Arvin terdiam, perlahan dia melepaskan cekalan tangannya. Apa yang terucap dari bibir Zoya mampu mematahkan benteng pertahanannya. Adeeva tersenyum penuh kemenangan kemudian dia mendekati si lelaki yang nyawanya seolah pergi entah ke mana.
"Kamu dengar sendiri, kan, Mas. Mbak Zoya itu nggak layak untukmu," ucap Adeeva. Tangannya hendak melingkar pada pergelangan Arvin. Namun, lelaki itu dengan cepat menghindar. Tatapan Zoya begitu tajam pada adik tirinya sama seperti Arsyad. Lelaki paruh baya itu ingin sekali melerai dan menyatukan Arvin dan Zoya supaya tidak berdebat lagi. Namun, kemampuannya sangat terbatas hingga cuma bisa menatap ketiga anak-anaknya dengan sedih. "Kamu dengar itu, Vin?" tanya Zoya, "jadi, untuk apa kita menikah jika aku nggak layak dan pantas untukmu? Carilah perempuan yang sebanding denganmu, seperti Adeeva, misalnya. Lupakan permintaan Ayah." "Zoya!" bentak Sekar keras. Wanita itu, kini sudah berdiri di ambang pintu dan mendengar semua perkataan si sulung. "Apa?" Melihat indera penglihatan ibu tirinya yang membola, Zoya juga membalasnya. "Adeeva ngomong kalau aku nggak pantas untuk Arvin, bukankah sebenarnya dia ingin mengatakan bahwa dialah yang pantas? Apa perkataanku salah, Bu? Lagian, selama ini mereka sering terlihat berdua. Di mana ada Arvin, Adeeva juga pasti ada." Arvin cuma bisa menghela napas panjang. Inilah yang dia takutkan, Zoya salah sangka terhadapnya dan Adeeva. "Diam!" sentak Sekar sekali lagi. Ekor matanya melirik pada dua orang petugas medis yang dia bawa. "Tolong periksa keadaan suami saya, Dok," pinta Sekar. Menghalau Arvin dan Zoya supaya menjauhi Arsyad. Setelah beberapa saat kemudian, sang dokter menatap semua orang di ruangan tersebut. "Kalau ingin Bapak cepat sembuh. Mohon kerja samanya. Beliau tidak bisa dikejutkan dengan keadaan-keadaan yang dapat memicu kemarahan seperti tadi. Saya berharap, apa pun masalah keluarga kalian, tolong selesaikan dengan baik. Saya permisi." "Terima kasih, Dok," ucap Sekar. Sepeninggal sang dokter, dia menatap putri sambungnya. "Kamu dengar itu, Aya. Ayahmu nggak bisa mendengar berita-berita mengejutkan seperti tadi. Selama ini, dia selalau khawatir dengan keadaanmu. Apalagi mengenai pernikahan. Umurmu sudah lebih dari cukup untuk menikah, demikian juga dengan Arvin. Apalagi yang kalian tunggu." Zoya dan Arvin terdiam, mereka berdua sama-sama tertunduk. Namun, tidak dengan Adeeva, dia menatap ibunya marah. "Kenapa Ibu memaksa Mbak Zoya?" tanya Adeeva. Jelas sekali terlihat jika dia tidak suka dengan perkataan orang tuanya. "Karena dia, ayahmu jatuh sakit seperti sekarang," jawab Sekar. "Jika benar Ayah memikirkan pernikahanku, kenapa harus dengan Arvin?" Terdengar sekali jika perempuan itu sangat keberatan untuk menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. "Aku bisa menikah dengan lelaki lain." "Benarkah begitu?" tanya Sekar seolah meragukan perkataan si sulung. "Kalau memang kamu bisa menikah dengan lelaki lain. Maka, kenalkan orang itu pada kami." "Aku permisi pulang, Bu," ucap Arvin tidak ingin menanggapi apa pun lagi. "Mas, tunggu. Aku ikut pulang," tambah Adeeva. Kedua orang itu benar-benar tidak mempedulikan