Sementara itu, Arvin meninggalkan Zoya setelah mendapat perintah dari Arsyad. Dia berniat membicarakan semua itu pada orang tuanya. Walau sempat berdiskusi sebelumnya, tetapi sebagai bentuk penghormatan, dia harus tetap mengatakan rencana pernikahannya itu pada seluruh keluarga.
Zoya sendiri hanya bisa duduk termenung di samping ranjang Arsyad. Kepalanya berputar-putar, membayangkan pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan dengan Arvin. Menolak, jelas dia tak sanggup. Apalagi kondisi Arsyad yang tidak memungkinkan. "Sepertinya, aku harus membuat beberapa perjanjian dengannya," kata Zoya dalam hati. Oleh karena ayahnya kembali memejamkan mata, Zoya membuka laptop Arvin dan mulai mengetikkan sesuatu. Dia membuat perjanjian untuk pernikahannya nanti. Sekitar setengah jam kemudian, Zoya sudah menyelesaikan seluruh perjanjian itu. Di saat bersamaan, Adeeva dan ibu tirinya masuk. "Mbak, kamu kok lancang pakai laptopnya Mas Arvin," kata Adeeva. Raut kecewa dan marah jelas terlihat di wajahnya. "Lancang gimana? Dia sendiri yang meminjamkan," bantah Zoya. Tak terima dengan tuduhan Adeeva, dia pun mendelik. "Kalian ini ribut apa, sih. Ayah kalian sedang istirahat," ucap Sekar. "Mbak Zoya, lho, Bu," adu Adeeva. "Kenapa sama mbakmu?" "Sembarangan make laptopnya Mas Arvin." "Kamu ini aneh, Va. Wajar kalau Mbak Zoya make barang-barangnya Arvin. Dia kan calon istrinya." Sekar menatap marah pada putri kandungnya. "Kok, Ibu malah belain Mbak Zoya?" Kaki kanannya mengentak. Kedua tangan bersedekah dengan bibir mengerucut. Adeeva benar-benar kesal. "Ibu membela kebenaran. Jangan berisik, ayahmu sedang istirahat," sahut Sekar, "nggak usah dimasukkan ke hati, Mbak. Adikmu itu kadang-kadang memang." Sekar menyerahkan paper bag yang dibawanya. "Kemarin, sebelum ayahmu seperti ini, beliau minta Ibu menyiapkan baju ini." "Baju apa, Bu?" "Baju untuk pernikahanmu. Ibu sudah memanggil penghulu ke sini. Insya Allah kalau nggak ada halangan, siang nanti kamu resmi menjadi istrinya Arvin." "Tapi, Bu?" Zoya menunjukkan wajah keberatannya. "Bisa kita keluar sebentar," pinta Sekar. Wajahnya terlihat sangat serius bahkan cenderung menakutkan. Zoya yakin, ibu sambungnya itu akan mengatakan sesuatu yang penting. "Va, tungguin ayahmu sebentar. Ada hal yang mesti Ibu kerjakan sama Mbak Zoya." Di kantin rumah sakit, Sekar menatap putri sambungnya. "Ibu tahu kamu sangat keberatan dengan keputusan Ayah. Tapi, pikirkan lagi. Kalau bukan Arvin, siapa lagi lelaki yang mau menikahimu? Setelah kejadian itu, pasti sangat susah." Sekar menyeruput es jeruk di hadapannya. Sementara Zoya, dia langsung terdiam. Perkataan Sekar bagai belati yang mencacah habis seluruh tubuhnya. Mengoyak semua harga dirinya yang begitu tinggi. "Alasan ayahmu memilih Arvin, pasti karena masalah itu. Hanya dia, lelaki yang bisa kita bodohi. Arvin dan seluruh keluarga berhutang Budi banyak. Jadi, dia nggak mungkin menolakmu," tambah Sekar, "Pikirkan baik-baik, Zoy." Menelan ludah susah payah, Zoya memejamkan mata. Mengingat kejadian beberapa tahun lalu yang begitu sangat menyakitkan. Terdiam, Zoya cuma bisa mengangguk pasrah. "Kita balik sekarang, takutnya ayahmu nyariin," ajak Sekar. ***** "Mas Arvin beruntung banget jadi menantu Pak Arsyad," ucap sang penghulu yang dijemput Arvin."Alhamdulilah."
"Jaga Mbak Zoya, Mas. Dia satu-satu harta peninggalan istrinya Pak Arsyad. Walau Bapak tahu Mbak Zoya sangat membencimu, tapi semua itu akan berubah ketika kalian menikah nanti," tutur sang penghulu yang tahu persis bagaimana dua insan itu selalu bermusuhan.
