Sinta masih terus saja berjalan membuntuti Mang Inyong, namun setelah sampai di pintu gerbang tiba-tiba turun hujan begitu deras, Sinta pun berlari menuju rumah agar tidak basah kuyup, namun sesampainya di teras rumah, ia melihat Fero dengan seorang gadis cantik duduk saling berdekatan dengan posisi kepala si gadis bersandar pada bahu Fero. Mereka tampak akrab satu sama lain dan juga begitu mesra. Tentu saja Sinta yang melihat semua itu begitu kaget, karena sebelumnya ia tidak pernah bertemu apalagi mengenal gadis tersebut. Segala perasaan berkecamuk dalam hatinya saat itu, ia yang merasa setelah menikah saja tidak pernah diperlakukan mesra dan manja layaknya gadis itu oleh suaminya, maka dengan segera Sinta bergegas ke dalam rumah kemudian masuk ke dalam kamarnya, setelah itu ditutupnya pintu kamar dan ia pun bersandar pada pintu sambil terduduk lemas.
2 kejadian sekaligus dalam kurun waktu yang hampir bersamaan seolah membuat jantungnya hampir lepas, baru saja ia diganggu oleh segerombol pemuda mabuk, ditambah pula setibanya di rumah ia harus menyaksikan suami yang dicintainya bermesraan dengan wanita lain, kini air matanya pun tumpah ruah sudah tak mampu lagi ia bendung.
"Hiiks…hiiks…hiiks… apakah wanita cantik itu yang bernama Nindy? kalau iya…Fero bilang Nindy adalah masa lalunya, dan aku adalah wanita yang saat ini dicintainya, tapi semuanya dusta, ternyata dari awal pernikahan dia benar-benar tidak mencintaiku, ternyata di hatinya hanya ada wanita lain, kenapa hati ini benar-benar sakit sekali, hiiks..hiiks..hiiks...! kalau dengan cara ini kamu ingin membuatku menderita kamu telah berhasil Fero..!" ratap Sinta dengan begitu sedihnya.
~Dalam waktu yang bersamaan di teras rumah~
"Ada apa sih Mang, kok Sinta berlari ketakutan seperti itu?" tanya Fero
"Itu Tuan, Non Sinta tadi diganggu sama gerombolan pemuda mabuk di persimpangan jalan, tadi tangan Non Sinta ditarik-tarik gitu Tuan, dipaksa ikut dengan mereka, untungnya pas saya lewat, pada saat itu saya melihat Non sinta dikerubutin pemuda mabuk itu, lalu saya mengancam mereka untuk melaporkannya pada Tuan Fero, begitu saya berpura-pura telfon Tuan mereka akhirnya pergi Tuan. Kasihan Non Sinta tuan dia sangat ketakutan sekali!" Mang Inyong menjelaskan dengan detail kepada Fero.
"Sebentar ya sayang, aku lihat dulu dia di dalam!" pamit Fero pada Nindy, sementara Nindy menjawab Fero dengan anggukan kepala.
Dengan terburu-buru Fero berjalan menuju ke kamar Sinta, barisan tangga dihadapannya tersebut ia lalui dengan cepat, karena sudah hafal disetiap tingkatan yang ia pijak meski tanpa melihat bahkan tanpa menundukkan kepala. Beberapa saat kemudian Fero sudah sampai di depan kamar Sinta, ia pun mengetuk pintu kamar.
"Tok..tok..tok…!"
"Siapa …?" tanya Sinta dari dalam kamar
"Aku…Fero…!" jawab Fero seraya menunggu untuk dibukakan pintu.
"Ada apa?" tanya Sinta dari dalam kamar.
"Buka dulu pintunya, aku mau bicara!"
Atas permintaan Fero, akhirnya Sinta pun membuka pintu kamar.
"Kamu itu kenapa?" tanya Fero begitu melihat Sinta membukakan Pintu, namun Sinta masih saja diam dan berdiri diantara daun pintu tanpa mempersilahkan Fero untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Aku tidak apa-apa!"
"Kalau tidak apa-apa kenapa kamu menangis?" tanya Fero menyelidik karena terlihat jelas olehnya mata Sinta yang sembab dan pipinya yang masih basah.
"Aku hanya ingin menangis saja!" jawab Sinta singkat.
"Barusan Mang Inyong bilang kalau kamu diganggu oleh gerombolan pemuda mabuk, apa benar begitu?"
"Iya…!"
