Share

4. Pernikahan

Sementara itu, Arvin meninggalkan Zoya setelah mendapat perintah dari Arsyad. Dia berniat membicarakan semua itu pada orang tuanya. Walau sempat berdiskusi sebelumnya, tetapi sebagai bentuk penghormatan, dia harus tetap mengatakan rencana pernikahannya itu pada seluruh keluarga.

Zoya sendiri hanya bisa duduk termenung di samping ranjang Arsyad. Kepalanya berputar-putar, membayangkan pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan dengan Arvin. Menolak, jelas dia tak sanggup. Apalagi kondisi Arsyad yang tidak memungkinkan.

"Sepertinya, aku harus membuat beberapa perjanjian dengannya," kata Zoya dalam hati.

Oleh karena ayahnya kembali memejamkan mata, Zoya membuka laptop Arvin dan mulai mengetikkan sesuatu. Dia membuat perjanjian untuk pernikahannya nanti.

Sekitar setengah jam kemudian, Zoya sudah menyelesaikan seluruh perjanjian itu. Di saat bersamaan, Adeeva dan ibu tirinya masuk.

"Mbak, kamu kok lancang pakai laptopnya Mas Arvin," kata Adeeva. Raut kecewa dan marah jelas terlihat di wajahnya.

"Lancang gimana? Dia sendiri yang meminjamkan," bantah Zoya. Tak terima dengan tuduhan Adeeva, dia pun mendelik.

"Kalian ini ribut apa, sih. Ayah kalian sedang istirahat," ucap Sekar.

"Mbak Zoya, lho, Bu," adu Adeeva.

"Kenapa sama mbakmu?"

"Sembarangan make laptopnya Mas Arvin."

"Kamu ini aneh, Va. Wajar kalau Mbak Zoya make barang-barangnya Arvin. Dia kan calon istrinya." Sekar menatap marah pada putri kandungnya.

"Kok, Ibu malah belain Mbak Zoya?" Kaki kanannya mengentak. Kedua tangan bersedekah dengan bibir mengerucut. Adeeva benar-benar kesal.

"Ibu membela kebenaran. Jangan berisik, ayahmu sedang istirahat," sahut Sekar, "nggak usah dimasukkan ke hati, Mbak. Adikmu itu kadang-kadang memang."

Sekar menyerahkan paper bag yang dibawanya. "Kemarin, sebelum ayahmu seperti ini, beliau minta Ibu menyiapkan baju ini."

"Baju apa, Bu?"

"Baju untuk pernikahanmu. Ibu sudah memanggil penghulu ke sini. Insya Allah kalau nggak ada halangan, siang nanti kamu resmi menjadi istrinya Arvin."

"Tapi, Bu?" Zoya menunjukkan wajah keberatannya.

"Bisa kita keluar sebentar," pinta Sekar. Wajahnya terlihat sangat serius bahkan cenderung menakutkan. Zoya yakin, ibu sambungnya itu akan mengatakan sesuatu yang penting. "Va, tungguin ayahmu sebentar. Ada hal yang mesti Ibu kerjakan sama Mbak Zoya."

Di kantin rumah sakit, Sekar menatap putri sambungnya.

"Ibu tahu kamu sangat keberatan dengan keputusan Ayah. Tapi, pikirkan lagi. Kalau bukan Arvin, siapa lagi lelaki yang mau menikahimu? Setelah kejadian itu, pasti sangat susah." Sekar menyeruput es jeruk di hadapannya.

Sementara Zoya, dia langsung terdiam. Perkataan Sekar bagai belati yang mencacah habis seluruh tubuhnya. Mengoyak semua harga dirinya yang begitu tinggi.

"Alasan ayahmu memilih Arvin, pasti karena masalah itu. Hanya dia, lelaki yang bisa kita bodohi. Arvin dan seluruh keluarga berhutang Budi banyak. Jadi, dia nggak mungkin menolakmu," tambah Sekar, "Pikirkan baik-baik, Zoy."

Menelan ludah susah payah, Zoya memejamkan mata. Mengingat kejadian beberapa tahun lalu yang begitu sangat menyakitkan.

Terdiam, Zoya cuma bisa mengangguk pasrah.

"Kita balik sekarang, takutnya ayahmu nyariin," ajak Sekar.

*****

"Mas Arvin beruntung banget jadi menantu Pak Arsyad," ucap sang penghulu yang dijemput Arvin.

"Alhamdulilah." 

