"Kenapa harus kamu yang jemput?"
Khanza Zoya Aresha, memutar bola matanya kala menyadari Arvin. Suasana hatinya yang buruk saat mendengar sang ayah terkena serangan jantung, kini semakin memburuk karena pria yang jadi saingannya sejak kecil!
Namun aih-alih kesal akibat tindakan Zoya, Arvin justru langsung menarik koper yang dibawa perempuan itu. "Mau siapa lagi?"
"Ck! Nggak usah," ucap Zoya sembari menarik kembali koper yang direbut Arvin.
Namun, ditahan pria itu. "Kamu nggak berubah sama sekali. Sudah bertahun-tahun nggak ketemu juga."
"Di mana mobilnya?" kesal Zoya, tapi menyerah juga.
Arvin lantas menunjuk kendaraan roda empat berwarna maroon. Mobil itu adalah milik Zoya pribadi yang tak boleh seorang pun mengendari tanpa seizin wanita itu. Beraninya menggunakannya tanpa izin dulu?Zoya semakin kesal. Tapi, ia tak punya banyak waktu.
Untungnya, tanpa berkata apa pun lagi, Arvin menjalankan kendaraan tersebut dengan kecepatan di atas rata-rata.Bahkan, lampu merah saja diterobos, hingga keduanya tiba dalam waktu singkat.
"Bukan di UGD. Bapak sudah dipindahkan ke paviliun," ucap Arvin ketika Zoya berjalan cepat meninggalkan Arvin.
"Kenapa nggak ngomong dari tadi," bentak Zoya yang diacuhkan oleh Arvin.
Keduanya sudah sampai di pintu ruangan yang ditempati oleh Arsyad, orang tua Zoya. "Aku tunggu di luar, kamu masuklah. Bapak sudah menunggumu," ucap Arvan penuh dengan ketegasan dengan mimik muka serius. "Nggak usah merintah," ucap Zoya langsung memutar handle pintu untuk masuk. Suara alat penunjang kehidupan yang terpasang di badan Arsyad terdengar oleh indera pendengaran Zoya. Seketika, kabut di matanya mengelap. "Ayah, kenapa sampai begini?"Lelaki yang tengah berbaring tak berdaya itu membuka mata ketika suara sapaan putri tunggalnya terdengar.
"Siapa yang jemput tadi?" ucap Arsyad terbata dan tertahan oleh alat bantu pernapasan yang terpasang di bibir sampai hidungnya. "Ayah ngomong apa?" Zoya mendekatkan telinganya pada bibir Arsyad. Namun, suara lelaki paruh baya itu tetap tak terdengar. "Kita ngobrol setelah Ayah membaik. Sekarang, Ayah harus istirahat, ya. Zoya sudah di sini, Ayah tenang." Setelah membenarkan letak selimut ayahnya, Zoya menatap perempuan yang telah dinikahi Arsyad. "Kenapa Ibu nggak pernah cerita kalau Ayah punya riwayat darah tinggi? Harusnya, kita bisa mengontrol tensi beliau supaya nggak sampai kena serangan jantung dan stroke seperti sekarang." "Kenapa menyalahkan Ibu? Bukankah kamu sendiri yang begitu keras kepala? Nggak mau pulang dan mengurus semua usaha ayahmu?" bentak Sekar, ibu sambung Zoya. Zoya tertawa sinis. "Bukankah ibu yang selalu berharap aku keluar dari rumah?" "Mbak Zoya, Ibu, kenapa kalian berdebat? Ini rumah sakit, nggak baik kalau didengar orang lain. Lagian, ayah butuh ketenangan," ucap Adeeva.Di belakang perempuan itu, ada Arvin yang berdiri tegak bak seorang bodyguard!
Zoya mendengkus, pemandangan seperti ini sudah biasa dia lihat. Setiap kali ada Adeeva, Arvin selalu terlihat.Lelaki itu menempel seperti lintah pada "adiknya" itu.
