"Mau selesaikan kerjaan apa bengong?" ucap Arvin masih belum menyadari keterkejutan Zoya dengan perkataan sebelumnya.
Zoya lantas menekan keyboard sesuai angka yang disebutkan Arvin dan benar saja pintu terbuka.Deg!
"Kenapa kamu menggunakan tanggal lahirku sebagai password?" "Dih, kepedean." Arvin membuang muka. Menyembunyikan rasa gugupnya. "Kalau bukan tanggal lahirku, terus apa?" "Ribet. Mau nyelesaikan kerjaan apa jadi wartawan? Aku perlu istirahat." Arvin berpura-pura memejamkan mata demi menghindari pertanyaan Zoya selanjutnya. "Dih," gerutu Zoya. Dia tak lagi membalas ucapan Arvin. Fokus membuka laptop lelaki itu sambil mencari bukti-bukti tentang kedekatan sang pemilik laptop dengan adiknya. Satu jam kemudian, mata Zoya mulai panas dan tak lagi bisa fokus pada layar laptop padahal proposal yang dia buat belum selesai dengan sempurna. Semakin lama, mata Zoya makin lengket, lima menit kemudian dia sudah tertidur pulas. Arvin yang sejak tadi berpura-pura tidur. Kini, membuka mata karena tak mendengar suara gumaman Zoya. "Tahan begadang juga ternyata," ucap Arvin lirih sambil menatap gadis yang matanya telah tertutup sempurna. Semakin mendekati Zoya, Arvin membaca proposal yang sedang dikerjakan gadis itu. Reflek, jemarinya mulai mengotak-atik keyboard. "Akhirnya selesai," ucap Arvin setelah hampir satu jam berusaha menyelesaikan pekerjaan Zoya. Lalu, lelaki itu pindah duduk di dekat ranjang Arsyad. Mencoba memejamkan mata kembali. Tak terasa, waktu berlalu.Sayup-sayup suara azan berkumandang terdengar, Zoya menggerak-gerakkan bola mata. Berusaha segera membuka indera penglihatannya. Sambil mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya pulih, gadis itu mengangkat ponselnya.
"Nggak kurang subuh telponnya?" tanya Zoya pada seseorang di seberang sana. "Gila kamu, ya. Dari semalam aku tungguin, proposalnya belum juga dikirim," omel lawan bicara Zoya. "Astagfirullah. Sorry aku ketiduran." Segera menegakkan posisinya, Zoya menyambar laptop yang ada di meja. "Aku telpon kamu setelah proposalnya terkirim. Aku matikan, ya. Bye." Beberapa kali menekan enter karena mengira laptop itu masih menyala, kening Zoya berkerut. "Perasaan semalam, aku belum sempat matikan laptop ini. Kok sekarang nggak bisa nyala? Apa baterainya habis, ya," gumam Zoya. Arvin melirik perempuan yang terlihat panik itu. Namun, karena suara azan sudah berkumandang, lelaki itu mengabaikan putri majikannya. "Jaga, Bapak. Aku mau ke musala dulu," pamit Arvin pada Zoya. "Hmm." Zoya memilih mengabaikan perkataan Arvin dan fokus pada benda persegi di depannya. Setelah berhasil menghidupkan layar, Zoya segera membuka file proposal proyek yang dikerjakannya semalam. Matanya membulat sempurna ketika mengetahui bahwa proposal yang belum dirampungkannya itu sudah begitu sempurna. Menahan rasa jengkel di hati, Zoya tetap mengirimkan proposal tersebut walau tahu bukan dia pembuat aslinya. "Lancang!" umpat Zoya. Selesai meluapkan kekesalan hatinya, gadis itu menghubungi sahabat sekaligus rekan kerjanya. "Cek, proposal itu. Aku sudah mengirimnya," ucap Zoya ketika panggilannya sudah terangkat. "Ngapain di cek, sih. Kalau kamu yang buat, Bos, pasti setuju dan suka." "Pokoknya cek. Aku suruh cek ya cek, Vy. Jangan membantah deh." "Lagi PMS, ya. Sengak banget omongannya." "Bukan aku yang buat proposal itu. Makanya, aku memintamu untuk mengecek ulang," ucap Zoya. Pada akhirnya dia berkata jujur. "Heh, siapa orang yang berani ngerjain proposal proyek sebesar itu? Gila aja. Berani-beraninya