perkataan Zoya lagi. Arvin bahkan berlalu begitu saja padahal biasanya lelaki itu menyalami Sekar. "Ibu harap perkataanmu benar, Aya. Siapa yang mau menikah dengan gadis sepertimu? Ingat, kamu sudah tidak sempurna sebagai seorang perempuan," ucap Sekar, menyadarkan tentang kelemahan Zoya yang satu itu. "Zaman sudah modern, Bu. Bukan hal tabu bagi seorang cowok memepermasalahkan hal demikian," sanggah Zoya. Walau hatinya juga ketar-ketir tentang keadaannya sendiri, tetapi dia berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja tanpa harus menikah dengan Arvin. "Kalau begitu, besok suruh dia datang menemui ibu." "Baik," ucap Zoya, "aku akan memintanya datang besok. Sekarang, ijinkan aku pulang." "Terserah!" Sekar mengibaskan tangannya. Entah mengapa, dia sangat kecewa dengan keputusan Zoya. Sepeninggal Zoya, Sekar menghubungi seseorang. Dia melihat bahwa Arsyad sudah terlelap setelah suntikan yang diberikan dokter tadi. "Awasi Adeeva dan Arvin. Kali ini, jangan biarkan mereka berduaan," ucap Sekar setelah panggilannya terangkat. ***** Mengendarai mobil kesayangannya, Zoya menghubungi seseorang. Dia harus datang ke desa demi menyelamatkannya. "Ya, Sayang. Udah sampai rumah kamu? Gimana keadaan ayahmu?" tanya seorang lelaki saat panggilan Zoya sudah diangkat. "Kabar buruk. Kamu harus datang ke sini dan nikahi aku secepatnya." "Hei!" pekik lelaki itu. "Kenapa mintanya tiba-tiba? Nikah itu nggak bisa dadakan. Aku harus mempersiapkan semuanya dengan matang." "Kamu mencintai aku, kan?" "Tentu saja. Kenapa masih tanya?" "Kalau gitu, buktikan. Aku mau besok kamu datang ke sini dan nikahi aku." "Aduh, Sayang. Kamu kan tahu kalau aku nggak bisa ijin mendadak. Tahu sendiri kalau saat ini kerjaanku banyak apalagi menjelang pemilihan begini. Sekarang saja, aku sedang meeting." "Nggak usah banyak alasan, deh, Bar." Suara Zoya meninggi. "Aku tunggu kamu besok, titik." Zoya langsung mematikan sambungannya apalagi ketika pandangannya tanpa sengaja melihat sosok Adeeva dan Arvin sedang duduk berduaan di restoran cepat saji. "Dasar lelaki. Gitu masih ngomong nggak pernah dekat dengan perempuan mana pun. Basi tahu omongannya," umpat Zoya. Sekitar satu jam kemudian, Zoya sudah sampai di rumah. Hal pertama yang dia lihat adalah tatapan intimidasi Arvin. "Dari mana kamu?" Menatap Zoya dari ujung kaki hingga kepala. Arvin bertanya dengan sinis. "Apa urusanmu, mau ke mana saja terserah aku." Zoya melewati Arvin begitu saja. Namun, langkahnya harus terhenti karena lelaki itu memegang pergelangannya. "Bukan urusanku juga kamu mau ke mana, tapi kalau kamu membuat Bapak, Ibu khawatir dan kepikiran. Maka, semua itu menjadi urusanku." "Vin, aku bukan anak kecil." "Justru karena kamu bukan anak kecil. Maka, pikirkan matang-matang apa yang akan kamu perbuat." Arvin menyodorkan kantong plastik berwarna putih dengan logo restoran cepat saji yang dilihat Zoya tadi. "Ini makananmu. Di rumah nggak ada makanan. Bi Aminah minta cuti." Melihat Zoya yang diam saja, Arvin melepas pergelangan si gadis dan memaksanya untuk menerima makanan yang dibelinya bersama Adeeva. Setelahnya, lelaki itupun meninggalkan si sulung. "Tunggu!" cegah Zoya, "aku nggak