"Apa, sih, Ay?" Arvin kembali memasang wajah dingin seperti sebelumnya.
Ekor mata Zoya berputar. "Kenapa kembali ke mode awal? Apa perkataanku tadi sudah keterlaluan?" ucapnya dalam hati. Keduanya terdiam beberapa saat hingga kendaraan yang ditumpangi berhenti di parkiran. "Turun, Ay," suruh Arvin karena melihat perempuan di sebelahnya terbengong. "Iya ... iya. Aku turun sekarang." Zoya sudah hampir menapakkan kakinya ke tanah. Namun, semua dia urungkan ketika suara Arvin terdengar. "Di dalam, sudah ada Pak Nareswara yang menunggu keputusanmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama." Zoya menoleh dengan mata terbuka dan alis yang hampir bertaut. "Gila, ya. Belum juga aku membaca berkas kerja sama sudah suruh menyetujui dan tanda tangan." Mendengkus, Arvin membalas tatapan Zoya lebih sengit. "Bisa, nggak, jangan mengedepankan emosi. Katanya pinter. Masak memahami perkataanku tadi saja, nggak bisa." Arvin turun lebih dulu, lalu berlari ke sisi pintu Zoya. Layaknya perlakuan seorang kekasih, lelaki itu memegang pintu, tangan yang lain dia letakkan di pinggiran supaya kepala Zoya tidak terantuk. "Nggak usah sok perhatian," ucap Zoya. "Aku adalah pegawaimu. Keselamatanmu, tanggung jawabku." Setelahnya, Arvin berjalan terlebih dahulu. Sampai di ruangan yang biasa digunakan Arsyad, lelaki itu mempersilakan Zoya masuk. Dia bahkan membukakan pintu untuk putri majikannya. "Masuk dulu, Pak Nareswara masih ada di ruanganku." Zoya cuma menganggukkan kepala. Memasuki ruangan yang sudah lebih sepuluh tahun tidak dia masuki, si gadis duduk di singgasana kebesaran Arsyad. Foto berukuran 4R terlihat. Senyum manis bundanya yang memiliki lesung pipi dengan balutan jilbab pasmina, begitu menggelitik hatinya. "Mengapa Ayah masih menyimpannya? Bukankah pernikahannya dengan Ibu sudah sangat lama, tapi kenapa malah nggak ada foto beliau di ruangan ini. Fotonya Adeeva juga nggak ada padahal ayah jelas sangat menyayanginya," gumam Zoya, "Apa mungkin disimpan di laci?" Tangan kanannya menarik laci meja, mencari-cari foto Adeeva dan Sekar. Namun, Zoya malah menemukan fotonya dan Arvin. "Aya, aku masuk, ya," ucap seorang lelaki dari luar. Zoya hafal bahwa tu suara Arvin. "Masuk saja." Sebelum lelaki itu masuk, Zoya menyembunyikan foto lama tersebut. "Ay, aku bawa Pak Nares," ucap si lelaki. Sekilas, Zoya melirik Arvin sebelum memutuskan untuk menghindari tatapan lelaki itu. Walau merasa ada yang aneh dengan Zoya, Arvin tak bertanya apa pun. Dia memilih fokus pada pembahasan yang akan dilakukan dengan Nareswara. "Halo, Om. Lama nggak ketemu. Gimana kabarnya?" Tangan kanan Zoya terulur untuk bersalaman. Dia juga berdiri dan mengajak salah satu rekan kerja ayahnya itu untuk duduk di sofa. "Kabar baik, Aya. Sekarang, kamu sudah jauh terlihat dewasa. Apa kabar ayahmu?" Nareswara membalas uluran tangan Zoya. "Ay, ini berkas-berkas kerja sama dengan Pak Nares. Kamu bisa pelajari dulu. Kalau ada yang nggak