Kedua indera Arvin terbuka sempurna, Arsyad bahkan ingin membuka alat pernapasan yang terpasang. Semua orang menatap si sulung.
"Mbak, bisa dijelaskan kenapa tiba-tiba menolak meneruskan pernikahan ini? Bukankah katanya Arvin, njenengan sudah setuju?" tanya Maryam. Sebagai ibu, dia merasa Arvin telah dipermainkan. "Aya, nggak usah macam-macam. Ingat apa yang Ibu katakan di kantin tadi," bisik Sekar. Lalu, dia berbalik menatap sng suami. "Tenang, Yah. Zoya cuma nge-prank kita saja." Semenit kemudian, Zoya memindai tatapannya pada Arvin. Lalu, berganti menatap adik tirinya. "Apa yang aku katakan tadi bukan prank, Bu. Aku memang nggak akan meneruskan pernikahan ini dengan Arvin." "Aya, kita sudah cukup dewasa," sahut Arvin. Tatapannya tajam menghunus jantung pertahanan Zoya. Tahu persis jika lelaki itu memanggilnya demikian, maka kemarahannya sudah mencapai puncak. "Justru karena kita sudah sama-sama dewasa, Vin. Aku nggak mau kalau kamu sampai terpaksa menerima pernikahan ini. Kalau memang sudah memiliki orang yang kamu cintai, mengapa harus memaksakan semua ini?" Memutar bola mata, Arvin sedikit bingung. "Maksud Mbak Zoya apa?" tanya bapaknya Arvin. "Selama ini nggak ada perempuan ...." "Pak," cegah Arvin. Kepalanya menggeleng keras. "Pak, njenengan sudah dengar sendiri ucapan Mbak Zoya. Bukan saya yang menolak pernikahan ini, tapi dia yang nggak mau." Menaikkan garis bibir berusaha tetap baik-baik saja di depan semua orang, Arvin menatap Arsyad. Lelaki paruh baya yang kini terbaring di ranjang kesakitan itu mendelik pada putrinya. Alat bantu pernapasannya telah terlepas. "Aya, apa kamu mau melihat ayahmu ini mati cepat?" tanyanya pada si sulung dengan napas tersengal. "Yah, jangan seperti ini?" kata Sekar. Tangannya berusaha memasang kembali alat bantu pernapasan sang suami, Tatapannya tajam menguliti si anak tiri. "Kamu mau membunuh ayahmu sendiri, Mbak?" Tubuh Zoya seketika lemas, mundur dengan keadaan sempoyongan. Rasa bersalah serta bayangan kematian sang ayah menari-nari di depan mata. Namun, ketika netranya bersirobok dengan sang adik tiri. Kemesraan Arvin dengan Adeeva membuat dadanya begitu sesak. Mencoba mengumpul seluruh keberaniannya, Zoya memandang semua orang yang ada di ruangan itu. "Aku nggak mau mati muda seperti Bunda," ucap Zoya. Tatapan kebencian itu kini jelas sekali tertuju pada Sekar. "Apa maksudmu, Mbak?" Jantung Sekar berdetak kuat. Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di wajahnya. Tatapan Zoya sungguh tak biasa. "Rasanya, aku nggak perlu menjelaskan, Bu. Terpenting, aku nggak mau kejadian di masa lalu terulang. Statusnya istri, tapi nggak diperlakukan sebagai istri sebagaimana mestinya." "Nggak perlu berbelit-belit, Mbak Zoya," ucap Arvin. Melirik lelaki yang baru saja berbicara itu dengan kebencian. "Nggak perlu sok bodoh. Kamu pasti paham apa yang aku sampaikan," tegas Zoya. Di sisi lain, Adeeva tersenyum dalam hati. Sementara orang-orang yang ada di ruangan itu masih diam memperhatikan dua calon pengantin. Sang penghulu mengembuskan napas panjang. Lalu, menatap Zoya dan Arvin bergantian. "Gini