"Kakakmu sudah kembali, jadi antar Ibu pulang. Biar dia yang menjaga ayahnya," ucap Sekar pada putrinya. "Tapi, Bu." Jelas terlihat wajah Adeeva keberatan dengan permintaan Sekar. "Selama ini, dia nggak pernah merawat Ayah. Jadi, biarkan dia mengambil semua tanggung jawab sebagai putri tertua keluarga ini," kata Sekar keras. Adeeva memajukan bibir dan memasang muka cemberut. "Nggak usah bantah," ucap Sekar, "Vin, sebaiknya kamu temenin Zoya. Malam ini, kamu menginap di sini." "Inggih, Bu," jawab lelaki yang sejak tadi berdiri walau semua orang sudah duduk. Setelah mendengar jawaban Arvin, Sekar memegang pergelangan putrinya. Setengah menyeret, perempuan paruh baya itu mengajak Adeeva pergi. "Aku ada di luar. Kalau butuh apa-apa panggil saja," ucap Arvin sepeninggal Sekar dan Adeeva. "Jangan pergi," ucap Arsyad lirih, tetapi Zoya dan Arvin bisa mendengarnya. "Ayah," panggil Zoya. Dia mendekatkan kembali telinganya pada bibir lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan. Gemetar, tangan Arsyad yang terbebas dari selang infus mencoba membuka alat di bibirnya. "Yah, jangan lakukan ini," cegah Zoya. Arvin sendiri terpaksa mengurungkan niatnya untuk keluar. Dia juga mendekat pada lelaki yang selama ini begitu baik padanya dan keluarga. "Jangan melepaskan alat ini supaya Bapak cepat sehat," ucapnya. Arsyad menggeleng-gelengkan kepalanya. Zoya menatap Arvin, bola matanya bergerak-gerak. Memberikan kode pada pria muda itu untuk tetap membujuk sang ayah. "Hmm," ucap Arsyad masih dengan gelengan kepala. "Pak, njenengan harus sehat. Katanya mau lihat Mbak Zoya nikah." Zoya membulatkan mata. "Nggak usah aneh-aneh!"Diberinya kode pada Arvin untuk diam.
Namun, pria itu justru menggelengkan kepala ketika memandang Zoya.
"Vin!" Arsyad tiba-tiba berbicara setelah alat yang terpasang di bibirnya sedikit terangkat. "Nggih, Pak?" Arvin terpaksa menghentikan semua pergerakan tangannya. "Nikahi Zoya," ucap Arsyad tak begitu jelas. "Nopo, Pak?" Arvin menatap serius pada Arsyad. Walau suara lelaki paruh baya itu tidak jelas terdengar, tetapi dia bisa melihat gerakan bibirnya. Namun, Arvin butuh kepastian bahwa apa yang dimaksud Arsyad sama dengan pikirannya. "Nikahi Zoya." Kali ini, suara Arsyad begitu jelas terdengar.Hah?
"Ayah! Jangan berkata aneh-aneh," protes Zoya tanpa sadar berteriak pada Arsyad. "Sebelum Ayah mati, menikahlah," ucap Arsyad menyedihkan. "Nggak. Aku nggak mau," bentak Zoya. Arvin segera memasang kembali oksigen pada Arsyad supaya lelaki itu tidak banyak bicara. "Setelah Bapak sehat, kita bicarakan masalah ini lagi," ucap Arvin. Namun, Arsyad menggelengkan kepalanya. "Kalian harus menikah besok," ucapnya meski tersendat."Yah, aku nggak ma!" tolak Zoya sekali lagi. Namun, Arvin mencekal pergelangan Zoya sembari mendelik. "Diam," bisiknya. Zoya lantas mengatupkan bibir erat. Wajah menakutkan Arvin sekali lagi terlihat olehnya.Dulu, dia pernah membantah perkataan lelaki itu dan berujung dengan kesakitan. Arvin tak segan-segan menggunakan kekuatan untuk membuatnya diam! Menghentakkan kaki dan berjalan ke sofa, Zoya duduk sambil menyilangkan tangannya. "Kenapa Ayah harus memintanya menikahiku?" gumamnya. "Aku memang nggak pantas untuk menikahimu, tapi bisakah kamu memenuhi permintaan beliau demi kesembuhannya?" kata Arvin dengan wajah datar. Sungguh sikap lelaki itu makin membuat Zoya membencinya. "Bagus kalau kamu sadar diri. Jadi, aku akan menolak permintaan Ayah tadi." "Zoya!" ucap Arvin tegas. Gejolak di hatinya membara. Bukan setahun dua tahun, tatapan mata perempuan itu penuh kebencian padanya. Namun, sampai belasan tahun berlalu, Zoya tetap melihatnya seperti itu. Andai waktu bisa