dimengerti tanyakan saja," sela Arvin, "aku kembali ke ruanganku sebentar." "Kamu nggak nemeni aku, Vin?" tanya Zoya. Entah mengapa, dia sedikit grogi saat lelaki itu mengatakan akan meninggalkannya. "Ada yang harus aku selesaikan, Ay. Nggak lama. Setelahnya, aku pasti ke sini lagi." "Om, nggak akan makan kamu, Aya. Arvin cuma pergi sebentar. Masak gitu aja takut. Dia nggak bakalan ilang," goda Nareswara. Melihat dua anak muda di depannya, dia teringat pada putra sulungnya. Mendengar gurauan Nareswara, Arvin tersenyum. "Aku tinggal, ya, Ay." Lelaki itu malah dengan sengaja mengedipkan mata. Zoya mengumpat keras dalam hati, bisa-bisanya Arvin berbuat demikian di depan Nareswara. Apa lelaki itu tidak takut jika rekan kerja ayahnya akan salah paham. "Ya, pergilah," ucap Zoya. Suaranya terdengar menjengkelkan. Nareswara terkikik melihat tingkah dua anak muda tersebut. "Kalian itu persis seperti Andini dan Rasya." "Om, nggak seperti itu. Aku sama Arvin nggak punya hubungan apa-apa. Sebatas profesional kerja saja." Zoya mulai membuka berkas yang diberikan Arvin demi mengalihkan pembahasan. Nareswara makin mengeraskan suara tawanya. "Tapi, yang Om lihat nggak seperti itu, Ay. Kalian tampak seperti pasangan yang saling jatuh cinta, nggak mau pisah satu sama lain. Kenapa menunda pernikahan jika sudah begini keadaannya." Zoya menggelengkan kepala. "Om, nggak seperti itu. Sudah, jangan bahas aku sama Arvin. Kita bahas kontrak kerja sama ini saja." "Baiklah ... baiklah," putus Nareswara, "Kalau Om boleh ngasih saran. Jangan sampai pernikahan kalian gagal, Ay. Arvin itu adalah lelaki yang paling pantas menjadi suamimu." "Om," panggil Zoya. Bibirnya maju, mukanya terlihat lucu sekaligus kesal dengan perkataan Nareswara. "Hahaha ... Maaf. Om, nggak bisa berhenti ketawa. Lanjut aja dulu baca berkas itu, Ay," pinta Nareswara. Dia masih saja tertawa. Di ruangannya, Arvin langsung menyalakan laptop dan memulai meeting online dengan beberapa sahabatnya. Baru menampakkan wajah, lelaki itu sudah mendapatkan selamat. Arvin cuma bisa tersenyum kecut menanggapi ucapan selamat dari teman-temannya. "Jadi, kapan mau ngadain resepsinya?" tanya salah satu sahabat Arvin. Arvin menggaruk kepalanya, tersenyum bingung. "Doakan secepatnya, deh. Aku pasti ngasih kabar sama kalian semua. Sekarang kita bahas masalah penting lainnya." Hampir setengah jam berlalu, Arvin pun kembali ke ruangan Zoya. Tanpa mengetuk pintu, lelaki itu sudah berdiri di dekat Zoya. "Gimana, apa kamu setuju dengan keseluruhan isi perjanjian kontrak itu?" tanya Arvin. "Mana mungkin Zoya nggak setuju, Vin. Semua gambaran serta keuntungan kerja sama kita sudah kamu jelaskan dengan sangat rinci. Om, salut sama kalian berdua. Bisa bekerja sama di saat Arsyad sedang sakit. Dia pasti bangga punya anak dan menantu seperti kalian," ucap Nareswara. Tak lupa, dia berdiri dan menepuk pundak Arvin. "Jadi, kontrak tersebut sudah ditandatangani, Pak?" "Tentu saja. Zoya