Happy Reading*****"Apa ini, Bu?" tanya Hasbi pada perempuan bergamis yang telah melahirkannya."Saat mendesak, gunakan semua yang ada di dalam flashdisk itu untuk menolong Mbak Zoya," tegas ibunya Hasbi, sekali lagi. "Iya, Bu. Aku akan mengingatnya. Kemarin, aku sangat merasa bersalah karena nggak bisa berada di barisannya.""Kalau Mbak Zoya tahu alasanmu, dia nggak akan marah. Padahal, Ibu sudah memperingatkan supaya kamu nggak usah pedulikan keadaan Ibu saat itu.""Nggak usah diingat-ingat lagi, Bu. Suatu hari nanti, aku pasti akan menceritakan alasannya," kata Hasbi dengan kepala tertunduk lesu. "Aku pulang dulu. Besok, pasti ke sini lagi.""Hati-hati, Bi."*****"Bukankah itu Bu Sekar dan Pak Sano? Kenapa mereka berdua terlihat begitu mesra?" gumam seorang lelaki paruh baya yang rambutnya sebagian mulai memutih. Dia merupakan salah satu pemilik modal yang sahamnya sudah dibeli oleh Arvin. Perempuan yang sedang mengapit lengannya tersenyum simpul. "Papa ini kayak nggak tahu saj
Happy Reading*****"Maksudnya tentang masalah yang menyangkut putri kandung Om itu, ya?" tanya Arvin."Yup, betul. Bertahun-tahun istri Om merahasiakannya." Nareswara mengangguk. "Jadi, kalau hari ini ada seseorang yang sangat menyayangi kalian dan melakukan pengkhianatan. Rasanya, nggak aneh lagi.""Kenapa Ibu tega melakukan semua ini?" tanya Zoya. Terdiam sebentar, Arvin teringat tentang foto yang dikirimkan salah satu pemilik modal sekitar dua hari lalu. Mengambil ponsel, mencari foto-foto tersebut untuk ditunjukkan pada Zoya."Lihat ini, Sayang," ucap Arvin. Tangannya bahkan sedikit bergetar ketika menyodorkan ponselnya. Sungguh, dia tak pernah ingin menunjukkan semua hal itu pada sang istri. Namun, semua harus segera diungkap."Mas, kamu dapat dari mana semua foto-foto ini?" Raut muka Zoya berubah keruh. Menyadari ada sesuatu yang tak beres, Nareswara pun pamit. "Maaf, Om. Kami tidak bisa mengantar sampai depan," ucap Arvin disertai badan yang membungkuk."Nggak masalah, Vin.
Happy Reading*****Sebelum meninggalkan rumahnya, Arvin menutupi makanan yang sudah siap itu dengan tudung saji. Setengah memaksa sang istri untuk mengikutinya. Langkah Arvin begitu tergesa-gesa."Mas, ada apa sebenarnya?" tanya Zoya setelah mobil dijalankan. "Bu Sekar buat ulah lagi?""Kenapa?""Barusan, Ibu telpon. Beliau sama Bapak diusir oleh Bu Sekar." Arvin menunjukkan wajah paniknya lagi."Ibu keterlaluan," sahut Zoya keras."Sebenarnya, Mas, pernah ngomong sama bapak dan ibu supaya pindah ke rumah kita saja. Tapi, beliau menolak."Zoya mengerutkan kening. Arvin meliriknya sebentar."Mereka nggak tega ninggalin rumah yang sudah begitu banyak memberikan kenangan. Bapak sama Ibu rela nggak digaji asal mereka tetap bisa tinggal di sana.""Jadi, selama ini, ibu sama bapak nggak digaji?" Arvin menggelengkan kepala. "Lalu, bagaimana cara mereka bertahan hidup, Mas."Mengusap kepala sang istri lembut, Arvin tersenyum. "Mas, memberikan tunjangan. Semua gaji yang didapat dari pabrik
