Share

2. Sok Cuek, tetapi Perhatian

"Yah, aku nggak ma!" tolak Zoya sekali lagi.

Namun, Arvin mencekal pergelangan Zoya sembari mendelik. "Diam," bisiknya.

Zoya lantas mengatupkan bibir erat. Wajah menakutkan Arvin sekali lagi terlihat olehnya.

Dulu, dia pernah membantah perkataan lelaki itu dan berujung dengan kesakitan. Arvin tak segan-segan menggunakan kekuatan untuk membuatnya diam!

Menghentakkan kaki dan berjalan ke sofa, Zoya duduk sambil menyilangkan tangannya. "Kenapa Ayah harus memintanya menikahiku?" gumamnya.

"Aku memang nggak pantas untuk menikahimu, tapi bisakah kamu memenuhi permintaan beliau demi kesembuhannya?" kata Arvin dengan wajah datar. Sungguh sikap lelaki itu makin membuat Zoya membencinya.

"Bagus kalau kamu sadar diri. Jadi, aku akan menolak permintaan Ayah tadi."

"Zoya!" ucap Arvin tegas. Gejolak di hatinya membara.

Bukan setahun dua tahun, tatapan mata perempuan itu penuh kebencian padanya. Namun, sampai belasan tahun berlalu, Zoya tetap melihatnya seperti itu. Andai waktu bisa diputar, Arvin pasti tak ingin mengalahkan Zoya. Namun, ucapan Arsyad kembali terngiang sehingga menyebabkan semangat Arvin membara. 

"Jangan jadikan kelemahan orang tuamu dalam hal keuangan menjadi penghambat sekolahmu. Justru karena orang tuamu yang nggak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Maka, kamu harus berhasil. Jika kamu terus mendapatkan gelar juara, Bapak akan memberikan beasiswa sampai kamu lulus kuliah," ucap Arsyad waktu Arvin masih kelas 5 SD.

Namun, di balik semua gelar juara dan prestasi yang berhasil diraih Arvin. Ada kebencian Zoya yang tak pernah bisa dipadamkan. Demi membuktikan kemampuannya jauh di atas Arvin, Zoya rela merantau dan mengejar kariernya sendiri.

"Apa?" ucap Zoya. Matanya membulat sempurna, menantang Arvin. "Aku tahu apa niatmu saat mengiyakan permintaan Ayah. Pasti kamu ingin, aku berada di bawah kuasamu. Bukankah dengan menjadikanku istri, maka posisiku akan berada di bawah kendalimu?"

"Terserah," jawab Arvin. Dia memilih duduk di sebelah Arsyad.

Tak ada kata bantahan lagi yang keluar dari bibir Zoya. Arvin pun tak peduli dengan kehadiran perempuan itu. Dia memilih menyalakan layar laptop sambil menjaga Arsyad.

Satu jam kemudian, ketika Arvin sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Zoya tertidur pulas di sofa. Tangan perempuan itu menyilang di depan dada dengan kepala mendongak. Tersenyum, Arvin menggelengkan kepala melihat keadaan Zoya.

Sangat hati-hati, lelaki itu mengubah posisi tidur Zoya. Memberikan selimut demi kenyamanan perempuan yang sangat membencinya.

"Aku selalu berharap, kita bisa berbaikan seperti dulu. Jadi, kita bisa mendiskusikan banyak hal. Terutama tentang beberapa usaha milik keluargamu," ucap Arvin lirih. Hanya, ketika seperti inilah, Zoya tenang dan Arvin bisa berkata cukup panjang.

"Tidur yang nyenyak," ucap Arvin mengakhiri semua tindakannya. Dia sendiri akhirnya kembali duduk di sebelah Arsyad.

Rasa perih yang melilit perutnya, membuat Zoya membuka mata. Mengedarkan pandangan, netranya menangkap sosok Arvin dengan mata tertutup sambil duduk. Laptopnya pun masih menyala.

Zoya bergerak mendekati lelaki itu. "Dasar, sudah ngantuk masih saja nonton film." Tangannya bergerak hendak mematikan laptop tersebut. Namun, matanya terpaku ketika melihat wallpaper. "Sialan! Mana mungkin aku akan menikah dengan lelaki sepertinya."

Mendengar suara yang begitu dekat dengannya, Arvin menggerak-gerakan bola mata. Namun, dia masih enggan untuk membuka.

"Ada apa?" tanya Arvin dengan mata terpejam.

"Nggak ada. Aku mau keluar nyari makanan. Tolong jagain Ayah." Zoya segera berbalik sebelum mata Arvin terbuka. Namun, langkahnya terhenti ketika pergelangan tangannya di cekal.

"Kamu lapar? Biar aku yang beli makanan."

"Nggak usah," ucap Zoya sambil mengibaskan tangan supaya cekalan Arvin terlepas.

"Nggak usah gengsi. Di luar sana banyak orang jahat," ucap Arvin. Tatapan matanya menembus jantung Zoya. Membuat wanita itu berpikir seribu kali untuk tetap meneruskan niatnya.

"Belikan aku sate ayam," ucap Zoya memerintah. Dia juga menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. "Kalau kamu mau, beli juga."

