Zoya menunduk, menyembunyikan rona merah yang ada di pipinya. Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka berdua, ada Adeeva yang mengepalkan tangannya.
"Kenapa bukan aku yang mencium Mas Arvin? Kenapa selalu Zoya dan Zoya lagi," gumam Adeeva, jengkel ketika saudara tirinya selalu mendapat keberuntungan yang bisa mendekatkan diri pada Arvin. "Makanya, jadi cewek nggak usah sok, deh, Mbak. Kalau ketahuan gini, apa nggak malu? Bilangnya nggak sudi Nerima pemberian Mas Arvin, sudah sarapan. Tapi, nyatanya semua itu bohong," sindir Adeeva ketika dia sudah berada di sebelah Zoya. "Sudah ... sudah. Nggak perlu diperdebatkan. Kamu tadi ngomong, mau ngecek gudang beras kita. Ayo, Mas antar. Sekalian Mas juga mau ngecek ke pabrik." Salah tingkah, Arvin malah mengajak Adeeva. Harusnya, sesuai instruksi Sekar lewat chat, dia harus membawa Zoya ke pabrik minuman kemasan milik mereka. "Bagus, sekarang kalian malah terang-terangan menunjukkan kemesraan di depanku. Dasar nggak tahu diri," umpat Zoya dalam hati. Tanpa menjawab perkataan Adeeva, Zoya meninggalkan keduanya. Namun, beberapa langkah kemudian terdengar panggilan Arvin. "Sesuai permintaan Bu Sekar. Hari ini, kamu harus ikut aku ke pabrik." "Untuk apa? Bukankah sudah ada kamu yang Ayah pekerjakan. Rugi, dong, kalau aku juga turun tangan ngurus pabrik itu. Gimana, sih," ucap Zoya ketus. Matanya berputar, terlihat malas menanggapi permintaan Arvin. "Bukan aku yang minta, tapi Bu Sekar," jawab Arvin, "aku tunggu lima menit. Jangan membuatku untuk memaksamu dengan cara keras." Zoya menelan ludah dengan susah payah. Sorot mata Arvin dan perkataannya tak terbantahkan. Cuma lelaki itu yang bisa membuat Zoya bungkam tanpa bantahan. "Diktator! Untung aja, aku nggak jadi nikah sama dia." Zoya segera menghabiskan sisa makanannya sebelum Arvin benar-benar melaksanakan apa yang dia katakan. Adeeva mencebik, jelas sekali jika dia sangat cemburu dengan perlakuan Arvin. Padanya, lelaki itu tidak pernah menatap sedemikian rupa seperti tatapan pada Zoya. Arvin selalu lembut dan cenderung memanjakannya, tetapi semua itu terasa hambar, tidak seperti yang terlihat sekarang. Ada sesuatu di mata lelaki itu pada Zoya. "Nggak usah ngomel. Aku tunggu di mobil," suruh Arvin, sekali lagi. Mendekati kendaraan mereka, Adeeva membuka pintu di sebelah Arvin. Namun, lelaki itu dengan tegas menolak. "Kamu di belakang sama Zoya," ucap Arvin tak terbantahkan. "Tapi, kenapa, Mas? Biasanya juga aku di depan, nemenin Mas nyetir." "Mulai sekarang, jangan lakukan lagi supaya nggak timbul fitnah." Adeeva menatap Arvin penuh tanda tanya. Namun, lelaki itu malah memalingkan wajahnya dengan menatap lurus ke depan. Tak berapa lama, Zoya muncul dengan menggunakan pakaian kerja, rapi. Sekilas, Arvin meliriknya dan tersenyum. Lalu, perlahan menjalankan kendaraan. Tak ada pembicaraan sama sekali dari ketiganya. Namun, diam-diam Arvin selalu melirik Zoya dari kaca. "Bagaimana caraku agar mendapatkan maafmu, Aya. Aku selalu berharap kita bisa seperti dulu sebelum aku mengalahkanmu," ucap