"Ngapain juga sih kamu itu pergi sampai ke persimpangan sana, apa kamu itu kurang kerjaan?"
"Aku hanya ingin jalan-jalan, aku bosan di rumah!"
"Untung saja tadi ada Mang Inyong, kalau tidak, entahlah tidak tau apa yang akan terjadi?!"
"Sudah selesai belum bicaranya? aku tutup dulu pintunya, aku ngantuk!" sahut Sinta sambil menutup pintu.
"Loh, hey..aku belum selesai bicara, woeyy...!" teriak Fero sambil menggedor pintu.
Sinta tidak menghiraukan teriakan Fero, ia tetap saja menutup pintu kamar dengan rapat. Kemudian direbahkannya dirinya ke tempat tidur, Sinta masih syok dengan 2 kejadian yang baru saja ia alami, sekujur tubuhnya masih gemetaran, antara ketakutan dan sakit hati serasa bercampur aduk menjadi satu. Ia sengaja tidak mengutarakan kekesalannya itu kepada Fero karena baginya memang Fero dengan sengaja melakukan semuanya itu untuk membuatnya sakit hati, sesuai dengan apa yang dikatakan Fero kepadanya di saat awal pernikahan, oleh karena itu meskipun Fero bertanya kepadanya mengapa ia menangis ia tetap saja diam, Sinta memilih untuk memendamnya sendiri tanpa seorang pun yang tau mengenai kepedihannya, penderitaannya, rasa kecewanya, serta luka hatinya. ia lebih memilih untuk tetap menjalaninya dengan tegar semampu yang ia bisa.
~ Keesokan Harinya ~
Setelah memasak untuk sarapan pagi, Sinta jalan-jalan ke halaman belakang rumah.Tak kalah dari suasana halaman depan rumah, di halaman belakang panoramanya juga begitu indah, tatanan bunga yang berwarna-warni serta rerumputan yang menghijau terlihat begitu sempurna. Sinta berjalan mengelilingi halaman belakang sambil mengembangkan senyumnya yang menawan. Akhirnya tiba jualah ia di ujung pagar halaman belakang, di situ ia melihat istal yang sangat luas, karena ingin tahu dan rasa penasaran yang begitu besar, ia pun mendekati istal tersebut.
"Wah… ternyata banyak sekali kuda di sini, bahkan ada 9 kuda yang berjejer dengan begitu rapi dengan dibuatkan sekat yang terbuat dari kayu, warna bulu kuda, serta besarnyapun berbeda satu dengan yang lainnya!" ucap Sinta.
Dilihatnya salah satu kuda yang berwarna putih sedang menjulurkan lehernya keluar pagar. Dengan pelan dan berhati-hati Sinta meraih kepala kuda sambil berjinjit, lalu dielusnya kepala serta rambutnya, sementara kuda itu sendiri seolah menikmati sentuhan lembut dari Sinta bahkan makin menundukkan kepalanya sambil menggerakkannya dengan perlahan.
"Kamu sangat gagah sekali ya! bulumu sangat halus, lembut dan juga bersih!" sapa Sinta pada kuda yang berwarna putih.
"Siapa yang mengijinkan kamu menyentuh kuda itu?" teriak Fero mengagetkan Sinta
"Aku hanya mengelus kepalanya saja!" jawab Sinta singkat.
"Apa bedanya menyentuh dan mengelus? berarti tanpa seijinku kamu telah menyentuhnya kan?"
"Baiklah, aku minta maaf! "
"HHiiikkkk…..!"
Kuda berwarna putih tiba-tiba meringkik sambil mengangkat kakinya ke atas seolah tak terima Fero memarahi Sinta di depannya. Binatang seperti halnya manusia mereka mengerti apa yang terjadi disekitarnya. Karena kaget dengan tingkah kuda tersebut yang sangat tiba-tiba, sontak Sinta membalikkan badan dan berlari ketakutan. Tanpa disengaja Sintapun menabrak tubuh Fero hingga terjatuh dan merekapun saling bertatapan satu sama lain, hingga membuat keduanya hanyut dalam suasana romansa. Menyadari akan hal itu Sinta segera bangun serta menjaga jarak dari Fero.
"Kenapa haa? apa kamu takut aku akan menyentuhmu atau memelukmu? jangan besar kepala ya kamu! sedikitpun aku sama sekali tidak tertarik kepadamu, sudah ku katakan kepadamu kalau aku…,"
"Kalau kamu sedikitpun tidak pernah mencintaiku, kalau kamu sangat membenciku, kalau kamu ingin membalas dendam kepadaku, jangan khawatir aku selalu mengingat hal itu! aku juga sadar kalau aku sama sekali tidak berarti apa-apa bagimu, begitu kan?!" Sahut Sinta, kemudian berlari meninggalkan Fero sambil berderai air mata.
