Bola mataku membulat sempurna. Betapa tercengangnya aku mendengar apa yang Ayah katakan. Ini sungguh tak bisa dipercaya.
"Yah, gak bisa gitu, dong?" protesku, tak habis pikir."Dengar, Kalila! Kalau kamu punya suami, Amar gak akan ganggu kamu lagi," tutur Ayah, penuh keyakinan."Masalahnya, kenapa harus menikah sama Om Ilham? Dia itu Omnya Lila, Yah? Ini gak boleh terjadi." Aku coba mengingatkan, barangkali Ayah lupa."Lila, kamu sama Ilham bukan saudara." Kali ini Ibu yang bicara.Aku menggeleng tak percaya. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa semuanya mendadak berubah seperti ini?Aku berdiri meninggalkan kursi. Berjalan mundur menjauhi kedua orang tuaku."Lila," panggil Ibu.Tak kuhiraukan beliau. Aku tak percaya ini semua. Tak kusangka jika yang dikatakan Mas Amar ternyata benar adanya.Tapi, kenapa? Kenapa hany"Ya ampun, kamu cerewet sekali. Bisa pusing kepalaku kalau jadi suamimu," keluh Om Ilham, seraya menutup kedua telinganya dengan bantal. Tanpa ia sadari, ucapannya seketika telah berhasil membungkam mulutku yang tadinya masih ingin berbicara.Aku segera berpaling darinya. Berdiri menghadap jendela. Mengalihkan pandangan ke samping rumah Nenek. Perkataannya tadi, sungguh telah membuatku teringat dengan pembicaraan antara aku dan kedua orang tuaku semalam Tiba-tiba sepasang lengan melingkar di perutku. Hembusan hangat napasnya terasa menyentuh kulit tengkukku."Om ...." Aku berusaha melepaskan pelukannya. Ini terasa sangat aneh bagiku. Namun, bukannya terlepas, ia justru semakin mengeratkannya."Ayah dan Ibu kamu pasti udah ngomongin semuanya, kan?" tanyanya, meletakkan dagu di pundakku. Membuat detak jantungku seakan berpacu dengan cepat."Om, aku-""Sstt ...! Aku gak minta pendapatmu. Aku cuma butuh kesiapanmu. Kapan kamu siap jadi istriku?" Pertanyaan Om Ilham, tak serta merta mampu
Mendadak wajahku menghangat. Aku yakin saat ini sudah nampak seperti daging buah semangka. Entah mengapa kata-katanya mampu membuat perasaanku jadi tak karuan. Padahal bukan rayuan yang lontarkan. Tapi, dalam sekejap hatiku luluh lantah dibuatnya.Mungkin benar aku ini materialistis. Buktinya setelah diajak belanja, aku tidak lagi berusaha menolaknya. Malah aku seperti terhipnotis olehnya. Aku menurut dan patuh kemanapun ia membawaku.Atau mungkin hanya perasaan senang seperti yang sudah-sudah. Saat masih jadi keponakannya, baik aku maupun Kirana memang tidak pernah segan meminta apapun padanya. "Om, kita kan belum makan siang. Aku lapar," keluhku, merasakan cacing di perutku yang sudah mulai berdemo."Iya, nanti abis ngecek toko kita makan." Jawabannya sungguh tidak menyenangkan.Kukira dia akan seperti tokoh-tokoh pria yang sering kutulis atau kubaca dalam cerita, yang akan bertindak ce
"Ish ... Om ini apa-apaan, sih?" sungutku, menepis tangannya. "Malu tahu.""Kenapa malu? Semua orang juga tahu, kalau kamu calon istriku.""Iya, tapi gak usah kayak gini juga.""Kayak gini gimana?" godanya, membuatku susah payah menahan malu. "Kayak gini maksudnya?" Om Ilham malah merapatkan pelukannya."Sudah, sudah, jangan godain Kalila terus." Suara Kakek menginterupsi, sehingga lelaki itu mau tak mau mengurai pelukannya."Iya. Sudah sana kalian makan dulu," timpal Nenek, selanjutnya."Lho, Kakek sama Nenek gak makan?" tanyaku, heran kenapa malah menyuruh kami makan."Nenek nanti aja sama Kakek. Kakek baru aja minum obat, nanti makannya satu jam lagi," terang Nenek.Bahagia sekali melihat Kakek dan Nenek. Sudah setua itu, sudah puluhan tahun bersama, mereka masih saja saling setia. Saling melengkapi. Selalu bersama-sama menghadapi
Ilham's Pov************Setelah melepas kepulangan calon istriku, Kalila, anak serta adiknya, aku bersama dua orang yang telah merawat dan membesarkanku, kembali ke dalam rumah. Kemudian kuantar Ibu dan Bapakku yang telah sepuh itu agar beristirahat lebih awal. Apalagi siang tadi mereka menjalani cek up rutin. Pasti tubuh renta itu akan merasa letih."Kamu juga jangan begadang terus. Istirahat yang cukup, habis ini kamu bakal lebih sibuk ngurus lamaran sama pernikahan." Ibu memperingatkanku."Iya, iya, Ibu. Ibu ini cerewet seperti Kalila," gurauku, langsung mendapat jeweran dari Ibu.Aku kembali ke ruang keluarga. Menyalakan televisi, mencari-cari acara yang menarik untuk ditonton. Irisku tertuju pada layar, namun entah kenapa pikiranku melayang pada bayangan Kalila.Pikiranku sangat tidak nyaman. Padahal ia baru beberapa menit meninggalkan rumah ini. Rasa was-was seketika meny