Arvin di dalam hati. Zoya sama sekali tidak tahu tahu jika Arvin tengah meliriknya. Dia malah sibuk dengan ponsel. Mengirimkan chat pada Bara yang sudah berjanji untuk menikahinya. Kendaraan mereka sudah sampai di depan gudang beras milik keluarga Zoya. Arvin menghentikan mobilnya, menoleh ke belakang. "Kalau ada kesulitan, segera hubungi, Mas," ucapnya sebelum Adeeva turun. "Iya, Mas." Percakapan keduanya terasa menggelikan di telinga Zoya. "Nggak usah pamer kemesraan bisa, kan?" sindirnya ketika sang adik tiri sudah berjalan beberapa langkah menjauhi mobil. "Pindah. Aku bukan sopirmu," perintah Arvin. Dia sengaja tak menanggapi sindiran Zoya. "Nggak mau. Dari tadi, aku sudah duduk di sini. Kenapa harus pindah?" "Pindah atau aku akan memaksamu." "Kenapa selalu mengancam, sih." Bibir bergerak-gerak, ekspresi kekesalannya. Zoya, mau tak mau pindah di sebelah Arvin. Lelaki itu sudah menunjukkan wajah sangat tak terbantahkan. Memasang sabuk pengamannya, Zoya menggerutu dalam hati. Bukan sekali dua kali dia harus kalah karena perintah lelaki di sebelahnya. Anehnya, kenapa perempuan itu tidak bisa melawan. "Nggak usah ngedumel. Semua demi kebaikanmu. Ada banyak pasang mata yang mengamati semua tingkah kita berdua," ucap Arvin ketika kendaraan mereka sudah berjalan menjauhi gudang beras. Zoya menoleh ke samping, di mana Arvin terlihat begitu tegang. "Maksudmu apa?" "Mulai sekarang, aku mohon turuti perkataanku. Nggak masalah jika menolak menikah denganku, asal lelaki yang kamu katakan itu benar-benar ada. Jangan sampai Bu Sekar ...." Perkataan Arvin terhenti. "Kenapa sama Ibu?" Wajah Zoya ikut menegang. "Kita bahas lain waktu," ucap Arvin. Lalu, tatapannya terarah pada kursi yang diduduki Zoya. Tangan kirinya mulai meraba jok kursi tersebut. "Nggak usah macam-macam, Vin." Zoya mulai merasakan takut jika lelaki di sebelahnya nekat menyerangnya di mobil. Arvin memelankan laju kendaraannya, tangannya yang terbebas masih meraba jok kursi di sebelahnya. Tanpa mempedulikan ketakutan Zoya, dia terus melakukan aksinya. "Vin, aku bisa melaporkan tindakan nggak senonohmu ini, lho," ancam Zoya. Keringat mulai bercucuran di wajahnya. "Mau laporin apa? Aku cuma mengambil ini." Arvin menunjukkan benda kecil berbentuk mikrofon. "Apa ini?" "Mulai sekarang, berhati-hatilah. Ada banyak pasang mata yang mengamati." Membuka kaca di sampingnya, Arvin melempar benda kecil itu. "Siapa yang melakukannya?" "Menurutmu?" Bukannya menjawab, Arvin malah membalik pertanyaan. "Andai kamu mau menerima pernikahan kita, Pak Arsyad pasti jauh lebih tenang." Zoya diam, tetapi pikirannya berjalan ke mana-mana. Mencoba menebak-nebak, siapa orang yang menaruh mikrofon itu. "Apakah Adeeva yang melakukannya?" Arvin menoleh ke samping. "Kenapa berpikir dia?" "Ada banyak alasan, Vin." "Alasan apa sampai Adeeva ingin mengetahui segala aktifitas kita? Dia itu cuma seorang gadis lugu. Walau terlihat sangat agresif padaku, tapi nggak pernah berpikir jahat seperti ini." "Karena kamu menyukai Adeeva, makanya kamu berkata demikian. Tapi, pandanganku