Share

9. Cemburu apa gimana, sih?

"Kalian ini nggak ngerti tempat, ya. Mentang-mentang pengantin baru, di kantor malah mesra-mesraan." Seorang lelaki berkemeja biru muda menyilangkan tangan di ambang pintu. Kepalanya geleng-geleng melihat live dua insan yang sejak dulu bersaing itu.

"Apa, sih, Bi," sahut Zoya. Dia segera berdiri menjauhi Arvin.

"Omonganmu ngawur, Bi," lanjut Arvin, "kamu nyariin aku?"

Berusaha setengah mungkin walau jantungnya tengah berpacu. Arvin mengikuti langkah Zoya menuju sofa.

Lelaki yang dipanggil Bi tersebut terkikik. Geli sekali melihat tingkah dua orang dewasa di depannya. Dia pun tak bisa berhenti tertawa kecil.

"Hasbi!" panggil Zoya, "kalau terus tertawa, aku pecat kamu."

Arvin menahan tawanya, perempuan di sebelahnya itu terlihat kesal sekali dengan tingkah sepupunya. Jadi, dia tidak akan menambah kekesalan Zoya. Bisa-bisa si perempuan akan semakin marah nantinya.

"Dih, Pakde aja nggak pernah ngomong gitu. Eh, penggantinya malah lebih galak. Salah dikit, langsung pecat." Hasbi mencebik, tangannya bergerak menyerahkan map biru pada Zoya.

"Apa ini?" Kening Zoya berkerut ketika membuka map yang berisi angka-angka. "Kamu sengaja buat aku pusing, ya. Dah tahu aku nggak suka hal-hal begini."

Kembali menahan tawa, Arvin melirik sepupu Zoya. Lalu, berganti menatap dingin pada perempuan yang beberapa menit ke belakang mengecup bibirnya. "Mulai sekarang, belajarlah dengan angka-angka itu. Kamu harus secepatnya beradaptasi."

"Mulai, diktator." Zoya membuang muka dan mengerucutkan bibirnya. Dia menatap angka-angka di depannya seperti jijik. Namun, di depan Arvin, perempuan itu berusaha memahami semua.

"Aku pelajari nanti, deh, Bi. Berkas ini cuma rincian gaji, kan?" tanya Zoya memastikan.

"Iya. Kamu tinggal ngecek aja, sih. Dua hari lagi, waktunya gajian. Jangan sampai terlambat. Walau kalian lagi hot-hot-nya, tapi jangan lupakan kewajiban mengurus karyawan," goda Hasbi. Alisnya bahkan naik turun ketika menatap Zoya.

"Diam, Bi," ucap Arvin tegas.

"Aku nggak nikah sama dia, ya," tambah Zoya.

Tawa Hasbi kembali meledak. "Nggak usah nyangkal, deh, Mbak, Mas. Tadi, pagi kalian kan sudah mengucap janji. Sorry aku nggak bisa datang."

"Dia terlalu membenciku, Bi. Aku balik ke ruangan. Banyak kerjaan yang belum selesai." Arvin berdiri dan meninggalkan keduanya.

Dari lirikan mata Arvin padanya, Zoya bisa melihat kekecewaan. "Ngapain juga masang muka gitu. Bukannya pembatalan itu menguntungkannya, ya," kata si perempuan dalam hati.

"Mas Arvin kenapa, Mbak? Kalian beneran nggak jadi nikah?" selidik Hasbi.

"Nggak jadi," jawab Zoya sinis.

"Kenapa? Bukannya Arvin Bucik banget sama kamu, Mbak?"

"Bucin dari Hongkong?" delik Zoya, "dia itu cintanya sama Deeva."

Terdiam, Hasbi memutar bola mata. Seperti mengingat sesuatu. Lalu, dia pun tersenyum. "Kamu cemburu sama Deeva, Mbak? Bukannya dari kecil dia memang terobsesi sama Mas Arvin. Tapi, kan, Mas Arvin nggak pernah nanggepi. Kalau mereka dekat, semua karena profesional kerja saja. Dia pasti nggak mau ngecewain Pakde."

"Profesional kerja kok sampai peluk-peluk. Aku bukan anak kecil yang bisa dibodohi, Bi. Sudahlah, mbakmu ini, sudah punya calon suami. Dia jauh lebih baik dari Arvin dalam segala hal."

"Mbak, aku ingatkan, ya," kata Hasbi. Dia sudah berdiri, jaraknya kini cukup dekat dengan Zoya.

"Apa?"

"Batas antara cinta dan benci itu tipis. Jangan sampai keadaan berbalik. Mbak Zoya yang tergila-gila sama Mas Arvin. Andai aku perempuan, aku pun akan jatuh cinta padanya," kata Hasbi lirih, tetapi sarat makna.

"Hasbi! Pergi sana," bentak Zoya.

Sepeninggal Hasbi, Zoya memijat pelipisnya. Hari yang sangat melelahkan. Setelah pulang nanti, dia akan tidur untuk menghilangkan semua penat.

*****

Tepat pukul lima sore, Zoya dan Arvin sudah berada di rumah.

"Kamu mau makan apa, Ay? Biar aku yang masakkan," ucap Arvin sebelum Zoya berjalan ke kamarnya.

"Nggak usah repot-repot. Aku nanti keluar nyari makanan sendiri."

"Lho, sudah pulang, Nak?" tanya Maryam ketika melihat putranya di ruang tamu. "Kok, nggak ngabari kalau mau pulang cepat. Ibu belum masak apa-apa untuk makan malam."

"Arvin saja yang masak, Bu. Njenengan pasti capek. Gimana keadaannya Mbak-mbak?"

Zoya ngacir tanpa mempedulikan percakapan ibu dan anak itu.

