"Apa kamu memiliki bukti Fero, hingga begitu yakinnya menuduhku untuk sesuatu yang sama sekali tidak aku perbuat?"
"Tentu saja aku punya cukup bukti bahwa kamu adalah orang yang telah menyebabkan kakakku mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya!" teriak Fero lantang sambil menarik kalung dari leher Sinta, hingga membuat mulut Sinta ternganga karena kaget.
"Lihat ini baik-baik! ini adalah kalung yang aku temukan di tangan kakakku saat ia sudah tidak lagi bernyawa, kalung ini digenggamnya sangat erat, hingga sulit sekali untuk dilepaskan dari tangan kanannya, dan ini adalah Berita utama di sebuah surat kabar, lihat baik-baik kalung milikmu itu terlihat sangat jelas di gambar surat kabar sedang digenggam oleh kakakku!"
Sontak Sinta semakin kaget dengan apa yang ia dengar dan lihat dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak habis fikir bagaimana bisa kalungnya benar-benar berada di tangan orang yang tidak ia kenal dalam halaman utama di surat kabar itu. Secara refleks Sinta menutup mulutnya.
"Tidak…! Bagaimana mungkin kalungku dalam genggaman orang yang sudah meninggal itu, dan juga aku sama sekali tidak mengenal orang itu, ini sama sekali tidak mungkin, ini fitnah Fero!"
"Berkelitlah semaumu! seribu alasan pun yang keluar dari mulutmu itu aku sudah tidak mempercayainya sama sekali, karena di mana-mana seorang penjahat jika kedoknya terbongkar maka dia juga akan membuat seribu alasan untuk membela diri, jadi tidak heran kalau kamu juga melakukan hal yang sama!"
"Fero aku mohon, aku mohon percayalah kepadaku, aku juga tidak mengerti bagaimana bisa kalungku ada di tangan kakakmu saat meninggal, karena…, karena terakhir kali yang meminjam kalungku adalah kak Sarah…iya kak sarah meminjam kalung itu untuk pergi ke luar rumah, dan saat pulang kembali ke rumah kak Sarah bilang kalau kalung yang ia pinjam dariku itu hilang, begitulah cerita yang sebenarnya Fero!" jawab Sinta dengan sejujurnya kepada Fero.
"Pok..pok..pok..pok..."
Fero betepuk tangan dengan sangat keras begitu mendengar penjelasan dari Sinta.
"Bagus sekali, sebuah akting yang cukup bagus, setelah kelakuanmu ketahuan, sekarang kamu menunjuk kakak angkat yang sudah menyayangimu dengan sepenuh hati, mana mungkin orang tua angkatmu yang sudah membesarkanmu dengan penuh ketulusan sekarang kamu balas dengan melimpahkan kesalahan pada anaknya? dan sekarang kamu menfitnah kakakmu itu untuk menutupi semua kebusukanmu, inikah balasanmu pada orang-orang yang sudah berbuat kebaikan selama bertahun-tahun kepadamu ha? anak yang baru lahir saja tidak akan percaya dengan apa yang kamu katakan ini, karena hal ini benar-benar sesuatu yang terlalu dibuat-buat."
Air mata Sinta semakin mengalir deras mendengar semua tuduhan yang terlontar dari mulut Fero, ia tidak habis pikir sedikitpun Fero sama sekali tidak mempercayainya, hatinya benar-benar sakit, hatinya benar-benar perih.
"Hapus air mata buayamu itu! aku sudah tidak ingin melihat sandiwaramu lagi, ayo cepat keluar dari kamarku!" bentak Fero sambil menarik tangan Sinta dengan kasar untuk keluar dari kamarnya, karena sudah lemas lunglai tak ada perlawanan sedikitpun dari Sinta untuk menerima perlakuan yang teramat sangat menyakitkan itu. Setelah sampai di sebuah ruangan yang kumuh dan kotor, Fero melepaskan cengkeraman tangannya.

"Ini…di sinilah kamu lebih pantas untuk tinggal! tempat ini lebih buruk dari penjara, hanya dengan hewan-hewan di ruangan ini kamu lebih pantas untuk tinggal bersama!"
"Braaakkkk....!" Fero menutup pintu dengan sangat keras. Sontak jantung Sinta berdetak kencang karena kaget dibuatnya, secara refleks pula ia menutup kedua telinganya. Sinta sama sekali tak berdaya dengan perlakuan Fero, ingin rasanya hatinya berontak dan berucap,
"Aku tidak bersalah, demi Allah aku tidak melakukannya, hiiks… hiiiks… hiiks…!"
