Share

3. Terpaksa

"Mau selesaikan kerjaan apa bengong?" ucap Arvin masih belum menyadari keterkejutan Zoya dengan perkataan sebelumnya.

Zoya lantas menekan keyboard sesuai angka yang disebutkan Arvin dan benar saja pintu terbuka.

Deg!

"Kenapa kamu menggunakan tanggal lahirku sebagai password?"

"Dih, kepedean." Arvin membuang muka. Menyembunyikan rasa gugupnya.

"Kalau bukan tanggal lahirku, terus apa?"

"Ribet. Mau nyelesaikan kerjaan apa jadi wartawan? Aku perlu istirahat." Arvin berpura-pura memejamkan mata demi menghindari pertanyaan Zoya selanjutnya.

"Dih," gerutu Zoya. Dia tak lagi membalas ucapan Arvin. Fokus membuka laptop lelaki itu sambil mencari bukti-bukti tentang kedekatan sang pemilik laptop dengan adiknya.

Satu jam kemudian, mata Zoya mulai panas dan tak lagi bisa fokus pada layar laptop padahal proposal yang dia buat belum selesai dengan sempurna. Semakin lama, mata Zoya makin lengket, lima menit kemudian dia sudah tertidur pulas.

Arvin yang sejak tadi berpura-pura tidur. Kini, membuka mata karena tak mendengar suara gumaman Zoya.

"Tahan begadang juga ternyata," ucap Arvin lirih sambil menatap gadis yang matanya telah tertutup sempurna.

Semakin mendekati Zoya, Arvin membaca proposal yang sedang dikerjakan gadis itu. Reflek, jemarinya mulai mengotak-atik keyboard.

"Akhirnya selesai," ucap Arvin setelah hampir satu jam berusaha menyelesaikan pekerjaan Zoya. Lalu, lelaki itu pindah duduk di dekat ranjang Arsyad. Mencoba memejamkan mata kembali.

Tak terasa, waktu berlalu.

Sayup-sayup suara azan berkumandang terdengar, Zoya menggerak-gerakkan bola mata. Berusaha segera membuka indera penglihatannya. Sambil mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya pulih, gadis itu mengangkat ponselnya.

"Nggak kurang subuh telponnya?" tanya Zoya pada seseorang di seberang sana.

"Gila kamu, ya. Dari semalam aku tungguin, proposalnya belum juga dikirim," omel lawan bicara Zoya.

"Astagfirullah. Sorry aku ketiduran." Segera menegakkan posisinya, Zoya menyambar laptop yang ada di meja. "Aku telpon kamu setelah proposalnya terkirim. Aku matikan, ya. Bye."

Beberapa kali menekan enter karena mengira laptop itu masih menyala, kening Zoya berkerut. "Perasaan semalam, aku belum sempat matikan laptop ini. Kok sekarang nggak bisa nyala? Apa baterainya habis, ya," gumam Zoya.

Arvin melirik perempuan yang terlihat panik itu. Namun, karena suara azan sudah berkumandang, lelaki itu mengabaikan putri majikannya.

"Jaga, Bapak. Aku mau ke musala dulu," pamit Arvin pada Zoya.

"Hmm." Zoya memilih mengabaikan perkataan Arvin dan fokus pada benda persegi di depannya.

Setelah berhasil menghidupkan layar, Zoya segera membuka file proposal proyek yang dikerjakannya semalam. Matanya membulat sempurna ketika mengetahui bahwa proposal yang belum dirampungkannya itu sudah begitu sempurna.

Menahan rasa jengkel di hati, Zoya tetap mengirimkan proposal tersebut walau tahu bukan dia pembuat aslinya.

"Lancang!" umpat Zoya. Selesai meluapkan kekesalan hatinya, gadis itu menghubungi sahabat sekaligus rekan kerjanya.

"Cek, proposal itu. Aku sudah mengirimnya," ucap Zoya ketika panggilannya sudah terangkat.

"Ngapain di cek, sih. Kalau kamu yang buat, Bos, pasti setuju dan suka."

"Pokoknya cek. Aku suruh cek ya cek, Vy. Jangan membantah deh."

"Lagi PMS, ya. Sengak banget omongannya."

"Bukan aku yang buat proposal itu. Makanya, aku memintamu untuk mengecek ulang," ucap Zoya. Pada akhirnya dia berkata jujur.

"Heh, siapa orang yang berani ngerjain proposal proyek sebesar itu? Gila aja. Berani-beraninya dia."