Kalila's Pov************"Ibu ...!""Nenek ...!" Semua orang berteriak, menggaungkan sebutan masing-masing pada Nenek. Tubuh renta itu telah terkulai tak berdaya, beralaskan hamparan susunan batu alam yang ditata sedemikian rupa, sehingga memunculkan motif artistik.Mas Amar yang berada paling dekat buru-buru meraih raga itu ke pangkuannya. Begitupun dengan Om Ilham, Kirana, dan Kakek. Mereka berhamburan menghampiri Nenek. Sedangkan aku tertinggal karena kepayahan sambil menggendong Arla."Bu, bangun, Bu ...." Om Ilham memindahkan kepala Nenek ke atas pahanya sembari menitikkan air mata."Kita bawa ke rumah sakit," usul Mas Amar. Ia segera membantu mengangkat Nenek bersama Om Ilham ke dalam kendaraan miliknya.Kami semua mengekori langkah mereka. Hingga aku pun tersadar akan sesuatu."Kakek, di rumah aja sama Kiran. Biar L
"Iya. Aku memang mau mati. Terima kasih sudah memberitahuku," ucapku lalu berjalan mengikuti arah telunjuknya. Sebelumnya, aku sempat melihat ekspresinya yang terperangah mendengar kata-kataku."Hei, tunggu!" teriaknya, memanggil.Bisa kudengar pula hentakan sepatunya yang menandakan ia tengah berlari. Suaranya kian dekat. Pasti dia mengejarku. Ia mengira aku benar-benar akan bunuh diri. Padahal aku pergi untuk menjauh darinya. Karena, aku yakin jika diam saja, pemuda itu akan terus menerus merutuki kecerobohanku yang hampir tertabrak olehnya."Heh, lo serius mau bunuh diri?" tanyanya, saat sudah mensejajarkan langkah denganku.Tak penting bagiku menjawab pertanyaan konyolnya. Aku melirik sekilas padanya, lalu kembali menatap ke depan. Tanpa berniat menghentikan laju dari kakiku."Hei, lo bisu? Eh, tapi tadi lo bisa ngomong. Jawab gue, dong! Lo patah hati, ya? Pasti abi
Pantulan sinar mentari yang melewati sebuah jendela, membuat kelopak mataku ragu untuk terbuka. Namun, merasa ada yang tengah memerhatikan, kupaksakan untuk bisa melihat gerangan yang kupikir sedang mengawasiku."Hai, syukurlah kau sudah sadar. Gimana? Apa kepalamu pusing?" Ia menyapa sekaligus melontarkan tanya, saat irisku berhasil menangkap bayangan wajahnya.Tangannya menggenggam erat jemariku yang terasa dingin. Selimut tebal menutup tubuhku hingga batas dada. "Dingin, Om," lirihku, menguraikan apa yang saat itu kurasakan."Iya, kau demam. Tadi juga udah diperiksa sama dokter. Sekarang makan dulu, ya? Nanti abis ini minum obat." Om Ilham meraih mangkuk berisi bubur yang terletak di nakas samping tempat tidur di kamarnya.Pria yang semalam bersimbah air mata itu, tampak lebih segar. Ia juga mampu mengulas senyum merekah di hadapanku. Tangannya bergerak telaten menyuapkan sendok berisi
"Kamu gila, ya? Kamu pikir masalah akan selesai kalau kamu bunuh diri?!" Om Ilham berteriak lantang setelah berhasil membawaku keluar dari kamar.Mataku berkedip cepat. Masih bingung dengan ucapannya. Memang siapa yang mau bunuh diri? Aku? Perasaan aku tidak melakukan hal seperti yang ia tuduhkan. Kenapa dia bicara begitu?"Om ... Om ngomong apa, sih?" tanyaku, bingung."Masih tanya? Kamu pasti mau bunuh diri, kan? Kamu mau gores tangan kamu pakai beling, kan? Iya, kamu pasti mau lakuin itu." Lelaki itu mengguncang bahuku penuh emosi.Aku menggeleng. "Om, Lila cuma mau ngambil ini." Kutunjukkan bingkai foto yang ada di tanganku. "Gelasnya jatuh gak sengaja," imbuhku, sambil mendongak menatapnya.Tak ada sahutan darinya. Ia membatu dengan tatapan lurus menembus ke dalam irisku. Detik berikutnya ia menarikku ke dalam pelukannya. Kemudian terdengarlah isak lirihnya."Maafkan aku. Aku panik," ucapnya, sambil menangis."Kenapa minta maaf? Om gak salah. Lila yang salah. Maafin Lila, ya, Om?