"Mau selesaikan kerjaan apa bengong?" ucap Arvin masih belum menyadari keterkejutan Zoya dengan perkataan sebelumnya. Zoya lantas menekan keyboard sesuai angka yang disebutkan Arvin dan benar saja pintu terbuka.Deg! "Kenapa kamu menggunakan tanggal lahirku sebagai password?" "Dih, kepedean." Arvin membuang muka. Menyembunyikan rasa gugupnya. "Kalau bukan tanggal lahirku, terus apa?" "Ribet. Mau nyelesaikan kerjaan apa jadi wartawan? Aku perlu istirahat." Arvin berpura-pura memejamkan mata demi menghindari pertanyaan Zoya selanjutnya. "Dih," gerutu Zoya. Dia tak lagi membalas ucapan Arvin. Fokus membuka laptop lelaki itu sambil mencari bukti-bukti tentang kedekatan sang pemilik laptop dengan adiknya. Satu jam kemudian, mata Zoya mulai panas dan tak lagi bisa fokus pada layar laptop padahal proposal yang dia buat belum selesai dengan sempurna. Semakin lama, mata Zoya makin lengket, lima menit kemudian dia sudah tertidur pulas. Arvin yang sejak tadi berpura-pura tidur
Sementara itu, Arvin meninggalkan Zoya setelah mendapat perintah dari Arsyad. Dia berniat membicarakan semua itu pada orang tuanya. Walau sempat berdiskusi sebelumnya, tetapi sebagai bentuk penghormatan, dia harus tetap mengatakan rencana pernikahannya itu pada seluruh keluarga. Zoya sendiri hanya bisa duduk termenung di samping ranjang Arsyad. Kepalanya berputar-putar, membayangkan pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan dengan Arvin. Menolak, jelas dia tak sanggup. Apalagi kondisi Arsyad yang tidak memungkinkan. "Sepertinya, aku harus membuat beberapa perjanjian dengannya," kata Zoya dalam hati. Oleh karena ayahnya kembali memejamkan mata, Zoya membuka laptop Arvin dan mulai mengetikkan sesuatu. Dia membuat perjanjian untuk pernikahannya nanti. Sekitar setengah jam kemudian, Zoya sudah menyelesaikan seluruh perjanjian itu. Di saat bersamaan, Adeeva dan ibu tirinya masuk. "Mbak, kamu kok lancang pakai laptopnya Mas Arvin," kata Adeeva. Raut kecewa dan marah jelas terli
Kedua indera Arvin terbuka sempurna, Arsyad bahkan ingin membuka alat pernapasan yang terpasang. Semua orang menatap si sulung. "Mbak, bisa dijelaskan kenapa tiba-tiba menolak meneruskan pernikahan ini? Bukankah katanya Arvin, njenengan sudah setuju?" tanya Maryam. Sebagai ibu, dia merasa Arvin telah dipermainkan. "Aya, nggak usah macam-macam. Ingat apa yang Ibu katakan di kantin tadi," bisik Sekar. Lalu, dia berbalik menatap sng suami. "Tenang, Yah. Zoya cuma nge-prank kita saja." Semenit kemudian, Zoya memindai tatapannya pada Arvin. Lalu, berganti menatap adik tirinya. "Apa yang aku katakan tadi bukan prank, Bu. Aku memang nggak akan meneruskan pernikahan ini dengan Arvin." "Aya, kita sudah cukup dewasa," sahut Arvin. Tatapannya tajam menghunus jantung pertahanan Zoya. Tahu persis jika lelaki itu memanggilnya demikian, maka kemarahannya sudah mencapai puncak. "Justru karena kita sudah sama-sama dewasa, Vin. Aku nggak mau kalau kamu sampai terpaksa menerima pernikahan ini.
Arvin terdiam, perlahan dia melepaskan cekalan tangannya. Apa yang terucap dari bibir Zoya mampu mematahkan benteng pertahanannya. Adeeva tersenyum penuh kemenangan kemudian dia mendekati si lelaki yang nyawanya seolah pergi entah ke mana. "Kamu dengar sendiri, kan, Mas. Mbak Zoya itu nggak layak untukmu," ucap Adeeva. Tangannya hendak melingkar pada pergelangan Arvin. Namun, lelaki itu dengan cepat menghindar. Tatapan Zoya begitu tajam pada adik tirinya sama seperti Arsyad. Lelaki paruh baya itu ingin sekali melerai dan menyatukan Arvin dan Zoya supaya tidak berdebat lagi. Namun, kemampuannya sangat terbatas hingga cuma bisa menatap ketiga anak-anaknya dengan sedih. "Kamu dengar itu, Vin?" tanya Zoya, "jadi, untuk apa kita menikah jika aku nggak layak dan pantas untukmu? Carilah perempuan yang sebanding denganmu, seperti Adeeva, misalnya. Lupakan permintaan Ayah." "Zoya!" bentak Sekar keras. Wanita itu, kini sudah berdiri di ambang pintu dan mendengar semua perkataan si sulung.
