Happy Reading*****Melihat kepanikan sang istri, Arvin pamit keluar. "Mas," panggil Zoya, berbisik. "Tenang, Sayang. Mas cuma mau manggil Abi, kok."Zoya pun mengangguk walau jantungnya kini semakin berdetak keras. Sumber kekuatan dan keberaniannya keluar tentu perempuan itu bertambah panik. "Ay, kamu nggak dengar kata para pemilik modal?" kata Sekar. Seakan tersadar dari lamunan panjang. Zoya menetap orang-orang yang masuk ke ruang meeting tersebut. Dari sepuluh orang yang menanam modal pada usaha Arsyad di luar modal milik keluarga. Empat orang sudah hadir di sana. "Oleh karena sebagian pemilik modal hadir di sini, saya meminta karyawan keluar terlebih dulu. Tolong selidiki lagi apa-apa yang menyebabkan masalah ini timbul. Kalau perlu, kalian bongkar saja produk jadi, siap edar yang ada di gudang. Bawa ke lab untuk pemeriksaan kandungan di dalamnya," titah Zoya. Dia mulai bisa menguasai diri. Teringat nasihat sang suami selama perjalanan. Tetap tenang apa pun yang terjadi aga
Happy Reading*****Zoya mengangguk patuh. Tak ada lagi tenaga untuk bertanya atau lainnya. Dia begitu pasrah dengan keadaan sekarang. Di antara keterkejutan semua orang yang hadir. Hasbi malah menyunggingkan senyuman. Rasa bersalah yang menghinggapi hatinya karena berkhianat pada saudara sendiri. Kini, perlahan menguap. Walau tak tahu apa isi berkas yang ada di tangan mereka, dia yakin Arvin tidak akan diam melihat penindasan Zoya. "Jadi, apakah kalian semua masih ingin meminta Zoya mundur jika saham serta modal yang dimilikinya lebih dari setengah?" tanya Arvin. Tatapannya tajam menatap semua orang yang hadir di sana tak terkecuali Adeeva. "Bu, semua yang diragukan dari Arvin kini malah menyerang kita. Harusnya, jika Ibu nggak menghalangiku untuk dekat dan menikah dengannya. Semua milik Zoya sekarang adalah punyaku," bisik Adeeva. "Ibu nggak nyangka, Arvin punya uang segitu banyak. Padahal dia cuma bekerja di bawah ayahmu. Apa mungkin selama ini dia korupsi?" Percakapan ibu ana
"Kenapa harus kamu yang jemput?"Khanza Zoya Aresha, memutar bola matanya kala menyadari Arvin. Suasana hatinya yang buruk saat mendengar sang ayah terkena serangan jantung, kini semakin memburuk karena pria yang jadi saingannya sejak kecil!Namun aih-alih kesal akibat tindakan Zoya, Arvin justru langsung menarik koper yang dibawa perempuan itu. "Mau siapa lagi?" "Ck! Nggak usah," ucap Zoya sembari menarik kembali koper yang direbut Arvin.Namun, ditahan pria itu. "Kamu nggak berubah sama sekali. Sudah bertahun-tahun nggak ketemu juga.""Di mana mobilnya?" kesal Zoya, tapi menyerah juga. Arvin lantas menunjuk kendaraan roda empat berwarna maroon. Mobil itu adalah milik Zoya pribadi yang tak boleh seorang pun mengendari tanpa seizin wanita itu. Beraninya menggunakannya tanpa izin dulu?Zoya semakin kesal. Tapi, ia tak punya banyak waktu. Untungnya, tanpa berkata apa pun lagi, Arvin menjalankan kendaraan tersebut dengan kecepatan di atas rata-rata.Bahkan, lampu merah saja diter
"Yah, aku nggak ma!" tolak Zoya sekali lagi. Namun, Arvin mencekal pergelangan Zoya sembari mendelik. "Diam," bisiknya. Zoya lantas mengatupkan bibir erat. Wajah menakutkan Arvin sekali lagi terlihat olehnya.Dulu, dia pernah membantah perkataan lelaki itu dan berujung dengan kesakitan. Arvin tak segan-segan menggunakan kekuatan untuk membuatnya diam! Menghentakkan kaki dan berjalan ke sofa, Zoya duduk sambil menyilangkan tangannya. "Kenapa Ayah harus memintanya menikahiku?" gumamnya. "Aku memang nggak pantas untuk menikahimu, tapi bisakah kamu memenuhi permintaan beliau demi kesembuhannya?" kata Arvin dengan wajah datar. Sungguh sikap lelaki itu makin membuat Zoya membencinya. "Bagus kalau kamu sadar diri. Jadi, aku akan menolak permintaan Ayah tadi." "Zoya!" ucap Arvin tegas. Gejolak di hatinya membara. Bukan setahun dua tahun, tatapan mata perempuan itu penuh kebencian padanya. Namun, sampai belasan tahun berlalu, Zoya tetap melihatnya seperti itu. Andai waktu bisa