Baru jarak beberapa meter tanpa sengaja pula Sinta menabrak seorang pemuda. Dengan posisi kedua tangan Sinta mengepal serta bersentuhan dengan dada bidang pemuda tersebut, Tentu saja hal itu membuat mereka saling berpandangan dengan jarak yang sangat dekat. Terlihat jelas oleh Sinta pemuda yang sangat tampan, berkulit putih bersih, dan juga gagah.
"Maaf!" Ucap Sinta kepada pemuda tersebut
"Oke nona, tidak apa-apa! kenapa anda menangis sambil berlari sekencang itu?" tanya sang Pemuda.
"Maaf saya harus pergi!" pamit Sinta pergi tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan si pemuda. Ia masih saja terus menatap ke arah Sinta yang sedang berlari menjauh hingga tak nampak lagi dari pandangannya, kemudian ia pun kembali berjalan mendekati Fero yang tengah asik menepuk-nepuk punggung salah satu kudanya.
"Hai Fero apa kabar?" sapa Altara pada Fero
"Hai Bro…kabar baik! kamu sendiri gimana kabar?" jawab Fero semringah sambil berpelukan erat dengan si pemuda.
"Seperti yang kamu lihat, aku juga sehat dan baik-baik saja! aku jenuh dengan suasana Perkotaan, aku ingin pulang kampung untuk beberapa minggu, bagaimanapun juga aku terlahir di sini, suasana sejuk dan juga hijaunya perkebunan membuat aku tidak pernah berhenti untuk merindukannya!" celetuk Altara.
"Oh ya…. serius? lalu kenapa kamu tidak menelfon dulu sesampainya di bandara, aku kan bisa menjemputmu tadi?"
"Ahhh…itu tidak perlu, aku kan bisa naik taxi, oh ya, ngomong-ngomong siapa gadis cantik yang bertabrakan denganku barusan?"
"Maksud kamu Sinta? jadi dia barusan menabrak kamu? dasar ceroboh yang gak ada habisnnya, kalau gak nabrak orang ya pasti jatuh, hanya itu yang bisa dia perbuat setiap hari!" umpat Fero
"Sinta? siapa dia, lalu kenapa dia berlari sambil menangis?"
"Aku baru saja menikah dengan dia beberapa hari yang lalu!"
"Apa menikah, apa kamu serius? terus kenapa kamu tidak mengundang keluarga besar kita, kamu anggap apa kami semua?"
"Ceritanya panjang Al, nanti saja aku ceritakan!"
"Oh ya…?! tapi tadi aku mendengar jelas pembicaraan kalian, apa benar kamu menikahinya hanya untuk balas dendam, apa benar kamu benar-benar tidak mencintainya?"
"Jadi kamu dari tadi sudah ada di sini dan mendengar semua pembicaraan kami?"
"Iya tadi sesampainya di sini aku mendengar semua pembicaraan kalian, dan sepertinya hubungan kalian tidak sedang baik-baik saja?!"
"Ya... seperti yang kamu dengar, semua itu memang benar!"
"Tapi dia terlihat sangat cantik dan juga baik?"
"Ayolah Al, kamu bukan anak kemarin yang hanya melihat seorang wanita itu cukup dengan sekali bertemu dan hanya melihat penampilan luarnya saja kan?!"
"Justru dari pengalaman yang sudah aku geluti menjalin hubungan dengan banyak wanita selama bertahun-tahun itulah, aku bisa melihat karakter seorang wanita cukup dengan sekali melihat dan menatapnya sekilas saja, hallo bro! usiaku memang lebih muda dari kamu, tapi dalam urusan wanita aku jauh lebih berpengalaman dari kamu loh!"
"Dasar kamu masih tetap saja seorang Altara playboy yang suka gonta-ganti wanita, kalau aku tidak sekedar mengandalkan pengalaman saja dalam menyimpulkan sesuatu, tapi aku juga menyelidikinya seakurat mungkin!"
"Sebagai manusia pasti juga akan melakukan kesalahan kan Fero? seyakin-yakinnya kita, seakuratnya informasi yang kita dapat, kalau pada akhirnya ternyata itu salah… kita bisa apa?! "
"Kenapa kamu bisa bicara seperti itu?"