Happy Reading*****Seluruh tubuh Zoya melemah bagai tak bertulang. Dia bahkan tidak memiliki sedikitpun kenangan yang tersisa jika rumah tersebut diwariskan pada Sekar dan Adeeva. "Tunggu dulu Pak Sano. Saya belum menyelesaikan perkataan tadi," sahut sang pengacara. "Apalagi, Pak? Bukankah semuanya sudah jelas saat ini," sela Sekar. "Sabar, Bu Sekar," jawab sang pengacara, "Surat wasiat ini memang asli dan ditulis langsung oleh mendiang. Tapi, sebelum beliau meninggal, Pak Arsyad sudah mengubah isi wasiatnya tentang rumah." Pengacara itu membuka tas dan mengeluarkan map berwarna hitam. Wajah gusar Sekar mulai terlihat demikian juga dengan Sano. Tak jauh dari tempat mereka semua, Adeeva dan Noval baru saja memasuki halaman rumah. "Ada apa ini?" tanya Adeeva. Langsung mendekat pada ibunya."Surat wasiat yang dibuat ayahmu, ternyata ada yang baru," sahut Sano. Sang pengacara menatap Adeeva yang baru saja datang. "Oleh karena semua orang sudah ada di sini, maka saya akan membacakan
Happy Reading*****"Aku bisa jelaskan nanti, Mas," jawab Hasbi. "Sebaiknya, nggak usah ikut campur, Vin," ucap Sano. Dia masih mengunci kedua tangan Arvin ke belakang agar tak menyelamatkan Zoya.Arvin berusaha melepaskan diri dari kungkungan yang membelenggunya. Namun, tenaganya jauh lebih besar dari Sano. Melirik Hasbi, suami Zoya itu memberi kode untuk segera menyelamatkan istrinya.Mengerti kode yang diberikan Arvin, Hasbi perlahan menggeser posisinya, mendekati Zoya dan Sekar."Bu Sekar, jangan bertindak impulsif. Pak Arsyad menuliskan wasiat tersebut pasti memiliki pertimbangan tersendiri," nasihat sang pengacara."Tetap saja dia nggak adil. Aku sudah menjaga anaknya selama puluhan tahun. Tapi, apa yang didapat? Cuma rumah kecil di pinggiran kota itupun harus berbagi dengan Adeeva," kata Sekar keras, menggelegar memenuhi ruang tamu. "Bu, tolong lepaskan," pinta Zoya. Tersendat-sendat karena tenggorokannya tercekat."Mati saja, kamu." Perkataan Sekar makin ngawur. Emosinya tak
Happy Reading*****Duduk di sebelah sang istri, Arvin menyodorkan sendok yang berisi nasi serta ayam kecap. Walau banyak masalah yang harus mereka hadapi, tetapi menjaga kesehatan harus dilakukan serius. "Udah, Mas. Aku kenyang," kata Zoya setelah menerima beberapa suap makanan dari suaminya."Satu sendok lagi, Sayang. Makanan tadi dikit sekali." Sengaja menampilkan wajah melas. "Buat Mas saja. Mas juga harus makan biar nggak sakit." Zoya mengambil sendok di tangan Arvin. Lalu, menyuapkannya. "Buka mulut. Aku tahu, Mas, pasti lapar setelah seharian tadi bekerja.""Tapi, Sayang. Nasi ini untukmu. Mas, nanti ambil sendiri di dapur," tolak Arvin."Mas, jijik gitu sama bekas sendokku?"Cepat, Arvin menggelengkan kepala. "Nggak gitu juga, Sayang.""Kalau gitu, buka mulut." Zoya kembali menyodorkan sendok berisi makanan ke mulut sang suami.Arvin terpaksa membuka mulutnya. "Nah, gitu, dong."Menarik garis bibirnya, Arvin melihat kebahagian di mata sang istri walau sedang dilanda masalah
Happy Reading*****Saking gugupnya orang yang tengah menguping pembicaraan Hasbi dan Arvin, dia malah melakukan kesalahan. Kakinya tanpa sengaja terantuk vas bunga yang berada di dekat pintu ruangan tersebut. "Siapa di sana?" teriak Hasbi. Segera berdiri melihat keadaan di luar. Namun, dia hanya bisa melihat punggung orang tersebut. Kembali ke ruangan tersebut, tatapan Arvin terlihat tegas."Siapa, Bi?""Kurang tahu, Mas. Aku cuma bisa melihat punggungnya saja. Coba cek kamera pengawas. Aku yakin dia mengintip dengan maksud lain.""Nanti saja, lebih baik kita cari solusi untuk masalah ini. Bagaimana caranya menangkap pelaku tanpa mereka menyadarinya." Arvin menatap lurus ke depan. "Mas, boleh saya memberikan pendapat," kata sang wakil manajer produksi."Silakan saja, Pak. Apa yang ingin njenengan sampaikan?"Lelaki berumur empat puluhan itu duduk di sebelah Hasbi. Mulai menata diri sebelum mengatakan, raut mukanya kentara sekali jika dia memiliki kemelut di hati. Walau tak tahu pas