sudi menerima pemberianmu. Lagian, aku sudah makan. Lain kali, jangan mengecewakan Adeeva dengan membelikan aku makanan saat kalian berduaan." Bola mata Air bergerak, garis bibirnya sedikit terangkat. Senyum itu begitu tipis hingga sang lawan bicara tidak menyadarinya. "Kalau nggak sudi makan, buang saja." Lalu, dia menggumam lirih. "Aku ke restoran itu juga karenamu." "Apa?" tanya Zoya karena ucapan Arvin tak terdengar. "Buang saja kalau kamu nggak mau." Secepat mungkin meninggalkan Zoya. Sepeninggal Arvin, Zoya masuk ke kamarnya. Berniat mandi dan membersihkan diri. Sejak kedatangannya kemarin malam, gadis itu sama sekali belum mandi dengan sempurna. Selesai mandi, Zoya ke dapur. Sempat berkata bahwa sudah sarapan pada Arvin. Nyatanya, semua itu bohong dan kini perutnya tengah keroncongan. Celingak-celinguk supaya tak dilihat Arvin, cepat Zoya mengambil piring. "Benar kata Arvin. Di rumah sepi banget nggak ada siapa pun," gumam Zoya. Dia mulai menikmati makanan cepat saji yang dibelikan Arvin. "Kenapa kamu masih ingat sama makanan favoritku di restoran itu padahal aku cuma cerita sekali saja, dulu?" Seseorang mendekati Zoya tanpa sepengetahuannya. "Katanya nggak sudi makan makanan yang aku belikan, tapi kok sekarang malah dimakan?" Terkejut dengan suara bas itu, Zoya langsung berdiri. Menoleh pada sumber suara yang sangat dikenalnya. Oleh karena jarak mereka yang begitu dekat sesuatu pun terjadi. Zoya membulatkan mata sambil menahan napas beberapa detik. "Maaf," ucap Arvin. Wajahnya langsung memerah.Zoya menunduk, menyembunyikan rona merah yang ada di pipinya. Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka berdua, ada Adeeva yang mengepalkan tangannya. "Kenapa bukan aku yang mencium Mas Arvin? Kenapa selalu Zoya dan Zoya lagi," gumam Adeeva, jengkel ketika saudara tirinya selalu mendapat keberuntungan yang bisa mendekatkan diri pada Arvin. "Makanya, jadi cewek nggak usah sok, deh, Mbak. Kalau ketahuan gini, apa nggak malu? Bilangnya nggak sudi Nerima pemberian Mas Arvin, sudah sarapan. Tapi, nyatanya semua itu bohong," sindir Adeeva ketika dia sudah berada di sebelah Zoya. "Sudah ... sudah. Nggak perlu diperdebatkan. Kamu tadi ngomong, mau ngecek gudang beras kita. Ayo, Mas antar. Sekalian Mas juga mau ngecek ke pabrik." Salah tingkah, Arvin malah mengajak Adeeva. Harusnya, sesuai instruksi Sekar lewat chat, dia harus membawa Zoya ke pabrik minuman kemasan milik mereka. "Bagus, sekarang kalian malah terang-terangan menunjukkan kemesraan di depanku. Dasar nggak tahu diri," ump
"Apa, sih, Ay?" Arvin kembali memasang wajah dingin seperti sebelumnya. Ekor mata Zoya berputar. "Kenapa kembali ke mode awal? Apa perkataanku tadi sudah keterlaluan?" ucapnya dalam hati. Keduanya terdiam beberapa saat hingga kendaraan yang ditumpangi berhenti di parkiran. "Turun, Ay," suruh Arvin karena melihat perempuan di sebelahnya terbengong. "Iya ... iya. Aku turun sekarang." Zoya sudah hampir menapakkan kakinya ke tanah. Namun, semua dia urungkan ketika suara Arvin terdengar. "Di dalam, sudah ada Pak Nareswara yang menunggu keputusanmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama." Zoya menoleh dengan mata terbuka dan alis yang hampir bertaut. "Gila, ya. Belum juga aku membaca berkas kerja sama sudah suruh menyetujui dan tanda tangan." Mendengkus, Arvin membalas tatapan Zoya lebih sengit. "Bisa, nggak, jangan mengedepankan emosi. Katanya pinter. Masak memahami perkataanku tadi saja, nggak bisa." Arvin turun lebih dulu, lalu berlari ke sisi pintu Zoya. Layaknya perlak
