"Yah, aku nggak ma!" tolak Zoya sekali lagi.
Namun, Arvin mencekal pergelangan Zoya sembari mendelik. "Diam," bisiknya. Zoya lantas mengatupkan bibir erat. Wajah menakutkan Arvin sekali lagi terlihat olehnya.Dulu, dia pernah membantah perkataan lelaki itu dan berujung dengan kesakitan. Arvin tak segan-segan menggunakan kekuatan untuk membuatnya diam!
Menghentakkan kaki dan berjalan ke sofa, Zoya duduk sambil menyilangkan tangannya. "Kenapa Ayah harus memintanya menikahiku?" gumamnya. "Aku memang nggak pantas untuk menikahimu, tapi bisakah kamu memenuhi permintaan beliau demi kesembuhannya?" kata Arvin dengan wajah datar. Sungguh sikap lelaki itu makin membuat Zoya membencinya. "Bagus kalau kamu sadar diri. Jadi, aku akan menolak permintaan Ayah tadi." "Zoya!" ucap Arvin tegas. Gejolak di hatinya membara. Bukan setahun dua tahun, tatapan mata perempuan itu penuh kebencian padanya. Namun, sampai belasan tahun berlalu, Zoya tetap melihatnya seperti itu. Andai waktu bisa diputar, Arvin pasti tak ingin mengalahkan Zoya. Namun, ucapan Arsyad kembali terngiang sehingga menyebabkan semangat Arvin membara. "Jangan jadikan kelemahan orang tuamu dalam hal keuangan menjadi penghambat sekolahmu. Justru karena orang tuamu yang nggak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Maka, kamu harus berhasil. Jika kamu terus mendapatkan gelar juara, Bapak akan memberikan beasiswa sampai kamu lulus kuliah," ucap Arsyad waktu Arvin masih kelas 5 SD. Namun, di balik semua gelar juara dan prestasi yang berhasil diraih Arvin. Ada kebencian Zoya yang tak pernah bisa dipadamkan. Demi membuktikan kemampuannya jauh di atas Arvin, Zoya rela merantau dan mengejar kariernya sendiri. "Apa?" ucap Zoya. Matanya membulat sempurna, menantang Arvin. "Aku tahu apa niatmu saat mengiyakan permintaan Ayah. Pasti kamu ingin, aku berada di bawah kuasamu. Bukankah dengan menjadikanku istri, maka posisiku akan berada di bawah kendalimu?" "Terserah," jawab Arvin. Dia memilih duduk di sebelah Arsyad. Tak ada kata bantahan lagi yang keluar dari bibir Zoya. Arvin pun tak peduli dengan kehadiran perempuan itu. Dia memilih menyalakan layar laptop sambil menjaga Arsyad. Satu jam kemudian, ketika Arvin sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Zoya tertidur pulas di sofa. Tangan perempuan itu menyilang di depan dada dengan kepala mendongak. Tersenyum, Arvin menggelengkan kepala melihat keadaan Zoya. Sangat hati-hati, lelaki itu mengubah posisi tidur Zoya. Memberikan selimut demi kenyamanan perempuan yang sangat membencinya. "Aku selalu berharap, kita bisa berbaikan seperti dulu. Jadi, kita bisa mendiskusikan banyak hal. Terutama tentang beberapa usaha milik keluargamu," ucap Arvin lirih. Hanya, ketika seperti inilah, Zoya tenang dan Arvin bisa berkata cukup panjang. "Tidur yang nyenyak," ucap Arvin mengakhiri semua tindakannya. Dia sendiri akhirnya kembali duduk di sebelah Arsyad. Rasa perih yang melilit perutnya, membuat Zoya membuka mata. Mengedarkan pandangan, netranya menangkap sosok Arvin dengan mata