Happy Reading*****"Saya nggak suka orang yang bertele-tele," ucap Arvin. Sengaja duduk dengan penuh kewibawaan sebagai seorang atasan. Wajah lelaki itu benar-benar menakutkan. Tatapan tajam, membunuh keberanian lawan bicaranya. "Katakan siapa orang yang kamu telpon tadi. Saya mengantongi beberapa bukti kejahatan yang njenengan lakukan. Jika nggak mau ngaku, saya terpaksa memanggil polisi saat ini juga.""Maksud Mas Arvin apa? Kejahatan apa yang saya lakukan? Saya sama sekali nggak ngerti," ucap si lelaki terbata-bata. "Terus saja mengelak. Kalau saya bener-bener menyerahkan bukti itu ke polisi baru tahu rasa," ancam Arvin, Wajahnya makin terlihat menakutkan bagi sang manajer produksi. Namun, lelaki di depan Arvin itu berusaha setenang mungkin agar tidak ada kecurigaan yang mengarah padanya. "Silakan saja laporkan ke polisi. Saya sama sekali nggak berbuat salah.""Baik, njenengan yang memaksa saya melakukannya. Jadi, jangan menyesal setelah ini." Arvin mengambil ponsel dari sakuny
Happy Reading*****Zoya berbalik akan segera berlari menjauhi sang suami. Namun, Arvin sudah memegang pergelangan tangannya terlebih dan mendekapnya sehingga Zoya cuma bisa tertawa."Puas, ya, ngerjain Mas kayak gini?" Menciumi seluruh wajah dan kepala sang istri. Zoya tertawa lepas. Setelah banyaknya kejadian tidak mengenakkan yang terjadi akhir-akhir ini, sekarang dia mendapatkan kebahagiaan. Pernikahan yang awalnya membuat ragu kini akan berubah menjadi keluarga kecil yang Insya Allah membahagiakan. "Mas, sih. Mukanya tegang gitu padahal yang over thinking sebelumnya adalah aku. Kenapa berubah nggak yakin setelah melihatku tadi?" Kedua tangan Zoya menangkup pipi Arvin membuat bibir lelaki itu monyong. Arvin berusaha tersenyum, tetapi kesulitan karena kedua tangan Zoya. Akhirnya, lelaki itu hanya memandang sang istri lekat sambil membayangkan ketika dulu Zoya sering sinis dan marah-marah tidak jelas padanya. Walau lelaki itu sudah berusaha menjelaskan dan bertanya kenapa sikap
Happy Reading*****Zoya beranjak meninggalkan Arvin. Kakinya menghentak keras karena kesal. "Katanya cinta, cuma diminta tolong gitu saja nggak mau," gerutunya sepanjang perjalanan menuju kamar. Sebagai lelaki yang cukup peka dengan sikap istrinya, Arvin menyusul wanita yang sudah dia cintai sejak dulu itu. Sebelum sampai di kamar dan membuka pintu, pergelangan Zoya dipegang. "Jangan marah dulu, dong, Sayang. Bukannya Mas nggak mau beliin mangga muda, tapi Mas penasaran sama sikapmu sekarang. Kamu nggak pengen periksa ke dokter?""Aku nggak sakit, ya. Ngapain periksa?" Zoya menyilangkan tangannya. Bibirnya mengerucut dan tatapan matanya semakin jengkel pada sang suami. Menghela napas sambil mengelus dada, Arvin meletakkan tangannya ke pundak sang istri. "Ke dokter bukan cuma sakit saja, kan? Kamu nggak kepikiran aneh padahal sudah hampir dua bulan nggak datang bulan. Minimal, kamu tes mandiri deh, Sayang." Saat itulah kening Zoya berkerut. Entah mengapa beberapa bulan ini, dia tid