Zoya menunduk, menyembunyikan rona merah yang ada di pipinya. Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka berdua, ada Adeeva yang mengepalkan tangannya. "Kenapa bukan aku yang mencium Mas Arvin? Kenapa selalu Zoya dan Zoya lagi," gumam Adeeva, jengkel ketika saudara tirinya selalu mendapat keberuntungan yang bisa mendekatkan diri pada Arvin. "Makanya, jadi cewek nggak usah sok, deh, Mbak. Kalau ketahuan gini, apa nggak malu? Bilangnya nggak sudi Nerima pemberian Mas Arvin, sudah sarapan. Tapi, nyatanya semua itu bohong," sindir Adeeva ketika dia sudah berada di sebelah Zoya. "Sudah ... sudah. Nggak perlu diperdebatkan. Kamu tadi ngomong, mau ngecek gudang beras kita. Ayo, Mas antar. Sekalian Mas juga mau ngecek ke pabrik." Salah tingkah, Arvin malah mengajak Adeeva. Harusnya, sesuai instruksi Sekar lewat chat, dia harus membawa Zoya ke pabrik minuman kemasan milik mereka. "Bagus, sekarang kalian malah terang-terangan menunjukkan kemesraan di depanku. Dasar nggak tahu diri," ump
"Apa, sih, Ay?" Arvin kembali memasang wajah dingin seperti sebelumnya. Ekor mata Zoya berputar. "Kenapa kembali ke mode awal? Apa perkataanku tadi sudah keterlaluan?" ucapnya dalam hati. Keduanya terdiam beberapa saat hingga kendaraan yang ditumpangi berhenti di parkiran. "Turun, Ay," suruh Arvin karena melihat perempuan di sebelahnya terbengong. "Iya ... iya. Aku turun sekarang." Zoya sudah hampir menapakkan kakinya ke tanah. Namun, semua dia urungkan ketika suara Arvin terdengar. "Di dalam, sudah ada Pak Nareswara yang menunggu keputusanmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama." Zoya menoleh dengan mata terbuka dan alis yang hampir bertaut. "Gila, ya. Belum juga aku membaca berkas kerja sama sudah suruh menyetujui dan tanda tangan." Mendengkus, Arvin membalas tatapan Zoya lebih sengit. "Bisa, nggak, jangan mengedepankan emosi. Katanya pinter. Masak memahami perkataanku tadi saja, nggak bisa." Arvin turun lebih dulu, lalu berlari ke sisi pintu Zoya. Layaknya perlak
"Kalian ini nggak ngerti tempat, ya. Mentang-mentang pengantin baru, di kantor malah mesra-mesraan." Seorang lelaki berkemeja biru muda menyilangkan tangan di ambang pintu. Kepalanya geleng-geleng melihat live dua insan yang sejak dulu bersaing itu. "Apa, sih, Bi," sahut Zoya. Dia segera berdiri menjauhi Arvin. "Omonganmu ngawur, Bi," lanjut Arvin, "kamu nyariin aku?" Berusaha setengah mungkin walau jantungnya tengah berpacu. Arvin mengikuti langkah Zoya menuju sofa. Lelaki yang dipanggil Bi tersebut terkikik. Geli sekali melihat tingkah dua orang dewasa di depannya. Dia pun tak bisa berhenti tertawa kecil. "Hasbi!" panggil Zoya, "kalau terus tertawa, aku pecat kamu." Arvin menahan tawanya, perempuan di sebelahnya itu terlihat kesal sekali dengan tingkah sepupunya. Jadi, dia tidak akan menambah kekesalan Zoya. Bisa-bisa si perempuan akan semakin marah nantinya. "Dih, Pakde aja nggak pernah ngomong gitu. Eh, penggantinya malah lebih galak. Salah dikit, langsung pecat." Hasbi