Happy Reading*****Seluruh tubuh Zoya melemah bagai tak bertulang. Dia bahkan tidak memiliki sedikitpun kenangan yang tersisa jika rumah tersebut diwariskan pada Sekar dan Adeeva. "Tunggu dulu Pak Sano. Saya belum menyelesaikan perkataan tadi," sahut sang pengacara. "Apalagi, Pak? Bukankah semuanya sudah jelas saat ini," sela Sekar. "Sabar, Bu Sekar," jawab sang pengacara, "Surat wasiat ini memang asli dan ditulis langsung oleh mendiang. Tapi, sebelum beliau meninggal, Pak Arsyad sudah mengubah isi wasiatnya tentang rumah." Pengacara itu membuka tas dan mengeluarkan map berwarna hitam. Wajah gusar Sekar mulai terlihat demikian juga dengan Sano. Tak jauh dari tempat mereka semua, Adeeva dan Noval baru saja memasuki halaman rumah. "Ada apa ini?" tanya Adeeva. Langsung mendekat pada ibunya."Surat wasiat yang dibuat ayahmu, ternyata ada yang baru," sahut Sano. Sang pengacara menatap Adeeva yang baru saja datang. "Oleh karena semua orang sudah ada di sini, maka saya akan membacakan
Happy Reading*****"Aku bisa jelaskan nanti, Mas," jawab Hasbi. "Sebaiknya, nggak usah ikut campur, Vin," ucap Sano. Dia masih mengunci kedua tangan Arvin ke belakang agar tak menyelamatkan Zoya.Arvin berusaha melepaskan diri dari kungkungan yang membelenggunya. Namun, tenaganya jauh lebih besar dari Sano. Melirik Hasbi, suami Zoya itu memberi kode untuk segera menyelamatkan istrinya.Mengerti kode yang diberikan Arvin, Hasbi perlahan menggeser posisinya, mendekati Zoya dan Sekar."Bu Sekar, jangan bertindak impulsif. Pak Arsyad menuliskan wasiat tersebut pasti memiliki pertimbangan tersendiri," nasihat sang pengacara."Tetap saja dia nggak adil. Aku sudah menjaga anaknya selama puluhan tahun. Tapi, apa yang didapat? Cuma rumah kecil di pinggiran kota itupun harus berbagi dengan Adeeva," kata Sekar keras, menggelegar memenuhi ruang tamu. "Bu, tolong lepaskan," pinta Zoya. Tersendat-sendat karena tenggorokannya tercekat."Mati saja, kamu." Perkataan Sekar makin ngawur. Emosinya tak
Happy Reading*****Duduk di sebelah sang istri, Arvin menyodorkan sendok yang berisi nasi serta ayam kecap. Walau banyak masalah yang harus mereka hadapi, tetapi menjaga kesehatan harus dilakukan serius. "Udah, Mas. Aku kenyang," kata Zoya setelah menerima beberapa suap makanan dari suaminya."Satu sendok lagi, Sayang. Makanan tadi dikit sekali." Sengaja menampilkan wajah melas. "Buat Mas saja. Mas juga harus makan biar nggak sakit." Zoya mengambil sendok di tangan Arvin. Lalu, menyuapkannya. "Buka mulut. Aku tahu, Mas, pasti lapar setelah seharian tadi bekerja.""Tapi, Sayang. Nasi ini untukmu. Mas, nanti ambil sendiri di dapur," tolak Arvin."Mas, jijik gitu sama bekas sendokku?"Cepat, Arvin menggelengkan kepala. "Nggak gitu juga, Sayang.""Kalau gitu, buka mulut." Zoya kembali menyodorkan sendok berisi makanan ke mulut sang suami.Arvin terpaksa membuka mulutnya. "Nah, gitu, dong."Menarik garis bibirnya, Arvin melihat kebahagian di mata sang istri walau sedang dilanda masalah
Happy Reading*****Saking gugupnya orang yang tengah menguping pembicaraan Hasbi dan Arvin, dia malah melakukan kesalahan. Kakinya tanpa sengaja terantuk vas bunga yang berada di dekat pintu ruangan tersebut. "Siapa di sana?" teriak Hasbi. Segera berdiri melihat keadaan di luar. Namun, dia hanya bisa melihat punggung orang tersebut. Kembali ke ruangan tersebut, tatapan Arvin terlihat tegas."Siapa, Bi?""Kurang tahu, Mas. Aku cuma bisa melihat punggungnya saja. Coba cek kamera pengawas. Aku yakin dia mengintip dengan maksud lain.""Nanti saja, lebih baik kita cari solusi untuk masalah ini. Bagaimana caranya menangkap pelaku tanpa mereka menyadarinya." Arvin menatap lurus ke depan. "Mas, boleh saya memberikan pendapat," kata sang wakil manajer produksi."Silakan saja, Pak. Apa yang ingin njenengan sampaikan?"Lelaki berumur empat puluhan itu duduk di sebelah Hasbi. Mulai menata diri sebelum mengatakan, raut mukanya kentara sekali jika dia memiliki kemelut di hati. Walau tak tahu pas