"Kalau menurut Instingku sih, istrimu itu wanita baik-baik, dia sangat menderita dengan perlakuanmu itu, aku merasa kasihan kepadanya, itu saja yang aku rasakan saat melihatnya menangis tadi!"
"Kita sebagai laki-laki diciptakan bukan berdasarkan insting ataupun feeling, tapi berdasarkan logika, ingat itu saudaraku! sudahlah aku males kita berdebat gak jelas seperti ini, ayo kita masuk kedalam rumah, sinar matahari sudah semakin menyengat ini!" ajak Fero
"Oke..oke!" sahut Altara.
****
Hari itu tidak seperti biasanya Fero pagi-pagi sekali pergi ke perusahaan dan tanpa sepengetahuan Fero, sepupunya yang bernama Altara itu membuntutinya dari belakang. Sesampai di ruangan kerjanya, rupanya Nindy sudah berada di sana, ia sedang membaca sebuah majalah sambil duduk dengan posisi menyilangkan kakinya dengan santai di sofa.
"Apa kamu sudah dari tadi sayang?" tanya Fero sambil mengecup kening Nindy.
"Baru saja aku nyampek kok!" jawab Nindy sembari memeluk mesra Fero.
"Betapa beruntungnya aku ini memiliki kekasih yang cantik dan ngegemesin seperti kamu!" goda Fero sambil tersenyum.
"Oh yea?, Are you Serious?"
"Of course…,I’m Serious!" Fero menjawab pertanyaan Nindy sambil menyentuh ujung hidung Nindy dengan lembut. Sementara Altara tanpa sepengetahuan mereka sedang mengamatinya dari balik tirai jendela ruang kerja Fero.
"Ooow….jadi Fero memiliki wanita lain, pantas saja kemarin dia bilang tidak mencintai istri yang sudah dinikahinya itu, ternyata ini sosok wanita yang dicintainya?" celetuk Altara lirih.
Berbagai pertanyaan menyeruak di benak Altara. Ia semakin bingung dengan yang baru saja ia lihat, sampai akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, lalu beranjak pergi.
Selama mengendarai mobil yang dikemudikannya itu, Altara masih teringat kejadian yang baru saja disaksikannya. Ia mengemudikan laju mobilnya menuju rumah, setelah sampai di halaman, ia pun segera masuk ke dalam rumah kemudian menuju ke dapur.
"Bik…apa bibik tau di mana nyonya sekarang?" tanya Altara pada Bik Narti
"Maksud tuan Al itu Nona Sinta?" tanya Bibik balik.
"Ya iya atu Bik, kan Nyonya rumah ini cuman ada satu?"
"Ooww...tadi Non Sinta bilang pergi ke sungai tak jauh dari sini Tuan!"
"Oke, makasih ya Bik!" ujar Fero.
Setelah menuju sungai tak jauh dari rumah Fero dan sesampainya di sungai yang dimaksud oleh Bik Narti, benar saja ia melihat Sinta sedang duduk di atas bebatuan sambil mengayunkan kedua kakinya di atas permukaan air sungai. Altara pun segera mendekati Sinta.
"Ehemmm… maaf....!, apa boleh saya duduk di sebelah sini?" ucap Al membuka pembicaraan sambil duduk di atas bebatuan yang jaraknya hanya beberapa meter dari Sinta. Sementara Sinta menjawab pertanyaan Fero dengan menganggukkan kepalanya.
"Wooww…. di sini sangat sejuk sekali, pemandangannya juga indah ya?! apa setiap hari kamu ke sini?"
"Ya, kadang-kadang!" jawab Sinta singkat.
"Apa kamu bahagia menikah dengan sepupuku Fero?"
"Jadi kamu sepupunya Fero?"
"Iya benar, perkenalkan nama saya Altara!" Al memperkenalkan dirinya.
"Sinta!" jawab Sinta sambil tersenyum ramah
"Ayah saya adalah adik kandung ayah Fero, sejak kecil kami sering bermain bersama, kami sering sekali berenang di sungai ini. Saya, Fadli dan juga Fero sejak kecil kemana-mana selalu pergi bertiga, sungguh masa kecil yang tidak bisa dilupakan begitu saja." ungkap Al sambil tersenyum.
"Lalu Fadli itu siapa, mengapa selama di sini saya tidak pernah melihatnya?"
"Jadi kamu tidak tau siapa itu Fadli?"