Isak tangis yang kian menjadi meluapkan semua isi hatinya, rasa pilu, kepedihan, hati yang terluka semuanya tumpah ruah, bukan saja tuduhan keji yang tak sepantasnya ia terima, namun juga perlakuan kasar dari suami yang dicintainya, dan yang lebih menyesakkan dada, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa selama ini Fero hanya berpura-pura mencintainya, ia sedikitpun tidak memiliki perasaan apa-apa terhadapnya, Fero menikahinya semata-mata hanya karena dendam yang salah sasaran kepadanya, akibatnya ia harus tinggal di dalam ruangan yang sangat kumuh dan kotor, dindingnya berlumut lantainya pun penuh dengan debu, hewan-hewan seperti tikus, cicak, laba-laba bahkan kecoak melintas kesana-kemari. Barang-barang yang tak terpakai memenuhi ruangan itu terlihat sangat berantakan sekali. Sinta baru sadar bahwa ia sekarang sedang berada di dalam sebuah gudang yang tak terpakai bahkan sudah sangat lama tidak dipakai lagi, hal itu terbukti dari penampakannya yang sangat tidak layak untuk dihuni oleh makhluk yang bernyawa tak terkecuali dirinya.
Sinta mengamati seisi ruangan dengan mengelus dada, tak ada sedikitpun bagian di dalam ruangan tersebut yang lolos dari tatapannya yang tajam dan menelisik. Di sisi lain ia juga bingung nantinya harus tidur di mana? karena tidak ada tempat tidur ataupun tikar dan semacamnya. Tanpa banyak berfikir, akhirnya ia mengambil sapu yang terletak di sudut ruangan kemudian dibersihkannya semua debu yang menempel pada dinding, lantai serta langit-langit ruangan, setelah itu dirapikan semua barang yang tata letaknya amburadul, begitu juga di bagian kamar mandi yang bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh sebuah dinding yang kokoh, namun sayang dipenuhi lumut yang tumbuh dengan subur. Sinta segera membersihkan semua bagian ruangan, sebenarnya ia sangat takut dengan hewan-hewan yang berkeliran di depannya sedari tadi, namun tekad untuk membersihkan ruangan itu lebih besar dari rasa takutnya, hingga tanpa berfikir panjang lagi diusirlah hewan-hewan itu dengan menggunakan sapu yang berada di tangannya.
"Huss…huss…huss …!" desis Sinta membuat mereka makin berlarian menjauh kemudian keluar dari lubang pembuangan air di kamar mandi yang sebelumnya oleh Sinta dibuka terlebih dahulu penutupnya. Sedang kecoak yang masih tersisa karena bersembunyi di balik tumpukan buku-buku ia pukul hingga mati dengan menggunakan sapu lalu dibuang dan dimasukkan ke dalam kresek. Setelah dirasa cukup bersih Sinta turun ke lantai bawah menuju ke dapur sambil membawa tumpukan sampah di tangannya.
Setelah sampai di pintu dapur ia menoleh ke samping kanan dan kiri untuk melihat apakah ada tong sampah di sekitar situ, dan benar saja ternyata tong sampah ada di samping kiri pintu keluar, dengan cekatan ia membuang tumpukan sampah yang ia bawa ke dalam tong sampah. Setelah selesai ia kembali menuju ke dapur, di sana ia melihat seorang Bibik yang pernah memberikannya minuman dan juga cemilan saat pertama kali berkunjung ke rumah ini. Tanpa berpikir lagi Sinta menghampiri Bibik tersebut.
"Bik apa boleh saya pinjam karbol dan alat pel sebentar, nanti kalau sudah selesai saya kembalikan lagi!" ujar Sinta
"Tentu saja boleh atu Non, itu Non ada di bawah tangga, tapi ngomong-ngomong untuk apa ya Non?" Jawab Bik Narti."Untuk membersihkan gudang atas Bik"
"Tidak usah Non, biar saya saja yang membersihkannya, Enon duduk di sini saja!"
"Bibik lanjutkan saja pekerjaan Bibik, tidak apa-apa saya akan membersihkannya sendiri!"
