"Apa sih yang kamu lakukan di sini? asal kamu tau ya! beberapa pekerja gak fokus kerjanya karena ngomongin kamu, ada juga yang bergerombol ninggalin pekerjaannya karena lihatin kamu kayak anak kecil main air di sini, mendingan kamu di rumah saja deh! dari pada bikin mereka gak fokus sama kerjaannya!" teriak Fero pada Sinta.
"Kamu ini napa sih, datang-datang kok marah-marah gitu? ganti hobi baru nih sekarang?" sahut Sinta balik bertanya.
"Hobi baru? hobi baru apa sih? kalau ngomong itu yang jelas?!"
"Kamu kan sekarang punya hobi baru marah-marah! padahal dulu waktu deketin aku, kamu itu baik, perhatian, meski cenderung tegas tapi sedikitpun kamu gak pernah marah-marah, tapi sekarang sedikit-sedikit marah, jadi aneh saja ngelihatnya!"
"Aneh?"
"Iya jadi aneh, berubah drastis 180 derajat!"
"Aku sendiri juga gak tau, kenapa kalau ketemu kamu bawaannya pingin marah-marah? kamu selalu bikin aku emosi, apa lagi lihat gaya kamu yang sok kecentilan itu, makin jijik aku ngelihatnya!"
"Makin jijik apa makin jijik? cuma ngingetin aja loh ya! biasanya sesuatu yang kita benci ataupun jijik itulah nanti yang pada akhirnya bisa membuat kita jatuh cinta!"
"Nah…ini! sikapmu yang sok kepedean ini bikin aku eneg jadinya, denger baik-baik! apa yang kamu katakan barusan itu hanya berlaku untuk diri kamu sendiri dan orang lain, itu tidak akan pernah berlaku untuk aku, jadi apa yang ada dalam pikiranmu itu tidak akan pernah bisa mempengaruhiku sedikitpun, ingat itu baik-baik!" ucap Fero serius, lalu bergegas pergi untuk melanjutkan berkuda sambil mengawasi para pekerja perkebunan.
"Hemmm… teruslah membenciku! maka aku akan membalasmu dengan segenap cintaku! kalaupun aku ini sok kepedean, sok kecentilan itu kan sama kamu suamiku sendiri, bukan sama laki-laki lain di luar sana, maka semakin kamu membenciku, aku semakin percaya bahwa suatu saat nanti kamu akan merindukanku, kamu akan mencintaiku aku yakin itu!" ucap Sinta lirih sambil tersenyum.
Jujur saja Sinta tidak yakin dengan apa yang telah diucapkannya barusan bahwa Fero suatu saat nanti akan mencintai dan merindukannya, namun setidaknya kata-kata tersebut nyatanya sangat mujarab untuk membuatnya memotivasi diri sendiri agar tidak putus asa dalam mengharapkan ketulusan dan cinta dari suaminya, karena hanya itulah keinginannya selama ini, tidak lebih!.
***
Malam itu bulan bersinar terang, Sinta yang sudah dari tadi berada di balkon sedang memandangi gemerlap bintang-bintang yang bertaburan dengan begitu elok. Entah kenapa tiba-tiba ia teringat saat pertama kali bertemu dengan Fero di sungai. Teringat pula saat-saat Fero mendekatinya juga meyakinkannya bahwa Fero benar-benar mencintainya, saat itu hatinya begitu berbunga-bunga, saat itu ia merasa bahwa hidup begitu indah. Allah begitu adil dengan mengirimkan seorang pangeran tampan, gagah, penuh kasih sayang dan juga baik hati untuknya, ia begitu merindukan saat-saat itu.
"Ngapain kamu malam-malam di sini, kamu tidak sedang merencanakan sesuatu kan?" Tanya Fero yang tiba-tiba datang kemudian berdiri di sampingnya.
"Enggak, memangnya kamu bisa membaca pikiranku sekarang ini aku mau merencanakan apa?" tanya Sinta
"Malah balik tanya lagi, jangan-jangan kamu sedang bersiap-siap mau lompat dari sini?! karena biasanya orang kalau sudah putus asa, merasa hidupnya itu menderita, terus nangis-nangis sendiri gak jelas, ujung-ujungnya lompat tuh dari balkon ini!"
"Haa… maksud kamu itu aku?"
"Ya iya lah kamu, terus siapa lagi? yang sekarang sedang berada di balkon ini kan kamu, yang biasanya suka nangis-nangis gak jelas itu juga kamu!"
