Share

8. Terjadi Lagi

"Apa, sih, Ay?" Arvin kembali memasang wajah dingin seperti sebelumnya.

Ekor mata Zoya berputar. "Kenapa kembali ke mode awal? Apa perkataanku tadi sudah keterlaluan?" ucapnya dalam hati.

Keduanya terdiam beberapa saat hingga kendaraan yang ditumpangi berhenti di parkiran.

"Turun, Ay," suruh Arvin karena melihat perempuan di sebelahnya terbengong.

"Iya ... iya. Aku turun sekarang." Zoya sudah hampir menapakkan kakinya ke tanah. Namun, semua dia urungkan ketika suara Arvin terdengar.

"Di dalam, sudah ada Pak Nareswara yang menunggu keputusanmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama."

Zoya menoleh dengan mata terbuka dan alis yang hampir bertaut. "Gila, ya. Belum juga aku membaca berkas kerja sama sudah suruh menyetujui dan tanda tangan."

Mendengkus, Arvin membalas tatapan Zoya lebih sengit. "Bisa, nggak, jangan mengedepankan emosi. Katanya pinter. Masak memahami perkataanku tadi saja, nggak bisa."

Arvin turun lebih dulu, lalu berlari ke sisi pintu Zoya. Layaknya perlakuan seorang kekasih, lelaki itu memegang pintu, tangan yang lain dia letakkan di pinggiran supaya kepala Zoya tidak terantuk. 

"Nggak usah sok perhatian," ucap Zoya.

"Aku adalah pegawaimu. Keselamatanmu, tanggung jawabku."

Setelahnya, Arvin berjalan terlebih dahulu. Sampai di ruangan yang biasa digunakan Arsyad, lelaki itu mempersilakan Zoya masuk. Dia bahkan membukakan pintu untuk putri majikannya.

"Masuk dulu, Pak Nareswara masih ada di ruanganku."

Zoya cuma menganggukkan kepala. Memasuki ruangan yang sudah lebih sepuluh tahun tidak dia masuki, si gadis duduk di singgasana kebesaran Arsyad. Foto berukuran 4R terlihat. Senyum manis  bundanya yang memiliki lesung pipi dengan balutan jilbab pasmina, begitu menggelitik hatinya.

"Mengapa Ayah masih menyimpannya? Bukankah pernikahannya dengan Ibu sudah sangat lama, tapi kenapa malah nggak ada foto beliau di ruangan ini. Fotonya Adeeva juga nggak ada padahal ayah jelas sangat menyayanginya," gumam Zoya, "Apa mungkin disimpan di laci?"

Tangan kanannya menarik laci meja, mencari-cari foto Adeeva dan Sekar. Namun, Zoya malah menemukan fotonya dan Arvin.

"Aya, aku masuk, ya," ucap seorang lelaki dari luar. Zoya hafal bahwa tu suara Arvin.

"Masuk saja." Sebelum lelaki itu masuk, Zoya menyembunyikan foto lama tersebut.

"Ay, aku bawa Pak Nares," ucap si lelaki.

Sekilas, Zoya melirik Arvin sebelum memutuskan untuk menghindari tatapan lelaki itu. Walau merasa ada yang aneh dengan Zoya, Arvin tak bertanya apa pun. Dia memilih fokus pada pembahasan yang akan dilakukan dengan Nareswara.

"Halo, Om. Lama nggak ketemu. Gimana kabarnya?" Tangan kanan Zoya terulur untuk bersalaman. Dia juga berdiri dan mengajak salah satu rekan kerja ayahnya itu untuk duduk di sofa.

"Kabar baik, Aya. Sekarang, kamu sudah jauh terlihat dewasa. Apa kabar ayahmu?" Nareswara membalas uluran tangan Zoya.

"Ay, ini berkas-berkas kerja sama dengan Pak Nares. Kamu bisa pelajari dulu. Kalau ada yang nggak dimengerti tanyakan saja," sela Arvin, "aku kembali ke ruanganku sebentar."

"Kamu nggak nemeni aku, Vin?" tanya Zoya. Entah mengapa, dia sedikit grogi saat lelaki itu mengatakan akan meninggalkannya.

"Ada yang harus aku selesaikan, Ay. Nggak lama. Setelahnya, aku pasti ke sini lagi."

"Om, nggak akan makan kamu, Aya. Arvin cuma pergi sebentar. Masak gitu aja takut. Dia nggak bakalan ilang," goda Nareswara. Melihat dua anak muda di depannya, dia teringat pada putra sulungnya.

Mendengar gurauan Nareswara, Arvin tersenyum. "Aku tinggal, ya, Ay."  Lelaki itu malah dengan sengaja mengedipkan mata.

Zoya mengumpat keras dalam hati, bisa-bisanya Arvin berbuat demikian di depan Nareswara. Apa lelaki itu tidak takut jika rekan kerja ayahnya akan salah paham.

"Ya, pergilah," ucap Zoya. Suaranya terdengar menjengkelkan.

Nareswara terkikik melihat tingkah dua anak muda tersebut. "Kalian itu persis seperti Andini dan Rasya."