Tanpa menyadari Si Bibik yang masih terheran-heran karena kehadirannya yang tiba-tiba, Sintapun mengambil alat pel dan juga karbol yang berada di bawah tangga, ternyata di situ tidak hanya ada perlengkapan untuk mengepel lantai namun Sinta juga melihat sebuah matras yang di gulung dengan menggunakan tali rafia. Spontan terbesit dalam pikirannya kalau matras tersebut bisa ia gunakan untuk tidur nanti malam dari pada nantinya ia harus tidur tanpa menggunakan selembar alas apapun. Sinta pun kembali mendatangi Bibik,
"Bik matras yang digulung dengan tali rafia di bawah tangga itu punya siapa ya?"
"Ooww…itu matras tidak dipakai Non, Mang Inyong yang meletakkan matrasnya di situ karena dulu Si Marni membawa dari kampung non, maksud Marni buat tiduran di dalam kamar Non, tapi sekarang Si Marni sudah tidak bekerja lagi di sini karena sama anaknya tidak di perbolehkan bekerja, anak Marni sudah hidup mapan non di kampung."
"Kalau begitu boleh tidak saya pinjam matras itu Bik?"
"Boleh non silahkan!, tapi harus dibersihkan dulu itu Non karena sudah lama tidak dipakai, biar saya bersihkan dulu ya Non?"
"Tidak usah Bik, biar saya bersihkan sendiri, ini pekerjaan mudah kok!"
"Sungguh tidak apa-apa non, sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu enon."
"Beneran bik, saya bisa melakukannya sendiri, kalau begitu terima kasih ya Bik!"
"Iya non sama-sama!"
Dengan cekatan Sinta menggotong matras dan juga dibawanya pula sebungkus detergen serta penggebuk kasur dari rotan yang berada di bawah tangga menuju ke luar pintu dapur, lalu matras itu dilepaskan tali rafianya, dilepaskan pula seprei yang membungkus matras dengan cara membuka resleting pada sisi kiri matras, setelah itu dibersihkan matras dengan cara memukul-mukul matras dengan menggunakan penggebuk kasur, Setelah selesai Sinta menjemurnya di bawah terik sinar matahari yang berada persis di samping timur tembok dapur, lalu sprei yang sudah ia lepaskan itu ia cuci di tempat kran air yang terletak di dekat tong sampah. Selesai dicuci hingga bersih sprei tersebut dijemur di atas tanaman daun dolar yang mengelilingi bagian belakang dapur hingga menyerupai sebuah pagar. Kemudian ia kembali ke bawah tangga untuk mengambil karbol, kaleng, alat pel dan sikat. Dengan cekatan pula ia mengepel di dalam gudang, menyikat serta menguras bak mandi, agar terlihat lebih bersih dari pada saat pertama kali ia masuk ke dalam gudang. Tembok yang berlumutpun ia sikat pula, sehingga meski masih membekas warna hijau pada dinding gudang yang sebelumnya berlumut, namun setelah dibersihkan lebih bisa di terima oleh mata yang memandangnya yaitu Sinta sendiri.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan Jam 13.50 WIB. Sinta bergegas ke kamar mandi untuk keramas dan juga mandi membersihkan diri, Setelah itu ia ganti baju bersih yang sebelumnya ia ambil dari dalam koper, kemudian Sinta melaksanakan sholat dhuhur, seperti biasa setelah sholat ia pun berdzikir, karena sangat kelelahan selepas aktifitas bersih-bersih, tanpa ia sadari akhirnya tertidur pulas di atas sajadah dengan tetap menggunakan mukena di tubuhnya. Terlihat dengan seksama rupanya Fero sedang mengamati Sinta sedari tadi dari layar cctv yang terpampang di meja kerjanya.
"Sungguh gadis yang bermental baja dia, masih mau-maunya membersihkan gudang yang sangat kumuh dan tak layak huni itu." ungkap Fero dalam hati.
***
Suara Adzan Asar berkumandang terdengar jelas sekali sampai di dalam gudang membuat Sinta terbangun dari tidur lelapnya. Ia pun melepas mukena yang dipakainya, kemudian wudlu ke kamar mandi dilanjutkan dengan melakukan sholat. Setelah selesai dilipatnya sajadah untuk kemudian diletakkan di atas tumpukan kardus yang terletak di sudut gudang.
"Oh ya, pasti matras dan sprei yang ku jemur tadi sudah bersih dan kering, sebaiknya aku ambil saja sekarang, lalu aku bawa kemari!" bisik Sinta dalam hati.