lain. Sebab cinta, mungkin orang bisa berbuat nekat." Tawa Arvin menguar. Zoya belum pernah melihat dan mendengar lelaki di sebelahnya itu tertawa lebar seperti sekarang. "Ada yang lucu, Vin?" tanya Zoya, sedikit sewot dengan tingkah anak tukang kebunnya itu. "Jangan katakan kamu cemburu pada Adeeva?" sahut Arvin dengan mimik muka lucu. "Dih, ngapain cemburu? Sepertinya, Adeeva yang cemburu sama aku." "Bukan dia pelakunya, Aya." "Lalu?" "Ada orang lain. Salah satunya memang karena kedekatanku dengan Adeeva. Dia jelas nggak mau aku menjalin hubungan dekat dengan Adeeva." "Lantas, kenapa kamu masih nekat dekat-dekat dia terus?" "Karena kamu menolakku. Maka, aku harus mendekatinya," ucap Arvin tanpa sadar. "Maksudmu apa, Vin?" Wajah Zoya terasa memanas. Jantungnya, tiba-tiba berdetak dengan cepat. Perkataan Arvin membuat perubahan yang begitu drastis dalam dirinya. "Apa?" Tersadar akan ucapannya, Arvin salah tingkah. Mulai menggaruk kepala dan tersenyum canggung. "Ucapanmu tadi. Mengapa karena aku, kamu mendekati Adeeva?" "Kapan aku pernah ngomong gitu?" Arvin memasang wajah polos. "Arvin!" teriak Zoya."Apa, sih, Ay?" Arvin kembali memasang wajah dingin seperti sebelumnya. Ekor mata Zoya berputar. "Kenapa kembali ke mode awal? Apa perkataanku tadi sudah keterlaluan?" ucapnya dalam hati. Keduanya terdiam beberapa saat hingga kendaraan yang ditumpangi berhenti di parkiran. "Turun, Ay," suruh Arvin karena melihat perempuan di sebelahnya terbengong. "Iya ... iya. Aku turun sekarang." Zoya sudah hampir menapakkan kakinya ke tanah. Namun, semua dia urungkan ketika suara Arvin terdengar. "Di dalam, sudah ada Pak Nareswara yang menunggu keputusanmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama." Zoya menoleh dengan mata terbuka dan alis yang hampir bertaut. "Gila, ya. Belum juga aku membaca berkas kerja sama sudah suruh menyetujui dan tanda tangan." Mendengkus, Arvin membalas tatapan Zoya lebih sengit. "Bisa, nggak, jangan mengedepankan emosi. Katanya pinter. Masak memahami perkataanku tadi saja, nggak bisa." Arvin turun lebih dulu, lalu berlari ke sisi pintu Zoya. Layaknya perlak
"Kalian ini nggak ngerti tempat, ya. Mentang-mentang pengantin baru, di kantor malah mesra-mesraan." Seorang lelaki berkemeja biru muda menyilangkan tangan di ambang pintu. Kepalanya geleng-geleng melihat live dua insan yang sejak dulu bersaing itu. "Apa, sih, Bi," sahut Zoya. Dia segera berdiri menjauhi Arvin. "Omonganmu ngawur, Bi," lanjut Arvin, "kamu nyariin aku?" Berusaha setengah mungkin walau jantungnya tengah berpacu. Arvin mengikuti langkah Zoya menuju sofa. Lelaki yang dipanggil Bi tersebut terkikik. Geli sekali melihat tingkah dua orang dewasa di depannya. Dia pun tak bisa berhenti tertawa kecil. "Hasbi!" panggil Zoya, "kalau terus tertawa, aku pecat kamu." Arvin menahan tawanya, perempuan di sebelahnya itu terlihat kesal sekali dengan tingkah sepupunya. Jadi, dia tidak akan menambah kekesalan Zoya. Bisa-bisa si perempuan akan semakin marah nantinya. "Dih, Pakde aja nggak pernah ngomong gitu. Eh, penggantinya malah lebih galak. Salah dikit, langsung pecat." Hasbi