langsung setuju dengan isinya. Walau dia belum pernah berkecimpung di bidang pertanian dan usaha minuman kemasan kita. Tapi, dia sangat percaya padamu. Jadi, jangan sia-siakan kepercayaannya. Aku harus pergi dulu, Vin. Masih ada pekerjaan lain yang menunggu," pamit Nareswara. Sebelum mengangguk, Arvin sempat melirik Zoya. Lalu, dia pun berkata, "Terima kasih, Pak Nares. Semoga kerja sama kita bisa saling menguntungkan, berkah dan bermanfaat bagi semua orang." "Amin. Aku tinggal, ya. Ay, sampaikan salam Om pada ayahmu. Semoga lekas membaik." Sepeninggal Nareswara, Zoya kembali duduk di singgasana Arsyad. Arvin sendiri dengan penuh kesadaran, mengambil posisi duduk di depannya, tersekat meja. "Jadi, bagian mana yang ingin kamu tanyakan, Ay?" ucap Arvin. "Sudah berapa lama kamu kerja bareng Ayah?" "Hmm. Kenapa malah hal itu yang kamu tanyakan?" "Kamu begitu menguasai semua usaha yang Ayah miliki. Apa kamu berniat mengambil alih seluruh usaha Ayah?" Tatapan Zoya penuh selidik. Jelas sekali proposal dan kontrak kerja sama yang dia baca tadi dibuat oleh seseorang yang sangat menguasai bidangnya. Arvin yang Zoya kenal adalah seorang sarjana teknik informatika. Lalu, bagaimana mungkin lelaki itu bisa memahami dengan detail tentang pertanian dan segala macam manajemen yang berlaku di pabriknya saat ini. Tawa Arvin menggema, lalu berdiri dan berjalan mendekati Zoya. Semakin dekat jarak si lelaki, bulu kuduk Zoya meremang. Apalagi ketika embusan napas Arvin mengenai telinga kirinya. "Pikiranmu terlalu picik, Ay. Mana mungkin aku mampu merebut harta yang kamu miliki, merebut hatimu saja aku nggak bisa," bisik Arvin lembut penuh penekanan. "Jaga ucapanmu, Vin. Aku sudah punya pacar dan akan segera menikah," ucap Zoya jengkel. Tanpa berpikir perempuan itu menoleh dan ciuman pun tak lagi terelakkan. "Mbak Zoya, Mas Arvin," teriak seseorang dekat pintu tiba-tiba--mengejutkan keduanya.Ada apa ini?
"Kalian ini nggak ngerti tempat, ya. Mentang-mentang pengantin baru, di kantor malah mesra-mesraan." Seorang lelaki berkemeja biru muda menyilangkan tangan di ambang pintu. Kepalanya geleng-geleng melihat live dua insan yang sejak dulu bersaing itu. "Apa, sih, Bi," sahut Zoya. Dia segera berdiri menjauhi Arvin. "Omonganmu ngawur, Bi," lanjut Arvin, "kamu nyariin aku?" Berusaha setengah mungkin walau jantungnya tengah berpacu. Arvin mengikuti langkah Zoya menuju sofa. Lelaki yang dipanggil Bi tersebut terkikik. Geli sekali melihat tingkah dua orang dewasa di depannya. Dia pun tak bisa berhenti tertawa kecil. "Hasbi!" panggil Zoya, "kalau terus tertawa, aku pecat kamu." Arvin menahan tawanya, perempuan di sebelahnya itu terlihat kesal sekali dengan tingkah sepupunya. Jadi, dia tidak akan menambah kekesalan Zoya. Bisa-bisa si perempuan akan semakin marah nantinya. "Dih, Pakde aja nggak pernah ngomong gitu. Eh, penggantinya malah lebih galak. Salah dikit, langsung pecat." Hasbi