Dan benar saja matras dan sprei yang ia jemur memang sudah bersih dan kering. Tanpa berlama-lama lagi ia angkat matras dan sprei menuju ke dalam gudang, meski sedikit tertatih-tatih karena ukuran matras yang lebih lebar dan panjang darinya, namun Sinta mengerahkan semua tenaganya untuk mengangkat matras tersebut, kemudian ia letakkan di pojok gudang, lalu dipasangnya sprei yang sudah ia cuci bersih dan juga sudah kering karena terpapar sinar matahari dengan durasi beberapa jam lamanya. Tercium pula bau harum dari sprei tersebut karena sapuan detergen bercampur air mengalir yang telah melenyapkan sekian persen debu dan kotoran yang hinggap di atasnya.
"Alhamdulillah….akhirnya selesai juga bersih-bersihnya, huft… !" ucap Sinta lirih. Sinta merasa lega akhirnya gudang yang semula kumuh juga kotor itu kini menjadi lebih bersih, rapi dan layak huni. Namun ia sadar perutnya mulai keroncongan ia pun segera beranjak menuju dapur. Sinta mengamati setiap sudut dapur mencari si bibik untuk bertanya ada bahan apa saja yang bisa untuk dimasak, namun ternyata yang ia cari tidak ada. Ia pun berjalan menuju meja makan lalu dibukanya tudung saji di atas meja makan, ternyata tidak ada lauk juga sayur apapun, di situ benar-benar kosong tidak ada apa-apa, Sinta pun menghampiri magicom yang terletak di sudut dapur dekat rak piring, lalu dibukanya magicom tersebut.
"Syukurlah masih ada nasi di dalamnya!" ucapnya lega.
Bak seperti mata elang Sinta mencari bawang merah dan bawang putih, ternyata Bibik meletakkannya di samping kitchen set, tanpa banyak berfikir lagi ia segera mengupas beberapa butir bawang merah dan bawang putih kemudian diiris tipis-tipis, setelah itu dinyalakan kompor yang sebelumnya diletakkan sebuah wajan di atasnya terlebih dulu dan dituangnya sedikit minyak goreng, beberapa saat kemudian minyak dalam wajan sudah mengeluarkan sedikit asap, lalu dipecahkannya sebutir telur dan digoreng orak arik telur tersebut hingga setengah matang, kemudian bawang yang sudah diiris tipis-tipis itu dimasukkan ke dalam wajan, sambil menumis bawang hingga menunggu baunya harum, diambilnya pula dua entong nasi kemudian ia masukkan pula ke dalam wajan, tak lupa ia tambahkan sedikit merica, kecap manis, garam juga gula secukupnya. Tanpa berlama-lama lagi nasi goreng siap untuk disantap, tak lupa pula ia matikan kompor. Di meja makan dengan suka cita Sinta menikmati nasi goreng hasil buatannya sendiri.
"Hemmm…, lezat juga nasi goreng buatanku ini, lumayan buat isi perut yang sudah memanggil-manggil sedari tadi!" gumam Sinta senang.
Sendok demi sendok nasi goreng ia makan dengan lahap. Tanpa ia sadari seseorang sedang mengamatinya dari belakang.
"Ehemmm…ehemm…!" Fero berdehem, keberadaannya yang tiba-tiba dari belakang kursi membuat Sinta tersentak kaget.
"Pufttt…!" Spontan beberapa butir nasi menyembur keluar dari mulut Sinta.
"Kenapa, segitu kelaparannya ya, sampai tersedak gitu?" ledek Fero
Spontan Sinta meraih segelas air putih kemudian meminumnya.
"Kamu…sejak kapan kamu berada di belakang situ? bikin orang kaget saja!" sahut Sinta sambil memunguti butiran nasi yang tercecer di meja makan.
"Loh, kok malah nyalahin aku, kamunya saja yang saking seriusnya makan sampai tidak tau kalau ada orang!"
"Apa kamu sudah makan?, kalau belum apa mau aku bikinin nasi goreng?"
"Heh… yang benar saja, dari pada aku harus makan makanan yang gak jelas rasanya, mending makan di luar saja!" jawab Fero sinis.
"Iya benar dari pada kamu makan masakanku yang rasanya gak jelas ini, lebih baik makan di restoran yang dimasak oleh chef profesional saja!" sahut Sinta sambil bergegas untuk mencuci piring dan peralatan yang sudah ia pakai untuk makan dan memasak. Mendengar jawaban Sinta yang santai itu Fero Beranjak pergi meninggalkan dapur.