dia." "Udah, deh, Vy. Aku lagi malas bahas nama dia. Nanti, aku telpon lagi. Aku mau salat dulu. Keburu dia pulang dari Musala, kena omel nanti." Suara Ivy menggema di telinga Zoya. "Siapa yang berani ngomelin anak gadis Pak Arsyad selain saingan beratmu itu." "Udah, deh. Aku tutup." Zoya mengembuskan napas panjang. Segera beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudu. Oleh karena tidak ada siapa pun di ruangan itu, dia terpaksa melaksanakan salat subuh di dekat ranjang sang ayah. Baru saja salam dan menengok ke sisi kiri, wajah Arvin sudah terlihat. Zoya mendelik, rahangnya mengetat, menahan marah. "Bisa nggak, jangan mencampuri pekerjaanku. Proposal itu bukan proposal sembarangan. Kenapa tanganmu lancang sekali meneruskannya," bentak Zoya. "Cuma berniat bantu. Kalau nggak suka tinggal hapus aja," jawab Arvin. Dia membereskan semua barang-barangnya. "Aku harus pulang. Kamu jagain Bapak sampai Ibu datang." "Vin, aku lagi ngomong. Jengkelin sekali, sih." "Apa lagi?" Arvin menatap malas pada Zoya. "Kalian meributkan apalagi?" tanya Arsyad pelan. Lelaki itu kembali membuka alat pernapasannya. "Ayah, jangan," cegah Zoya. "Pak, nggak boleh," tambah Arvin. "Kalau begitu, turuti permintaan semalam," ucap Arsyad. Suaranya begitu lantang seperti orang yang tidak sakit. "Aku nggak mau, Yah," jawab Zoya. Arvin tidak menjawab apa pun. Dia sibuk membetulkan alat-alat medis yang harus dikenakan bosnya. Namun, semua tindakan lelaki itu ditepis oleh Arsyad. "Pak, tolong," pinta Arvin melas. "Nggak mau sembuh sebelum kalian mengiyakan permintaan semalam," bentak Arsyad membuat Zoya mendelik. "Ayah!" rajuk sulung keluarga Arsyad. "Aya, jangan keras kepala!" ucap Arvin. "Aku nggak keras kepala. Aku menolak karena memiliki alasan." "Apa alasanmu?" Arsyad menatap putrinya. "Aku masih ingin mengejar karier." Arsyad mendengkus. "Karier bagaimana lagi yang akan kamu kejar. Semua usaha yang Ayah miliki adalah milikmu, Aya." "Nggak, aku ingin membuktikan pada Ayah. Walau aku perempuan, tapi aku nggak akan kalah sama cowok. Terutama Arvin." "Astagfirullah, Aya!" bentak Arsyad. Saat itu juga, lelaki paruh baya itu merasakan nyeri yang begitu hebat di ulu hatinya. "Kamu ...." Arvin dengan cepat keluar untuk memanggil perawat. Sebelum pergi, dia sempat melotot, marah pada perempuan yang masih mengenakan mukena itu. Beberapa menit kemudian, Arvin kembali ke ruang perawatan dengan seorang suster. "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Bapak, aku nggak akan memaafkanmu," ancam Lelaki dengan potongan rambut belah tengah. "Kalau kamu lupa, beliau adalah ayahku. Tentu aku menginginkan kesembuhannya," sahut Zoya penuh amarah. "Bisa tidak jangan membuat keributan. Kondisi pasien saat ini sangat labil. Jika kalian berdebat seperti ini, maka akan mengganggu ketenangannya. Proses penyembuhan pun terhambat. Jangan membebani pikiran pasien," peringat suster yang baru saja mengecek keadaan Arsyad. "Maaf," jawab Zoya dan Arvin, bersamaan. "Tolong kalian turuti permintaannya. Jangan sampai menyesal jika terjadi apa-apa pada beliau." Setelahnya, suster itu meninggalkan ruangan tersebut. "Vin," panggil Arsyad. "Inggih, Pak." Arvin mendekat. "Siapkan semua syarat untuk pernikahan kalian. Waktu bapak cuma sebentar." "Inggih." "Kamu mau, kan, menikahi Zoya." "Insya Allah." Saat itu juga, dunia Zoya serasa runtuh.Tak ada lagi bantahan dari bibirnya apalagi setelah mendengar penuturan suster tadi. Melawan pun, tak sanggup.
Benarkah ini jalan terbaik?