"Terus maksud kamu, aku dengan begitu mudahnya akan menyia-nyiakan hidup dengan cara lompat dari sini? he..he..lucu sekali!"
"Apanya yang lucu? sudah menjadi kebiasaanmu kan merekayasa segala sesuatu, mendramatisir keadaan bahkan bersandiwara, iya kan?"
"Meski penilaianmu kepadaku selalu buruk, jahat atau apalah itu, lebih baik aku menyerahkannya kepada waktu, karena biarlah waktu yang akan menjawab semuanya. Kebaikan itu sekalipun tidak dihargai, tidak dianggap bahkan tidak dipercaya akanlah tetap menjadi baik, tapi sebaliknya kejahatan apapun itu meski ditutupi sedemikian rupa bangkainya akan tercium juga. Jadi meskipun seseorang menuduhku melakukan, sesuatu yang sama sekali tidak aku lakukan, ya sudah! toh kalau dijelaskan dengan yang sebenar-benarnya kamu sedikitpun tidak akan mau percaya!" ujar Sinta panjang lebar kemudian bergegas pergi.
"Loh..hey, main pergi gitu aja, aku belum selesai bicara!" protes Fero
"Bicara sendiri saja tuh sama angin, aku ngantuk!" sahut Sinta masa bodoh.
"Dasar cewek aneh, ini cewek memang bermental baja, terbuat dari apa sih dia itu, masak kata-kataku masih kurang kasar?! karena semakin aku membuly dia, semakin tenang-tenang saja dia!" gerutu Fero lirih.
~ Esok Hari ~
Hari itu Sinta bangun lebih pagi dari hari-hari sebelumnya, ia ingin memasak untuk sarapan di dapur. Kemudian dilihatnya bahan-bahan yang ada di kulkas, ada ayam dan daun seledri,
"Bik, suami saya suka bubur ayam tidak?" tanya Sinta pada Bik Narti
"Wah, suka banget Non, itu menu kesukaan Tuan atu Non!" jawab Bik Narti
"Terus Bibik ada stock kerupuk mentah yang bulet kecil gak? itu kerupuk yang biasanya buat gado-gado itu loh bik?"
"Wah lengkap Non, ini ada 5 macam kerupuk mentah dengan jenis yang berbeda dan juga sudah saya jemur semua kerupuknya kemudian saya letakkan di masing-masing toples, Non tinggal pilih saja mau goreng yang mana?"
"Wah, Bik Narti memang top deh!" puji Sinta pada Bik Narti.
"He..he..he...Non Sinta bisa aja!" Sahut Bik Narti sambil tersenyum lebar.
Dengan cekatan Sinta merebus ayam ke dalam panci, sambil menunggu kaldunya matang, ia menggoreng kerupuk lalu ditiriskan sampai dingin untuk kemudian dipindah ke toples kaca. Kurang lebih 45 menit kaldu ayam sudah matang, kemudian ia bagi menjadi dua bagian, sebagian ia gunakan untuk membuat kuah, yang sebagian lagi ia gunakan untuk memasak nasi hingga menjadi bubur, namun sebelum itu terlebih dahulu ia mengupas bawang merah, bawang putih, kemiri dan juga kunyit lalu dipanggang di atas api, setelah selesai semua bahan diblender, Barulah kemudian ditumis hingga harum. Tak lupa ia masukkan kaldu ayam, merica bubuk, sereh, daun salam, kecap manis, kecap asin, garam dan gula. Beberapa saat kemudian bubur yang sudah matang ia ambil beberapa centong, lalu diletakkan di dalam mangkok, kemudian ia tuangkan kuah di atasnya, setelah itu barulah diberi ayam suwir, bawang goreng, daun seledri serta kerupuk di atasnya. Kini bubur ayam buatan Sinta sudah siap untuk disajikan di meja makan. Selanjutnya Sinta membuatkan teh manis untuk Fero, kemudian diletakkan pula berdampingan dengan bubur ayam di meja makan. Beberapa saat berselang Fero yang sudah mengenakan jas dengan rapi telah berada di meja makan dengan meletakkan tas kerja di kursi sebelahnya.
"Hemm…harum sekali bubur ayamnya, sepertinya enak!" ujar Fero dalam hati, tanpa berpikir seribu kali Fero pun menyantap bubur ayam di hadapannya itu hingga habis tak bersisa, setelah itu diminumnya pula teh hangat hingga tersisa seperempat gelas.