"Tidak..!"
"Fadli itu kakak kandung Fero yang sudah meninggal beberapa bulan yang lalu, Fero sangat terpukul sekali dengan kepergian Fadli, selain sangat mendadak, ia harus menerima kenyataan bahwa kakak kandung satu- satunya itu telah meninggal dengan cara bunuh diri!"
"Oh ya, aku baru ingat sekarang, saat Fero marah ia pernah menyebut nama itu, ya Faaadlliii, jadi Fadli itu adalah nama kakaknya yang meninggal itu?!" tanya Sinta.
"Jadi kamu sama sekali tidak pernah mengenal Fadli?" tanya Al keheranan."Jangankan mengenal, bagaimana wajahnya saja aku tidak pernah tau, aku baru tau setelah Fero memberikan sebuah surat kabar kepadaku, dalam surat kabar itu aku baru tau berita meninggalnya Fadli serta gambarnya.""Tapi bagaimana bisa kalung milikmu ada di tempat kejadian?""Kak sarah meminjam kalung itu kepadaku, dia bilang cuma meminjamnya sebentar saja, tapi nyatanya sebulan lebih kalungku baru ketemu, Fero yang memberikannya kepadaku!""Apa kamu tidak pernah cerita ke Fero, kalau sebenarnya kakakmu yang sudah meminjam kalung itu?""Saat Fero marah dan menuduhku bahwa akulah yang menyebabkan kakaknya bunuh diri, aku sudah berusaha menjelaskan yang sebenarnya, tapi dia sedikitpun tidak mau mempercayaiku, tapi aku yakin waktulah yang yang akan menjawab semuanya,
Suara hand phone berbunyi nyaring mengalunkan musik alarm sebagai pengingat bahwa hari telah berganti pagi, namun sosok dibalik selimut rupanya enggan untuk membuka mata karena masih terkunci oleh rasa kantuk yang mendera, bunyi alarm masih saja terdengar begitu memekakkan telinga hingga si empunya menekan tombol off kemudian bunyi pun hilang dalam sekejap. Sinar mentari mulai menerangi celah-celah ruangan yang menembuspori-pori tirai jendela. Altara akhirnya bangkit dari tidur lelapnya, ia segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu di ruang makan Fero sedang
Sore itu Sinta pergi ke sungai ia begitu merindukan suara gemercik air yang mengalir, segarnya air sungai, serta hembusan angin yang sepoi-sepoi. Beberapa hari ini ia tidak bisa pergi ke tempat favoritnya itu, dikarenakan ia disibukkan dengan aktifitas kuliah yang sangat padat, tanpa sepengetahuan Sinta seseorang telah meneropongnya dari jarak 60 meter, sosok itu telah mengamati aktifitas Sinta selama beberapa hari ini. "Roy… Roy….!"Seorang pemuda tampan, berkulit putih dan berhidung mancung sedang memanggil sang asisten untuk segera datang kepadanya. "Iya Tuan!" jawab sang asisten. "ini kamu lihat, siapa gadis itu? beberapa hari ini aku melihat dia sedang berada di area Fero?" ujar Devano sambil memberikan teropong yang baru saja ia pakai kepada asistennya tersebut. "Oow.. gadis cantik itu Tuan, iya Tuan saya tau siapa dia!" jawab Roy. "Siapa?" "Berdasarkan info dari salah seorang pekerja perkebunan dia adalah istri Fero Ardinata
Mendengar kabar bahwa dirinya akan diantarkan kembali pulang ke rumah, membuat Sinta mengucap syukur yang tak terhingga. Mereka akan membebaskannya dengan satu syarat, ia harus mau makan nasi kotak yang sudah disiapkan, sebenarnya enggan bagi Sinta untuk makan pemberian mereka, namun karena itu adalah satu-satunya syarat agar ia dibebaskan, maka mau tidak mau Sinta pun memakan nasi kotak tersebut meski hanya beberapa sendok saja. Sedih plus bahagia bahwa ia akan segera bebas dari para penculik, hal yang membuatnya sedih yaitu sebisa mungkin ia akan menjauh dari suami yang teramat sangat membencinya, hatinya begitu sedih bahwasanya Fero tak pernah menganggapnya ada. Hingga tiba jualah para penculik itu menepati janjinya, sesuai dengan instruksi dari tuannya, mereka mengantarkan Sinta sampai beberapa meter dari pintu gerbang rumah, sama seperti tempat dimana mereka beberapa hari yang lalu membiusnya kemudian membawanya pergi. Setelah Sinta turun dari mobil yang mengantarkannya