tertutup sambil duduk. Laptopnya pun masih menyala. Zoya bergerak mendekati lelaki itu. "Dasar, sudah ngantuk masih saja nonton film." Tangannya bergerak hendak mematikan laptop tersebut. Namun, matanya terpaku ketika melihat wallpaper. "Sialan! Mana mungkin aku akan menikah dengan lelaki sepertinya." Mendengar suara yang begitu dekat dengannya, Arvin menggerak-gerakan bola mata. Namun, dia masih enggan untuk membuka. "Ada apa?" tanya Arvin dengan mata terpejam. "Nggak ada. Aku mau keluar nyari makanan. Tolong jagain Ayah." Zoya segera berbalik sebelum mata Arvin terbuka. Namun, langkahnya terhenti ketika pergelangan tangannya di cekal. "Kamu lapar? Biar aku yang beli makanan." "Nggak usah," ucap Zoya sambil mengibaskan tangan supaya cekalan Arvin terlepas. "Nggak usah gengsi. Di luar sana banyak orang jahat," ucap Arvin. Tatapan matanya menembus jantung Zoya. Membuat wanita itu berpikir seribu kali untuk tetap meneruskan niatnya. "Belikan aku sate ayam," ucap Zoya memerintah. Dia juga menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. "Kalau kamu mau, beli juga." "Aku cowok. Simpan uangmu." Arvin langsung berdiri dan mengibaskan tangan Zoya yang memegang uang. "Masih saja sombong padahal jelas-jelas belum bekerja. Dari mana dapat uang. Makan sama tempat tinggal saja masih numpang di rumahku," gerutu Zoya. Memastikan bahwa Arvin benar-benar sudah keluar dari ruangan tersebut, Zoya menyentuh benda persegi milik Arvin yang dimatikannya tadi. "Aku harus punya bukti supaya ayah nggak memaksaku untuk menikah dengannya." Jemarinya mulai menghidupkan layar laptop milik Arvin. Namun, lelaki itu cukup cerdas supaya tidak sembarang orang bisa membukanya. Arvin mengunci laptopnya. "Sial," umpat Zoya, "padahal aku tadi sudah melihat foto Adeeva yang dijadikan wallpaper." Zoya tak ingin menyerah mendapatkan bahan sebagai penolakan permintaan ayahnya. Dia memasukkan beberapa angka, tetapi gagal. "Jika password-nya bukan kelahiran Adeeva. Pasti tanggal lahirnya sendiri." Mencoba sekali lagi, Zoya ternyata masih gagal. Sudah dua kali dia mencoba dan hasilnya nihil. "Jika aku memasukkan sekali lagi angka dan salah. Maka, aku harus menunggu sekitar satu jam untuk mencobanya. Nggak mungkin kekejar kalau begini, Arvin pasti sudah datang," gerutunya. Jemari Zoya bergerak-gerak tak pasti di atas keyboard laptop. Sesekali menghela napas panjang karena otaknya buntu dan belum mendapatkan ide rangkaian angka yang akan dimasukkan. Perempuan itu melirik arlojinya, sudah setengah jam berlalu. Kemungkinan besar, sebentar lagi Arvin datang. Cepat-cepat Zoya mematikan laptop, mengembalikannya ke posisi semula. Demikian juga dirinya, kembali ke sofa dengan memejamkan mata. Tak lama berselang, handle pintu yang diputar terdengar, Zoya membuka mata. "Ini, makanlah." Arvin menyerahkan kantong plastik berwarna putih dengan logo warung sate favorit Zoya. Lalu, lelaki itu duduk kembali di tempat semula. "Vin, kamu beneran beli sate di warungnya Om Riswan," tanya Zoya, "memangnya masih buka jam segini?" "Masih," jawab