Hah?Takut terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya, Zoya memundurkan kursi. Lalu, menatap lawannya. "Ingat, ya, Vin. Aku sudah punya calon suami. Kamu nggak berhak mencampuri urusan pribadiku." Pergi begitu saja meninggalkan Arvin yang menjadi patung, Zoya menghentakkan kakinya. Kesal sekali dengan sikap diktator lelaki itu. "Memangnya dia siapa? Ayah saja nggak pernah kayak tadi. Dia itu cuma anaknya tukang kebun di rumah ini. Berani-beraninya sok kuasa. Apa jadinya kalau aku sampai nikah sama dia tadi," gerutu Zoya sepanjang perjalanan menuju kamar. Sepeninggal Zoya, Arvin merutuki dirinya sendiri. Kenapa begitu ceroboh hingga membuat Zoya marah. "Dia pasti makin membenciku padahal, sikapnya sudah mulai melunak. Bodoh kamu, Vin," umpatnya pada diri sendiri. Sampai di kamar, Zoya menghubungi Bara kembali. Namun, panggilannya tak terangkat, gadis itu mencoba beberapa kali melakukan panggilan yang terjadi malah nomor Bara tidak aktif. Capek dengan segala aktivitasnya hari
"Sejak kapan kamu kenal Bara?" tanya Zoya, "bertemu saja baru kali ini. Iya, kan, Sayang?" Menatap ke arah Bara. "Iya, aku baru kali ini datang ke kotamu, Sayang." Bara merangkul Zoya di hadapan Arvin dengan tatapan permusuhan. Garis bibir Arvin terangkat sebelah. Satu tangannya dimasukkan ke saku dan mengepal. Lelaki itu menyatukan gigi-giginya dengan kuat. "Oh, ya? Mungkin karena tanggal 19 Juni bulan lalu di hotel Minak Jinggo, aku nggak sempat memberimu ucapan selamat secara langsung. Jadi, kamu nggak tahu siapa aku," ucap Arvin ambigu. Mendongakkan kepalanya menatap sang kekasih, Zoya bertanya melalui tatapan mata. "Nggak tahu maksudnya apa, Sayang. Tanggal 19 Juni, aku ada meeting yang membuat kita membatalkan kencan kita waktu itu. Kamu ingat, kan?" ucap Bara. Suaranya mulai sedikit bergetar. Zoya melepas rangkulan Bara. Tangannya beralih memegang pergelangan sang kekasih. Lalu, gadis itu berjalan menjauhi Arvin. Akan tetapi, sebelumnya dia sempat berkata, "Nggak usah
"Dari mana kamu mendapatkan semua ini?" tanya Bara. Suaranya keras membahana hingga membuat Sekar dan Zoya tersentak, takut. "Menurutmu?" tanya Arvin, "bukankah kamu memblokir seluruh fotografer untuk mendokumentasikan acara tersebut. Tapi, kamu lupa bahwa aku bisa mendapatkan langsung dari sumbernya karena kamu nggak mungkin menghalanginya." "Nggak mungkin." Bola mata Bara melebar dengan wajah memerah. "Siapa kamu sampai mengenal Kahyang?" "Jadi, perempuan ini namanya Kahyang?" sahut Zoya, Pikirannya langsung tertuju pada perkataan Arvin pagi tadi. "Nggak nyangka kamu tega, Bar." "Apa, sih, Sayang. Aku sama dia itu dijodohkan. Sebentar lagi, kami sepakat untuk memutuskan pertunangan." Bera berusaha menyentuh pergelangan Zoya, tetapi ditolak. "Sebaiknya, kamu pergi dari sini," usir Sekar pada Bara, "lelaki sepertimu, selamanya nggak akan pernah jujur." "Tapi, Bu," bantah Bara. Menatap Zoya, mencari dukungan. "Sayang, aku bisa jelaskan. Bulan depan, aku sama dia sudah selesai.