"Udah, deh, Vy. Aku lagi malas bahas nama dia. Nanti, aku telpon lagi. Aku mau salat dulu. Keburu dia pulang dari Musala, kena omel nanti."

Suara Ivy menggema di telinga Zoya.

"Siapa yang berani ngomelin anak gadis Pak Arsyad selain saingan beratmu itu."

"Udah, deh. Aku tutup."

Zoya mengembuskan napas panjang. Segera beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Oleh karena tidak ada siapa pun di ruangan itu, dia terpaksa melaksanakan salat subuh di dekat ranjang sang ayah.

Baru saja salam dan menengok ke sisi kiri, wajah Arvin sudah terlihat. Zoya mendelik, rahangnya mengetat, menahan marah.

"Bisa nggak, jangan mencampuri pekerjaanku. Proposal itu bukan proposal sembarangan. Kenapa tanganmu lancang sekali meneruskannya," bentak Zoya.

"Cuma berniat bantu. Kalau nggak suka tinggal hapus aja," jawab Arvin. Dia membereskan semua barang-barangnya. "Aku harus pulang. Kamu jagain Bapak sampai Ibu datang."

"Vin, aku lagi ngomong. Jengkelin sekali, sih."

"Apa lagi?" Arvin menatap malas pada Zoya.

"Kalian meributkan apalagi?" tanya Arsyad pelan. Lelaki itu kembali membuka alat pernapasannya.

"Ayah, jangan," cegah Zoya.

"Pak, nggak boleh," tambah Arvin.

"Kalau begitu, turuti permintaan semalam," ucap Arsyad. Suaranya begitu lantang seperti orang yang tidak sakit.

"Aku nggak mau, Yah," jawab Zoya.

Arvin tidak menjawab apa pun. Dia sibuk membetulkan alat-alat medis yang harus dikenakan bosnya. Namun, semua tindakan lelaki itu ditepis oleh Arsyad.

"Pak, tolong," pinta Arvin melas.

"Nggak mau sembuh sebelum kalian mengiyakan permintaan semalam," bentak Arsyad membuat Zoya mendelik.

"Ayah!" rajuk sulung keluarga Arsyad.

"Aya, jangan keras kepala!" ucap Arvin.

"Aku nggak keras kepala. Aku menolak karena memiliki alasan."

"Apa alasanmu?" Arsyad menatap putrinya.

"Aku masih ingin mengejar karier."

Arsyad mendengkus. "Karier bagaimana lagi yang akan kamu kejar. Semua usaha yang Ayah miliki adalah milikmu, Aya."

"Nggak, aku ingin membuktikan pada Ayah. Walau aku perempuan, tapi aku nggak akan kalah sama cowok. Terutama Arvin."

"Astagfirullah, Aya!" bentak Arsyad. Saat itu juga, lelaki paruh baya itu merasakan nyeri yang begitu hebat di ulu hatinya. "Kamu ...."

Arvin dengan cepat keluar untuk memanggil perawat. Sebelum pergi, dia sempat melotot, marah pada perempuan yang masih mengenakan mukena itu.

Beberapa menit kemudian, Arvin kembali ke ruang perawatan dengan seorang suster.

"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Bapak, aku nggak akan memaafkanmu," ancam Lelaki dengan potongan rambut belah tengah.

"Kalau kamu lupa, beliau adalah ayahku. Tentu aku menginginkan kesembuhannya," sahut Zoya penuh amarah.

"Bisa tidak jangan membuat keributan. Kondisi pasien saat ini sangat labil. Jika kalian berdebat seperti ini, maka akan mengganggu ketenangannya. Proses penyembuhan pun terhambat. Jangan membebani pikiran pasien," peringat suster yang baru saja mengecek keadaan Arsyad.

"Maaf," jawab Zoya dan Arvin, bersamaan.

"Tolong kalian turuti permintaannya. Jangan sampai menyesal jika terjadi apa-apa pada beliau." Setelahnya, suster itu meninggalkan ruangan tersebut.

"Vin," panggil Arsyad.

"Inggih, Pak." Arvin mendekat.

"Siapkan semua syarat untuk pernikahan kalian. Waktu bapak cuma sebentar."

"Inggih."

"Kamu mau, kan, menikahi Zoya."

"Insya Allah."

Saat itu juga, dunia Zoya serasa runtuh.

Tak ada lagi bantahan dari bibirnya apalagi setelah mendengar penuturan suster tadi. Melawan pun, tak sanggup.

Benarkah ini jalan terbaik?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status