lelaki dengan tahi lalat di leher sebelah kiri. "Kok bisa masih buka padahal sudah jam sepuluh lebih." Zoya membuka bungkusan yang dibawa Arvin. Matanya berbinar ketika tusukan-tusukan daging itu terlihat menyatu dengan bumbu kacang dan kecap. "Tinggal chat Fattah saja," sahut Arvin. Setengah mati, dia menahan senyum ketika melihat Zoya mulai memakan sate. Usahanya tidak sia-sia, perempuan itu terlihat bahagia dan perkataannya tak lagi ketus seperti tadi. "Oh, pantesan. Ternyata kamu menggunakan koneksi orang dalam." Zoya kembali melanjutkan makan malamnya. Dia begitu asyik dan menikmati semua makanan di depannya. Perempuan dengan rambut lurus dan berponi itu tak sadar jika sudah diperhatikan oleh Arvin. Dia terus menggigit sate-sate tersebut, sesekali mengibaskan rambut dan poninya supaya tidak mengganggu. Arvin tak tahan melihat Zoya yang sedikit kesusahan dengan rambutnya. Membuka tas dan mengeluarkan kotak kecil berisi karet, dia mendekati Zoya. Tanpa kata, lelaki itu memegang rambut sang gadis. "Eh, mau ngapain?" bentak Zoya. "Makan saja. Rambutmu mengganggu kalau nggak dikuncir." Tak menggubris protesan si gadis, Arvin melanjutkan kegiatannya. Menyatukan semua rambut Zoya ke belakang dan menguncinya dengan karet yang sudah dia bawa tadi. Lalu, dia juga merapikan poninya Zoya, menjepitnya ke samping kiri dengan jepit kupu-kupu yang sudah disiapkan. Sejenak, Zoya terdiam. Lalu, berkata, "terima kasih." Melanjutkan makannya kembali. "Sama-sama," jawab Arvin. Tak ingin jantungnya terus berdisko, dia kembali duduk di dekat Arsyad. "Tumben ngomong terima kasih," kata Arvin dalam hati. Selesai dengan makan malamnya, Zoya menatap Arvin dengan gelisah. "Vin," panggilnya. "Apa?" "Bisa pinjem laptopmu?" "Untuk," jawab Arvin datar nyaris seperti orang mengintimidasi. "Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan." "Pake saja." Menghidupkan kembali benda yang sempat tadi diotak-atik, Zoya memajukan bibir. "Password-nya, Vin." "260597," ucap Arvin santai. Namun, tidak dengan Zoya. Kening perempuan itu berkerut.Bukankah ini tanggal lahirnya?
"Mau selesaikan kerjaan apa bengong?" ucap Arvin masih belum menyadari keterkejutan Zoya dengan perkataan sebelumnya. Zoya lantas menekan keyboard sesuai angka yang disebutkan Arvin dan benar saja pintu terbuka.Deg! "Kenapa kamu menggunakan tanggal lahirku sebagai password?" "Dih, kepedean." Arvin membuang muka. Menyembunyikan rasa gugupnya. "Kalau bukan tanggal lahirku, terus apa?" "Ribet. Mau nyelesaikan kerjaan apa jadi wartawan? Aku perlu istirahat." Arvin berpura-pura memejamkan mata demi menghindari pertanyaan Zoya selanjutnya. "Dih," gerutu Zoya. Dia tak lagi membalas ucapan Arvin. Fokus membuka laptop lelaki itu sambil mencari bukti-bukti tentang kedekatan sang pemilik laptop dengan adiknya. Satu jam kemudian, mata Zoya mulai panas dan tak lagi bisa fokus pada layar laptop padahal proposal yang dia buat belum selesai dengan sempurna. Semakin lama, mata Zoya makin lengket, lima menit kemudian dia sudah tertidur pulas. Arvin yang sejak tadi berpura-pura tidur