"Jaga Mbak Zoya, Mas. Dia satu-satu harta peninggalan istrinya Pak Arsyad. Walau Bapak tahu Mbak Zoya sangat membencimu, tapi semua itu akan berubah ketika kalian menikah nanti," tutur sang penghulu yang tahu persis bagaimana dua insan itu selalu bermusuhan.

"Inggih, Pak. Doakan saja," ucap Arvin, "Monggo berangkat sekarang."

"Monggo-monggo, Mas. Ibu Sekar sudah WA ini."

Sampai di parkiran, Arvin dicegat oleh seorang perempuan.

"Mas, aku mau bicara," ucap perempuan itu.

"Nanti, saja. Mas, masih repot." Berjalan bersisian dengan sang penghulu menuju ruangan Arsyad.

Sang perempuan tak mendengarkan perkataan Arvin. Dia dengan sengaja mencekal pergelangan si lelaki, kuat.

"Aku nggak rela," ucap si perempuan.

Arvin menghentikan langkah. "Pak, njenengan duluan saja."

"Jangan lama-lama, Vin," ucap sang penghulu.

"Inggih." Setelahnya, Arvin menatap perempuan itu. "Mau ngomong apa?"

"Mas, kenapa mau menikahinya? Bukankah dia selalu merendahkan bahkan terkadang menghinamu? Aku jauh lebih baik dari dia."

"Apa yang kita inginkan, terkadang takdir nggak menuliskannya. Jadi, sebaiknya kita kembali pada posisi masing-masing. Sudah, ya." Menepis tangannya, Arvin hendak melangkah menjauh.

"Apa hebatnya Zoya dibandingkan aku?"

Menutup mata sebentar, lalu Arvin tersenyum. "Setiap perempuan memiliki kelebihan yang nggak bisa dibandingkan dengan perempuan lainnya. Kamu akan terlihat jauh lebih menarik dan hebat di mata lelaki yang mencintaimu." Kembali melanjutkan langkah.

"Tunggu, Mas. Apa artinya kamu sudah mencintai dia?"

Arvin tak menjawab, malah maju satu langkah. Saat itulah, si perempuan mengejar dan langsung memeluk dari belakang.  Di saat bersamaan, sepasang mata melihat tingkah keduanya dengan kecewa.

"Jadi, apa maumu sebenarnya, Vin?"

Tangan Arvin bergerak cepat untuk melepaskan pelukan perempuan itu. "Jangan melewati batasanmu!" bentaknya.

"Apa nggak boleh? Mungkin, ini terakhir kalinya aku bisa memelukmu, Mas."

"Jangan sampai ada orang yang melihat dan berpikiran buruk dengan perlakuanmu tadi." 

Perempuan itu cuma bisa menatap sedih kepergian Arvin. "Apakah aku memang nggak pernah ada di hatimu, Mas? Kalau memang seperti ini, kenapa kamu harus begitu baik dengan segala perhatianmu selama ini?"

Memutar handle pintu, Arvin masuk ke ruang perawatan Arsyad. Sudah ada kedua orang tuanya, Pak RT dan juga dua lelaki yang cukup di segani di desa mereka.

Arsyad sendiri masih berbaring di ranjang dengan segala peralatan medis yang mendukung hidupnya.

"Karena Mbak Zoya dan Mas Arvin sudah ada di sini, bagaimana jika kita mulai saja?" ucap sang penghulu, bertanya pada Arsyad.

Sekar sedikit menaikkan ranjang di  posisi kepala Arsyad supaya lelaki itu bisa melihat prosesi pernikahan Zoya. Lelaki yang kesehatannya sedang tidak baik-baik saja itu menganggukkan kepala, tanda setuju.

"Mas Arvin, samean sudah siap?" tanya sang penghulu, memastikan.

"Insya Allah."

"Semua persyaratan dan mas kawin sudah dipersiapkan, nggeh, Mas?"

"Sampun, Pak," sahut ibunya Arvin, Maryam.

"Baiklah. Jadi, mari kita mulai saja, nggeh." Sebelum itu, sang penghulu sempat menatap Zoya.

"Mbak Zoya mboten keberatan, kan, kalau kita teruskan pernikahan ini?"

Diam mematung dengan pandangan kosong ke arah depan, Zoya tidak menjawab pertanyaan lelaki yang pernah menjadi sahabat ayahnya semasa sekolah dulu.

"Mbak Zoya, apakah samean setuju untuk meneruskan pernikahan ini?" tanya sang penghulu sekali lagi disertai sentuhan pada lengan perempuan yang kini berusia 27 tahun.

"Saya menolak pernikahan dengannya, Pak," ucap Zoya keras.

"Zoya!" bentak Sekar dengan wajah marah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status