"Inggih, Pak. Doakan saja," ucap Arvin, "Monggo berangkat sekarang." "Monggo-monggo, Mas. Ibu Sekar sudah WA ini." Sampai di parkiran, Arvin dicegat oleh seorang perempuan. "Mas, aku mau bicara," ucap perempuan itu. "Nanti, saja. Mas, masih repot." Berjalan bersisian dengan sang penghulu menuju ruangan Arsyad. Sang perempuan tak mendengarkan perkataan Arvin. Dia dengan sengaja mencekal pergelangan si lelaki, kuat. "Aku nggak rela," ucap si perempuan. Arvin menghentikan langkah. "Pak, njenengan duluan saja." "Jangan lama-lama, Vin," ucap sang penghulu. "Inggih." Setelahnya, Arvin menatap perempuan itu. "Mau ngomong apa?" "Mas, kenapa mau menikahinya? Bukankah dia selalu merendahkan bahkan terkadang menghinamu? Aku jauh lebih baik dari dia." "Apa yang kita inginkan, terkadang takdir nggak menuliskannya. Jadi, sebaiknya kita kembali pada posisi masing-masing. Sudah, ya." Menepis tangannya, Arvin hendak melangkah menjauh. "Apa hebatnya Zoya dibandingkan aku?" Menutup mata sebentar, lalu Arvin tersenyum. "Setiap perempuan memiliki kelebihan yang nggak bisa dibandingkan dengan perempuan lainnya. Kamu akan terlihat jauh lebih menarik dan hebat di mata lelaki yang mencintaimu." Kembali melanjutkan langkah. "Tunggu, Mas. Apa artinya kamu sudah mencintai dia?" Arvin tak menjawab, malah maju satu langkah. Saat itulah, si perempuan mengejar dan langsung memeluk dari belakang. Di saat bersamaan, sepasang mata melihat tingkah keduanya dengan kecewa. "Jadi, apa maumu sebenarnya, Vin?" Tangan Arvin bergerak cepat untuk melepaskan pelukan perempuan itu. "Jangan melewati batasanmu!" bentaknya. "Apa nggak boleh? Mungkin, ini terakhir kalinya aku bisa memelukmu, Mas." "Jangan sampai ada orang yang melihat dan berpikiran buruk dengan perlakuanmu tadi." Perempuan itu cuma bisa menatap sedih kepergian Arvin. "Apakah aku memang nggak pernah ada di hatimu, Mas? Kalau memang seperti ini, kenapa kamu harus begitu baik dengan segala perhatianmu selama ini?" Memutar handle pintu, Arvin masuk ke ruang perawatan Arsyad. Sudah ada kedua orang tuanya, Pak RT dan juga dua lelaki yang cukup di segani di desa mereka. Arsyad sendiri masih berbaring di ranjang dengan segala peralatan medis yang mendukung hidupnya. "Karena Mbak Zoya dan Mas Arvin sudah ada di sini, bagaimana jika kita mulai saja?" ucap sang penghulu, bertanya pada Arsyad. Sekar sedikit menaikkan ranjang di posisi kepala Arsyad supaya lelaki itu bisa melihat prosesi pernikahan Zoya. Lelaki yang kesehatannya sedang tidak baik-baik saja itu menganggukkan kepala, tanda setuju. "Mas Arvin, samean sudah siap?" tanya sang penghulu, memastikan. "Insya Allah." "Semua persyaratan dan mas kawin sudah dipersiapkan, nggeh, Mas?" "Sampun, Pak," sahut ibunya Arvin, Maryam. "Baiklah. Jadi, mari kita mulai saja, nggeh." Sebelum itu, sang penghulu sempat menatap Zoya. "Mbak Zoya mboten keberatan, kan, kalau kita teruskan pernikahan ini?" Diam mematung dengan pandangan kosong ke arah depan, Zoya tidak menjawab pertanyaan lelaki yang pernah menjadi sahabat ayahnya semasa sekolah dulu. "Mbak Zoya, apakah samean setuju untuk meneruskan pernikahan ini?" tanya sang penghulu sekali lagi disertai sentuhan pada lengan perempuan yang kini berusia 27 tahun. "Saya menolak pernikahan dengannya, Pak," ucap Zoya keras. "Zoya!" bentak Sekar dengan wajah marah.Kedua indera Arvin terbuka sempurna, Arsyad bahkan ingin membuka alat pernapasan yang terpasang. Semua orang menatap si sulung. "Mbak, bisa dijelaskan kenapa tiba-tiba menolak meneruskan pernikahan ini? Bukankah katanya Arvin, njenengan sudah setuju?" tanya Maryam. Sebagai ibu, dia merasa Arvin telah dipermainkan. "Aya, nggak usah macam-macam. Ingat apa yang Ibu katakan di kantin tadi," bisik Sekar. Lalu, dia berbalik menatap sng suami. "Tenang, Yah. Zoya cuma nge-prank kita saja." Semenit kemudian, Zoya memindai tatapannya pada Arvin. Lalu, berganti menatap adik tirinya. "Apa yang aku katakan tadi bukan prank, Bu. Aku memang nggak akan meneruskan pernikahan ini dengan Arvin." "Aya, kita sudah cukup dewasa," sahut Arvin. Tatapannya tajam menghunus jantung pertahanan Zoya. Tahu persis jika lelaki itu memanggilnya demikian, maka kemarahannya sudah mencapai puncak. "Justru karena kita sudah sama-sama dewasa, Vin. Aku nggak mau kalau kamu sampai terpaksa menerima pernikahan ini.
