyun, Mama di kamal teyus nangis gak mau belhenti!” ungkap Azka. “Oh ya? apa benar itu?” tanya Sinta. “Iya benel!” jawab Azka yakin. Tiba-tiba terdengar sebuah truk berhenti di seberang jalan, Sinta mengecilkan volume televisinya. Melihat apa yang terjadi dari balik tirai jendela ternyata sebuah truk kontainer sedang menurunkan barang-barang yang se