Happy Reading*****"Untuk apa kami harus memberitahu. Kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi," sahut Arsyad. "Pak, tolong. Jangan melepaskan alat itu lagi," pinta Arvin. Dia kembali ingin memasangkan alat pernapasan pada mertuanya. "Tunggu, Vin. Bapak belum selesai bicara. Sebelum anak itu pergi, Bapak nggak akan menggunakan alat ini lagi.""Om, masih saja keras kepala bahkan berani menikahkan Zoya dengan orang lain. Nyata-nyata dirinya sudah aku rusak."Plak ....Lelaki pemilik nama Noval itu mendapat tamparan keras dari Arvin. "Jaga mulutmu, Val. Sebaiknya kamu pergi sekarang sebelum aku benar-benar menghajarmu," ancam Arvin. Zoya menatap benci pada lelaki yang berstatus sebagai sepupunya itu. "Apa belum cukup kamu menyakitiku, Val? Sekarang, kamu ingin menghancurkan pernikahanku?"Noval mendengkus. "Kalau bukan karena iming-iming harta yang dijanjikan Om Arsyad. Mana mungkin Arvin mau menikahimu, Ay.""Jaga ucapanmu, Mas Noval. Keluarga saya memang miskin, nggak bisa dibandi
Happy Reading*****Zoya kembali menundukkan padangan. Tak sanggup menatap mata Arvin yang menuntut jawabannya. Arvin sendiri begitu gemas dengan reaksi sang istri. "Kalau aku memang nggak pernah ada di hatimu, maka aku akan berjuang sangat keras supaya hanya aku yang merajai hatimu." Arvin mengangkat tangan sang istri, lalu mengecupnya hingga menimbulkan bunyi yang membuat Zoya membulatkan mata. "Vin," panggil perempuan itu. Rona pipinya bersemu merah. "Kenapa? Malu?" tanya Arvin yang dibalas anggukan oleh Zoya. "Kita sudah sah sebagai pasangan, jadi hal-hal seperti ini harus dibiasakan.""Vin, apa kamu nggak menyesal?""Menyesal gimana? Kalau aku nggak menikah denganmu, selamanya aku nggak akan menikah."Zoya langsung membekap mulut suami. "Jangan katakan hal-hal buruk," ucapnya, "aku cuma nggak mau kamu menyesal dengan keputusanmu ini. Bukankah ada Adeeva yang jauh lebih baik dan dia terlihat sangat mencintaimu."Arvin tersenyum miring. "Jangan katakan kalau kamu cemburu dengan
Happy Reading*****"Apa, Sayang?" tanya Arvin. Dia bahkan mengedipkan salah satu matanya. Lalu, membuka kancing kemeja yang melekat di tubuhnya satu per satu. "Vin, kok malah buka baju?" Zoya menutup mata dengan kedua tangannya. "Kok, manggil nama lagi?" Kedua indera Arvin, melotot sempurna. "Kayaknya pengen adegan mesra sama aku, deh.""Nggak!" Zoya menyingkirkan telapak tangannya dari wajah. "Mas Arvin yang ganteng," ucapnya, "tapi nyebelin," lanjut Zoya dalam hati."Apa, istriku yang cantik?" balas Arvin cengar-cengir."Jangan buka baju di sini, ya. Kamu mandi duluan aja. Biar aku tunggu di luar." Sedikit gemetar, Zoya menangkupkan kedua tangannya di pipi sang suami. "Kalau mau mandi bareng, kapan-kapan aja, ya, suamiku yang ganteng.""Hmm," jawab Arvin. Suaranya bergetar sedikit serak. Lalu, dia membuang muka, tak sanggup menatap Zoya dengan segala godaan serta kata-katanya. Bersorak, Zoya merasa menang kali ini. "Memangnya, kamu aja yang bisa godain aku," ucapnya dalam hati.