Sementara itu, Arvin meninggalkan Zoya setelah mendapat perintah dari Arsyad. Dia berniat membicarakan semua itu pada orang tuanya. Walau sempat berdiskusi sebelumnya, tetapi sebagai bentuk penghormatan, dia harus tetap mengatakan rencana pernikahannya itu pada seluruh keluarga. Zoya sendiri hanya bisa duduk termenung di samping ranjang Arsyad. Kepalanya berputar-putar, membayangkan pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan dengan Arvin. Menolak, jelas dia tak sanggup. Apalagi kondisi Arsyad yang tidak memungkinkan. "Sepertinya, aku harus membuat beberapa perjanjian dengannya," kata Zoya dalam hati. Oleh karena ayahnya kembali memejamkan mata, Zoya membuka laptop Arvin dan mulai mengetikkan sesuatu. Dia membuat perjanjian untuk pernikahannya nanti. Sekitar setengah jam kemudian, Zoya sudah menyelesaikan seluruh perjanjian itu. Di saat bersamaan, Adeeva dan ibu tirinya masuk. "Mbak, kamu kok lancang pakai laptopnya Mas Arvin," kata Adeeva. Raut kecewa dan marah jelas terli
Kedua indera Arvin terbuka sempurna, Arsyad bahkan ingin membuka alat pernapasan yang terpasang. Semua orang menatap si sulung. "Mbak, bisa dijelaskan kenapa tiba-tiba menolak meneruskan pernikahan ini? Bukankah katanya Arvin, njenengan sudah setuju?" tanya Maryam. Sebagai ibu, dia merasa Arvin telah dipermainkan. "Aya, nggak usah macam-macam. Ingat apa yang Ibu katakan di kantin tadi," bisik Sekar. Lalu, dia berbalik menatap sng suami. "Tenang, Yah. Zoya cuma nge-prank kita saja." Semenit kemudian, Zoya memindai tatapannya pada Arvin. Lalu, berganti menatap adik tirinya. "Apa yang aku katakan tadi bukan prank, Bu. Aku memang nggak akan meneruskan pernikahan ini dengan Arvin." "Aya, kita sudah cukup dewasa," sahut Arvin. Tatapannya tajam menghunus jantung pertahanan Zoya. Tahu persis jika lelaki itu memanggilnya demikian, maka kemarahannya sudah mencapai puncak. "Justru karena kita sudah sama-sama dewasa, Vin. Aku nggak mau kalau kamu sampai terpaksa menerima pernikahan ini.
Arvin terdiam, perlahan dia melepaskan cekalan tangannya. Apa yang terucap dari bibir Zoya mampu mematahkan benteng pertahanannya. Adeeva tersenyum penuh kemenangan kemudian dia mendekati si lelaki yang nyawanya seolah pergi entah ke mana. "Kamu dengar sendiri, kan, Mas. Mbak Zoya itu nggak layak untukmu," ucap Adeeva. Tangannya hendak melingkar pada pergelangan Arvin. Namun, lelaki itu dengan cepat menghindar. Tatapan Zoya begitu tajam pada adik tirinya sama seperti Arsyad. Lelaki paruh baya itu ingin sekali melerai dan menyatukan Arvin dan Zoya supaya tidak berdebat lagi. Namun, kemampuannya sangat terbatas hingga cuma bisa menatap ketiga anak-anaknya dengan sedih. "Kamu dengar itu, Vin?" tanya Zoya, "jadi, untuk apa kita menikah jika aku nggak layak dan pantas untukmu? Carilah perempuan yang sebanding denganmu, seperti Adeeva, misalnya. Lupakan permintaan Ayah." "Zoya!" bentak Sekar keras. Wanita itu, kini sudah berdiri di ambang pintu dan mendengar semua perkataan si sulung.