"Om, nggak seperti itu. Aku sama Arvin nggak punya hubungan apa-apa. Sebatas profesional kerja saja." Zoya mulai membuka berkas yang diberikan Arvin demi mengalihkan pembahasan.

Nareswara makin mengeraskan suara tawanya. "Tapi, yang Om lihat nggak seperti itu, Ay. Kalian tampak seperti pasangan yang saling jatuh cinta, nggak mau pisah satu sama lain. Kenapa menunda pernikahan jika sudah begini keadaannya."

Zoya menggelengkan kepala. "Om, nggak seperti itu. Sudah, jangan bahas aku sama Arvin. Kita bahas kontrak kerja sama ini saja."

"Baiklah ... baiklah," putus Nareswara, "Kalau Om boleh ngasih saran. Jangan sampai pernikahan kalian gagal, Ay. Arvin itu adalah lelaki yang paling pantas menjadi suamimu."

"Om," panggil Zoya. Bibirnya maju, mukanya terlihat lucu sekaligus kesal dengan perkataan Nareswara.

"Hahaha ... Maaf. Om, nggak bisa berhenti ketawa. Lanjut aja dulu baca berkas itu, Ay," pinta Nareswara. Dia masih saja tertawa.

Di ruangannya, Arvin langsung menyalakan laptop dan memulai meeting online dengan beberapa sahabatnya. Baru menampakkan wajah, lelaki itu sudah mendapatkan selamat. Arvin cuma bisa tersenyum kecut menanggapi ucapan selamat dari teman-temannya.

"Jadi, kapan mau ngadain resepsinya?" tanya salah satu sahabat Arvin.

Arvin menggaruk kepalanya, tersenyum bingung. "Doakan secepatnya, deh. Aku pasti ngasih kabar sama kalian semua. Sekarang kita bahas masalah penting lainnya."

Hampir setengah jam berlalu, Arvin pun kembali ke ruangan Zoya. Tanpa mengetuk pintu, lelaki itu sudah berdiri di dekat Zoya.

"Gimana, apa kamu setuju dengan keseluruhan isi perjanjian kontrak itu?" tanya Arvin.

"Mana mungkin Zoya nggak setuju, Vin. Semua gambaran serta keuntungan kerja sama kita sudah kamu jelaskan dengan sangat rinci. Om, salut sama kalian berdua. Bisa bekerja sama di saat Arsyad sedang sakit. Dia pasti bangga punya anak dan menantu seperti kalian," ucap Nareswara. Tak lupa, dia berdiri dan menepuk pundak Arvin.

"Jadi, kontrak tersebut sudah ditandatangani, Pak?"

"Tentu saja. Zoya langsung setuju dengan isinya. Walau dia belum pernah berkecimpung di bidang pertanian dan usaha minuman kemasan kita. Tapi, dia sangat percaya padamu. Jadi, jangan sia-siakan kepercayaannya. Aku harus pergi dulu, Vin. Masih ada pekerjaan lain yang menunggu," pamit Nareswara.

Sebelum mengangguk, Arvin sempat melirik Zoya. Lalu, dia pun berkata, "Terima kasih, Pak Nares. Semoga kerja sama kita bisa saling menguntungkan, berkah dan bermanfaat bagi semua orang."

"Amin. Aku tinggal, ya. Ay, sampaikan salam Om pada ayahmu. Semoga lekas membaik."

Sepeninggal Nareswara, Zoya kembali duduk di singgasana Arsyad. Arvin sendiri dengan penuh kesadaran, mengambil posisi duduk di depannya, tersekat meja.

"Jadi, bagian mana yang ingin kamu tanyakan, Ay?" ucap Arvin.

"Sudah berapa lama kamu kerja bareng Ayah?"

"Hmm. Kenapa malah hal itu yang kamu tanyakan?"

"Kamu begitu menguasai semua usaha yang Ayah miliki. Apa kamu berniat mengambil alih seluruh usaha Ayah?" Tatapan Zoya penuh selidik. Jelas sekali proposal dan kontrak kerja sama yang dia baca tadi dibuat oleh seseorang yang sangat menguasai bidangnya.

Arvin yang Zoya kenal adalah seorang sarjana teknik informatika. Lalu, bagaimana mungkin lelaki itu bisa memahami dengan detail tentang pertanian dan segala macam manajemen yang berlaku di pabriknya saat ini.

Tawa Arvin menggema, lalu berdiri dan berjalan mendekati Zoya. Semakin dekat jarak si lelaki, bulu kuduk Zoya meremang. Apalagi ketika embusan napas Arvin mengenai telinga kirinya.

"Pikiranmu terlalu picik, Ay. Mana mungkin aku mampu merebut harta yang kamu miliki, merebut hatimu saja aku nggak bisa," bisik Arvin lembut penuh penekanan.

"Jaga ucapanmu, Vin. Aku sudah punya pacar dan akan segera menikah," ucap Zoya jengkel. Tanpa berpikir perempuan itu menoleh dan ciuman pun tak lagi terelakkan.

"Mbak Zoya, Mas Arvin," teriak seseorang dekat pintu tiba-tiba--mengejutkan keduanya.

Ada apa ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status