Happy Reading*****"Ibu," teriak Hasbi. Lelaki itu segera merangkul perempuan yang telah melahirkannya dan berteriak untuk memanggil Ambulance.Sementara Arvin, mencengkeram kuat leher Noval. Dia juga melayangkan bogem dengan sekuat tenaga. Polisi langsung mengamankan lelaki yang telah melukai ibunya Hasbi tersebut. Namun, lelaki itu terus memberontak hingga satu pukulan kembali melayang padanya. "Dasar manusia jahat. Masih saja ingin melawan. Kamu mau membusuk di penjara seumur hidup?" bentak Arvin."Aku bersumpah nggak akan mati sebelum menghabisi kalian semua. Nggak usah mimpi, Vin," umpat Noval. "Menyerahlah sebelum kami melakukan tindakan lebih buruk dari ini." Polisi memukul kaki Noval, mengurangi pergerakannya.Sementara itu, Zoya terpaku melihat tantenya bersimbah darah di pelukan Hasbi. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. "Bi, gimana kalau tante ....""Sstt. Berdoa yang baik-baik saja." Hasbi langsung menggendong ibunya kelur dari ruang meeting. Di luar, ambulance s
Happy Reading*****"Om, jangan bertindak gegabah. Njenengan itu sudah menjadi buronan polisi saat ini. Kalau sampai Mbak Zoya terluka, hukuman yang didapat nggak main-main. Kemungkinan besar, Om Sano akan membusuk di penjara," peringat Hasbi. Dia bergerak pelan untuk menyelamatkan saudaranya."Diam, Bi. Jangan ikut campur. Kalau kamu bergerak lagi. Aku benar-benar akan menghabisinya," ancam Sano. Pisau yang dia acungkan ke leher Zoya menempel erat di kulit. Di belakang lelaki paruh baya itu sudah ada Noval dan lelaki yang paling dibenci Hasbi. Suami ibunya itu membawa serta perempuan yang telah melahirkan Hasbi. "Jangan ikut campur kalau nggak mau nyawa ibumu melayang," peringat Noval. Lalu, dia menatap semua orang yang ada di ruangan itu. "Sebaiknya, kalian juga diam. Jangan ada yang berani bergerak untuk menghubungi polisi kalau nggak mau nyawa melayang."Noval melemparkan map berwarna hitam ke meja meeting. "Silakan kalian tanda tangani berkas itu. Setelahnya, kalian bisa pergi
Happy Reading*****"Jika laporan rugi laba ini benar, kenapa pihak-pihak yang bekerja sama dengan kita masih komplain? Para karyawan juga banyak yang mengeluh jika Zoya membiarkan masalah itu terus berlanjut," tanya Sekar. "Benar. Ketika saya mengadakan sidak beberapa waktu lalu, salah satu karyawan sempat mengatakan bahwa kamu nggak mengambil tindakan apa pun. Cuma menyortir bahan amentah yang ada di frezer gudang. Selebihnya, kamu nggak amengambil tindakan apa pun," kata salah satu pemilik modal."Pasti yang bapak tanyai adalah karyawan dengan posisi pekerja biasa atau pelaksana. Coba njenengan tanya pada semua jajaran presidium yang ada di pabrik ini. Bagaimana Mbak Zoya dan saya berusaha mengatasi masalah yang ada tanpa bantuan siapa pun. Kami malah mendapat intimidasi dari beberapa orang tak dikenal," terang Hasbi. Zoya berdiri, menetap semua orang yang hadir penuh selidik. "Saya tahu, ada seseorang dari njenengan-njenengan ini yang nggak mau saya berada di posisi sekarang. Se
Happy Reading*****Arvin menatap semua anggota keluarganya bergantian. "Kalau kita nggak menyembunyikannya. Aku takut, apa yang mereka rencanakan akan jauh lebih besar lagi. Bukan nggak mungkin kalau nyawamu juga menjadi incaran mereka," ucapnya pada sang istri. Diam, semua orang yang ada di ruang perawatan itu mencoba berpikir dan menimbang ide yang dikemukakan Arvin."Mereka itu orang yang berpikiran sempit. Kita nggak bisa menjamin jika mereka nggak merencanakan semua itu apalagi selama ini rencana-rencana yang disusun selalu gagal. Bu, Pak, aku nggak bisa mengambil resiko jika sampai mereka benar-benar menargetkan kematian Zoya.""Sepertinya, apa yang dikatakan Mas Arvin benar. Ada baiknya kita mengikuti permainan mereka. Mungkin dengan jalan ini, kita bisa mengetahui keberadaan Om Sano dan Noval. Jika orang yang dianggap penghalang sudah nggak ada, bisa dipastikan keduanya akan muncul," tambah Hasbi yang merasa ide sang ipar bisa dijalankan.Terdengar tarikan napas Zoya, dia m