Selesai mencuci piring di dapur. Sinta beranjak pergi menuju gudang, namun saat sesampainya di tangga, ia berpapasan dengan Fero yang terlihat memakai jas seperti saat akan pergi ke kantor. Secara refleks Sinta terpukau melihat penampilan Fero dengan rambut klemis serta penampilannya yang rapi itu. Perlahan jarak mereka semakin dekat, tanpa berkedip sedikitpun Sinta memandangi Fero."Wah, benar-benar tampan dan gagah sekali suamiku ini, tak salah bila aku begitu mencintainya!" ucap Sinta dalam hati.Namun Fero yang meski berpapasan dengan Sinta hanya melihat sekilas ke arahnya tanpa ekspresi sedikitpun. Seketika itu pula Sinta sadar bahwa cintanya kepada Fero hanya bertepuk sebelah tangan, Fero sama sekali tidak memiliki perasaan sedikitpun kepadanya, hatinya begitu sakit, hatinya begitu perih. Dengan langkah perlahan ia terus menaiki anak tangga hingga sampai jualah ia di pintu gudang, lalu dibukanya pintu itu dengan pelan. Dan sesampainya di dalam gudang yang sekaran
"Apa sih yang kamu lakukan di sini? asal kamu tau ya! beberapa pekerja gak fokus kerjanya karena ngomongin kamu, ada juga yang bergerombol ninggalin pekerjaannya karena lihatin kamu kayak anak kecil main air di sini, mendingan kamu di rumah saja deh! dari pada bikin mereka gak fokus sama kerjaannya!" teriak Fero pada Sinta."Kamu ini napa sih, datang-datang kok marah-marah gitu? ganti hobi baru nih sekarang?" sahut Sinta balik bertanya."Hobi baru? hobi baru apa sih? kalau ngomong itu yang jelas?!""Kamu kan sekarang punya hobi baru marah-marah! padahal dulu waktu deketin aku, kamu itu baik, perhatian, meski cenderung tegas tapi sedikitpun kamu gak pernah marah-marah, tapi sekarang sedikit-sedikit marah, jadi aneh saja ngelihatnya!""Aneh?""Iya jadi aneh, berubah drastis 180 derajat!""Aku sendiri juga gak tau, kenapa kalau ketemu kamu bawaannya pingin marah-marah? kamu selalu bikin aku emosi, apa lagi lihat gaya kamu
Sinta masih terus saja berjalan membuntuti Mang Inyong, namun setelah sampai di pintu gerbang tiba-tiba turun hujan begitu deras, Sinta pun berlari menuju rumah agar tidak basah kuyup, namun sesampainya di teras rumah, ia melihat Fero dengan seorang gadis cantik duduk saling berdekatan dengan posisi kepala si gadis bersandar pada bahu Fero. Mereka tampak akrab satu sama lain dan juga begitu mesra. Tentu saja Sinta yang melihat semua itu begitu kaget, karena sebelumnya ia tidak pernah bertemu apalagi mengenal gadis tersebut. Segala perasaan berkecamuk dalam hatinya saat itu, ia yang merasa setelah menikah saja tidak pernah diperlakukan mesra dan manja layaknya gadis itu oleh suaminya, maka dengan segera Sinta bergegas ke dalam rumah kemudian masuk ke dalam kamarnya, setelah itu ditutupnya pintu kamar dan ia pun bersandar pada pintu sambil terduduk lemas.2 kejadian sekaligus dalam kurun waktu yang hampir bersamaan seolah membuat jantungnya hampir lepas, baru saja ia diganggu o
"Jadi kamu sama sekali tidak pernah mengenal Fadli?" tanya Al keheranan."Jangankan mengenal, bagaimana wajahnya saja aku tidak pernah tau, aku baru tau setelah Fero memberikan sebuah surat kabar kepadaku, dalam surat kabar itu aku baru tau berita meninggalnya Fadli serta gambarnya.""Tapi bagaimana bisa kalung milikmu ada di tempat kejadian?""Kak sarah meminjam kalung itu kepadaku, dia bilang cuma meminjamnya sebentar saja, tapi nyatanya sebulan lebih kalungku baru ketemu, Fero yang memberikannya kepadaku!""Apa kamu tidak pernah cerita ke Fero, kalau sebenarnya kakakmu yang sudah meminjam kalung itu?""Saat Fero marah dan menuduhku bahwa akulah yang menyebabkan kakaknya bunuh diri, aku sudah berusaha menjelaskan yang sebenarnya, tapi dia sedikitpun tidak mau mempercayaiku, tapi aku yakin waktulah yang yang akan menjawab semuanya,