Arvin terdiam, perlahan dia melepaskan cekalan tangannya. Apa yang terucap dari bibir Zoya mampu mematahkan benteng pertahanannya. Adeeva tersenyum penuh kemenangan kemudian dia mendekati si lelaki yang nyawanya seolah pergi entah ke mana. "Kamu dengar sendiri, kan, Mas. Mbak Zoya itu nggak layak untukmu," ucap Adeeva. Tangannya hendak melingkar pada pergelangan Arvin. Namun, lelaki itu dengan cepat menghindar. Tatapan Zoya begitu tajam pada adik tirinya sama seperti Arsyad. Lelaki paruh baya itu ingin sekali melerai dan menyatukan Arvin dan Zoya supaya tidak berdebat lagi. Namun, kemampuannya sangat terbatas hingga cuma bisa menatap ketiga anak-anaknya dengan sedih. "Kamu dengar itu, Vin?" tanya Zoya, "jadi, untuk apa kita menikah jika aku nggak layak dan pantas untukmu? Carilah perempuan yang sebanding denganmu, seperti Adeeva, misalnya. Lupakan permintaan Ayah." "Zoya!" bentak Sekar keras. Wanita itu, kini sudah berdiri di ambang pintu dan mendengar semua perkataan si sulung.
Zoya menunduk, menyembunyikan rona merah yang ada di pipinya. Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka berdua, ada Adeeva yang mengepalkan tangannya. "Kenapa bukan aku yang mencium Mas Arvin? Kenapa selalu Zoya dan Zoya lagi," gumam Adeeva, jengkel ketika saudara tirinya selalu mendapat keberuntungan yang bisa mendekatkan diri pada Arvin. "Makanya, jadi cewek nggak usah sok, deh, Mbak. Kalau ketahuan gini, apa nggak malu? Bilangnya nggak sudi Nerima pemberian Mas Arvin, sudah sarapan. Tapi, nyatanya semua itu bohong," sindir Adeeva ketika dia sudah berada di sebelah Zoya. "Sudah ... sudah. Nggak perlu diperdebatkan. Kamu tadi ngomong, mau ngecek gudang beras kita. Ayo, Mas antar. Sekalian Mas juga mau ngecek ke pabrik." Salah tingkah, Arvin malah mengajak Adeeva. Harusnya, sesuai instruksi Sekar lewat chat, dia harus membawa Zoya ke pabrik minuman kemasan milik mereka. "Bagus, sekarang kalian malah terang-terangan menunjukkan kemesraan di depanku. Dasar nggak tahu diri," ump
"Apa, sih, Ay?" Arvin kembali memasang wajah dingin seperti sebelumnya. Ekor mata Zoya berputar. "Kenapa kembali ke mode awal? Apa perkataanku tadi sudah keterlaluan?" ucapnya dalam hati. Keduanya terdiam beberapa saat hingga kendaraan yang ditumpangi berhenti di parkiran. "Turun, Ay," suruh Arvin karena melihat perempuan di sebelahnya terbengong. "Iya ... iya. Aku turun sekarang." Zoya sudah hampir menapakkan kakinya ke tanah. Namun, semua dia urungkan ketika suara Arvin terdengar. "Di dalam, sudah ada Pak Nareswara yang menunggu keputusanmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama." Zoya menoleh dengan mata terbuka dan alis yang hampir bertaut. "Gila, ya. Belum juga aku membaca berkas kerja sama sudah suruh menyetujui dan tanda tangan." Mendengkus, Arvin membalas tatapan Zoya lebih sengit. "Bisa, nggak, jangan mengedepankan emosi. Katanya pinter. Masak memahami perkataanku tadi saja, nggak bisa." Arvin turun lebih dulu, lalu berlari ke sisi pintu Zoya. Layaknya perlak
