Share

Mendadak jadi Istri Sainganku yang Tampan
Mendadak jadi Istri Sainganku yang Tampan
Author: pramudining

1. Serangan Jantung

"Kenapa harus kamu yang jemput?"

Khanza Zoya Aresha, memutar bola matanya kala menyadari Arvin. Suasana hatinya yang buruk saat mendengar sang ayah terkena serangan jantung, kini semakin memburuk karena pria yang jadi saingannya sejak kecil!

Namun aih-alih kesal akibat tindakan Zoya, Arvin justru langsung menarik koper yang dibawa perempuan itu. "Mau siapa lagi?" 

"Ck! Nggak usah," ucap Zoya sembari menarik kembali koper yang direbut Arvin.

Namun, ditahan pria itu. "Kamu nggak berubah sama sekali. Sudah bertahun-tahun nggak ketemu juga."

"Di mana mobilnya?" kesal Zoya, tapi menyerah juga. 

Arvin lantas menunjuk kendaraan roda empat berwarna maroon. Mobil itu adalah milik Zoya pribadi yang tak boleh seorang pun mengendari tanpa seizin wanita itu.

 Beraninya menggunakannya tanpa izin dulu?

Zoya semakin kesal. Tapi, ia tak punya banyak waktu.

Untungnya, tanpa berkata apa pun lagi, Arvin menjalankan kendaraan tersebut dengan kecepatan di atas rata-rata.

Bahkan, lampu merah saja diterobos, hingga keduanya tiba dalam waktu singkat.

"Bukan di UGD. Bapak sudah dipindahkan ke paviliun," ucap Arvin ketika Zoya berjalan cepat meninggalkan Arvin.

"Kenapa nggak ngomong dari tadi," bentak Zoya yang diacuhkan oleh Arvin.

Keduanya sudah sampai di pintu ruangan yang ditempati oleh Arsyad, orang tua Zoya.

"Aku tunggu di luar, kamu masuklah. Bapak sudah menunggumu," ucap Arvan penuh dengan ketegasan dengan mimik muka serius.

"Nggak usah merintah," ucap Zoya langsung memutar handle pintu untuk masuk.

Suara alat penunjang kehidupan yang terpasang di badan Arsyad terdengar oleh indera pendengaran Zoya. Seketika, kabut di matanya mengelap. "Ayah, kenapa sampai begini?" 

Lelaki yang tengah berbaring tak berdaya itu membuka mata ketika suara sapaan putri tunggalnya terdengar.

"Siapa yang jemput tadi?" ucap Arsyad terbata dan tertahan oleh alat bantu pernapasan yang terpasang di bibir sampai hidungnya.

"Ayah ngomong apa?" Zoya mendekatkan telinganya pada bibir Arsyad. Namun, suara lelaki paruh baya itu tetap tak terdengar. "Kita ngobrol setelah Ayah membaik. Sekarang, Ayah harus istirahat, ya. Zoya sudah di sini, Ayah tenang."

Setelah membenarkan letak selimut ayahnya, Zoya menatap perempuan yang telah dinikahi Arsyad. "Kenapa Ibu nggak pernah cerita kalau Ayah punya riwayat darah tinggi? Harusnya, kita bisa mengontrol tensi beliau supaya nggak sampai kena serangan jantung dan stroke seperti sekarang."

"Kenapa menyalahkan Ibu? Bukankah kamu sendiri yang begitu keras kepala? Nggak mau pulang dan mengurus semua usaha ayahmu?" bentak Sekar, ibu sambung Zoya.

Zoya tertawa sinis. "Bukankah ibu yang selalu berharap aku keluar dari rumah?"

"Mbak Zoya, Ibu, kenapa kalian berdebat? Ini rumah sakit, nggak baik kalau didengar orang lain. Lagian, ayah butuh ketenangan," ucap Adeeva.

Di belakang perempuan itu, ada Arvin yang berdiri tegak bak seorang bodyguard!

Zoya mendengkus, pemandangan seperti ini sudah biasa dia lihat. Setiap kali ada Adeeva, Arvin selalu terlihat.

Lelaki itu menempel seperti lintah pada "adiknya" itu.

"Kakakmu sudah kembali, jadi antar Ibu pulang. Biar dia yang menjaga ayahnya," ucap Sekar pada putrinya.

"Tapi, Bu." Jelas terlihat wajah Adeeva keberatan dengan permintaan Sekar.

"Selama ini, dia nggak pernah merawat Ayah. Jadi, biarkan dia mengambil semua tanggung jawab sebagai putri tertua keluarga ini," kata Sekar keras.

Adeeva memajukan bibir dan memasang muka cemberut.

"Nggak usah bantah," ucap Sekar, "Vin, sebaiknya kamu temenin Zoya. Malam ini, kamu menginap di sini."

"Inggih, Bu," jawab lelaki yang sejak tadi berdiri walau semua orang sudah duduk.

Setelah mendengar jawaban Arvin, Sekar memegang pergelangan putrinya. Setengah menyeret, perempuan paruh baya itu mengajak Adeeva pergi.

"Aku ada di luar. Kalau butuh apa-apa panggil saja," ucap Arvin sepeninggal Sekar dan Adeeva.

"Jangan pergi," ucap Arsyad lirih, tetapi Zoya dan Arvin bisa mendengarnya.

"Ayah," panggil Zoya. Dia mendekatkan kembali telinganya pada bibir lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan.

Gemetar, tangan Arsyad yang terbebas dari selang infus mencoba membuka alat di bibirnya.

"Yah, jangan lakukan ini," cegah Zoya.

Arvin sendiri terpaksa mengurungkan niatnya untuk keluar. Dia juga mendekat pada lelaki yang selama ini begitu baik padanya dan keluarga. "Jangan melepaskan alat ini supaya Bapak cepat sehat," ucapnya.

Arsyad menggeleng-gelengkan kepalanya. Zoya menatap Arvin, bola matanya bergerak-gerak. Memberikan kode pada pria muda itu untuk tetap membujuk sang ayah.

"Hmm," ucap Arsyad masih dengan gelengan kepala.

"Pak, njenengan harus sehat. Katanya mau lihat Mbak Zoya nikah."

Zoya membulatkan mata. "Nggak usah aneh-aneh!"

Diberinya kode pada Arvin untuk diam.

Namun, pria itu justru menggelengkan kepala ketika memandang Zoya.

"Vin!" Arsyad tiba-tiba berbicara setelah alat yang terpasang di bibirnya sedikit terangkat.

"Nggih, Pak?" Arvin terpaksa menghentikan semua pergerakan tangannya.

"Nikahi Zoya," ucap Arsyad tak begitu jelas.

"Nopo, Pak?" Arvin menatap serius pada Arsyad. Walau suara lelaki paruh baya itu tidak jelas terdengar, tetapi dia bisa melihat gerakan bibirnya. Namun, Arvin butuh kepastian bahwa apa yang dimaksud Arsyad sama dengan pikirannya.

"Nikahi Zoya." Kali ini, suara Arsyad begitu jelas terdengar.

Hah?

"Ayah! Jangan berkata aneh-aneh," protes Zoya tanpa sadar berteriak pada Arsyad.

"Sebelum Ayah mati, menikahlah," ucap Arsyad menyedihkan.

"Nggak. Aku nggak mau," bentak Zoya.

Arvin segera memasang kembali oksigen pada Arsyad supaya lelaki itu tidak banyak bicara.

"Setelah Bapak sehat, kita bicarakan masalah ini lagi," ucap Arvin.

Namun, Arsyad menggelengkan kepalanya. "Kalian harus menikah besok," ucapnya meski tersendat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status