Hah?Takut terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya, Zoya memundurkan kursi. Lalu, menatap lawannya. "Ingat, ya, Vin. Aku sudah punya calon suami. Kamu nggak berhak mencampuri urusan pribadiku." Pergi begitu saja meninggalkan Arvin yang menjadi patung, Zoya menghentakkan kakinya. Kesal sekali dengan sikap diktator lelaki itu. "Memangnya dia siapa? Ayah saja nggak pernah kayak tadi. Dia itu cuma anaknya tukang kebun di rumah ini. Berani-beraninya sok kuasa. Apa jadinya kalau aku sampai nikah sama dia tadi," gerutu Zoya sepanjang perjalanan menuju kamar. Sepeninggal Zoya, Arvin merutuki dirinya sendiri. Kenapa begitu ceroboh hingga membuat Zoya marah. "Dia pasti makin membenciku padahal, sikapnya sudah mulai melunak. Bodoh kamu, Vin," umpatnya pada diri sendiri. Sampai di kamar, Zoya menghubungi Bara kembali. Namun, panggilannya tak terangkat, gadis itu mencoba beberapa kali melakukan panggilan yang terjadi malah nomor Bara tidak aktif. Capek dengan segala aktivitasnya hari
"Sejak kapan kamu kenal Bara?" tanya Zoya, "bertemu saja baru kali ini. Iya, kan, Sayang?" Menatap ke arah Bara. "Iya, aku baru kali ini datang ke kotamu, Sayang." Bara merangkul Zoya di hadapan Arvin dengan tatapan permusuhan. Garis bibir Arvin terangkat sebelah. Satu tangannya dimasukkan ke saku dan mengepal. Lelaki itu menyatukan gigi-giginya dengan kuat. "Oh, ya? Mungkin karena tanggal 19 Juni bulan lalu di hotel Minak Jinggo, aku nggak sempat memberimu ucapan selamat secara langsung. Jadi, kamu nggak tahu siapa aku," ucap Arvin ambigu. Mendongakkan kepalanya menatap sang kekasih, Zoya bertanya melalui tatapan mata. "Nggak tahu maksudnya apa, Sayang. Tanggal 19 Juni, aku ada meeting yang membuat kita membatalkan kencan kita waktu itu. Kamu ingat, kan?" ucap Bara. Suaranya mulai sedikit bergetar. Zoya melepas rangkulan Bara. Tangannya beralih memegang pergelangan sang kekasih. Lalu, gadis itu berjalan menjauhi Arvin. Akan tetapi, sebelumnya dia sempat berkata, "Nggak usah
"Dari mana kamu mendapatkan semua ini?" tanya Bara. Suaranya keras membahana hingga membuat Sekar dan Zoya tersentak, takut. "Menurutmu?" tanya Arvin, "bukankah kamu memblokir seluruh fotografer untuk mendokumentasikan acara tersebut. Tapi, kamu lupa bahwa aku bisa mendapatkan langsung dari sumbernya karena kamu nggak mungkin menghalanginya." "Nggak mungkin." Bola mata Bara melebar dengan wajah memerah. "Siapa kamu sampai mengenal Kahyang?" "Jadi, perempuan ini namanya Kahyang?" sahut Zoya, Pikirannya langsung tertuju pada perkataan Arvin pagi tadi. "Nggak nyangka kamu tega, Bar." "Apa, sih, Sayang. Aku sama dia itu dijodohkan. Sebentar lagi, kami sepakat untuk memutuskan pertunangan." Bera berusaha menyentuh pergelangan Zoya, tetapi ditolak. "Sebaiknya, kamu pergi dari sini," usir Sekar pada Bara, "lelaki sepertimu, selamanya nggak akan pernah jujur." "Tapi, Bu," bantah Bara. Menatap Zoya, mencari dukungan. "Sayang, aku bisa jelaskan. Bulan depan, aku sama dia sudah selesai.