Fero menyaksikan dengan jelas sedari Sinta terjerembab dipelukan Devano saat pertukaran pasangan dansa, jauh di lubuk hatinya yang teramat dalam, ia terbakar api cemburu menyaksikan istrinya bersentuhan dengan laki-laki lain, namun ia juga menyadari bahwa ia harus menerima konsekuensinya karena ia memang tidak mengajak istrinya untuk ikut bersamanya menghadiri undangan pesta ini, justru sepupunya lah yang mengajak istrinya itu. Sementara itu dari jarak beberapa meter dengan dirinya, Devano menatap dengan tatapan tajam dan sinis. Maklum saja sedari kecil Fero dan Devano merupakan 2 orang rival yang tidak dapat disatukan dalam berbagai ha
"Gimana Dok, apa ada yang serius?" tanya Devano pada Dokter pribadinya. "Tidak ada yang serius Pak, anda tenang saja! ini sudah saya tuliskan resep, jangan lupa untuk sementara luka yang di dahi jangan terkena air dulu sebelum benar-benar kering dan sembuh!" jawab Dokter Boby. "Syukurlah kalau begitu Dok, karena dia jatuh ke dasar jurang yang sangat curam, jadi saya khawatir sekali!" ungkap Devano cemas. "Saya yakin dia adalah gadis yang sangat kuat dan syukurlah Allah masih melindungi dia!" Dokter Boby memberikan semangat agar Devano tetap tenang. "Iya Dok!" "Baiklah kalau begitu saya permisi dulu, kalau ada apa-apa Pak Devano silahkan hubungi saya!" pam
"Ini semua gara-gara kamu Fero, kamu yang menyarankan agar kuda berwarna coklat terang itu ditunggangi oleh Sinta, dia jatuh ke dalam jurang jadinya, kamu bilang kuda itu jinak dan sudah terlatih tapi nyatanya apa? jangan-jangan kamu memang sengaja melakukannya kan? agar sesuatu terjadi pada Sinta sehingga kamu bisa meresmikan hubunganmu dengan Nindy ke jenjang yang lebih serius, iyakan Fero?!" Al mencoba mengintrogasi Fero "Aku bilang juga apa, jangan kebanyakan lihat sinetron biar kamu itu gak berhalusinasi, kalau aku sudah tidak ingin mempertahankan pernikahanku dengan dia, ngapain harus ribet-ribet seperti yang kamu pikirkan itu, aku tinggal hubungi pengacaraku lalu aku perintahkan dia untuk mengurus perceraian kami, gitu aja sudah beres, ngapain harus bikin drama yang seperti kamu pikirkan
Entah ini mimpi atau nyata, Sinta merasa ada seseorang di sampingnya saat ini, ia pun perlahan membuka mata, ternyata bukanlah mitos bahwa di dekatnya saat ini benar-benar ada sosok yang ia kenal sedang berusaha untuk membuatnya bangun dari mimpi indah. "Dev… !" ucapnya lirih sambil memercingkan mata. "Hemm…. sang putri tidur akhirnya bangun juga!" sahut Devano sambil tersenyum. "Apa kamu tadi bangunin aku?" "Yup betul sekali, begitu dibangunin bukannya membuka mata, malah main peluk-peluk aja!" "Apa peluk? maksudnya tadi aku peluk ka
Hari-hari Sinta semakin berwarna dengan hadirnya Fero di tengah kehidupannya saat ini. Fero telah membuktikan bahwa dia adalah suami yang baik, begitu mencintai keluarga serta bertanggung jawab. Fero sudah bertekad ia akan selalu membahagiakan keluarga kecilnya tersebut, apalagi ia begitu menyayangi Azka seperti putra kandungnya sendiri begitu pula sebaliknya. Sinta yang bukan single parent lagi tentunya benar-benar merasakan kebahagiaan seutuhnya. Setelah rentetan kejadian tragis yang telah ia alami di sepanjang hidupnya kini telah tergantikan dengan kehidupan yang tentram serta bergelimang kebahagiaan. Memiliki 2 buah rumah yang saling berhadapan yang hanya terpisah oleh sebuah jalan raya membuat Sinta lebih banyak tinggal di rumah yang dibeli oleh Fero. Sejak malam pertama ia sudah lebih banyak tinggal di rumah tersebut dan untungnya pula putranya sama sekali tidak mempermasalahkan itu karena selama ada Fero maka Azka akan meng-iyakan.
