Happy Reading*****Suasana kediaman Arsyad kembali hening ketika semua orang kembali ke rumah masing-masing. Kini, tinggal keluarga inti yang ada di ruang tamu. Arvin merangkul istrinya yang masih terisak. Tak jauh darinya ada Hasbi. Maryam dan Ashari juga masih ada di ruangan itu dengan wajah sedih."Mau balik rumah atau nginep di sini, Yang?" bisik Arvin."Nginep di sini saja, ya, Mas. Sampai tujuh hariannya Ayah.""Boleh. Mas ke atas dulu, bersihin kamar." Arvin sudah akan berdiri, tetapi pergelangan tangannya dicekal oleh Maryam."Biar Ibu saja yang bersihin, Le. Temani Mbak Zoya saja.""Ibu ke kamar dulu," sela Sekar. Dia juga mengajak Adeeva untuk meninggalkan ruangan tersebut. Arvin dan Zoya cuma menganggukkan kepala. Namun, suami Zoya itu terus menatap gerak-gerik Sekar. Masih teringat dengan kata-kata Arsyad untuk mengawasinya. "Semoga semua kecurigaan Bapak nggak terbukti. Jadi, aku nggak perlu mengumpulkan bukti-bukti seperti permintaan almarhum," gumam Arvin dalam hati.
Happy Reading*****"Mas, kita harus ke pabrik sekarang," ucap Zoya panik. Saat mereka baru pulang dari berbelanja kebutuhan sehari-hari. Tepat dua minggu setelah Arsyad meninggal."Kenapa, Sayang?" Arvin tetap tenang, meski sang istri terlihat panik. "Lihat ini, Mas."Sebuah foto yang dikirimkan Hasbi terlihat oleh Arvin. Beberapa orang berkerumun di depan pintu masuk pabrik mereka. "Mas, pamit sama Ibu dulu," kata Arvin dan langsung mencari Maryam di dapur.Beberapa menit kemudian, Arvin dan Zoya sampai di pabrik. Sempat terhalang oleh banyaknya orang yang meminta pertanggung jawaban atas produk minuman kemasan produksi mereka. Keduanya lantas naik ke ruang meeting. Para karyawan sudah dikumpulkan untuk membahas permasalahan mereka. Dari semua kepanikan sang istri, entah mengapa Arvin masih bisa tenang. "Mas, kenapa minuman kemasan yang kita produksi bisa meracuni anak-anak yang meminumnya? Bukankah sebelum diluncurkan, kita sudah menguji keselurahan kandungan. Semua baik-baik s
Happy Reading*****Melihat kepanikan sang istri, Arvin pamit keluar. "Mas," panggil Zoya, berbisik. "Tenang, Sayang. Mas cuma mau manggil Abi, kok."Zoya pun mengangguk walau jantungnya kini semakin berdetak keras. Sumber kekuatan dan keberaniannya keluar tentu perempuan itu bertambah panik. "Ay, kamu nggak dengar kata para pemilik modal?" kata Sekar. Seakan tersadar dari lamunan panjang. Zoya menetap orang-orang yang masuk ke ruang meeting tersebut. Dari sepuluh orang yang menanam modal pada usaha Arsyad di luar modal milik keluarga. Empat orang sudah hadir di sana. "Oleh karena sebagian pemilik modal hadir di sini, saya meminta karyawan keluar terlebih dulu. Tolong selidiki lagi apa-apa yang menyebabkan masalah ini timbul. Kalau perlu, kalian bongkar saja produk jadi, siap edar yang ada di gudang. Bawa ke lab untuk pemeriksaan kandungan di dalamnya," titah Zoya. Dia mulai bisa menguasai diri. Teringat nasihat sang suami selama perjalanan. Tetap tenang apa pun yang terjadi aga
Happy Reading*****Zoya mengangguk patuh. Tak ada lagi tenaga untuk bertanya atau lainnya. Dia begitu pasrah dengan keadaan sekarang. Di antara keterkejutan semua orang yang hadir. Hasbi malah menyunggingkan senyuman. Rasa bersalah yang menghinggapi hatinya karena berkhianat pada saudara sendiri. Kini, perlahan menguap. Walau tak tahu apa isi berkas yang ada di tangan mereka, dia yakin Arvin tidak akan diam melihat penindasan Zoya. "Jadi, apakah kalian semua masih ingin meminta Zoya mundur jika saham serta modal yang dimilikinya lebih dari setengah?" tanya Arvin. Tatapannya tajam menatap semua orang yang hadir di sana tak terkecuali Adeeva. "Bu, semua yang diragukan dari Arvin kini malah menyerang kita. Harusnya, jika Ibu nggak menghalangiku untuk dekat dan menikah dengannya. Semua milik Zoya sekarang adalah punyaku," bisik Adeeva. "Ibu nggak nyangka, Arvin punya uang segitu banyak. Padahal dia cuma bekerja di bawah ayahmu. Apa mungkin selama ini dia korupsi?" Percakapan ibu ana