Sementara itu, Arvin meninggalkan Zoya setelah mendapat perintah dari Arsyad. Dia berniat membicarakan semua itu pada orang tuanya. Walau sempat berdiskusi sebelumnya, tetapi sebagai bentuk penghormatan, dia harus tetap mengatakan rencana pernikahannya itu pada seluruh keluarga. Zoya sendiri hanya bisa duduk termenung di samping ranjang Arsyad. Kepalanya berputar-putar, membayangkan pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan dengan Arvin. Menolak, jelas dia tak sanggup. Apalagi kondisi Arsyad yang tidak memungkinkan. "Sepertinya, aku harus membuat beberapa perjanjian dengannya," kata Zoya dalam hati. Oleh karena ayahnya kembali memejamkan mata, Zoya membuka laptop Arvin dan mulai mengetikkan sesuatu. Dia membuat perjanjian untuk pernikahannya nanti. Sekitar setengah jam kemudian, Zoya sudah menyelesaikan seluruh perjanjian itu. Di saat bersamaan, Adeeva dan ibu tirinya masuk. "Mbak, kamu kok lancang pakai laptopnya Mas Arvin," kata Adeeva. Raut kecewa dan marah jelas terli
Kedua indera Arvin terbuka sempurna, Arsyad bahkan ingin membuka alat pernapasan yang terpasang. Semua orang menatap si sulung. "Mbak, bisa dijelaskan kenapa tiba-tiba menolak meneruskan pernikahan ini? Bukankah katanya Arvin, njenengan sudah setuju?" tanya Maryam. Sebagai ibu, dia merasa Arvin telah dipermainkan. "Aya, nggak usah macam-macam. Ingat apa yang Ibu katakan di kantin tadi," bisik Sekar. Lalu, dia berbalik menatap sng suami. "Tenang, Yah. Zoya cuma nge-prank kita saja." Semenit kemudian, Zoya memindai tatapannya pada Arvin. Lalu, berganti menatap adik tirinya. "Apa yang aku katakan tadi bukan prank, Bu. Aku memang nggak akan meneruskan pernikahan ini dengan Arvin." "Aya, kita sudah cukup dewasa," sahut Arvin. Tatapannya tajam menghunus jantung pertahanan Zoya. Tahu persis jika lelaki itu memanggilnya demikian, maka kemarahannya sudah mencapai puncak. "Justru karena kita sudah sama-sama dewasa, Vin. Aku nggak mau kalau kamu sampai terpaksa menerima pernikahan ini.
Arvin terdiam, perlahan dia melepaskan cekalan tangannya. Apa yang terucap dari bibir Zoya mampu mematahkan benteng pertahanannya. Adeeva tersenyum penuh kemenangan kemudian dia mendekati si lelaki yang nyawanya seolah pergi entah ke mana. "Kamu dengar sendiri, kan, Mas. Mbak Zoya itu nggak layak untukmu," ucap Adeeva. Tangannya hendak melingkar pada pergelangan Arvin. Namun, lelaki itu dengan cepat menghindar. Tatapan Zoya begitu tajam pada adik tirinya sama seperti Arsyad. Lelaki paruh baya itu ingin sekali melerai dan menyatukan Arvin dan Zoya supaya tidak berdebat lagi. Namun, kemampuannya sangat terbatas hingga cuma bisa menatap ketiga anak-anaknya dengan sedih. "Kamu dengar itu, Vin?" tanya Zoya, "jadi, untuk apa kita menikah jika aku nggak layak dan pantas untukmu? Carilah perempuan yang sebanding denganmu, seperti Adeeva, misalnya. Lupakan permintaan Ayah." "Zoya!" bentak Sekar keras. Wanita itu, kini sudah berdiri di ambang pintu dan mendengar semua perkataan si sulung.
Zoya menunduk, menyembunyikan rona merah yang ada di pipinya. Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka berdua, ada Adeeva yang mengepalkan tangannya. "Kenapa bukan aku yang mencium Mas Arvin? Kenapa selalu Zoya dan Zoya lagi," gumam Adeeva, jengkel ketika saudara tirinya selalu mendapat keberuntungan yang bisa mendekatkan diri pada Arvin. "Makanya, jadi cewek nggak usah sok, deh, Mbak. Kalau ketahuan gini, apa nggak malu? Bilangnya nggak sudi Nerima pemberian Mas Arvin, sudah sarapan. Tapi, nyatanya semua itu bohong," sindir Adeeva ketika dia sudah berada di sebelah Zoya. "Sudah ... sudah. Nggak perlu diperdebatkan. Kamu tadi ngomong, mau ngecek gudang beras kita. Ayo, Mas antar. Sekalian Mas juga mau ngecek ke pabrik." Salah tingkah, Arvin malah mengajak Adeeva. Harusnya, sesuai instruksi Sekar lewat chat, dia harus membawa Zoya ke pabrik minuman kemasan milik mereka. "Bagus, sekarang kalian malah terang-terangan menunjukkan kemesraan di depanku. Dasar nggak tahu diri," ump