Zoya menunduk, menyembunyikan rona merah yang ada di pipinya. Sementara itu, tak jauh dari tempat mereka berdua, ada Adeeva yang mengepalkan tangannya. "Kenapa bukan aku yang mencium Mas Arvin? Kenapa selalu Zoya dan Zoya lagi," gumam Adeeva, jengkel ketika saudara tirinya selalu mendapat keberuntungan yang bisa mendekatkan diri pada Arvin. "Makanya, jadi cewek nggak usah sok, deh, Mbak. Kalau ketahuan gini, apa nggak malu? Bilangnya nggak sudi Nerima pemberian Mas Arvin, sudah sarapan. Tapi, nyatanya semua itu bohong," sindir Adeeva ketika dia sudah berada di sebelah Zoya. "Sudah ... sudah. Nggak perlu diperdebatkan. Kamu tadi ngomong, mau ngecek gudang beras kita. Ayo, Mas antar. Sekalian Mas juga mau ngecek ke pabrik." Salah tingkah, Arvin malah mengajak Adeeva. Harusnya, sesuai instruksi Sekar lewat chat, dia harus membawa Zoya ke pabrik minuman kemasan milik mereka. "Bagus, sekarang kalian malah terang-terangan menunjukkan kemesraan di depanku. Dasar nggak tahu diri," ump
"Apa, sih, Ay?" Arvin kembali memasang wajah dingin seperti sebelumnya. Ekor mata Zoya berputar. "Kenapa kembali ke mode awal? Apa perkataanku tadi sudah keterlaluan?" ucapnya dalam hati. Keduanya terdiam beberapa saat hingga kendaraan yang ditumpangi berhenti di parkiran. "Turun, Ay," suruh Arvin karena melihat perempuan di sebelahnya terbengong. "Iya ... iya. Aku turun sekarang." Zoya sudah hampir menapakkan kakinya ke tanah. Namun, semua dia urungkan ketika suara Arvin terdengar. "Di dalam, sudah ada Pak Nareswara yang menunggu keputusanmu untuk menandatangani perjanjian kerja sama." Zoya menoleh dengan mata terbuka dan alis yang hampir bertaut. "Gila, ya. Belum juga aku membaca berkas kerja sama sudah suruh menyetujui dan tanda tangan." Mendengkus, Arvin membalas tatapan Zoya lebih sengit. "Bisa, nggak, jangan mengedepankan emosi. Katanya pinter. Masak memahami perkataanku tadi saja, nggak bisa." Arvin turun lebih dulu, lalu berlari ke sisi pintu Zoya. Layaknya perlak
"Kalian ini nggak ngerti tempat, ya. Mentang-mentang pengantin baru, di kantor malah mesra-mesraan." Seorang lelaki berkemeja biru muda menyilangkan tangan di ambang pintu. Kepalanya geleng-geleng melihat live dua insan yang sejak dulu bersaing itu. "Apa, sih, Bi," sahut Zoya. Dia segera berdiri menjauhi Arvin. "Omonganmu ngawur, Bi," lanjut Arvin, "kamu nyariin aku?" Berusaha setengah mungkin walau jantungnya tengah berpacu. Arvin mengikuti langkah Zoya menuju sofa. Lelaki yang dipanggil Bi tersebut terkikik. Geli sekali melihat tingkah dua orang dewasa di depannya. Dia pun tak bisa berhenti tertawa kecil. "Hasbi!" panggil Zoya, "kalau terus tertawa, aku pecat kamu." Arvin menahan tawanya, perempuan di sebelahnya itu terlihat kesal sekali dengan tingkah sepupunya. Jadi, dia tidak akan menambah kekesalan Zoya. Bisa-bisa si perempuan akan semakin marah nantinya. "Dih, Pakde aja nggak pernah ngomong gitu. Eh, penggantinya malah lebih galak. Salah dikit, langsung pecat." Hasbi
Hah?Takut terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya, Zoya memundurkan kursi. Lalu, menatap lawannya. "Ingat, ya, Vin. Aku sudah punya calon suami. Kamu nggak berhak mencampuri urusan pribadiku." Pergi begitu saja meninggalkan Arvin yang menjadi patung, Zoya menghentakkan kakinya. Kesal sekali dengan sikap diktator lelaki itu. "Memangnya dia siapa? Ayah saja nggak pernah kayak tadi. Dia itu cuma anaknya tukang kebun di rumah ini. Berani-beraninya sok kuasa. Apa jadinya kalau aku sampai nikah sama dia tadi," gerutu Zoya sepanjang perjalanan menuju kamar. Sepeninggal Zoya, Arvin merutuki dirinya sendiri. Kenapa begitu ceroboh hingga membuat Zoya marah. "Dia pasti makin membenciku padahal, sikapnya sudah mulai melunak. Bodoh kamu, Vin," umpatnya pada diri sendiri. Sampai di kamar, Zoya menghubungi Bara kembali. Namun, panggilannya tak terangkat, gadis itu mencoba beberapa kali melakukan panggilan yang terjadi malah nomor Bara tidak aktif. Capek dengan segala aktivitasnya hari