Resepsi pernikahan yang nyaris batal itu, akhirnya digelar. Jika saat akad nikah Kalila dan Ilham mengenakan baju pengantin khas Sunda, kali mereka memakai konsep Internasional.Acara tersebut digelar secara outdoor, dan didukung dengan cuaca cerah yang membuat segalanya berjalan dengan apik dan sempurna.Para tetamu yang terdiri dari keluarga, kerabat, juga rekan-rekan serta sahabat, baik dari Ilham maupun Kalila, terus berdatangan dan bergantian bersalaman sambil memberi ucapan selamat, pun mendoakan segala kebaikan untuk rumah tangga mereka.Tak cuma itu, masing-masing dari mereka juga tak mau ketinggalan dengan sesi foto bersama. Momen penting tersebut, sangat sayang untuk tidak diabadikan. Tak hanya menggunakan kamera profesional, mereka juga memakai ponsel pribadi untuk bisa segera dipajang di sosial media yang mereka miliki."Mbak, kita belum foto berdua," cerocos Kirana, yang tiba-tiba berdiri memben
Tersedu meresapi pilu, Kalila tak kuasa membendung butiran yang menggenangi parasnya yang sendu.Kondisi terburuk dari kesehatan sang Kakek mau tak mau mencuatkan besarnya rasa bersalah dirinya karena, telah tega meninggalkannya."Maafin Lila, Kek. Gara-gara Lila, Kakek jadi begini," lirihnya, di antara isakan yang tak lagi mampu ia tahan.Beberapa saat sebelumnya, Kalila segera dibawa masuk oleh suaminya. Setelah ia memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan sekadar bayangan.Namun sebelumnya, Ilham sempat merengkuh tubuh ringkih yang belum benar-benar pulih. Akhirnya rindu itu terobati dengan hadirnya sang kekasih. Meski setelahnya ia merasa batinnya teriris perih, begitu mengetahui seseorang yang berdiri di belakang wanita terkasih."Jangan, Nak. Jangan minta maaf sama Kakek. Kakek sakit bukan karena kamu. Kakek sudah tua, ini sudah sewajarnya. Tapi, kamu. Kamu menderita karena Kak
Hari-hari berlalu tanpa kabar yang pasti. Pencarian telah dilakukan dengan berbagai cara. Teman, saudara, dan juga para kerabat sudah disambangi satu demi satu, untuk mendapatkan informasi.Dari dalam kota hingga ke luar kota, mereka kunjungi. Mana tahu ada salah satu yang dijadikan Kalila tempat sembunyi. Terhitung sudah 10 hari, Kalila tak juga kembali.Demi menebus kesalahannya, Ima juga meminta Amar mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari Kalila. Namun, wanita itu bak hilang tanpa kerana. "Mas Ilham mau kerja?" tanya Ina, ketika menikmati sarapan bersama.Si bungsu sudah menginap beberapa hari karena kesehatan ayah mereka yang kian menurun pasca kepergian cucu kesayangannya. "Iya," jawabnya singkat."Mas Ilham yakin?" Ilham menoleh, menyadari keraguan dari nada bicara sang adik. "Cuma ngecek aja. Aku masih mau cari Kalila lagi,
