Share

7. Sama-sama Malu

Zoya menunduk, menyembunyikan rona merah yang ada di pipinya. Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka berdua, ada Adeeva yang mengepalkan tangannya.

"Kenapa bukan aku yang mencium Mas Arvin? Kenapa selalu Zoya dan Zoya lagi," gumam Adeeva, jengkel ketika saudara tirinya selalu mendapat keberuntungan yang bisa mendekatkan diri pada Arvin.

"Makanya, jadi cewek nggak usah sok, deh, Mbak. Kalau ketahuan gini, apa nggak malu? Bilangnya nggak sudi Nerima pemberian Mas Arvin, sudah sarapan. Tapi, nyatanya semua itu bohong," sindir Adeeva ketika dia sudah berada di sebelah Zoya.

"Sudah ... sudah. Nggak perlu diperdebatkan. Kamu tadi ngomong, mau ngecek gudang beras kita. Ayo, Mas antar. Sekalian Mas juga mau ngecek ke pabrik." Salah tingkah, Arvin malah mengajak Adeeva. Harusnya, sesuai instruksi Sekar lewat chat, dia harus membawa Zoya ke pabrik minuman kemasan milik mereka.

"Bagus, sekarang kalian malah terang-terangan menunjukkan kemesraan di depanku. Dasar nggak tahu diri," umpat Zoya dalam hati.

Tanpa menjawab perkataan Adeeva, Zoya meninggalkan keduanya. Namun, beberapa langkah kemudian terdengar panggilan Arvin.

"Sesuai permintaan Bu Sekar. Hari ini, kamu harus ikut aku ke pabrik."

"Untuk apa? Bukankah sudah ada kamu yang Ayah pekerjakan. Rugi, dong, kalau aku juga turun tangan ngurus pabrik itu. Gimana, sih," ucap Zoya ketus. Matanya berputar, terlihat malas menanggapi permintaan Arvin.

"Bukan aku yang minta, tapi Bu Sekar," jawab Arvin, "aku tunggu lima menit. Jangan membuatku untuk memaksamu dengan cara keras."

Zoya menelan ludah dengan susah payah. Sorot mata Arvin dan perkataannya tak terbantahkan. Cuma lelaki itu yang bisa membuat Zoya bungkam tanpa bantahan.

"Diktator! Untung aja, aku nggak jadi nikah sama dia." Zoya segera menghabiskan sisa makanannya sebelum Arvin benar-benar melaksanakan apa yang dia katakan.

Adeeva mencebik, jelas sekali jika dia sangat cemburu dengan perlakuan Arvin. Padanya, lelaki itu tidak pernah menatap sedemikian rupa seperti tatapan pada Zoya. Arvin selalu lembut dan cenderung memanjakannya, tetapi semua itu terasa hambar, tidak seperti yang terlihat sekarang. Ada sesuatu di mata lelaki itu pada Zoya.

"Nggak usah ngomel. Aku tunggu di mobil," suruh Arvin, sekali lagi.

Mendekati kendaraan mereka, Adeeva membuka pintu di sebelah Arvin. Namun, lelaki itu dengan tegas menolak.

"Kamu di belakang sama Zoya," ucap Arvin tak terbantahkan.

"Tapi, kenapa, Mas? Biasanya juga aku di depan, nemenin Mas nyetir."

"Mulai sekarang, jangan lakukan lagi supaya nggak timbul fitnah."

Adeeva menatap Arvin penuh tanda tanya. Namun, lelaki itu malah memalingkan wajahnya dengan menatap lurus ke depan. Tak berapa lama, Zoya muncul dengan menggunakan pakaian kerja, rapi. Sekilas, Arvin meliriknya dan tersenyum. Lalu, perlahan menjalankan kendaraan.

Tak ada pembicaraan sama sekali dari ketiganya. Namun, diam-diam Arvin selalu melirik Zoya dari kaca.

"Bagaimana caraku agar mendapatkan maafmu, Aya. Aku selalu berharap kita bisa seperti dulu sebelum aku mengalahkanmu," ucap Arvin di dalam hati.

Zoya sama sekali tidak tahu tahu jika Arvin tengah meliriknya. Dia malah sibuk dengan ponsel. Mengirimkan chat pada Bara yang sudah berjanji untuk menikahinya.

Kendaraan mereka sudah sampai di depan gudang beras milik keluarga Zoya. Arvin menghentikan mobilnya, menoleh ke belakang. "Kalau ada kesulitan, segera hubungi, Mas," ucapnya sebelum Adeeva turun.

"Iya, Mas."

Percakapan keduanya terasa menggelikan di telinga Zoya. "Nggak usah pamer kemesraan bisa, kan?" sindirnya ketika sang adik tiri sudah berjalan beberapa langkah menjauhi mobil.