Happy Reading*****"Mbak, ada apa sama Mas Arvin?" tanya Hasbi ikut panik seperti Zoya. "Nggak tahu, Bi. Antar Mbak ke rumah sakit. Mbak takut nggak fokus nyetir kalau ke sana sendiri." Membereskan berkas yang ada di hadapannya. Zoya berdiri, lalu melempar kunci mobil tanpa menunggu jawaban Hasbi."Istighfar, Mbak," pinta Hasbi. "Kita nggak punya waktu banyak, Bi. Suara Bapak di telpon seperti orang yang ketakutan.""Ayo, cepat ke rumah sakit." Setengah berlari keduanya menuju parkiran. Tak sedikit orang yang berpapasan dengan keduanya bertanya, tetapi tidak dijawab. Hasbi melakukan kendaraan dengan cepat menuju rumah sakit. Walau beberapa pengendara lain sempat memperingatkannya dengan mengklakson bahkan kadang ada yang mengumpat langsung karena cara berkendaranya yang ugal-ugalan. Namun, Hasbi tak mengindahkannya hingga lima menit kemudian mereka sampai di gerbang rumah sakit."Mbak turun dulu. Biar aku nyari tempat parkir." Mobil yang mereka kendarai sudah ada di depan loket
Happy Reading*****Pulang dari rumah tua, Sekar dan Adeeva mampir ke tempat orang yang sudah disebutkan Noval. Mereka akan meminta bantuan pada lelaki tersebut. Bintang keberuntungan berpihak pada keduanya. Lelaki yang dicari tengah duduk di teras rumah."Untungnya kamu ada di rumah, Rim," ucap Sekar menyapa lelaki berbadan dempak dengan jambang lebat."Tumben. Ada keperluan apa mencariku?" Lelaki yang tak lain adalah suami kedua ibunya Hasbi itu menatap dua perempuan di depannya dengan tatapan menyelidik."Ada hal yang perlu kita bicarakan," jawab Sekar."Kayaknya hidup Om Karim sangat santai dan tenang. Sore gini sudah duduk di teras rumah menikamati senja," tambah Adeeva.Lelaki itu terkekeh. "Nggak semua yang kamu lihat adalah kebenarannya. Terkadang, orang yang terlihat paling santai adalah orang yang paling ruwet pemikirannya," jawabnya. Lalu, lelaki itu menatap Sekar. "Bagaimana kabar Sano?""Buruk. Dia dalam pengawasan polisi. Oleh karena itulah aku datang menemuimu. Dia memi
Happy Reading*****"Jangan salah paham, Mas. Kami bermaksud baik," sahut Ashari."Benar, Mas Hasbi. Coba njenengan lihat keadaan Mbak Zoya sekarang. Apakah tega terus-terusn melihatnya seperti itu?" tambah Maryam, "Ibu sama Bapak cuma ingin yang terbaik.Hasbi memandang Zoya, lalu menatap kedua orang tua Arvin. Kemarahan yang semula mulai hadir kini perlahan mereda. Lelaki itu mencoba menempatkan dirinya pada posisi orang-orang tersebut. "Gini, lho, Bu, Pak. Coba njenengan pikirkan lagi, apa yang akan Mas Arvin rasakan jika dia terbangun nanti. Dia sudah menunggu Mbak Zoya lama sekali, lho. Mbak Zoya sendiri pastinya nggak akan mau meninggalkan suaminya dalam keadaan seperti ini," jelas Hasbi."Tapi, Mas. Coba njenengan bayangkan, sudah sebulan lebih nggak ada perkembangan pada Arvin. Ibu sama Bapak nggak tega melihat Mbak Zoya terus-terusan seperti ini." Maryam mulai menitikkan air mata."Biarlah, jika dia bangun nanti kami yang akan menjelaskan," tambah Ashari.Hasbi menggelengka