Share

6. Mau, tapi Gengsi

Arvin terdiam, perlahan dia melepaskan cekalan tangannya. Apa yang terucap dari bibir Zoya mampu mematahkan benteng pertahanannya.  Adeeva tersenyum penuh kemenangan kemudian dia mendekati si lelaki yang nyawanya seolah pergi entah ke mana.

"Kamu dengar sendiri, kan, Mas. Mbak Zoya itu nggak layak untukmu," ucap Adeeva. Tangannya hendak melingkar pada pergelangan Arvin. Namun, lelaki itu dengan cepat menghindar.

Tatapan Zoya begitu tajam pada adik tirinya sama seperti Arsyad. Lelaki paruh baya itu ingin sekali melerai dan menyatukan Arvin dan Zoya supaya tidak berdebat lagi. Namun, kemampuannya sangat terbatas hingga cuma bisa menatap ketiga anak-anaknya dengan sedih.

"Kamu dengar itu, Vin?" tanya Zoya, "jadi, untuk apa kita menikah jika aku nggak layak dan pantas untukmu? Carilah perempuan yang sebanding denganmu, seperti Adeeva, misalnya. Lupakan permintaan Ayah."

"Zoya!" bentak Sekar keras. Wanita itu, kini sudah berdiri di ambang pintu dan mendengar semua perkataan si sulung.

"Apa?" Melihat indera penglihatan ibu tirinya yang membola, Zoya juga membalasnya. "Adeeva ngomong kalau aku nggak pantas untuk Arvin, bukankah sebenarnya dia ingin mengatakan bahwa dialah yang pantas? Apa perkataanku salah, Bu? Lagian, selama ini mereka sering terlihat berdua. Di mana ada Arvin, Adeeva juga pasti ada."

Arvin cuma bisa menghela napas panjang. Inilah yang dia takutkan, Zoya salah sangka terhadapnya dan Adeeva.

"Diam!" sentak Sekar sekali lagi. Ekor matanya melirik pada dua orang petugas medis yang dia bawa.

"Tolong periksa keadaan suami saya, Dok," pinta Sekar. Menghalau Arvin dan Zoya supaya menjauhi Arsyad.

Setelah beberapa saat kemudian, sang dokter menatap semua orang di ruangan tersebut. "Kalau ingin Bapak cepat sembuh. Mohon kerja samanya. Beliau tidak bisa dikejutkan dengan keadaan-keadaan yang dapat memicu kemarahan seperti tadi. Saya berharap, apa pun masalah keluarga kalian, tolong selesaikan dengan baik. Saya permisi."

"Terima kasih, Dok," ucap Sekar. Sepeninggal sang dokter, dia menatap putri sambungnya. "Kamu dengar itu, Aya. Ayahmu nggak bisa mendengar berita-berita mengejutkan seperti tadi. Selama ini, dia selalau khawatir dengan keadaanmu. Apalagi mengenai pernikahan. Umurmu sudah lebih dari cukup untuk menikah, demikian juga dengan Arvin. Apalagi yang kalian tunggu."

Zoya dan Arvin terdiam, mereka berdua sama-sama tertunduk. Namun, tidak dengan Adeeva, dia menatap ibunya marah.

"Kenapa Ibu memaksa Mbak Zoya?" tanya Adeeva. Jelas sekali terlihat jika dia tidak suka dengan perkataan orang tuanya.

"Karena dia, ayahmu jatuh sakit seperti sekarang," jawab Sekar.

"Jika benar Ayah memikirkan pernikahanku, kenapa harus dengan Arvin?" Terdengar sekali jika perempuan itu sangat keberatan untuk menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. "Aku bisa menikah dengan lelaki lain."

"Benarkah begitu?" tanya Sekar seolah meragukan perkataan si sulung. "Kalau memang kamu bisa menikah dengan lelaki lain. Maka, kenalkan orang itu pada kami."

"Aku permisi pulang, Bu," ucap Arvin tidak ingin menanggapi apa pun lagi.

"Mas, tunggu. Aku ikut pulang," tambah Adeeva. Kedua orang itu benar-benar tidak mempedulikan perkataan Zoya lagi.

Arvin bahkan berlalu begitu saja padahal biasanya lelaki itu menyalami Sekar. 

"Ibu harap perkataanmu benar, Aya. Siapa yang mau menikah dengan gadis sepertimu? Ingat, kamu sudah tidak sempurna sebagai seorang perempuan," ucap Sekar, menyadarkan tentang kelemahan Zoya yang satu itu.

"Zaman sudah modern, Bu. Bukan hal tabu bagi seorang cowok memepermasalahkan hal demikian," sanggah Zoya. Walau hatinya juga ketar-ketir tentang keadaannya sendiri, tetapi dia berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja tanpa harus menikah dengan Arvin.

"Kalau begitu, besok suruh dia datang menemui ibu."

"Baik," ucap Zoya, "aku akan memintanya datang besok. Sekarang, ijinkan aku pulang."

"Terserah!" Sekar mengibaskan tangannya. Entah mengapa, dia sangat kecewa dengan keputusan Zoya.