Suara hand phone berbunyi nyaring mengalunkan musik alarm sebagai pengingat bahwa hari telah berganti pagi, namun sosok dibalik selimut rupanya enggan untuk membuka mata karena masih terkunci oleh rasa kantuk yang mendera, bunyi alarm masih saja terdengar begitu memekakkan telinga hingga si empunya menekan tombol off kemudian bunyi pun hilang dalam sekejap. Sinar mentari mulai menerangi celah-celah ruangan yang menembuspori-pori tirai jendela. Altara akhirnya bangkit dari tidur lelapnya, ia segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu di ruang makan Fero sedang
Sore itu Sinta pergi ke sungai ia begitu merindukan suara gemercik air yang mengalir, segarnya air sungai, serta hembusan angin yang sepoi-sepoi. Beberapa hari ini ia tidak bisa pergi ke tempat favoritnya itu, dikarenakan ia disibukkan dengan aktifitas kuliah yang sangat padat, tanpa sepengetahuan Sinta seseorang telah meneropongnya dari jarak 60 meter, sosok itu telah mengamati aktifitas Sinta selama beberapa hari ini. "Roy… Roy….!"Seorang pemuda tampan, berkulit putih dan berhidung mancung sedang memanggil sang asisten untuk segera datang kepadanya. "Iya Tuan!" jawab sang asisten. "ini kamu lihat, siapa gadis itu? beberapa hari ini aku melihat dia sedang berada di area Fero?" ujar Devano sambil memberikan teropong yang baru saja ia pakai kepada asistennya tersebut. "Oow.. gadis cantik itu Tuan, iya Tuan saya tau siapa dia!" jawab Roy. "Siapa?" "Berdasarkan info dari salah seorang pekerja perkebunan dia adalah istri Fero Ardinata
Mendengar kabar bahwa dirinya akan diantarkan kembali pulang ke rumah, membuat Sinta mengucap syukur yang tak terhingga. Mereka akan membebaskannya dengan satu syarat, ia harus mau makan nasi kotak yang sudah disiapkan, sebenarnya enggan bagi Sinta untuk makan pemberian mereka, namun karena itu adalah satu-satunya syarat agar ia dibebaskan, maka mau tidak mau Sinta pun memakan nasi kotak tersebut meski hanya beberapa sendok saja. Sedih plus bahagia bahwa ia akan segera bebas dari para penculik, hal yang membuatnya sedih yaitu sebisa mungkin ia akan menjauh dari suami yang teramat sangat membencinya, hatinya begitu sedih bahwasanya Fero tak pernah menganggapnya ada. Hingga tiba jualah para penculik itu menepati janjinya, sesuai dengan instruksi dari tuannya, mereka mengantarkan Sinta sampai beberapa meter dari pintu gerbang rumah, sama seperti tempat dimana mereka beberapa hari yang lalu membiusnya kemudian membawanya pergi. Setelah Sinta turun dari mobil yang mengantarkannya
Fero menyaksikan dengan jelas sedari Sinta terjerembab dipelukan Devano saat pertukaran pasangan dansa, jauh di lubuk hatinya yang teramat dalam, ia terbakar api cemburu menyaksikan istrinya bersentuhan dengan laki-laki lain, namun ia juga menyadari bahwa ia harus menerima konsekuensinya karena ia memang tidak mengajak istrinya untuk ikut bersamanya menghadiri undangan pesta ini, justru sepupunya lah yang mengajak istrinya itu. Sementara itu dari jarak beberapa meter dengan dirinya, Devano menatap dengan tatapan tajam dan sinis. Maklum saja sedari kecil Fero dan Devano merupakan 2 orang rival yang tidak dapat disatukan dalam berbagai ha
Hari-hari Sinta semakin berwarna dengan hadirnya Fero di tengah kehidupannya saat ini. Fero telah membuktikan bahwa dia adalah suami yang baik, begitu mencintai keluarga serta bertanggung jawab. Fero sudah bertekad ia akan selalu membahagiakan keluarga kecilnya tersebut, apalagi ia begitu menyayangi Azka seperti putra kandungnya sendiri begitu pula sebaliknya. Sinta yang bukan single parent lagi tentunya benar-benar merasakan kebahagiaan seutuhnya. Setelah rentetan kejadian tragis yang telah ia alami di sepanjang hidupnya kini telah tergantikan dengan kehidupan yang tentram serta bergelimang kebahagiaan. Memiliki 2 buah rumah yang saling berhadapan yang hanya terpisah oleh sebuah jalan raya membuat Sinta lebih banyak tinggal di rumah yang dibeli oleh Fero. Sejak malam pertama ia sudah lebih banyak tinggal di rumah tersebut dan untungnya pula putranya sama sekali tidak mempermasalahkan itu karena selama ada Fero maka Azka akan meng-iyakan.