"Mbak-mbakmu kabarnya baik. Mereka nitip salam." Maryam mendekatkan bibirnya ke telinga si bungsu. "Katanya, mending kamu nyari cewek lain untuk dinikahi. Mereka siap ngenalin teman-temannya."

"Sstt," desis Arvin, "Ibu nggak boleh ngomong gitu. Kasihan Pak Arsyad. Keluarga kita sudah banyak dibantu beliau."

Maryam memutar bola mata, lalu tersenyum penuh arti. "Karena Pak Arsyad atau kamu yang terlanjur jatuh hati hati?" goda si ibu.

"Mas Arvin jatuh cinta sama siapa, Bu?" tanya Adeeva dari arah ruang tengah.

Maryam menoleh dan tersenyum kecut. "Nggak sama siapa-siapa, Mbak. Ibu cuma menggodanya saja. Oh, ya, Mbak Deeva sudah makan?" Demi mengalihkan perhatian saudara tiri Zoya, perempuan paruh baya itu bertanya demikian.

"Bu, aku mau masuk dulu," kata Arvin. Dia meninggalkan Adeeva tanpa menyapa. Tanpa membersihkan diri atau mengganti pakaiannya, lelaki itu menuju dapur.

Setengah jam kemudian, Arvin sudah menghidangkan hasil masakannya di meja makan. Steak ayam goreng dengan salad sayuran terlihat sangat menarik sekali. Dia tersenyum melihat hasil masakannya. Tak sia-sia dia mengambil kelas memasak demi mendapatkan hasil maksimal seperti sekarang.

Mengambil ponselnya, lelaki itu mengirimkan chat pada Zoya. "Makanan sudah siap. Nggak usah keluar." Arvin juga mengirimkan foto masakannya yang sudah terhidang di meja makan. "Segera turun."

Sebelum melihat balasan dari Zoya, Arvin berjalan ke kamarnya. Namun, baru selangkah, kakinya terhenti karena sapaan Adeeva.

"Mas, makan malam di luar, yuk," ajak perempuan berambut cokelat yang kini mengenakan dress pendek ketat.

"Mas sudah masak untuk makan malam. Kalau kamu mau ada di meja, tapi tunggu mbakmu dulu." Lalu, lelaki itu cepat-cepat melanjutkan langkahnya.

Lima menit kemudian, Arvin kembali ke meja makan dengan tampilan yang lebih santai. Rambut yang basah terlihat acak-acakan tidak seperti biasanya. Zoya sedikit tertegun dengan penampilan lelaki yang dari dulu selalu membuatnya jengkel itu. Ketampanan Arvin mendadak meningkat.

"Kenapa kalian belum makan? Kalau dingin kan nggak enak. Jangan sia-siakan makanan." Arvin duduk tepat di seberang Zoya.

"Kalau bukan karena nunggu kamu, mana mungkin aku menahan lapar," sindir Zoya. Dia mulai memotong-motong ayam di hadapannya. Namun, tangan Arvin terjulur lebih cepat untuk meraih piringnya.

"Makan ini saja." Menyodorkan piringnya sendiri yang ayamnya sudah terpotong-potong.

Adeeva menatap dengan kekesalan hati. Arvin terang-terangan memberikan perhatiannya pada Zoya. "Punyaku juga, dong, Mas." Menyodorkan piringnya pada Arvin.

"Kalau aku motongin ayam terus untuk kalian semua, kapan aku bisa makan malam," sahut Arvin. Mendorong kembali piring Adeeva ke hadapan perempuan tersebut. Saudara

Mengunyah makanannya, Zoya menahan tawa. "Kamu itu memang raja tega, Vin. Selalu membuat perempuan jengkel," katanya dalam hati.

"Setelah makan malam, ada berkas yang harus kamu pelajari. Jangan tidur dulu."

"Bukannya Mbak Zoya harus ke rumah sakit, Mas?" tanya Adeeva, jelas sekali wajahnya kesal mendengar ucapan Arvin tadi.

"Bu Sekar memintamu yang menemaninya di rumah sakit. Coba baca chat-nya."

Segera membuka ponselnya. Adeeva melihat chat yang dikirimkan Sekar. Bibirnya pun mengerucut karena kesal.

*****

Di ruang kerja yang biasanya dipakai Arsyad, Arvin dan Zoya duduk berhadapan masing-masing memegang berkas untuk didiskusikan.

"Jadi, hal mana yang membuatmu bingung sampai Hasbi nyerah menjelaskannya tadi," kata Arvin.

"Aku bukannya bingung, tapi nggak terbiasa saja membaca absen para karyawan dari finger print ini."

"Tunjuk salah satunya. Aku jelaskan." Arvin menatap perempuan yang ada di depannya dengan senyum. Dia sangat menyukai tampilan Zoya dengan memakai kaca mata baca.

"Ini," tunjuk Zoya pada daftar hadir yang bertanda merah padahal jelas tertulis jika si karyawan masuk kerja.

Sabar, Arvin menjelaskan pada Zoya. Namun, baru beberapa menit kemudian, ponsel Zoya berdering nyaring.

"Hai, Sayang. Kamu sudah berangkat?" tanya Zoya manja apalagi senyumnya dibuat semanis mungkin. Arvin mendengkus kesal.

"Matikan ponselmu, kita harus fokus supaya lekas selesai. Sudah malam dan aku butuh istirahat." Merebut ponsel di tangan Zoya, Arvin bahkan langsung mematikan sambungannya.

"Arvin!" bentak Zoya, matanya mendelik sempurna. "Keterlaluan kamu."

Bukannya takut dengan perkataan keras Zoya, Arvin malah mencondongkan wajahnya. "Apa aku harus memakai cara keras. Supaya kamu tunduk?" ancamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status