"Bagaimana Tuan Fero rasa bubur ayamnya, lebih enak yang sekarang apa yang sebelum-sebelumnya?" tanya Bik Narti
"Yang sekarang buburnya lebih enak Bik, rasanya lebih pas di lidah saya, ini resep baru ya?" jawab Fero dengan yakin.
"Kalau yang sebelum-sebelumnya itu saya yang masak Tuan, tapi bubur ayam yang barusan Tuan makan sampai habis itu Nona Sinta yang memasaknya!" jawab Bik Narti keceplosan, menyadari hal itu Si Bibik spontan menutup mulut dengan kedua tangannya, sedang Fero mendengar kalau bubur ayam yang barusan ia santap dengan lahapnya itu bikinan Sinta sontak saja terbatuk-batuk.
"Uhuk..uhuk, jadi bubur ayam yang saya makan barusan itu Sinta yang masak, apa bibik serius, memangnya dia bisa masak seenak ini?" tanya Fero tidak percaya.
"Iya Tuan, saya serius, itu memang masakan Non Sinta, dia rela bangun pagi-pagi sekali hanya untuk masakin Tuan. Non Sinta kalau di dapur cekatan Tuan, terbukti juga rasa masakannya juga tak kalah dengan masakan restoran, tapi jangan marahi Non Sinta ya Tuan! saya mohon dengan sangat Tuan!"
"Saya tidak akan marah, Bik Narti tenang saja, lalu di mana dia sekarang?"
"Di dapur tuan, sedang mencuci peralatan memasak!"
Mengetahui Sinta ada di dapur, Fero mengambil mangkok dan gelas teh agar dicuci pula oleh Sinta, ia pun mendekati Sinta yang sedang mencuci peralatan memasak.
"Kamu buatin aku sarapan pagi dan juga segelas teh tidak kamu masukin racun kan di dalamnya?" bisik Fero persis di telinga Sinta
"Wah ini pasti ulah bik Narti, kok dia bisa tau kalau aku yang masak barusan?!" Batin Sinta.
"Hallo…..?!" ucap Fero sambil melambaikan telapak tangannya persis di depan wajah Sinta.
"Sebenernya kalau tidak dosa sih maunya gitu, biar tidak ada yang galak dan marah-marah lagi sama aku!" jawab Sinta santai.
"Woowww, cukup berani sekali rupanya ya?! sampai segitunya pula, demi mendapatkan perhatianku sampai-sampai rela bangun pagi-pagi sekali untuk membuatkanku sarapan, very Clever ( sangat cerdik )!"
"Of course I’m very smart, otherwise I wouldn’t be able to marry you! ( tentu saja aku sangat cerdik, kalau tidak begitu aku tidak akan bisa menikah denganmu )!" jawab Sinta fasih pula dengan menggunakan Bahasa inggris.
Spontan mereka saling memandang satu sama lain.
"Pesonamu ini, membuatku hampir menyerah, selain memiliki kecantikan yang alami, kamu juga mampu mengendalikan emosi, selain itu kamu juga cerdas, sebagai seorang wanita kamu benar-benar sempurna di mataku, andai saja kamu bukan….ah…!" bisik Fero dalam hati, setelah sadar dengan apa yang dirasakannya itu, Fero segera pergi untuk berangkat ke kantor. Sementara Sinta kembali melanjutkan mencuci peralatan memasak.
~ Senjapun tiba ~
Sinta berjalan menyusuri halaman rumah, untuk menikmati hembusan angin juga suasana di luar. Sesampainya di dekat pintu gerbang, ia melihat Fero yang sedang serius mengobrol dengan seseorang melalui handphone dengan posisi membelakanginya.
"Iya sayang aku juga merindukanmu, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu berdua, sampai mana kamu sekarang, oke-oke aku tunggu, jangan lama-lama ya! I miss you too!" ucap Fero menutup pembicaraan sambil membalikkan badan, dan saat itu pula ternyata Sinta sudah ada di belakangnya. Sadar kehadirannya tersebut diketahui oleh Fero, Sinta pun segera berbalik arah, ia kembali melangkahkan kakinya menyusuri pintu gerbang hingga tak nampak lagi dari pandangan Fero. Sambil berjalan terus melewati jalan yang beraspal, Sinta masih kepikiran perihal Fero yang mesra sekali berbincang dengan seseorang di handphone barusan.