"Kalian ini nggak ngerti tempat, ya. Mentang-mentang pengantin baru, di kantor malah mesra-mesraan." Seorang lelaki berkemeja biru muda menyilangkan tangan di ambang pintu. Kepalanya geleng-geleng melihat live dua insan yang sejak dulu bersaing itu. "Apa, sih, Bi," sahut Zoya. Dia segera berdiri menjauhi Arvin. "Omonganmu ngawur, Bi," lanjut Arvin, "kamu nyariin aku?" Berusaha setengah mungkin walau jantungnya tengah berpacu. Arvin mengikuti langkah Zoya menuju sofa. Lelaki yang dipanggil Bi tersebut terkikik. Geli sekali melihat tingkah dua orang dewasa di depannya. Dia pun tak bisa berhenti tertawa kecil. "Hasbi!" panggil Zoya, "kalau terus tertawa, aku pecat kamu." Arvin menahan tawanya, perempuan di sebelahnya itu terlihat kesal sekali dengan tingkah sepupunya. Jadi, dia tidak akan menambah kekesalan Zoya. Bisa-bisa si perempuan akan semakin marah nantinya. "Dih, Pakde aja nggak pernah ngomong gitu. Eh, penggantinya malah lebih galak. Salah dikit, langsung pecat." Hasbi
Hah?Takut terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya, Zoya memundurkan kursi. Lalu, menatap lawannya. "Ingat, ya, Vin. Aku sudah punya calon suami. Kamu nggak berhak mencampuri urusan pribadiku." Pergi begitu saja meninggalkan Arvin yang menjadi patung, Zoya menghentakkan kakinya. Kesal sekali dengan sikap diktator lelaki itu. "Memangnya dia siapa? Ayah saja nggak pernah kayak tadi. Dia itu cuma anaknya tukang kebun di rumah ini. Berani-beraninya sok kuasa. Apa jadinya kalau aku sampai nikah sama dia tadi," gerutu Zoya sepanjang perjalanan menuju kamar. Sepeninggal Zoya, Arvin merutuki dirinya sendiri. Kenapa begitu ceroboh hingga membuat Zoya marah. "Dia pasti makin membenciku padahal, sikapnya sudah mulai melunak. Bodoh kamu, Vin," umpatnya pada diri sendiri. Sampai di kamar, Zoya menghubungi Bara kembali. Namun, panggilannya tak terangkat, gadis itu mencoba beberapa kali melakukan panggilan yang terjadi malah nomor Bara tidak aktif. Capek dengan segala aktivitasnya hari
"Sejak kapan kamu kenal Bara?" tanya Zoya, "bertemu saja baru kali ini. Iya, kan, Sayang?" Menatap ke arah Bara. "Iya, aku baru kali ini datang ke kotamu, Sayang." Bara merangkul Zoya di hadapan Arvin dengan tatapan permusuhan. Garis bibir Arvin terangkat sebelah. Satu tangannya dimasukkan ke saku dan mengepal. Lelaki itu menyatukan gigi-giginya dengan kuat. "Oh, ya? Mungkin karena tanggal 19 Juni bulan lalu di hotel Minak Jinggo, aku nggak sempat memberimu ucapan selamat secara langsung. Jadi, kamu nggak tahu siapa aku," ucap Arvin ambigu. Mendongakkan kepalanya menatap sang kekasih, Zoya bertanya melalui tatapan mata. "Nggak tahu maksudnya apa, Sayang. Tanggal 19 Juni, aku ada meeting yang membuat kita membatalkan kencan kita waktu itu. Kamu ingat, kan?" ucap Bara. Suaranya mulai sedikit bergetar. Zoya melepas rangkulan Bara. Tangannya beralih memegang pergelangan sang kekasih. Lalu, gadis itu berjalan menjauhi Arvin. Akan tetapi, sebelumnya dia sempat berkata, "Nggak usah
"Dari mana kamu mendapatkan semua ini?" tanya Bara. Suaranya keras membahana hingga membuat Sekar dan Zoya tersentak, takut. "Menurutmu?" tanya Arvin, "bukankah kamu memblokir seluruh fotografer untuk mendokumentasikan acara tersebut. Tapi, kamu lupa bahwa aku bisa mendapatkan langsung dari sumbernya karena kamu nggak mungkin menghalanginya." "Nggak mungkin." Bola mata Bara melebar dengan wajah memerah. "Siapa kamu sampai mengenal Kahyang?" "Jadi, perempuan ini namanya Kahyang?" sahut Zoya, Pikirannya langsung tertuju pada perkataan Arvin pagi tadi. "Nggak nyangka kamu tega, Bar." "Apa, sih, Sayang. Aku sama dia itu dijodohkan. Sebentar lagi, kami sepakat untuk memutuskan pertunangan." Bera berusaha menyentuh pergelangan Zoya, tetapi ditolak. "Sebaiknya, kamu pergi dari sini," usir Sekar pada Bara, "lelaki sepertimu, selamanya nggak akan pernah jujur." "Tapi, Bu," bantah Bara. Menatap Zoya, mencari dukungan. "Sayang, aku bisa jelaskan. Bulan depan, aku sama dia sudah selesai.