"Aku cowok. Simpan uangmu." Arvin langsung berdiri dan mengibaskan tangan Zoya yang memegang uang.

"Masih saja sombong padahal jelas-jelas belum bekerja. Dari mana dapat uang. Makan sama tempat tinggal saja masih numpang di rumahku," gerutu Zoya.

Memastikan bahwa Arvin benar-benar sudah keluar dari ruangan tersebut, Zoya menyentuh benda persegi milik Arvin yang dimatikannya tadi.

"Aku harus punya bukti supaya ayah nggak memaksaku untuk menikah dengannya."

Jemarinya mulai menghidupkan layar laptop milik Arvin. Namun, lelaki itu cukup cerdas supaya tidak sembarang orang bisa membukanya. Arvin mengunci laptopnya.

"Sial," umpat Zoya, "padahal aku tadi sudah melihat foto Adeeva yang dijadikan wallpaper."

Zoya tak ingin menyerah mendapatkan bahan sebagai penolakan permintaan ayahnya. Dia memasukkan beberapa angka, tetapi gagal. "Jika password-nya bukan kelahiran Adeeva. Pasti tanggal lahirnya sendiri."

Mencoba sekali lagi, Zoya ternyata masih gagal. Sudah dua kali dia mencoba dan hasilnya nihil. "Jika aku memasukkan sekali lagi angka dan salah. Maka, aku harus menunggu sekitar satu jam untuk mencobanya. Nggak mungkin kekejar kalau begini, Arvin pasti sudah datang," gerutunya.

Jemari Zoya bergerak-gerak tak pasti di atas keyboard laptop. Sesekali menghela napas panjang karena otaknya buntu dan belum mendapatkan ide rangkaian angka yang akan dimasukkan. Perempuan itu melirik arlojinya, sudah setengah jam berlalu. Kemungkinan besar, sebentar lagi Arvin datang.

Cepat-cepat Zoya mematikan laptop, mengembalikannya ke posisi semula. Demikian juga dirinya, kembali ke sofa dengan memejamkan mata. Tak lama berselang, handle pintu yang diputar terdengar, Zoya membuka mata.

"Ini, makanlah." Arvin menyerahkan kantong plastik berwarna putih dengan logo warung sate favorit Zoya.

Lalu, lelaki itu duduk kembali di tempat semula.

"Vin, kamu beneran beli sate di warungnya Om Riswan," tanya Zoya, "memangnya masih buka jam segini?"

"Masih," jawab lelaki dengan tahi lalat di leher sebelah kiri.

"Kok bisa masih buka padahal sudah jam sepuluh lebih." Zoya membuka bungkusan yang dibawa Arvin. Matanya berbinar ketika tusukan-tusukan daging itu terlihat menyatu dengan bumbu kacang dan kecap.

"Tinggal chat Fattah saja," sahut Arvin. Setengah mati, dia menahan senyum ketika melihat Zoya mulai memakan sate. Usahanya tidak sia-sia, perempuan itu terlihat bahagia dan perkataannya tak lagi ketus seperti tadi.

"Oh, pantesan. Ternyata kamu menggunakan koneksi orang dalam." Zoya kembali melanjutkan makan malamnya. Dia begitu asyik dan menikmati semua makanan di depannya.

Perempuan dengan rambut lurus dan berponi itu tak sadar jika sudah diperhatikan oleh Arvin. Dia terus menggigit sate-sate tersebut, sesekali mengibaskan rambut dan poninya supaya tidak mengganggu. Arvin tak tahan melihat Zoya yang sedikit kesusahan dengan rambutnya. Membuka tas dan mengeluarkan kotak kecil berisi karet, dia mendekati Zoya.

Tanpa kata, lelaki itu memegang rambut sang gadis.

"Eh, mau ngapain?" bentak Zoya.

"Makan saja. Rambutmu mengganggu kalau nggak dikuncir." Tak menggubris protesan si gadis, Arvin melanjutkan kegiatannya. Menyatukan semua rambut Zoya ke belakang dan menguncinya dengan karet yang sudah dia bawa tadi. Lalu, dia juga merapikan poninya Zoya, menjepitnya ke samping kiri dengan jepit kupu-kupu yang sudah disiapkan.

Sejenak, Zoya terdiam. Lalu, berkata, "terima kasih." Melanjutkan makannya kembali.

"Sama-sama," jawab Arvin. Tak ingin jantungnya terus berdisko, dia kembali duduk di dekat Arsyad.

"Tumben ngomong terima kasih," kata Arvin dalam hati.

Selesai dengan makan malamnya, Zoya menatap Arvin dengan gelisah. "Vin," panggilnya.

"Apa?"

"Bisa pinjem laptopmu?"

"Untuk," jawab Arvin datar nyaris seperti orang mengintimidasi.

"Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan."

"Pake saja."

Menghidupkan kembali benda yang sempat tadi diotak-atik, Zoya memajukan bibir. "Password-nya, Vin."

"260597," ucap Arvin santai. Namun, tidak dengan Zoya.

Kening perempuan itu berkerut.

Bukankah ini tanggal lahirnya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status