saja, Mas Arvin, Mbak Zoya. Rasanya, perdebatan ini harus diselesaikan antar keluarga. Kami ini kan orang luar," ucapnya sambil melirik mereka-mereka yang menjadi saksi pernikahan. "Jadi, sebaiknya kami pulang dulu. Setelah semua permasalahan diselesaikan, boleh memanggil saya lagi." "Ngapunten, Pak. Mungkin lebih baik seperti yang njenengan ucapkan itu," kata bapaknya Arvin. "Kalau begitu, kami permisi." Tiga orang yang didaulat sebagai saksi dan penghulu undur diri setelah pamit pada Arsyad. "Ibu sama Bapak mau pulang saja, Vin," kata Ashari, bapaknya Arvin. Lelaki pemilik kulit sawo matang itu mengangguk. "Monggo, Pak. Ngapunten nggak bisa nganter." "Nggak masalah. Selesaikan saja permasalahanmu dengan Mbak Zoya," tambah Maryam. Sepeninggal kedua orang tuanya, Sekar keluar untuk memanggil dokter karena keadaan Arsyad yang mengkhatirkan. "Seperti inikah caramu membalas Budi pada Bapak?" tanya Arvin pada Zoya. Bola mata membulat sempurna bukan marah karena gagal menikah, tetapi lelaki itu marah karena tingkah kekanakan Zoya. "Nggak mau sakit hati sepanjang hidup jika menikah denganmu. Kamu pasti paham maksudku." Zoya berbalik hendak pergi meninggalkan Arvin dan Adeeva. Jika terus berada di ruangan yang sama, perasaan sakit itu akan terasa. "Pikiranmu terlalu picik, Aya!" bentak Arvin, "hanya karena aku selalu unggul dibandingkan dirimu ketika sekolah dulu, kamu berkata bahwa aku sudah menyakitimu." Arvin bahkan dengan nada marah, mencekal pergelangan Zoya dengan kuat. Merasa si lelaki belum menyadari kejadian sebelum akad akan dilangsungkan, kelopak mata Zoya terbuka sempurna. "Yakin kamu nggak menyakitiku?" tantang Zoya, "kalau cuma masalah persaingan di antara kita wajar. Tapi, kamu dengan sengaja masih berhubungan dengan perempuan lain saat kita akan mengucapkan janji suci." Entah mengapa, sebagian hati Zoya teriris saat mengatakan kebenaran itu. "Siapa? Aku nggak pernah berhubungan dengan gadis mana pun?" bantah Arvin, "aku rasa kamu yang mencari-cari alasan karena ada lelaki yang sedang kamu tunggu." "Kalau iya, kamu mau apa?" Kemarahan Zoya makin menjadi.Arvin terdiam, perlahan dia melepaskan cekalan tangannya. Apa yang terucap dari bibir Zoya mampu mematahkan benteng pertahanannya. Adeeva tersenyum penuh kemenangan kemudian dia mendekati si lelaki yang nyawanya seolah pergi entah ke mana. "Kamu dengar sendiri, kan, Mas. Mbak Zoya itu nggak layak untukmu," ucap Adeeva. Tangannya hendak melingkar pada pergelangan Arvin. Namun, lelaki itu dengan cepat menghindar. Tatapan Zoya begitu tajam pada adik tirinya sama seperti Arsyad. Lelaki paruh baya itu ingin sekali melerai dan menyatukan Arvin dan Zoya supaya tidak berdebat lagi. Namun, kemampuannya sangat terbatas hingga cuma bisa menatap ketiga anak-anaknya dengan sedih. "Kamu dengar itu, Vin?" tanya Zoya, "jadi, untuk apa kita menikah jika aku nggak layak dan pantas untukmu? Carilah perempuan yang sebanding denganmu, seperti Adeeva, misalnya. Lupakan permintaan Ayah." "Zoya!" bentak Sekar keras. Wanita itu, kini sudah berdiri di ambang pintu dan mendengar semua perkataan si sulung.