"Apa, sih, Ay?" Arvin kembali memasang wajah dingin seperti sebelumnya. Ekor mata Zoya berputar. "Kenapa kembali ke mode awal? Apa perkataanku tadi sudah keterlaluan?" ucapnya dalam hati. Keduanya terdiam beberapa saat hingga kendaraan yang ditumpangi berhenti di parkiran. "Turun, Ay," suruh Arvin karena melihat perempuan di sebelahnya terbengong. "Iya ... iya. Aku turun sekarang." Zoya sudah hampir menapakkan kakinya ke tanah. Namun, semua dia urungkan ketika suara Arvin terdengar. "Di dalam, sudah ada Pak Nareswara yang menunggu keputusanmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama." Zoya menoleh dengan mata terbuka dan alis yang hampir bertaut. "Gila, ya. Belum juga aku membaca berkas kerja sama sudah suruh menyetujui dan tanda tangan." Mendengkus, Arvin membalas tatapan Zoya lebih sengit. "Bisa, nggak, jangan mengedepankan emosi. Katanya pinter. Masak memahami perkataanku tadi saja, nggak bisa." Arvin turun lebih dulu, lalu berlari ke sisi pintu Zoya. Layaknya perlak
"Kalian ini nggak ngerti tempat, ya. Mentang-mentang pengantin baru, di kantor malah mesra-mesraan." Seorang lelaki berkemeja biru muda menyilangkan tangan di ambang pintu. Kepalanya geleng-geleng melihat live dua insan yang sejak dulu bersaing itu. "Apa, sih, Bi," sahut Zoya. Dia segera berdiri menjauhi Arvin. "Omonganmu ngawur, Bi," lanjut Arvin, "kamu nyariin aku?" Berusaha setengah mungkin walau jantungnya tengah berpacu. Arvin mengikuti langkah Zoya menuju sofa. Lelaki yang dipanggil Bi tersebut terkikik. Geli sekali melihat tingkah dua orang dewasa di depannya. Dia pun tak bisa berhenti tertawa kecil. "Hasbi!" panggil Zoya, "kalau terus tertawa, aku pecat kamu." Arvin menahan tawanya, perempuan di sebelahnya itu terlihat kesal sekali dengan tingkah sepupunya. Jadi, dia tidak akan menambah kekesalan Zoya. Bisa-bisa si perempuan akan semakin marah nantinya. "Dih, Pakde aja nggak pernah ngomong gitu. Eh, penggantinya malah lebih galak. Salah dikit, langsung pecat." Hasbi
Hah?Takut terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya, Zoya memundurkan kursi. Lalu, menatap lawannya. "Ingat, ya, Vin. Aku sudah punya calon suami. Kamu nggak berhak mencampuri urusan pribadiku." Pergi begitu saja meninggalkan Arvin yang menjadi patung, Zoya menghentakkan kakinya. Kesal sekali dengan sikap diktator lelaki itu. "Memangnya dia siapa? Ayah saja nggak pernah kayak tadi. Dia itu cuma anaknya tukang kebun di rumah ini. Berani-beraninya sok kuasa. Apa jadinya kalau aku sampai nikah sama dia tadi," gerutu Zoya sepanjang perjalanan menuju kamar. Sepeninggal Zoya, Arvin merutuki dirinya sendiri. Kenapa begitu ceroboh hingga membuat Zoya marah. "Dia pasti makin membenciku padahal, sikapnya sudah mulai melunak. Bodoh kamu, Vin," umpatnya pada diri sendiri. Sampai di kamar, Zoya menghubungi Bara kembali. Namun, panggilannya tak terangkat, gadis itu mencoba beberapa kali melakukan panggilan yang terjadi malah nomor Bara tidak aktif. Capek dengan segala aktivitasnya hari
"Sejak kapan kamu kenal Bara?" tanya Zoya, "bertemu saja baru kali ini. Iya, kan, Sayang?" Menatap ke arah Bara. "Iya, aku baru kali ini datang ke kotamu, Sayang." Bara merangkul Zoya di hadapan Arvin dengan tatapan permusuhan. Garis bibir Arvin terangkat sebelah. Satu tangannya dimasukkan ke saku dan mengepal. Lelaki itu menyatukan gigi-giginya dengan kuat. "Oh, ya? Mungkin karena tanggal 19 Juni bulan lalu di hotel Minak Jinggo, aku nggak sempat memberimu ucapan selamat secara langsung. Jadi, kamu nggak tahu siapa aku," ucap Arvin ambigu. Mendongakkan kepalanya menatap sang kekasih, Zoya bertanya melalui tatapan mata. "Nggak tahu maksudnya apa, Sayang. Tanggal 19 Juni, aku ada meeting yang membuat kita membatalkan kencan kita waktu itu. Kamu ingat, kan?" ucap Bara. Suaranya mulai sedikit bergetar. Zoya melepas rangkulan Bara. Tangannya beralih memegang pergelangan sang kekasih. Lalu, gadis itu berjalan menjauhi Arvin. Akan tetapi, sebelumnya dia sempat berkata, "Nggak usah