Happy Reading*****"Apa ini, Bu?" tanya Hasbi pada perempuan bergamis yang telah melahirkannya."Saat mendesak, gunakan semua yang ada di dalam flashdisk itu untuk menolong Mbak Zoya," tegas ibunya Hasbi, sekali lagi. "Iya, Bu. Aku akan mengingatnya. Kemarin, aku sangat merasa bersalah karena nggak bisa berada di barisannya.""Kalau Mbak Zoya tahu alasanmu, dia nggak akan marah. Padahal, Ibu sudah memperingatkan supaya kamu nggak usah pedulikan keadaan Ibu saat itu.""Nggak usah diingat-ingat lagi, Bu. Suatu hari nanti, aku pasti akan menceritakan alasannya," kata Hasbi dengan kepala tertunduk lesu. "Aku pulang dulu. Besok, pasti ke sini lagi.""Hati-hati, Bi."*****"Bukankah itu Bu Sekar dan Pak Sano? Kenapa mereka berdua terlihat begitu mesra?" gumam seorang lelaki paruh baya yang rambutnya sebagian mulai memutih. Dia merupakan salah satu pemilik modal yang sahamnya sudah dibeli oleh Arvin. Perempuan yang sedang mengapit lengannya tersenyum simpul. "Papa ini kayak nggak tahu saj
Happy Reading*****"Maksudnya tentang masalah yang menyangkut putri kandung Om itu, ya?" tanya Arvin."Yup, betul. Bertahun-tahun istri Om merahasiakannya." Nareswara mengangguk. "Jadi, kalau hari ini ada seseorang yang sangat menyayangi kalian dan melakukan pengkhianatan. Rasanya, nggak aneh lagi.""Kenapa Ibu tega melakukan semua ini?" tanya Zoya. Terdiam sebentar, Arvin teringat tentang foto yang dikirimkan salah satu pemilik modal sekitar dua hari lalu. Mengambil ponsel, mencari foto-foto tersebut untuk ditunjukkan pada Zoya."Lihat ini, Sayang," ucap Arvin. Tangannya bahkan sedikit bergetar ketika menyodorkan ponselnya. Sungguh, dia tak pernah ingin menunjukkan semua hal itu pada sang istri. Namun, semua harus segera diungkap."Mas, kamu dapat dari mana semua foto-foto ini?" Raut muka Zoya berubah keruh. Menyadari ada sesuatu yang tak beres, Nareswara pun pamit. "Maaf, Om. Kami tidak bisa mengantar sampai depan," ucap Arvin disertai badan yang membungkuk."Nggak masalah, Vin.
Happy Reading*****Sebelum meninggalkan rumahnya, Arvin menutupi makanan yang sudah siap itu dengan tudung saji. Setengah memaksa sang istri untuk mengikutinya. Langkah Arvin begitu tergesa-gesa."Mas, ada apa sebenarnya?" tanya Zoya setelah mobil dijalankan. "Bu Sekar buat ulah lagi?""Kenapa?""Barusan, Ibu telpon. Beliau sama Bapak diusir oleh Bu Sekar." Arvin menunjukkan wajah paniknya lagi."Ibu keterlaluan," sahut Zoya keras."Sebenarnya, Mas, pernah ngomong sama bapak dan ibu supaya pindah ke rumah kita saja. Tapi, beliau menolak."Zoya mengerutkan kening. Arvin meliriknya sebentar."Mereka nggak tega ninggalin rumah yang sudah begitu banyak memberikan kenangan. Bapak sama Ibu rela nggak digaji asal mereka tetap bisa tinggal di sana.""Jadi, selama ini, ibu sama bapak nggak digaji?" Arvin menggelengkan kepala. "Lalu, bagaimana cara mereka bertahan hidup, Mas."Mengusap kepala sang istri lembut, Arvin tersenyum. "Mas, memberikan tunjangan. Semua gaji yang didapat dari pabrik
Happy Reading*****Seluruh tubuh Zoya melemah bagai tak bertulang. Dia bahkan tidak memiliki sedikitpun kenangan yang tersisa jika rumah tersebut diwariskan pada Sekar dan Adeeva. "Tunggu dulu Pak Sano. Saya belum menyelesaikan perkataan tadi," sahut sang pengacara. "Apalagi, Pak? Bukankah semuanya sudah jelas saat ini," sela Sekar. "Sabar, Bu Sekar," jawab sang pengacara, "Surat wasiat ini memang asli dan ditulis langsung oleh mendiang. Tapi, sebelum beliau meninggal, Pak Arsyad sudah mengubah isi wasiatnya tentang rumah." Pengacara itu membuka tas dan mengeluarkan map berwarna hitam. Wajah gusar Sekar mulai terlihat demikian juga dengan Sano. Tak jauh dari tempat mereka semua, Adeeva dan Noval baru saja memasuki halaman rumah. "Ada apa ini?" tanya Adeeva. Langsung mendekat pada ibunya."Surat wasiat yang dibuat ayahmu, ternyata ada yang baru," sahut Sano. Sang pengacara menatap Adeeva yang baru saja datang. "Oleh karena semua orang sudah ada di sini, maka saya akan membacakan