Zoya menunduk, menyembunyikan rona merah yang ada di pipinya. Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka berdua, ada Adeeva yang mengepalkan tangannya. "Kenapa bukan aku yang mencium Mas Arvin? Kenapa selalu Zoya dan Zoya lagi," gumam Adeeva, jengkel ketika saudara tirinya selalu mendapat keberuntungan yang bisa mendekatkan diri pada Arvin. "Makanya, jadi cewek nggak usah sok, deh, Mbak. Kalau ketahuan gini, apa nggak malu? Bilangnya nggak sudi Nerima pemberian Mas Arvin, sudah sarapan. Tapi, nyatanya semua itu bohong," sindir Adeeva ketika dia sudah berada di sebelah Zoya. "Sudah ... sudah. Nggak perlu diperdebatkan. Kamu tadi ngomong, mau ngecek gudang beras kita. Ayo, Mas antar. Sekalian Mas juga mau ngecek ke pabrik." Salah tingkah, Arvin malah mengajak Adeeva. Harusnya, sesuai instruksi Sekar lewat chat, dia harus membawa Zoya ke pabrik minuman kemasan milik mereka. "Bagus, sekarang kalian malah terang-terangan menunjukkan kemesraan di depanku. Dasar nggak tahu diri," ump
"Apa, sih, Ay?" Arvin kembali memasang wajah dingin seperti sebelumnya. Ekor mata Zoya berputar. "Kenapa kembali ke mode awal? Apa perkataanku tadi sudah keterlaluan?" ucapnya dalam hati. Keduanya terdiam beberapa saat hingga kendaraan yang ditumpangi berhenti di parkiran. "Turun, Ay," suruh Arvin karena melihat perempuan di sebelahnya terbengong. "Iya ... iya. Aku turun sekarang." Zoya sudah hampir menapakkan kakinya ke tanah. Namun, semua dia urungkan ketika suara Arvin terdengar. "Di dalam, sudah ada Pak Nareswara yang menunggu keputusanmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama." Zoya menoleh dengan mata terbuka dan alis yang hampir bertaut. "Gila, ya. Belum juga aku membaca berkas kerja sama sudah suruh menyetujui dan tanda tangan." Mendengkus, Arvin membalas tatapan Zoya lebih sengit. "Bisa, nggak, jangan mengedepankan emosi. Katanya pinter. Masak memahami perkataanku tadi saja, nggak bisa." Arvin turun lebih dulu, lalu berlari ke sisi pintu Zoya. Layaknya perlak
"Kalian ini nggak ngerti tempat, ya. Mentang-mentang pengantin baru, di kantor malah mesra-mesraan." Seorang lelaki berkemeja biru muda menyilangkan tangan di ambang pintu. Kepalanya geleng-geleng melihat live dua insan yang sejak dulu bersaing itu. "Apa, sih, Bi," sahut Zoya. Dia segera berdiri menjauhi Arvin. "Omonganmu ngawur, Bi," lanjut Arvin, "kamu nyariin aku?" Berusaha setengah mungkin walau jantungnya tengah berpacu. Arvin mengikuti langkah Zoya menuju sofa. Lelaki yang dipanggil Bi tersebut terkikik. Geli sekali melihat tingkah dua orang dewasa di depannya. Dia pun tak bisa berhenti tertawa kecil. "Hasbi!" panggil Zoya, "kalau terus tertawa, aku pecat kamu." Arvin menahan tawanya, perempuan di sebelahnya itu terlihat kesal sekali dengan tingkah sepupunya. Jadi, dia tidak akan menambah kekesalan Zoya. Bisa-bisa si perempuan akan semakin marah nantinya. "Dih, Pakde aja nggak pernah ngomong gitu. Eh, penggantinya malah lebih galak. Salah dikit, langsung pecat." Hasbi