"Fero sedang menelfon siapa ya barusan? denganku saja kasar sekali bicaranya, sedangkan barusan dia begitu lembut dan mesra, apa dia sedang menelfon Nindy?" bisik Sinta dalam hati. Tanpa Sinta sadari langkah kakinya semakin jauh dari rumah, kemudian sesampainya di persimpangan jalan ada segerombolan pemuda yang tengah meneguk sebotol minuman keras.
"Lihat teman-teman! ada gadis cantik yang sedang berjalan sendirian di tempat sepi begini!" bisik salah satu di antara mereka.
"Wah iya, sayang sekali kalau kita sia-siakan begitu saja!" tambah yang lainnya pula
"Hallo cantik, mau ke mana nih? gabung sama kita yuk!" teriak salah satunya kepada Sinta.
"Haaa...! siapa mereka ini, sudah sampai mana aku sekarang? sepertinya aku sudah berjalan cukup jauh dari rumah?! " gumam Sinta sambil membalikkan badan kemudian berlari. Mengetahui hal itu tentu saja gerombolan pemuda tersebut tidak tinggal diam, sontak mereka mengejar Sinta. Sedangkan Sinta sendiri yang berusaha untuk berlari secepat yang ia bisa tak lupa mengangkat roknya lebih tinggi agar tidak membuatnya tertambat kemudian terjatuh, namun karena lari mereka lebih cepat, akhirnya mereka berhasil mengejar Sinta, dengan sigap mereka memagari Sinta agar tidak bisa melarikan diri, kemudian ditariklah tangan Sinta oleh salah seorang diantara pemuda tersebut.
"Mau lari ke mana gadis cantikku? tenang kami di sini tidak akan menyakitimu, justru kami akan mengajakmu menikmati indahnya hidup ini, ikut dengan kami ya!"
"Lepaskan aku, aku mohon biarkan aku pergi, lepas!" teriak Sinta ketakutan sambil menarik tangannya dengan kuat dari cengkeraman salah seorang diantara mereka.
" Sssstttt! tenang gadisku, jangan berisik ya! kalau kamu menurut, aku pastikan semua akan baik-baik saja!"
"Iya cantik, jangan takut kepada kami, kami akan membuatmu melayang-layang, ayo ikut saja dengan kami!"
"Tidak, lepaskan aku, lepas!" sahut Sinta dengan tetap menarik tangannya dengan kuat.
"Hemmm, mubadzir dong kalau kami melepaskan kamu, mana mungkin kami menyia-nyiakan gadis secantik kamu begitu saja?!"
"Heyy…lepaskan tangan kotor kalian!" teriak Mang Inyong yang tiba-tiba datang.
"Kamu jangan ikut campur ya! atau kami buat perhitungan sama kamu sekarang?!"
"Coba saja kalau berani, asal kalian tau ya! gadis itu adalah istri dari Tuan Fero Ardinata Prayuda, Pemilik Perkebunan dan Perusahaan teh di sini, kalau kalian sampai berani macam-macam dengan istrinya habis sudah kalian semua!"
"Kamu kira kami akan percaya begitu saja!"
"Baik saya akan telfon bos Fero sekarang! hallo Bos ini istri anda sekarang diganggu oleh segerombolan preman….,"
"Baik-baik… kami akan pergi, ayo teman-teman kita pergi dari sini!" teriak salah seorang dari mereka sambil mengedipkan matanya seolah memberikan sebuah kode mengajak teman-temannya untuk segera pergi, sepertinya dia adalah pimpinan dari mereka karena begitu mendapat instruksi darinya yang lain menurut untuk pergi meninggalkan Sinta dan Mang Inyong.
"Terima kasih ya Mang! saya tidak tau apa yang akan terjadi kalau tidak ada Mang Inyong di sini, saya benar-benar takut!"
"Saya minta tolong jangan pergi jauh-jauh dari rumah ya Non! di sini berbahaya sekali kalau hari sudah gelap. Sering sekali segerombolan pemuda suka mabuk-mabukan di sekitar sini!"
"Iya Mang sekali lagi terima kasih banyak ya mang! karena Mang Inyong sudah menolong saya!"
"Iya Non, sama-sama! kalau begitu mari pulang Non!"
Dengan menganggukkan kepala, Sinta mengikuti Mang Inyong untuk kembali pulang, karena hari sudah gelap ditambah dengan Sinta yang masih belum hafal jalan menuju rumah, dengan Nafas yang masih ngos-ngosan sehabis berlari tadi, Sinta mengikuti Mang Inyong yang lebih dulu berjalan di depannya sembari menunjukkan arah kembali pulang.