Sekali lagi Sinta merasakan dilema yang teramat sangat dengan kejutan yang dibuat Fero bersama sang putra kali ini. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa karena untuk saat ini ia masih belum memikirkan untuk menikah kembali karena jujur saja perasaannya kepada Devano masih sangat kuat karena bagaimanapun juga dialah laki-laki pertama yang banyak memberikannya cinta dengan penuh ketulusan dan kesungguhan tanpa adanya rekayasa, dusta serta pengkhianatan. Namun mengapa saat ini perasaan takut karena trauma yang pernah dialaminya kian membuatnya bimbang. “Mama…Om Ganteng telah menolong Aka dali bahaya, Om Ganteng hampil meninjal kalena tolonyin Aka apa itu maci belum cukup buat Mama?” protes Azka yang tiba-tiba mengagetkan Sinta, lagi-lagi ucapan sang putra makin membuatnya heran karena bagaimana bisa ia melontarkan kata-kata yang begitu menohok. “Azka tidak boleh berkata demikian sama Mama ya sayang! biarkan Mama mengamb
“Aka cayang banget cama Om ganteng, Aka pingin punya Papa cepelti teman-teman teyus Aka pingin Om Ganteng jadi Papanya Aka!” jelas Azka dengan berterus terang. “Seperti yang Om bilang sebelumnya, Om akan selalu ada buat Azka dan juga Mama, Om tinggal menunggu kesiapan Mamanya Azka, begitu Mama bilang setuju dan siap untuk menikah dengan Om maka secepatnya Om akan menikahi Mama Azka!” terang Fero dengan begitu jelas. “Om Ganteng gak bohonyin Aka kan?” “Apa yang Om ucapkan pada Azka baru saja itu semua benar, dalam berbicara Om tidak boleh berbohong nanti kalau berbohong Allah bisa marah!” Azka mendengarkan penjelasan Feri sambil menganggukkan kepalanya. “Ya sudah kalau begitu sekarang Om pingin lihat mana senyum manisnya buat Om pagi ini?” seru Fero yang kemudian dibalas dengan sebuah senyuman manis yang tersungging dari bocah lucu tersebut. Dengan segera dipeluknya Azka oleh Fero dengan begitu hangat.
Pintu kamar Sinta tidak ditutup rapat, hanya beberapa centimeter saja pintu tersebut sedikit terbuka, maka dengan langkah pelan Fero memasuki kamar Sinta. Cukup luas sekali ukuran kamarnya berkisar 6 x 6 meter. Tatapan netra pemuda tersebut menelisik ke setiap penjuru ruangan, karena baru pertama kalinya ia masuk dengan tatapan menelisik seperti ini meski sebelumnya karena kondisi mendesak ia pernah masuk untuk melihat kondisi Sinta yang sedang pingsan begitu mendengar berita kepergian suaminya. Saat itu ia mencari foto pernikahan mereka di kamar tersebut namun ternyata ia tak menemukannya, bukankah kebanyakan pasangan pada umumnya selain memajang foto mereka di ruang keluarga, maka mereka juga akan memajangnya di dalam kamar, namun sepertinya hal tersebut tidak berlaku bagi Sinta dan juga Devano. Terlihat Sinta yang sedang tertidur lelap menggunakan selimut wol dengan warna cerah. Fero masih saja berdiri menatap wajah cantik itu,
Setelah dirawat di rumah sakit selama 2 minggu akhirnya Fero oleh Dokter diperbolehkan untuk pulang dengan catatan ia harus tetap rajin kontrol sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh Dokter di buku Kontrol. Tentu saja hal tersebut disambut dengan sangat antusias oleh Fero karena menurutnya berada di rumah sakit dengan durasi waktu selama itu berasa setahun lamanya dan untungnya ada Sinta yang selalu berada di sampingnya yang selalu setia menunggunya sedari awal dia terbaring tak sadarkan diri karena koma hingga sekarang kondisinya yang sudah berangsur pulih. Tak dipungkiri lagi bahwa Sinta adalah motivasinya selama ini untuk bisa berjuang melawan koma selama seminggu lamanya, dan itu juga merupakan keajaiban serta anugerah tak terhingga yang telah diberikan Sang Pencipta kepadanya. Ditambah dengan kehadiran Azka putra semata wayang dari wanita yang sangat dicintainya kian menambah nuansa suka cita yang ia rasakan selama ini. Kehadiran Azka