"Kalian ini nggak ngerti tempat, ya. Mentang-mentang pengantin baru, di kantor malah mesra-mesraan." Seorang lelaki berkemeja biru muda menyilangkan tangan di ambang pintu. Kepalanya geleng-geleng melihat live dua insan yang sejak dulu bersaing itu. "Apa, sih, Bi," sahut Zoya. Dia segera berdiri menjauhi Arvin. "Omonganmu ngawur, Bi," lanjut Arvin, "kamu nyariin aku?" Berusaha setengah mungkin walau jantungnya tengah berpacu. Arvin mengikuti langkah Zoya menuju sofa. Lelaki yang dipanggil Bi tersebut terkikik. Geli sekali melihat tingkah dua orang dewasa di depannya. Dia pun tak bisa berhenti tertawa kecil. "Hasbi!" panggil Zoya, "kalau terus tertawa, aku pecat kamu." Arvin menahan tawanya, perempuan di sebelahnya itu terlihat kesal sekali dengan tingkah sepupunya. Jadi, dia tidak akan menambah kekesalan Zoya. Bisa-bisa si perempuan akan semakin marah nantinya. "Dih, Pakde aja nggak pernah ngomong gitu. Eh, penggantinya malah lebih galak. Salah dikit, langsung pecat." Hasbi
Hah?Takut terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya, Zoya memundurkan kursi. Lalu, menatap lawannya. "Ingat, ya, Vin. Aku sudah punya calon suami. Kamu nggak berhak mencampuri urusan pribadiku." Pergi begitu saja meninggalkan Arvin yang menjadi patung, Zoya menghentakkan kakinya. Kesal sekali dengan sikap diktator lelaki itu. "Memangnya dia siapa? Ayah saja nggak pernah kayak tadi. Dia itu cuma anaknya tukang kebun di rumah ini. Berani-beraninya sok kuasa. Apa jadinya kalau aku sampai nikah sama dia tadi," gerutu Zoya sepanjang perjalanan menuju kamar. Sepeninggal Zoya, Arvin merutuki dirinya sendiri. Kenapa begitu ceroboh hingga membuat Zoya marah. "Dia pasti makin membenciku padahal, sikapnya sudah mulai melunak. Bodoh kamu, Vin," umpatnya pada diri sendiri. Sampai di kamar, Zoya menghubungi Bara kembali. Namun, panggilannya tak terangkat, gadis itu mencoba beberapa kali melakukan panggilan yang terjadi malah nomor Bara tidak aktif. Capek dengan segala aktivitasnya hari
"Sejak kapan kamu kenal Bara?" tanya Zoya, "bertemu saja baru kali ini. Iya, kan, Sayang?" Menatap ke arah Bara. "Iya, aku baru kali ini datang ke kotamu, Sayang." Bara merangkul Zoya di hadapan Arvin dengan tatapan permusuhan. Garis bibir Arvin terangkat sebelah. Satu tangannya dimasukkan ke saku dan mengepal. Lelaki itu menyatukan gigi-giginya dengan kuat. "Oh, ya? Mungkin karena tanggal 19 Juni bulan lalu di hotel Minak Jinggo, aku nggak sempat memberimu ucapan selamat secara langsung. Jadi, kamu nggak tahu siapa aku," ucap Arvin ambigu. Mendongakkan kepalanya menatap sang kekasih, Zoya bertanya melalui tatapan mata. "Nggak tahu maksudnya apa, Sayang. Tanggal 19 Juni, aku ada meeting yang membuat kita membatalkan kencan kita waktu itu. Kamu ingat, kan?" ucap Bara. Suaranya mulai sedikit bergetar. Zoya melepas rangkulan Bara. Tangannya beralih memegang pergelangan sang kekasih. Lalu, gadis itu berjalan menjauhi Arvin. Akan tetapi, sebelumnya dia sempat berkata, "Nggak usah