Sinta masih terus saja berjalan membuntuti Mang Inyong, namun setelah sampai di pintu gerbang tiba-tiba turun hujan begitu deras, Sinta pun berlari menuju rumah agar tidak basah kuyup, namun sesampainya di teras rumah, ia melihat Fero dengan seorang gadis cantik duduk saling berdekatan dengan posisi kepala si gadis bersandar pada bahu Fero. Mereka tampak akrab satu sama lain dan juga begitu mesra. Tentu saja Sinta yang melihat semua itu begitu kaget, karena sebelumnya ia tidak pernah bertemu apalagi mengenal gadis tersebut. Segala perasaan berkecamuk dalam hatinya saat itu, ia yang merasa setelah menikah saja tidak pernah diperlakukan mesra dan manja layaknya gadis itu oleh suaminya, maka dengan segera Sinta bergegas ke dalam rumah kemudian masuk ke dalam kamarnya, setelah itu ditutupnya pintu kamar dan ia pun bersandar pada pintu sambil terduduk lemas.2 kejadian sekaligus dalam kurun waktu yang hampir bersamaan seolah membuat jantungnya hampir lepas, baru saja ia diganggu o
"Jadi kamu sama sekali tidak pernah mengenal Fadli?" tanya Al keheranan."Jangankan mengenal, bagaimana wajahnya saja aku tidak pernah tau, aku baru tau setelah Fero memberikan sebuah surat kabar kepadaku, dalam surat kabar itu aku baru tau berita meninggalnya Fadli serta gambarnya.""Tapi bagaimana bisa kalung milikmu ada di tempat kejadian?""Kak sarah meminjam kalung itu kepadaku, dia bilang cuma meminjamnya sebentar saja, tapi nyatanya sebulan lebih kalungku baru ketemu, Fero yang memberikannya kepadaku!""Apa kamu tidak pernah cerita ke Fero, kalau sebenarnya kakakmu yang sudah meminjam kalung itu?""Saat Fero marah dan menuduhku bahwa akulah yang menyebabkan kakaknya bunuh diri, aku sudah berusaha menjelaskan yang sebenarnya, tapi dia sedikitpun tidak mau mempercayaiku, tapi aku yakin waktulah yang yang akan menjawab semuanya,
Suara hand phone berbunyi nyaring mengalunkan musik alarm sebagai pengingat bahwa hari telah berganti pagi, namun sosok dibalik selimut rupanya enggan untuk membuka mata karena masih terkunci oleh rasa kantuk yang mendera, bunyi alarm masih saja terdengar begitu memekakkan telinga hingga si empunya menekan tombol off kemudian bunyi pun hilang dalam sekejap. Sinar mentari mulai menerangi celah-celah ruangan yang menembuspori-pori tirai jendela. Altara akhirnya bangkit dari tidur lelapnya, ia segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu di ruang makan Fero sedang
Sore itu Sinta pergi ke sungai ia begitu merindukan suara gemercik air yang mengalir, segarnya air sungai, serta hembusan angin yang sepoi-sepoi. Beberapa hari ini ia tidak bisa pergi ke tempat favoritnya itu, dikarenakan ia disibukkan dengan aktifitas kuliah yang sangat padat, tanpa sepengetahuan Sinta seseorang telah meneropongnya dari jarak 60 meter, sosok itu telah mengamati aktifitas Sinta selama beberapa hari ini. "Roy… Roy….!"Seorang pemuda tampan, berkulit putih dan berhidung mancung sedang memanggil sang asisten untuk segera datang kepadanya. "Iya Tuan!" jawab sang asisten. "ini kamu lihat, siapa gadis itu? beberapa hari ini aku melihat dia sedang berada di area Fero?" ujar Devano sambil memberikan teropong yang baru saja ia pakai kepada asistennya tersebut. "Oow.. gadis cantik itu Tuan, iya Tuan saya tau siapa dia!" jawab Roy. "Siapa?" "Berdasarkan info dari salah seorang pekerja perkebunan dia adalah istri Fero Ardinata