Happy Reading*****"Untuk apa kami harus memberitahu. Kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi," sahut Arsyad. "Pak, tolong. Jangan melepaskan alat itu lagi," pinta Arvin. Dia kembali ingin memasangkan alat pernapasan pada mertuanya. "Tunggu, Vin. Bapak belum selesai bicara. Sebelum anak itu pergi, Bapak nggak akan menggunakan alat ini lagi.""Om, masih saja keras kepala bahkan berani menikahkan Zoya dengan orang lain. Nyata-nyata dirinya sudah aku rusak."Plak ....Lelaki pemilik nama Noval itu mendapat tamparan keras dari Arvin. "Jaga mulutmu, Val. Sebaiknya kamu pergi sekarang sebelum aku benar-benar menghajarmu," ancam Arvin. Zoya menatap benci pada lelaki yang berstatus sebagai sepupunya itu. "Apa belum cukup kamu menyakitiku, Val? Sekarang, kamu ingin menghancurkan pernikahanku?"Noval mendengkus. "Kalau bukan karena iming-iming harta yang dijanjikan Om Arsyad. Mana mungkin Arvin mau menikahimu, Ay.""Jaga ucapanmu, Mas Noval. Keluarga saya memang miskin, nggak bisa dibandi
Happy Reading*****Zoya kembali menundukkan padangan. Tak sanggup menatap mata Arvin yang menuntut jawabannya. Arvin sendiri begitu gemas dengan reaksi sang istri. "Kalau aku memang nggak pernah ada di hatimu, maka aku akan berjuang sangat keras supaya hanya aku yang merajai hatimu." Arvin mengangkat tangan sang istri, lalu mengecupnya hingga menimbulkan bunyi yang membuat Zoya membulatkan mata. "Vin," panggil perempuan itu. Rona pipinya bersemu merah. "Kenapa? Malu?" tanya Arvin yang dibalas anggukan oleh Zoya. "Kita sudah sah sebagai pasangan, jadi hal-hal seperti ini harus dibiasakan.""Vin, apa kamu nggak menyesal?""Menyesal gimana? Kalau aku nggak menikah denganmu, selamanya aku nggak akan menikah."Zoya langsung membekap mulut suami. "Jangan katakan hal-hal buruk," ucapnya, "aku cuma nggak mau kamu menyesal dengan keputusanmu ini. Bukankah ada Adeeva yang jauh lebih baik dan dia terlihat sangat mencintaimu."Arvin tersenyum miring. "Jangan katakan kalau kamu cemburu dengan
Happy Reading*****"Apa, Sayang?" tanya Arvin. Dia bahkan mengedipkan salah satu matanya. Lalu, membuka kancing kemeja yang melekat di tubuhnya satu per satu. "Vin, kok malah buka baju?" Zoya menutup mata dengan kedua tangannya. "Kok, manggil nama lagi?" Kedua indera Arvin, melotot sempurna. "Kayaknya pengen adegan mesra sama aku, deh.""Nggak!" Zoya menyingkirkan telapak tangannya dari wajah. "Mas Arvin yang ganteng," ucapnya, "tapi nyebelin," lanjut Zoya dalam hati."Apa, istriku yang cantik?" balas Arvin cengar-cengir."Jangan buka baju di sini, ya. Kamu mandi duluan aja. Biar aku tunggu di luar." Sedikit gemetar, Zoya menangkupkan kedua tangannya di pipi sang suami. "Kalau mau mandi bareng, kapan-kapan aja, ya, suamiku yang ganteng.""Hmm," jawab Arvin. Suaranya bergetar sedikit serak. Lalu, dia membuang muka, tak sanggup menatap Zoya dengan segala godaan serta kata-katanya. Bersorak, Zoya merasa menang kali ini. "Memangnya, kamu aja yang bisa godain aku," ucapnya dalam hati.
Happy Reading*****Arvin dengan cepat mengelak supaya tidak terjatuh seperti sebelumnya. "Eits, nggak kena," ejek Arvin pada sang istri. Zoya mendengkus. Lalu, meninggalkan sang suami. "Aku tunggu di depan. Hasbi dari tadi chat. Ada banyak berkas keuangan yang harus aku periksa.""Nggak mau sarapan dulu, Sayang?""Nanti, aja di pabrik.""Mas sudah beliin bubur. Kamu bawa saja, kita sarapan di pabrik nanti."Arvin segera mengganti pakaiannya. Dia sendiri harus segera ke pabrik untuk memimpin meeting bersama para sahabat lainnya termasuk Kahyang. Mereka semua pasti sudah menunggu. Lima menit kemudian, Arvin sudah keluar dengan pakaian rapi. Zoya dibuat takjub dengan tampilan sederhana, tetapi terlihat menawan. Tidak seperti kebanyakan lelaki yang berangkat bekerja dengan memakai kemeja dan dasi. Arvin kali ini mengenakan baju koko modern."Emang agak lain, tapi kok tetap cocok dilihat." Zoya terus menatap suaminya hingga lelaki itu masuk dan menjalankan kendaraan."Suamimu ini meman