Hah?Takut terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya, Zoya memundurkan kursi. Lalu, menatap lawannya. "Ingat, ya, Vin. Aku sudah punya calon suami. Kamu nggak berhak mencampuri urusan pribadiku." Pergi begitu saja meninggalkan Arvin yang menjadi patung, Zoya menghentakkan kakinya. Kesal sekali dengan sikap diktator lelaki itu. "Memangnya dia siapa? Ayah saja nggak pernah kayak tadi. Dia itu cuma anaknya tukang kebun di rumah ini. Berani-beraninya sok kuasa. Apa jadinya kalau aku sampai nikah sama dia tadi," gerutu Zoya sepanjang perjalanan menuju kamar. Sepeninggal Zoya, Arvin merutuki dirinya sendiri. Kenapa begitu ceroboh hingga membuat Zoya marah. "Dia pasti makin membenciku padahal, sikapnya sudah mulai melunak. Bodoh kamu, Vin," umpatnya pada diri sendiri. Sampai di kamar, Zoya menghubungi Bara kembali. Namun, panggilannya tak terangkat, gadis itu mencoba beberapa kali melakukan panggilan yang terjadi malah nomor Bara tidak aktif. Capek dengan segala aktivitasnya hari
"Sejak kapan kamu kenal Bara?" tanya Zoya, "bertemu saja baru kali ini. Iya, kan, Sayang?" Menatap ke arah Bara. "Iya, aku baru kali ini datang ke kotamu, Sayang." Bara merangkul Zoya di hadapan Arvin dengan tatapan permusuhan. Garis bibir Arvin terangkat sebelah. Satu tangannya dimasukkan ke saku dan mengepal. Lelaki itu menyatukan gigi-giginya dengan kuat. "Oh, ya? Mungkin karena tanggal 19 Juni bulan lalu di hotel Minak Jinggo, aku nggak sempat memberimu ucapan selamat secara langsung. Jadi, kamu nggak tahu siapa aku," ucap Arvin ambigu. Mendongakkan kepalanya menatap sang kekasih, Zoya bertanya melalui tatapan mata. "Nggak tahu maksudnya apa, Sayang. Tanggal 19 Juni, aku ada meeting yang membuat kita membatalkan kencan kita waktu itu. Kamu ingat, kan?" ucap Bara. Suaranya mulai sedikit bergetar. Zoya melepas rangkulan Bara. Tangannya beralih memegang pergelangan sang kekasih. Lalu, gadis itu berjalan menjauhi Arvin. Akan tetapi, sebelumnya dia sempat berkata, "Nggak usah
"Dari mana kamu mendapatkan semua ini?" tanya Bara. Suaranya keras membahana hingga membuat Sekar dan Zoya tersentak, takut. "Menurutmu?" tanya Arvin, "bukankah kamu memblokir seluruh fotografer untuk mendokumentasikan acara tersebut. Tapi, kamu lupa bahwa aku bisa mendapatkan langsung dari sumbernya karena kamu nggak mungkin menghalanginya." "Nggak mungkin." Bola mata Bara melebar dengan wajah memerah. "Siapa kamu sampai mengenal Kahyang?" "Jadi, perempuan ini namanya Kahyang?" sahut Zoya, Pikirannya langsung tertuju pada perkataan Arvin pagi tadi. "Nggak nyangka kamu tega, Bar." "Apa, sih, Sayang. Aku sama dia itu dijodohkan. Sebentar lagi, kami sepakat untuk memutuskan pertunangan." Bera berusaha menyentuh pergelangan Zoya, tetapi ditolak. "Sebaiknya, kamu pergi dari sini," usir Sekar pada Bara, "lelaki sepertimu, selamanya nggak akan pernah jujur." "Tapi, Bu," bantah Bara. Menatap Zoya, mencari dukungan. "Sayang, aku bisa jelaskan. Bulan depan, aku sama dia sudah selesai.
Happy Reading*****"Untuk apa kami harus memberitahu. Kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi," sahut Arsyad. "Pak, tolong. Jangan melepaskan alat itu lagi," pinta Arvin. Dia kembali ingin memasangkan alat pernapasan pada mertuanya. "Tunggu, Vin. Bapak belum selesai bicara. Sebelum anak itu pergi, Bapak nggak akan menggunakan alat ini lagi.""Om, masih saja keras kepala bahkan berani menikahkan Zoya dengan orang lain. Nyata-nyata dirinya sudah aku rusak."Plak ....Lelaki pemilik nama Noval itu mendapat tamparan keras dari Arvin. "Jaga mulutmu, Val. Sebaiknya kamu pergi sekarang sebelum aku benar-benar menghajarmu," ancam Arvin. Zoya menatap benci pada lelaki yang berstatus sebagai sepupunya itu. "Apa belum cukup kamu menyakitiku, Val? Sekarang, kamu ingin menghancurkan pernikahanku?"Noval mendengkus. "Kalau bukan karena iming-iming harta yang dijanjikan Om Arsyad. Mana mungkin Arvin mau menikahimu, Ay.""Jaga ucapanmu, Mas Noval. Keluarga saya memang miskin, nggak bisa dibandi