Mendengar kabar bahwa dirinya akan diantarkan kembali pulang ke rumah, membuat Sinta mengucap syukur yang tak terhingga. Mereka akan membebaskannya dengan satu syarat, ia harus mau makan nasi kotak yang sudah disiapkan, sebenarnya enggan bagi Sinta untuk makan pemberian mereka, namun karena itu adalah satu-satunya syarat agar ia dibebaskan, maka mau tidak mau Sinta pun memakan nasi kotak tersebut meski hanya beberapa sendok saja. Sedih plus bahagia bahwa ia akan segera bebas dari para penculik, hal yang membuatnya sedih yaitu sebisa mungkin ia akan menjauh dari suami yang teramat sangat membencinya, hatinya begitu sedih bahwasanya Fero tak pernah menganggapnya ada. Hingga tiba jualah para penculik itu menepati janjinya, sesuai dengan instruksi dari tuannya, mereka mengantarkan Sinta sampai beberapa meter dari pintu gerbang rumah, sama seperti tempat dimana mereka beberapa hari yang lalu membiusnya kemudian membawanya pergi. Setelah Sinta turun dari mobil yang mengantarkannya
Fero menyaksikan dengan jelas sedari Sinta terjerembab dipelukan Devano saat pertukaran pasangan dansa, jauh di lubuk hatinya yang teramat dalam, ia terbakar api cemburu menyaksikan istrinya bersentuhan dengan laki-laki lain, namun ia juga menyadari bahwa ia harus menerima konsekuensinya karena ia memang tidak mengajak istrinya untuk ikut bersamanya menghadiri undangan pesta ini, justru sepupunya lah yang mengajak istrinya itu. Sementara itu dari jarak beberapa meter dengan dirinya, Devano menatap dengan tatapan tajam dan sinis. Maklum saja sedari kecil Fero dan Devano merupakan 2 orang rival yang tidak dapat disatukan dalam berbagai ha
"Gimana Dok, apa ada yang serius?" tanya Devano pada Dokter pribadinya. "Tidak ada yang serius Pak, anda tenang saja! ini sudah saya tuliskan resep, jangan lupa untuk sementara luka yang di dahi jangan terkena air dulu sebelum benar-benar kering dan sembuh!" jawab Dokter Boby. "Syukurlah kalau begitu Dok, karena dia jatuh ke dasar jurang yang sangat curam, jadi saya khawatir sekali!" ungkap Devano cemas. "Saya yakin dia adalah gadis yang sangat kuat dan syukurlah Allah masih melindungi dia!" Dokter Boby memberikan semangat agar Devano tetap tenang. "Iya Dok!" "Baiklah kalau begitu saya permisi dulu, kalau ada apa-apa Pak Devano silahkan hubungi saya!" pam
"Ini semua gara-gara kamu Fero, kamu yang menyarankan agar kuda berwarna coklat terang itu ditunggangi oleh Sinta, dia jatuh ke dalam jurang jadinya, kamu bilang kuda itu jinak dan sudah terlatih tapi nyatanya apa? jangan-jangan kamu memang sengaja melakukannya kan? agar sesuatu terjadi pada Sinta sehingga kamu bisa meresmikan hubunganmu dengan Nindy ke jenjang yang lebih serius, iyakan Fero?!" Al mencoba mengintrogasi Fero "Aku bilang juga apa, jangan kebanyakan lihat sinetron biar kamu itu gak berhalusinasi, kalau aku sudah tidak ingin mempertahankan pernikahanku dengan dia, ngapain harus ribet-ribet seperti yang kamu pikirkan itu, aku tinggal hubungi pengacaraku lalu aku perintahkan dia untuk mengurus perceraian kami, gitu aja sudah beres, ngapain harus bikin drama yang seperti kamu pikirkan
Hari-hari Sinta semakin berwarna dengan hadirnya Fero di tengah kehidupannya saat ini. Fero telah membuktikan bahwa dia adalah suami yang baik, begitu mencintai keluarga serta bertanggung jawab. Fero sudah bertekad ia akan selalu membahagiakan keluarga kecilnya tersebut, apalagi ia begitu menyayangi Azka seperti putra kandungnya sendiri begitu pula sebaliknya. Sinta yang bukan single parent lagi tentunya benar-benar merasakan kebahagiaan seutuhnya. Setelah rentetan kejadian tragis yang telah ia alami di sepanjang hidupnya kini telah tergantikan dengan kehidupan yang tentram serta bergelimang kebahagiaan. Memiliki 2 buah rumah yang saling berhadapan yang hanya terpisah oleh sebuah jalan raya membuat Sinta lebih banyak tinggal di rumah yang dibeli oleh Fero. Sejak malam pertama ia sudah lebih banyak tinggal di rumah tersebut dan untungnya pula putranya sama sekali tidak mempermasalahkan itu karena selama ada Fero maka Azka akan meng-iyakan.