"Dari mana kamu mendapatkan semua ini?" tanya Bara. Suaranya keras membahana hingga membuat Sekar dan Zoya tersentak, takut. "Menurutmu?" tanya Arvin, "bukankah kamu memblokir seluruh fotografer untuk mendokumentasikan acara tersebut. Tapi, kamu lupa bahwa aku bisa mendapatkan langsung dari sumbernya karena kamu nggak mungkin menghalanginya." "Nggak mungkin." Bola mata Bara melebar dengan wajah memerah. "Siapa kamu sampai mengenal Kahyang?" "Jadi, perempuan ini namanya Kahyang?" sahut Zoya, Pikirannya langsung tertuju pada perkataan Arvin pagi tadi. "Nggak nyangka kamu tega, Bar." "Apa, sih, Sayang. Aku sama dia itu dijodohkan. Sebentar lagi, kami sepakat untuk memutuskan pertunangan." Bera berusaha menyentuh pergelangan Zoya, tetapi ditolak. "Sebaiknya, kamu pergi dari sini," usir Sekar pada Bara, "lelaki sepertimu, selamanya nggak akan pernah jujur." "Tapi, Bu," bantah Bara. Menatap Zoya, mencari dukungan. "Sayang, aku bisa jelaskan. Bulan depan, aku sama dia sudah selesai.
Happy Reading*****"Untuk apa kami harus memberitahu. Kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi," sahut Arsyad. "Pak, tolong. Jangan melepaskan alat itu lagi," pinta Arvin. Dia kembali ingin memasangkan alat pernapasan pada mertuanya. "Tunggu, Vin. Bapak belum selesai bicara. Sebelum anak itu pergi, Bapak nggak akan menggunakan alat ini lagi.""Om, masih saja keras kepala bahkan berani menikahkan Zoya dengan orang lain. Nyata-nyata dirinya sudah aku rusak."Plak ....Lelaki pemilik nama Noval itu mendapat tamparan keras dari Arvin. "Jaga mulutmu, Val. Sebaiknya kamu pergi sekarang sebelum aku benar-benar menghajarmu," ancam Arvin. Zoya menatap benci pada lelaki yang berstatus sebagai sepupunya itu. "Apa belum cukup kamu menyakitiku, Val? Sekarang, kamu ingin menghancurkan pernikahanku?"Noval mendengkus. "Kalau bukan karena iming-iming harta yang dijanjikan Om Arsyad. Mana mungkin Arvin mau menikahimu, Ay.""Jaga ucapanmu, Mas Noval. Keluarga saya memang miskin, nggak bisa dibandi
Happy Reading*****Zoya kembali menundukkan padangan. Tak sanggup menatap mata Arvin yang menuntut jawabannya. Arvin sendiri begitu gemas dengan reaksi sang istri. "Kalau aku memang nggak pernah ada di hatimu, maka aku akan berjuang sangat keras supaya hanya aku yang merajai hatimu." Arvin mengangkat tangan sang istri, lalu mengecupnya hingga menimbulkan bunyi yang membuat Zoya membulatkan mata. "Vin," panggil perempuan itu. Rona pipinya bersemu merah. "Kenapa? Malu?" tanya Arvin yang dibalas anggukan oleh Zoya. "Kita sudah sah sebagai pasangan, jadi hal-hal seperti ini harus dibiasakan.""Vin, apa kamu nggak menyesal?""Menyesal gimana? Kalau aku nggak menikah denganmu, selamanya aku nggak akan menikah."Zoya langsung membekap mulut suami. "Jangan katakan hal-hal buruk," ucapnya, "aku cuma nggak mau kamu menyesal dengan keputusanmu ini. Bukankah ada Adeeva yang jauh lebih baik dan dia terlihat sangat mencintaimu."Arvin tersenyum miring. "Jangan katakan kalau kamu cemburu dengan