Happy Reading*****"Saya nggak suka orang yang bertele-tele," ucap Arvin. Sengaja duduk dengan penuh kewibawaan sebagai seorang atasan. Wajah lelaki itu benar-benar menakutkan. Tatapan tajam, membunuh keberanian lawan bicaranya. "Katakan siapa orang yang kamu telpon tadi. Saya mengantongi beberapa bukti kejahatan yang njenengan lakukan. Jika nggak mau ngaku, saya terpaksa memanggil polisi saat ini juga.""Maksud Mas Arvin apa? Kejahatan apa yang saya lakukan? Saya sama sekali nggak ngerti," ucap si lelaki terbata-bata. "Terus saja mengelak. Kalau saya bener-bener menyerahkan bukti itu ke polisi baru tahu rasa," ancam Arvin, Wajahnya makin terlihat menakutkan bagi sang manajer produksi. Namun, lelaki di depan Arvin itu berusaha setenang mungkin agar tidak ada kecurigaan yang mengarah padanya. "Silakan saja laporkan ke polisi. Saya sama sekali nggak berbuat salah.""Baik, njenengan yang memaksa saya melakukannya. Jadi, jangan menyesal setelah ini." Arvin mengambil ponsel dari sakuny
Happy Reading *****Arvin dan Hasbi bergegas ke lobi di mana para karyawan sedang berdemo. Entah apa yang mereka inginkan, keduanya belum tahu padahal tadi pagi tidak ada kejadian atau pergerakan yang memicunya. Tepat di luar pintu masuk, beberapa ratus karyaawan sudah berdiri dengan meneriakkan kata-kata provokasi tentang keadaan pabrik. Ada juga yang membawa spanduk bertuliskan supaya pihak presidium pabrik tidak memecat karyawan secara masal. Entah siapa yang mengembuskan kabar adanya PHK, Arvin dan Hasbi belum mengetahuinya. "Tolong ambilkan toa, saya ingin memberikan penjelasan pada mereka bahwa kabar pemecatan karyawan secara masal itu nggak ada," pinta Arvin pada salah satu karyawan yang kini berdiri di belakangnya. "Baik, Pak." Lelaki yang ditugaskan menjadi manajer HRD mengangguk. Berbalik arah untuk mendapatkan barang yang diminta atasannya.Setelah beberapa menit, Arvin menerima benda itu dan langsung berkata pada seluruh karyawannya. Tadi, sebelum karyawan yang membawa
Happy Reading*****Arvin tak lagi bisa mengendalikan laju kendaraannya. Sekuat tenaga memutar kemudi demi menghindari kecelakaan, dia malah menabrak pohon besar di sisi berbeda. Asap mengepul dari kap depan mobil yang ditumpangi Zoya dan suaminya. Beberapa orang segera menghampiri mereka dan berkerumun. Ada juga yang bertindak cepat dengan menolong pasangan tersebut. "Tolong istri saya," ucap Arvin sebelum kesadarannya menghilang. "Pak ... Pak," panggil seseorang yang tadi mengeluarkan Arvin. Lalu, lelaki itu mengambil ponsel di tangan suami Zoya dan menghubungi kontak yang belum sempat di tekan oleh Arvin."Ya, Mas. Ada apa?" ucap seseorang di seberang sana yang ternyata adalah Hasbi."Maaf, Mas. Kalau boleh tahu njenengan ini siapanya yang punya HP, ya?""Lho, ini siapa? Bukankah HP ini punyanya Mas Arvin?""Iya, bener. Saya cuma mau mengabarkan jika pemilik HP ini mengalami kecelakaan.""Astagfirullah," ucap Hasbi, "di mana kejadiannya, Pak?"Sang penolong menyebutkan nama jalan
Happy Reading*****Hasbi mengikuti langkah beberapa tetangganya hingga sampai di pos ronda perumahan tersebut. Tampak ibunya kacau dengan jilbab robek serta tangisan memilukan. Hasbi mendekap ibunya erat. "Bu, tenang. Ini Hasbi," bisik lelaki berkemeja cokelat muda tersebut. Perempuan paruh baya dengan gamis batik itu mendorong sedikit tubuh si lelaki. Menatap, memastikan bahwa yang memeluknya tadi adalah Hasbi, anaknya. "Hasbi." Tangis perempuan paruh baya itu pecah. Hasbi, hanya bisa mengelus punggungnya dengan sabar. Setelah tangis sang wanita mulai reda, barulah putra semata wayangnya itu mengajak pulang."Terima kasih, sudah menolong ibu saya," ucap Hasbi, tulus pada para tetangganya."Sudah menjadi kewajiban kami untuk menolong tetangga yang kesusahan. Kalau saya boleh ngasih saran, lain kali kalau Mas Hasbi mau ninggal Ibu di rumah sendirian. Sebaiknya ada yang menemani," nasihat salah satu dari Bapak-bapak yang menolong. Dia dikenal sebagai ketua RT di perumahan tersebut.