Share

5. Debat tanpa Henti

Kedua indera Arvin terbuka sempurna, Arsyad bahkan ingin membuka alat pernapasan yang terpasang. Semua orang menatap si sulung.

"Mbak, bisa dijelaskan kenapa tiba-tiba menolak meneruskan pernikahan ini? Bukankah katanya Arvin, njenengan sudah setuju?" tanya Maryam. Sebagai ibu, dia merasa Arvin telah dipermainkan.

"Aya, nggak usah macam-macam. Ingat apa yang Ibu katakan di kantin tadi," bisik Sekar. Lalu, dia berbalik menatap sng suami. "Tenang, Yah. Zoya cuma nge-prank kita saja."

Semenit kemudian, Zoya memindai tatapannya pada Arvin. Lalu, berganti menatap adik tirinya.

"Apa yang aku katakan tadi bukan prank, Bu. Aku memang nggak akan meneruskan pernikahan ini dengan Arvin."

"Aya, kita sudah cukup dewasa," sahut Arvin. Tatapannya tajam menghunus jantung pertahanan Zoya.

Tahu persis jika lelaki itu memanggilnya demikian, maka kemarahannya sudah mencapai puncak.

"Justru karena kita sudah sama-sama dewasa, Vin. Aku nggak mau kalau kamu sampai terpaksa menerima pernikahan ini. Kalau memang sudah memiliki orang yang kamu cintai, mengapa harus memaksakan semua ini?"

Memutar bola mata, Arvin sedikit bingung.

"Maksud Mbak Zoya apa?" tanya bapaknya Arvin. "Selama ini nggak ada perempuan ...."

"Pak," cegah Arvin. Kepalanya menggeleng keras. "Pak, njenengan sudah dengar sendiri ucapan Mbak Zoya. Bukan saya yang menolak pernikahan ini, tapi dia yang nggak mau." Menaikkan garis bibir berusaha tetap baik-baik saja di depan semua orang, Arvin menatap Arsyad.

Lelaki paruh baya yang kini terbaring di ranjang kesakitan itu mendelik pada putrinya. Alat bantu pernapasannya telah terlepas. "Aya, apa kamu mau melihat ayahmu ini mati cepat?" tanyanya pada si sulung dengan napas tersengal.

"Yah, jangan seperti ini?" kata Sekar. Tangannya berusaha memasang kembali alat bantu pernapasan sang suami, Tatapannya tajam menguliti si anak tiri. "Kamu mau membunuh ayahmu sendiri, Mbak?"

Tubuh Zoya seketika lemas, mundur dengan keadaan sempoyongan. Rasa bersalah serta bayangan kematian sang ayah menari-nari di depan mata. Namun, ketika netranya bersirobok dengan sang adik tiri. Kemesraan Arvin dengan Adeeva membuat dadanya begitu sesak. Mencoba mengumpul seluruh keberaniannya, Zoya memandang semua orang yang ada di ruangan itu.

"Aku nggak mau mati muda seperti Bunda," ucap Zoya. Tatapan kebencian itu kini jelas sekali tertuju pada Sekar.

"Apa maksudmu, Mbak?" Jantung Sekar berdetak kuat. Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di wajahnya. Tatapan Zoya sungguh tak biasa.

"Rasanya, aku nggak perlu menjelaskan, Bu. Terpenting, aku nggak mau kejadian di masa lalu terulang. Statusnya istri, tapi nggak diperlakukan sebagai istri sebagaimana mestinya."

"Nggak perlu berbelit-belit, Mbak Zoya," ucap Arvin.

Melirik lelaki yang baru saja berbicara itu dengan kebencian. "Nggak perlu sok bodoh. Kamu pasti paham apa yang aku sampaikan," tegas Zoya.

Di sisi lain, Adeeva tersenyum dalam hati. Sementara orang-orang yang ada di ruangan itu masih diam memperhatikan dua calon pengantin.

Sang penghulu mengembuskan napas panjang. Lalu, menatap Zoya dan Arvin bergantian. "Gini saja, Mas Arvin, Mbak Zoya. Rasanya, perdebatan ini harus diselesaikan antar keluarga. Kami ini kan orang luar," ucapnya sambil melirik mereka-mereka yang menjadi saksi pernikahan. "Jadi, sebaiknya kami pulang dulu. Setelah semua permasalahan diselesaikan, boleh memanggil saya lagi."

"Ngapunten, Pak. Mungkin lebih baik seperti yang njenengan ucapkan itu," kata bapaknya Arvin.

"Kalau begitu, kami permisi." Tiga orang yang didaulat sebagai saksi dan penghulu undur diri setelah pamit pada Arsyad.

"Ibu sama Bapak mau pulang saja, Vin," kata Ashari, bapaknya Arvin.

Lelaki pemilik kulit sawo matang itu mengangguk. "Monggo, Pak. Ngapunten nggak bisa nganter."

"Nggak masalah. Selesaikan saja permasalahanmu dengan Mbak Zoya," tambah Maryam.

Sepeninggal kedua orang tuanya, Sekar keluar untuk memanggil dokter karena keadaan Arsyad yang mengkhatirkan.

"Seperti inikah caramu membalas Budi pada Bapak?" tanya Arvin pada Zoya. Bola mata membulat sempurna bukan marah karena gagal menikah, tetapi lelaki itu marah karena tingkah kekanakan Zoya.

"Nggak mau sakit hati sepanjang hidup jika menikah denganmu. Kamu pasti paham maksudku." Zoya berbalik hendak pergi meninggalkan Arvin dan Adeeva. Jika terus berada di ruangan yang sama, perasaan sakit itu akan terasa.

"Pikiranmu terlalu picik, Aya!" bentak Arvin, "hanya karena aku selalu unggul dibandingkan dirimu ketika sekolah dulu, kamu berkata bahwa aku sudah menyakitimu."

Arvin bahkan dengan nada marah, mencekal pergelangan Zoya dengan kuat. Merasa si lelaki belum menyadari kejadian sebelum akad akan dilangsungkan, kelopak mata Zoya terbuka sempurna.

"Yakin kamu nggak menyakitiku?" tantang Zoya, "kalau cuma masalah persaingan di antara kita wajar. Tapi, kamu dengan sengaja masih berhubungan dengan perempuan lain saat kita akan mengucapkan janji suci."

Entah mengapa, sebagian hati Zoya teriris saat mengatakan kebenaran itu.

"Siapa? Aku nggak pernah berhubungan dengan gadis mana pun?" bantah Arvin, "aku rasa kamu yang mencari-cari alasan karena ada lelaki yang sedang kamu tunggu."

"Kalau iya, kamu mau apa?" Kemarahan Zoya makin menjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status