Sepeninggal Zoya, Sekar menghubungi seseorang. Dia melihat bahwa Arsyad sudah terlelap setelah suntikan yang diberikan dokter tadi.

"Awasi Adeeva dan Arvin. Kali ini, jangan biarkan mereka berduaan," ucap Sekar setelah panggilannya terangkat.

*****

Mengendarai mobil kesayangannya, Zoya menghubungi seseorang. Dia harus datang ke desa demi menyelamatkannya.

"Ya, Sayang. Udah sampai rumah kamu? Gimana keadaan ayahmu?" tanya seorang lelaki saat panggilan Zoya sudah diangkat.

"Kabar buruk. Kamu harus datang ke sini dan nikahi aku secepatnya."

"Hei!" pekik lelaki itu. "Kenapa mintanya tiba-tiba? Nikah itu nggak bisa dadakan. Aku harus mempersiapkan semuanya dengan matang."

"Kamu mencintai aku, kan?"

"Tentu saja. Kenapa masih tanya?"

"Kalau gitu, buktikan. Aku mau besok kamu datang ke sini dan nikahi aku."

"Aduh, Sayang. Kamu kan tahu kalau aku nggak bisa ijin mendadak. Tahu sendiri kalau saat ini kerjaanku banyak apalagi menjelang pemilihan begini. Sekarang saja, aku sedang meeting."

"Nggak usah banyak alasan, deh, Bar." Suara Zoya meninggi. "Aku tunggu kamu besok, titik."

Zoya langsung mematikan sambungannya apalagi ketika pandangannya tanpa sengaja melihat sosok Adeeva dan Arvin sedang duduk berduaan di restoran cepat saji.

"Dasar lelaki. Gitu masih ngomong nggak pernah dekat dengan perempuan mana pun. Basi tahu omongannya," umpat Zoya.

Sekitar satu jam kemudian, Zoya sudah sampai di rumah. Hal pertama yang dia lihat adalah tatapan intimidasi Arvin.

"Dari mana kamu?" Menatap Zoya dari ujung kaki hingga kepala. Arvin bertanya dengan sinis.

"Apa urusanmu, mau ke mana saja terserah aku." Zoya melewati Arvin begitu saja. Namun, langkahnya harus terhenti karena lelaki itu memegang pergelangannya.

"Bukan urusanku juga kamu mau ke mana, tapi kalau kamu membuat Bapak, Ibu khawatir dan kepikiran. Maka, semua itu menjadi urusanku."

"Vin, aku bukan anak kecil."

"Justru karena kamu bukan anak kecil. Maka, pikirkan matang-matang apa yang akan kamu perbuat." Arvin menyodorkan kantong plastik berwarna putih dengan logo restoran cepat saji yang dilihat Zoya tadi.

"Ini makananmu. Di rumah nggak ada makanan. Bi Aminah minta cuti."

Melihat Zoya yang diam saja, Arvin melepas pergelangan si gadis dan memaksanya untuk menerima makanan yang dibelinya bersama Adeeva. Setelahnya, lelaki itupun meninggalkan si sulung.

"Tunggu!" cegah Zoya, "aku nggak sudi menerima pemberianmu. Lagian, aku sudah makan. Lain kali, jangan mengecewakan Adeeva dengan membelikan aku makanan saat kalian berduaan."

Bola mata Air bergerak, garis bibirnya sedikit terangkat. Senyum itu  begitu tipis hingga sang lawan bicara tidak menyadarinya.

"Kalau nggak sudi makan, buang saja." Lalu, dia menggumam lirih. "Aku ke restoran itu juga karenamu."

"Apa?" tanya Zoya karena ucapan Arvin tak terdengar.

"Buang saja kalau kamu nggak mau." Secepat mungkin meninggalkan Zoya.

Sepeninggal Arvin, Zoya masuk ke kamarnya. Berniat mandi dan membersihkan diri. Sejak kedatangannya kemarin malam, gadis itu sama sekali belum mandi dengan sempurna.

Selesai mandi, Zoya ke dapur. Sempat berkata bahwa sudah sarapan pada Arvin. Nyatanya, semua itu bohong dan kini perutnya tengah keroncongan. Celingak-celinguk supaya tak dilihat Arvin, cepat Zoya mengambil piring.

"Benar kata Arvin. Di rumah sepi banget nggak ada siapa pun," gumam Zoya. Dia mulai menikmati makanan cepat saji yang dibelikan Arvin. "Kenapa kamu masih ingat sama makanan favoritku di restoran itu padahal aku cuma cerita sekali saja, dulu?"

Seseorang mendekati Zoya tanpa sepengetahuannya. "Katanya nggak sudi makan makanan yang aku belikan, tapi kok sekarang malah dimakan?"

Terkejut dengan suara bas itu, Zoya langsung berdiri. Menoleh pada sumber suara yang sangat dikenalnya.  Oleh karena jarak mereka yang begitu dekat sesuatu pun terjadi.

Zoya membulatkan mata sambil menahan napas beberapa detik.

"Maaf," ucap Arvin. Wajahnya langsung memerah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status