Sekali lagi Sinta merasakan dilema yang teramat sangat dengan kejutan yang dibuat Fero bersama sang putra kali ini. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa karena untuk saat ini ia masih belum memikirkan untuk menikah kembali karena jujur saja perasaannya kepada Devano masih sangat kuat karena bagaimanapun juga dialah laki-laki pertama yang banyak memberikannya cinta dengan penuh ketulusan dan kesungguhan tanpa adanya rekayasa, dusta serta pengkhianatan. Namun mengapa saat ini perasaan takut karena trauma yang pernah dialaminya kian membuatnya bimbang. “Mama…Om Ganteng telah menolong Aka dali bahaya, Om Ganteng hampil meninjal kalena tolonyin Aka apa itu maci belum cukup buat Mama?” protes Azka yang tiba-tiba mengagetkan Sinta, lagi-lagi ucapan sang putra makin membuatnya heran karena bagaimana bisa ia melontarkan kata-kata yang begitu menohok. “Azka tidak boleh berkata demikian sama Mama ya sayang! biarkan Mama mengamb
“Aka cayang banget cama Om ganteng, Aka pingin punya Papa cepelti teman-teman teyus Aka pingin Om Ganteng jadi Papanya Aka!” jelas Azka dengan berterus terang. “Seperti yang Om bilang sebelumnya, Om akan selalu ada buat Azka dan juga Mama, Om tinggal menunggu kesiapan Mamanya Azka, begitu Mama bilang setuju dan siap untuk menikah dengan Om maka secepatnya Om akan menikahi Mama Azka!” terang Fero dengan begitu jelas. “Om Ganteng gak bohonyin Aka kan?” “Apa yang Om ucapkan pada Azka baru saja itu semua benar, dalam berbicara Om tidak boleh berbohong nanti kalau berbohong Allah bisa marah!” Azka mendengarkan penjelasan Feri sambil menganggukkan kepalanya. “Ya sudah kalau begitu sekarang Om pingin lihat mana senyum manisnya buat Om pagi ini?” seru Fero yang kemudian dibalas dengan sebuah senyuman manis yang tersungging dari bocah lucu tersebut. Dengan segera dipeluknya Azka oleh Fero dengan begitu hangat.
Pintu kamar Sinta tidak ditutup rapat, hanya beberapa centimeter saja pintu tersebut sedikit terbuka, maka dengan langkah pelan Fero memasuki kamar Sinta. Cukup luas sekali ukuran kamarnya berkisar 6 x 6 meter. Tatapan netra pemuda tersebut menelisik ke setiap penjuru ruangan, karena baru pertama kalinya ia masuk dengan tatapan menelisik seperti ini meski sebelumnya karena kondisi mendesak ia pernah masuk untuk melihat kondisi Sinta yang sedang pingsan begitu mendengar berita kepergian suaminya. Saat itu ia mencari foto pernikahan mereka di kamar tersebut namun ternyata ia tak menemukannya, bukankah kebanyakan pasangan pada umumnya selain memajang foto mereka di ruang keluarga, maka mereka juga akan memajangnya di dalam kamar, namun sepertinya hal tersebut tidak berlaku bagi Sinta dan juga Devano. Terlihat Sinta yang sedang tertidur lelap menggunakan selimut wol dengan warna cerah. Fero masih saja berdiri menatap wajah cantik itu,
Setelah dirawat di rumah sakit selama 2 minggu akhirnya Fero oleh Dokter diperbolehkan untuk pulang dengan catatan ia harus tetap rajin kontrol sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh Dokter di buku Kontrol. Tentu saja hal tersebut disambut dengan sangat antusias oleh Fero karena menurutnya berada di rumah sakit dengan durasi waktu selama itu berasa setahun lamanya dan untungnya ada Sinta yang selalu berada di sampingnya yang selalu setia menunggunya sedari awal dia terbaring tak sadarkan diri karena koma hingga sekarang kondisinya yang sudah berangsur pulih. Tak dipungkiri lagi bahwa Sinta adalah motivasinya selama ini untuk bisa berjuang melawan koma selama seminggu lamanya, dan itu juga merupakan keajaiban serta anugerah tak terhingga yang telah diberikan Sang Pencipta kepadanya. Ditambah dengan kehadiran Azka putra semata wayang dari wanita yang sangat dicintainya kian menambah nuansa suka cita yang ia rasakan selama ini. Kehadiran Azka