Terlihat seorang Dokter sedang melakukan resusitasi ( CPR ), usaha tersebut dilakukan untuk mengembalikan irama jantung yang telah terhenti. Sinta yang mengetahui hal tersebut langsung meraih telapak tangan Fero kemudian digenggamnya dengan erat sambil berkata, “Ayo Fero kamu harus kuat, kamu harus bisa, jangan tinggalkan aku dengan perasaan bersalah seperti ini! bagaimana aku harus menjawab pertanyaan putraku jika dia bertanya tentangmu? Fero ayo bangun! Aku mohon jangan tinggalkan aku! bukankah kamu sering mengatakan kalau aku tidak boleh meninggalkan kamu, tapi mengapa justru kamu sendiri yang akan meninggalkan aku? aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi Fero, yang aku mau hanya satu yaitu kamu tepati kata-katamu dan kamu buktikan kepadaku bahwa kamu….bahwa kamu tidak akan pergi meninggalkanku, maka aku juga akan buktikan kata-kataku dan aku berjanji untuk memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu kepadaku maka aku juga tidak akan pernah me
“Sin..ta..Sin..ta…ma..af..kan a..ku!” Ucapan Fero yang di ulang-ulang pada saat itu membuat Sinta terbangun dari tidurnya, suaranya meski tidak keras namun masih terdengar jelas di pendengaran Sinta. Perlahan tapi pasti mata Sinta yang sedang tertutup rapat karena rasa kantuk yang hinggap kini terbuka. Di tatapnya Fero yang masih memejamkan mata dihadapannya. “Sin..ta…Si..nta...ma..af..kan a..ku! ja..ngan ting..gal..kan a..ku!” rintih Fero. Hal itu membuat Sinta kaget, ternyata ucapan Wika tadi sebelum pulang benar adanya bahwa ketika dalam kondisi yang tak sadarkan diri Fero masih mengingat dirinya. Seketika itu pula Sinta menutup bibir dengan kedua telapak tangannya tanpa disadarinya pula tetesan air mata bening mengalir dari sudut kedua netranya yang kian memerah. Semula ucapan Wika itu baginya hanyalah sekedar guyonan semata yang disematkan kepadanya, namun kali ini yang dikatakan Wika itu adalah fakta. “Sin..t
Suara tangisan Azka yang begitu kencang terdengar hingga di dapur tempat Sinta berada, dengan segera Sinta berlari ke halaman rumah namun ia tidak menemukan keberadaan putranya di tempat yang baru saja ia lihat. Curiga dengan pintu gerbang yang kini sedang terbuka membuatnya semakin mempercepat lagi laju larinya ke luar rumah, saat ia tiba di sana terlihat dari jarak beberapa meter darinya nampak kerumunan orang yang berada di tengah jalan raya persis sekali dengan asal suara tangisan putra semata wayangnya. Jantungnya semakin berdetak kencang tak mampu membayangkan jika suatu hal terjadi kepada putranya tersebut. Kakinya kian terasa lemas nafasnya tak beraturan, rasa takut kian menghantuinya pada saat ini. Sinta semakin mempercepat pace larinya, ia juga harus berani menerima kenyataan apapun yang akan terjadi di hadapannya kini. Bibirnya hanya mampu terkatup namun batinnya sama sekali tak berhenti untuk terus berdo’a serta berharap agar t
Sinta begitu asyik menonton acara talk show di sebuah stasiun televisi yang ditayangkan secara live sambil ngemil keripik tempe kesukaannya. Sudah 15 menit sudah ia menonton acara tersebut tanpa beranjak sama sekali dari atas sofa yang ia duduki di ruang tengah, beberapa saat kemudian Azka ikut bergabung duduk di sofa untuk duduk di sampingnya. “Mama!” panggil Azka “Iya sayang!” sahut Sinta. “Tadi di cekolah Aka ketemu Om Ganteng!” pamer Azka kepada Mamanya. “Om ganteng? siapa itu sayang?” tanya Sinta. “Om yang pelnah ke cini caat Mama gak mau banyun, Mama di kamal teyus nangis gak mau belhenti!” ungkap Azka. “Oh ya? apa benar itu?” tanya Sinta. “Iya benel!” jawab Azka yakin. Tiba-tiba terdengar sebuah truk berhenti di seberang jalan, Sinta mengecilkan volume televisinya. Melihat apa yang terjadi dari balik tirai jendela ternyata sebuah truk kontainer sedang menurunkan barang-barang yang se