Sekali lagi Sinta merasakan dilema yang teramat sangat dengan kejutan yang dibuat Fero bersama sang putra kali ini. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa karena untuk saat ini ia masih belum memikirkan untuk menikah kembali karena jujur saja perasaannya kepada Devano masih sangat kuat karena bagaimanapun juga dialah laki-laki pertama yang banyak memberikannya cinta dengan penuh ketulusan dan kesungguhan tanpa adanya rekayasa, dusta serta pengkhianatan. Namun mengapa saat ini perasaan takut karena trauma yang pernah dialaminya kian membuatnya bimbang. “Mama…Om Ganteng telah menolong Aka dali bahaya, Om Ganteng hampil meninjal kalena tolonyin Aka apa itu maci belum cukup buat Mama?” protes Azka yang tiba-tiba mengagetkan Sinta, lagi-lagi ucapan sang putra makin membuatnya heran karena bagaimana bisa ia melontarkan kata-kata yang begitu menohok. “Azka tidak boleh berkata demikian sama Mama ya sayang! biarkan Mama mengamb
“Aka cayang banget cama Om ganteng, Aka pingin punya Papa cepelti teman-teman teyus Aka pingin Om Ganteng jadi Papanya Aka!” jelas Azka dengan berterus terang. “Seperti yang Om bilang sebelumnya, Om akan selalu ada buat Azka dan juga Mama, Om tinggal menunggu kesiapan Mamanya Azka, begitu Mama bilang setuju dan siap untuk menikah dengan Om maka secepatnya Om akan menikahi Mama Azka!” terang Fero dengan begitu jelas. “Om Ganteng gak bohonyin Aka kan?” “Apa yang Om ucapkan pada Azka baru saja itu semua benar, dalam berbicara Om tidak boleh berbohong nanti kalau berbohong Allah bisa marah!” Azka mendengarkan penjelasan Feri sambil menganggukkan kepalanya. “Ya sudah kalau begitu sekarang Om pingin lihat mana senyum manisnya buat Om pagi ini?” seru Fero yang kemudian dibalas dengan sebuah senyuman manis yang tersungging dari bocah lucu tersebut. Dengan segera dipeluknya Azka oleh Fero dengan begitu hangat.
Pintu kamar Sinta tidak ditutup rapat, hanya beberapa centimeter saja pintu tersebut sedikit terbuka, maka dengan langkah pelan Fero memasuki kamar Sinta. Cukup luas sekali ukuran kamarnya berkisar 6 x 6 meter. Tatapan netra pemuda tersebut menelisik ke setiap penjuru ruangan, karena baru pertama kalinya ia masuk dengan tatapan menelisik seperti ini meski sebelumnya karena kondisi mendesak ia pernah masuk untuk melihat kondisi Sinta yang sedang pingsan begitu mendengar berita kepergian suaminya. Saat itu ia mencari foto pernikahan mereka di kamar tersebut namun ternyata ia tak menemukannya, bukankah kebanyakan pasangan pada umumnya selain memajang foto mereka di ruang keluarga, maka mereka juga akan memajangnya di dalam kamar, namun sepertinya hal tersebut tidak berlaku bagi Sinta dan juga Devano. Terlihat Sinta yang sedang tertidur lelap menggunakan selimut wol dengan warna cerah. Fero masih saja berdiri menatap wajah cantik itu,
Setelah dirawat di rumah sakit selama 2 minggu akhirnya Fero oleh Dokter diperbolehkan untuk pulang dengan catatan ia harus tetap rajin kontrol sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh Dokter di buku Kontrol. Tentu saja hal tersebut disambut dengan sangat antusias oleh Fero karena menurutnya berada di rumah sakit dengan durasi waktu selama itu berasa setahun lamanya dan untungnya ada Sinta yang selalu berada di sampingnya yang selalu setia menunggunya sedari awal dia terbaring tak sadarkan diri karena koma hingga sekarang kondisinya yang sudah berangsur pulih. Tak dipungkiri lagi bahwa Sinta adalah motivasinya selama ini untuk bisa berjuang melawan koma selama seminggu lamanya, dan itu juga merupakan keajaiban serta anugerah tak terhingga yang telah diberikan Sang Pencipta kepadanya. Ditambah dengan kehadiran Azka putra semata wayang dari wanita yang sangat dicintainya kian menambah nuansa suka cita yang ia rasakan selama ini. Kehadiran Azka