Terlihat seorang Dokter sedang melakukan resusitasi ( CPR ), usaha tersebut dilakukan untuk mengembalikan irama jantung yang telah terhenti. Sinta yang mengetahui hal tersebut langsung meraih telapak tangan Fero kemudian digenggamnya dengan erat sambil berkata, “Ayo Fero kamu harus kuat, kamu harus bisa, jangan tinggalkan aku dengan perasaan bersalah seperti ini! bagaimana aku harus menjawab pertanyaan putraku jika dia bertanya tentangmu? Fero ayo bangun! Aku mohon jangan tinggalkan aku! bukankah kamu sering mengatakan kalau aku tidak boleh meninggalkan kamu, tapi mengapa justru kamu sendiri yang akan meninggalkan aku? aku sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi Fero, yang aku mau hanya satu yaitu kamu tepati kata-katamu dan kamu buktikan kepadaku bahwa kamu….bahwa kamu tidak akan pergi meninggalkanku, maka aku juga akan buktikan kata-kataku dan aku berjanji untuk memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu kepadaku maka aku juga tidak akan pernah me
“Sin..ta..Sin..ta…ma..af..kan a..ku!” Ucapan Fero yang di ulang-ulang pada saat itu membuat Sinta terbangun dari tidurnya, suaranya meski tidak keras namun masih terdengar jelas di pendengaran Sinta. Perlahan tapi pasti mata Sinta yang sedang tertutup rapat karena rasa kantuk yang hinggap kini terbuka. Di tatapnya Fero yang masih memejamkan mata dihadapannya. “Sin..ta…Si..nta...ma..af..kan a..ku! ja..ngan ting..gal..kan a..ku!” rintih Fero. Hal itu membuat Sinta kaget, ternyata ucapan Wika tadi sebelum pulang benar adanya bahwa ketika dalam kondisi yang tak sadarkan diri Fero masih mengingat dirinya. Seketika itu pula Sinta menutup bibir dengan kedua telapak tangannya tanpa disadarinya pula tetesan air mata bening mengalir dari sudut kedua netranya yang kian memerah. Semula ucapan Wika itu baginya hanyalah sekedar guyonan semata yang disematkan kepadanya, namun kali ini yang dikatakan Wika itu adalah fakta. “Sin..t
Suara tangisan Azka yang begitu kencang terdengar hingga di dapur tempat Sinta berada, dengan segera Sinta berlari ke halaman rumah namun ia tidak menemukan keberadaan putranya di tempat yang baru saja ia lihat. Curiga dengan pintu gerbang yang kini sedang terbuka membuatnya semakin mempercepat lagi laju larinya ke luar rumah, saat ia tiba di sana terlihat dari jarak beberapa meter darinya nampak kerumunan orang yang berada di tengah jalan raya persis sekali dengan asal suara tangisan putra semata wayangnya. Jantungnya semakin berdetak kencang tak mampu membayangkan jika suatu hal terjadi kepada putranya tersebut. Kakinya kian terasa lemas nafasnya tak beraturan, rasa takut kian menghantuinya pada saat ini. Sinta semakin mempercepat pace larinya, ia juga harus berani menerima kenyataan apapun yang akan terjadi di hadapannya kini. Bibirnya hanya mampu terkatup namun batinnya sama sekali tak berhenti untuk terus berdo’a serta berharap agar t
Sinta begitu asyik menonton acara talk show di sebuah stasiun televisi yang ditayangkan secara live sambil ngemil keripik tempe kesukaannya. Sudah 15 menit sudah ia menonton acara tersebut tanpa beranjak sama sekali dari atas sofa yang ia duduki di ruang tengah, beberapa saat kemudian Azka ikut bergabung duduk di sofa untuk duduk di sampingnya. “Mama!” panggil Azka “Iya sayang!” sahut Sinta. “Tadi di cekolah Aka ketemu Om Ganteng!” pamer Azka kepada Mamanya. “Om ganteng? siapa itu sayang?” tanya Sinta. “Om yang pelnah ke cini caat Mama gak mau banyun, Mama di kamal teyus nangis gak mau belhenti!” ungkap Azka. “Oh ya? apa benar itu?” tanya Sinta. “Iya benel!” jawab Azka yakin. Tiba-tiba terdengar sebuah truk berhenti di seberang jalan, Sinta mengecilkan volume televisinya. Melihat apa yang terjadi dari balik tirai jendela ternyata sebuah truk kontainer sedang menurunkan barang-barang yang se