"Pindah. Aku bukan sopirmu," perintah Arvin. Dia sengaja tak menanggapi sindiran Zoya.

"Nggak mau. Dari tadi, aku sudah duduk di sini. Kenapa harus pindah?"

"Pindah atau aku akan memaksamu."

"Kenapa selalu mengancam, sih." Bibir bergerak-gerak, ekspresi kekesalannya. Zoya, mau tak mau pindah di sebelah Arvin. Lelaki itu sudah menunjukkan wajah sangat tak terbantahkan.

Memasang sabuk pengamannya, Zoya menggerutu dalam hati. Bukan sekali dua kali dia harus kalah karena perintah lelaki di sebelahnya. Anehnya, kenapa perempuan itu tidak bisa melawan.

"Nggak usah ngedumel. Semua demi kebaikanmu. Ada banyak pasang mata yang mengamati semua tingkah kita berdua," ucap Arvin ketika kendaraan mereka sudah berjalan menjauhi gudang beras.

Zoya menoleh ke samping, di mana Arvin terlihat begitu tegang. "Maksudmu apa?"

"Mulai sekarang, aku mohon turuti perkataanku. Nggak masalah jika menolak menikah denganku, asal lelaki yang kamu katakan itu benar-benar ada. Jangan sampai Bu Sekar ...." Perkataan Arvin terhenti.

"Kenapa sama Ibu?" Wajah Zoya ikut menegang.

"Kita bahas lain waktu," ucap Arvin. Lalu, tatapannya terarah pada kursi yang diduduki Zoya. Tangan kirinya mulai meraba jok kursi tersebut.

"Nggak usah macam-macam, Vin." Zoya mulai merasakan takut jika lelaki di sebelahnya nekat menyerangnya di mobil.

Arvin memelankan laju kendaraannya, tangannya yang terbebas masih meraba jok kursi di sebelahnya. Tanpa mempedulikan ketakutan Zoya, dia terus melakukan aksinya.

"Vin, aku bisa melaporkan tindakan nggak senonohmu ini, lho," ancam Zoya. Keringat mulai bercucuran di wajahnya.

"Mau laporin apa? Aku cuma mengambil ini." Arvin menunjukkan benda kecil berbentuk mikrofon.

"Apa ini?"

"Mulai sekarang, berhati-hatilah. Ada banyak pasang mata yang mengamati." Membuka kaca di sampingnya, Arvin melempar benda kecil itu.

"Siapa yang melakukannya?"

"Menurutmu?" Bukannya menjawab, Arvin malah membalik pertanyaan. "Andai kamu mau menerima pernikahan kita, Pak Arsyad pasti jauh lebih tenang."

Zoya diam, tetapi pikirannya berjalan ke mana-mana. Mencoba menebak-nebak, siapa orang yang menaruh mikrofon itu.

"Apakah Adeeva yang melakukannya?"

Arvin menoleh ke samping. "Kenapa berpikir dia?"

"Ada banyak alasan, Vin."

"Alasan apa sampai Adeeva ingin mengetahui segala aktifitas kita? Dia itu cuma seorang gadis lugu. Walau terlihat sangat agresif padaku, tapi nggak pernah berpikir jahat seperti ini."

"Karena kamu menyukai Adeeva, makanya kamu berkata demikian. Tapi, pandanganku lain. Sebab cinta, mungkin orang bisa berbuat nekat."

Tawa Arvin menguar. Zoya belum pernah melihat dan mendengar lelaki di sebelahnya itu tertawa lebar seperti sekarang.

"Ada yang lucu, Vin?" tanya Zoya, sedikit sewot dengan tingkah anak tukang kebunnya itu.

"Jangan katakan kamu cemburu pada Adeeva?" sahut Arvin dengan mimik muka lucu.

"Dih, ngapain cemburu? Sepertinya, Adeeva yang cemburu sama aku."

"Bukan dia pelakunya, Aya."

"Lalu?"

"Ada orang lain. Salah satunya memang karena kedekatanku dengan Adeeva. Dia jelas nggak mau aku menjalin hubungan dekat dengan Adeeva."

"Lantas, kenapa kamu masih nekat dekat-dekat dia terus?"

"Karena kamu menolakku. Maka, aku harus mendekatinya," ucap Arvin tanpa sadar.

"Maksudmu apa, Vin?" Wajah Zoya terasa memanas. Jantungnya, tiba-tiba berdetak dengan cepat. Perkataan Arvin membuat perubahan yang begitu drastis dalam dirinya.

"Apa?" Tersadar akan ucapannya, Arvin salah tingkah. Mulai menggaruk kepala dan tersenyum canggung.

"Ucapanmu tadi. Mengapa karena aku, kamu mendekati Adeeva?"

"Kapan aku pernah ngomong gitu?" Arvin memasang wajah polos.

"Arvin!" teriak Zoya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status