Terlihat seorang Dokter sedang melakukan resusitasi ( CPR ), usaha tersebut dilakukan untuk mengembalikan irama jantung yang telah terhenti. Sinta yang mengetahui hal tersebut langsung meraih telapak tangan Fero kemudian digenggamnya dengan erat sambil berkata, “Ayo Fero kamu harus kuat, kamu harus bisa, jangan tinggalkan aku dengan perasaan bersalah seperti ini! bagaimana aku harus menjawab pertanyaan putraku jika dia bertanya tentangmu? Fero ayo bangun! Aku mohon jangan tinggalkan aku! bukankah kamu sering mengatakan kalau aku tidak boleh meninggalkan kamu, tapi mengapa justru kamu sendiri yang akan meninggalkan aku? aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi Fero, yang aku mau hanya satu yaitu kamu tepati kata-katamu dan kamu buktikan kepadaku bahwa kamu….bahwa kamu tidak akan pergi meninggalkanku, maka aku juga akan buktikan kata-kataku dan aku berjanji untuk memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu kepadaku maka aku juga tidak akan pernah me
“Sin..ta..Sin..ta…ma..af..kan a..ku!” Ucapan Fero yang di ulang-ulang pada saat itu membuat Sinta terbangun dari tidurnya, suaranya meski tidak keras namun masih terdengar jelas di pendengaran Sinta. Perlahan tapi pasti mata Sinta yang sedang tertutup rapat karena rasa kantuk yang hinggap kini terbuka. Di tatapnya Fero yang masih memejamkan mata dihadapannya. “Sin..ta…Si..nta...ma..af..kan a..ku! ja..ngan ting..gal..kan a..ku!” rintih Fero. Hal itu membuat Sinta kaget, ternyata ucapan Wika tadi sebelum pulang benar adanya bahwa ketika dalam kondisi yang tak sadarkan diri Fero masih mengingat dirinya. Seketika itu pula Sinta menutup bibir dengan kedua telapak tangannya tanpa disadarinya pula tetesan air mata bening mengalir dari sudut kedua netranya yang kian memerah. Semula ucapan Wika itu baginya hanyalah sekedar guyonan semata yang disematkan kepadanya, namun kali ini yang dikatakan Wika itu adalah fakta. “Sin..t
Suara tangisan Azka yang begitu kencang terdengar hingga di dapur tempat Sinta berada, dengan segera Sinta berlari ke halaman rumah namun ia tidak menemukan keberadaan putranya di tempat yang baru saja ia lihat. Curiga dengan pintu gerbang yang kini sedang terbuka membuatnya semakin mempercepat lagi laju larinya ke luar rumah, saat ia tiba di sana terlihat dari jarak beberapa meter darinya nampak kerumunan orang yang berada di tengah jalan raya persis sekali dengan asal suara tangisan putra semata wayangnya. Jantungnya semakin berdetak kencang tak mampu membayangkan jika suatu hal terjadi kepada putranya tersebut. Kakinya kian terasa lemas nafasnya tak beraturan, rasa takut kian menghantuinya pada saat ini. Sinta semakin mempercepat pace larinya, ia juga harus berani menerima kenyataan apapun yang akan terjadi di hadapannya kini. Bibirnya hanya mampu terkatup namun batinnya sama sekali tak berhenti untuk terus berdo’a serta berharap agar t
Sinta begitu asyik menonton acara talk show di sebuah stasiun televisi yang ditayangkan secara live sambil ngemil keripik tempe kesukaannya. Sudah 15 menit sudah ia menonton acara tersebut tanpa beranjak sama sekali dari atas sofa yang ia duduki di ruang tengah, beberapa saat kemudian Azka ikut bergabung duduk di sofa untuk duduk di sampingnya. “Mama!” panggil Azka “Iya sayang!” sahut Sinta. “Tadi di cekolah Aka ketemu Om Ganteng!” pamer Azka kepada Mamanya. “Om ganteng? siapa itu sayang?” tanya Sinta. “Om yang pelnah ke cini caat Mama gak mau banyun, Mama di kamal teyus nangis gak mau belhenti!” ungkap Azka. “Oh ya? apa benar itu?” tanya Sinta. “Iya benel!” jawab Azka yakin. Tiba-tiba terdengar sebuah truk berhenti di seberang jalan, Sinta mengecilkan volume televisinya. Melihat apa yang terjadi dari balik tirai jendela ternyata sebuah truk kontainer sedang menurunkan barang-barang yang se