"Mau selesaikan kerjaan apa bengong?" ucap Arvin masih belum menyadari keterkejutan Zoya dengan perkataan sebelumnya. Zoya lantas menekan keyboard sesuai angka yang disebutkan Arvin dan benar saja pintu terbuka.Deg! "Kenapa kamu menggunakan tanggal lahirku sebagai password?" "Dih, kepedean." Arvin membuang muka. Menyembunyikan rasa gugupnya. "Kalau bukan tanggal lahirku, terus apa?" "Ribet. Mau nyelesaikan kerjaan apa jadi wartawan? Aku perlu istirahat." Arvin berpura-pura memejamkan mata demi menghindari pertanyaan Zoya selanjutnya. "Dih," gerutu Zoya. Dia tak lagi membalas ucapan Arvin. Fokus membuka laptop lelaki itu sambil mencari bukti-bukti tentang kedekatan sang pemilik laptop dengan adiknya. Satu jam kemudian, mata Zoya mulai panas dan tak lagi bisa fokus pada layar laptop padahal proposal yang dia buat belum selesai dengan sempurna. Semakin lama, mata Zoya makin lengket, lima menit kemudian dia sudah tertidur pulas. Arvin yang sejak tadi berpura-pura tidur
Sementara itu, Arvin meninggalkan Zoya setelah mendapat perintah dari Arsyad. Dia berniat membicarakan semua itu pada orang tuanya. Walau sempat berdiskusi sebelumnya, tetapi sebagai bentuk penghormatan, dia harus tetap mengatakan rencana pernikahannya itu pada seluruh keluarga. Zoya sendiri hanya bisa duduk termenung di samping ranjang Arsyad. Kepalanya berputar-putar, membayangkan pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan dengan Arvin. Menolak, jelas dia tak sanggup. Apalagi kondisi Arsyad yang tidak memungkinkan. "Sepertinya, aku harus membuat beberapa perjanjian dengannya," kata Zoya dalam hati. Oleh karena ayahnya kembali memejamkan mata, Zoya membuka laptop Arvin dan mulai mengetikkan sesuatu. Dia membuat perjanjian untuk pernikahannya nanti. Sekitar setengah jam kemudian, Zoya sudah menyelesaikan seluruh perjanjian itu. Di saat bersamaan, Adeeva dan ibu tirinya masuk. "Mbak, kamu kok lancang pakai laptopnya Mas Arvin," kata Adeeva. Raut kecewa dan marah jelas terli
Kedua indera Arvin terbuka sempurna, Arsyad bahkan ingin membuka alat pernapasan yang terpasang. Semua orang menatap si sulung. "Mbak, bisa dijelaskan kenapa tiba-tiba menolak meneruskan pernikahan ini? Bukankah katanya Arvin, njenengan sudah setuju?" tanya Maryam. Sebagai ibu, dia merasa Arvin telah dipermainkan. "Aya, nggak usah macam-macam. Ingat apa yang Ibu katakan di kantin tadi," bisik Sekar. Lalu, dia berbalik menatap sng suami. "Tenang, Yah. Zoya cuma nge-prank kita saja." Semenit kemudian, Zoya memindai tatapannya pada Arvin. Lalu, berganti menatap adik tirinya. "Apa yang aku katakan tadi bukan prank, Bu. Aku memang nggak akan meneruskan pernikahan ini dengan Arvin." "Aya, kita sudah cukup dewasa," sahut Arvin. Tatapannya tajam menghunus jantung pertahanan Zoya. Tahu persis jika lelaki itu memanggilnya demikian, maka kemarahannya sudah mencapai puncak. "Justru karena kita sudah sama-sama dewasa, Vin. Aku nggak mau kalau kamu sampai terpaksa menerima pernikahan ini.
Arvin terdiam, perlahan dia melepaskan cekalan tangannya. Apa yang terucap dari bibir Zoya mampu mematahkan benteng pertahanannya. Adeeva tersenyum penuh kemenangan kemudian dia mendekati si lelaki yang nyawanya seolah pergi entah ke mana. "Kamu dengar sendiri, kan, Mas. Mbak Zoya itu nggak layak untukmu," ucap Adeeva. Tangannya hendak melingkar pada pergelangan Arvin. Namun, lelaki itu dengan cepat menghindar. Tatapan Zoya begitu tajam pada adik tirinya sama seperti Arsyad. Lelaki paruh baya itu ingin sekali melerai dan menyatukan Arvin dan Zoya supaya tidak berdebat lagi. Namun, kemampuannya sangat terbatas hingga cuma bisa menatap ketiga anak-anaknya dengan sedih. "Kamu dengar itu, Vin?" tanya Zoya, "jadi, untuk apa kita menikah jika aku nggak layak dan pantas untukmu? Carilah perempuan yang sebanding denganmu, seperti Adeeva, misalnya. Lupakan permintaan Ayah." "Zoya!" bentak Sekar keras. Wanita itu, kini sudah berdiri di ambang pintu dan mendengar semua perkataan si sulung.