Tanpa pikir panjang Ilham segera berlari menyusuri setiap lorong rumah sakit yang menuju pintu keluar. Dalam benaknya, Kalila yang sakit tak mungkin secepat itu bisa pergi.Bahkan hingga kakinya menapaki gerbang yang dijaga oleh beberapa security, lelaki berhidung bangir itu tak sekalipun mendapati apa yang ia cari.Tertinggal cukup jauh, Mbak Susi menyusul dengan terengah-engah."Mbak Susi tunggu di sini, saya ambil mobil dulu," pekik Ilham, dengan panik.Mbak Susi kesulitan bicara. Hanya mampu menganggukkan kepala. Napasnya terputus-putus saking lelahnya.Hanya butuh 2 menit saja bagi Ilham memindahkan mobilnya dari area parkir menuju gerbang keluar. Lelaki dengan kemeja biru tua itupun berseru, menyuruh sang ART memasuki kendaraannya.Layaknya berpacu di arena balap, Ilham mengemudi tanpa kendali. Tak peduli banyaknya umpatan dan makian yang ia dapat dari penggun
Tanpa menunggu jawaban istrinya, Ilham gegas mengambil langkah lebar meninggalkan ruangan tempat Kalila dirawat. Beberapa langkah di depannya, orang tua Kalila rupanya sudah tiba untuk melihat kondisi putri sulung mereka."Keadaan Lila gimana, Ham?" tanya Ira, gurat kecemasan begitu kentara memenuhi wajahnya."Masuk aja, Mbak," sahut Ilham, menunjuk ruang rawat istrinya dengan ekor matanya.Wanita lembut itu segera memasuki ruangan yang telah ditunjukkan menantunya.Sementara suaminya tengah memandang Ilham dengan tatapan yang aneh. "Kamu mau kemana?" tanyanya, kemudian."Aku ada urusan sebentar, Mas." Jawaban yang tak memuaskan menurut Ridwan. "Urusan? Urusan apa malam-malam begini?" Pria baya itu memicingkan mata, curiga."Mas, aku mohon jangan curigai aku seperti itu. Aku buru-buru, nanti kalian semua juga tahu." Lelaki ber
"Ada apa sebenarnya dengan Tante Ima? Kenapa semua orang bungkam di depanku? Kenapa aku tidak boleh tahu tentang keberadaannya? Kenapa?" Tatapan Ibu dari satu anak itu nyalang."Sayang, kamu tenang dulu. Kita omongin ini baik-baik, ya." Ilham memegang pundak Kalila, mencoba menenangkannya. Sayangnya, Kalila malah menepisnya."Kalian tahu sesuatu tentang wanita itu. Dan kalian merahasiakannya dariku. Aku tahu apa alasannya. Karena, selama ini kalian masih tetap tidak percaya sama aku, kan?" Tawa hambar mengiringi tiap kata yang meluncur dari bibirnya."Sayang, dengar dulu. Kami lakuin ini juga demi menjaga perasaan kamu—""Enggak, Om Ilham pasti bohong. Om juga bohong kalau selama ini percaya sama aku. Om gak pernah mempercayai aku. Gak ada yang percaya aku, semua orang selalu bilang aku pembohong. Aku penggoda, aku murahan, aku hina, aku ...." Runtuh sudah pertahanannya kala itu. But
Langkah Kalila terseret-seret saat Ilham menariknya keluar dari resto. Wanita itu tak sekalipun melawan, meski sesekali kakinya tersandung.Sementara itu, Mahen sendiri tak berniat menghalangi tindakan suami wanita itu. Walaupun hatinya merasa tak tega menyaksikannya, tetapi ia cukup sadar batasan dirinya. Sebelumnya, pemuda itu memang tak mengetahui jika perempuan yang belum ia ketahui namanya tersebut, ternyata telah bersuami."Kamu suka dengan perempuan itu?" Ima mendekati Mahen yang sejak tadi menatap bayangan Kalila yang kian menjauh darinya.Lelaki itu berbalik melihat kehadiran Ima dan Ina. Ia memicingkan mata, menatap penuh rasa curiga terhadap dua wanita yang sama sekali tidak pernah ia kenali. Namun, salah satu di antaranya ada yang memiliki kemiripan dengan Kalila. Sekilas pandang, garis wajah Ina serupa dengan perempuan yang baru saja dibawa pergi oleh suaminya tadi."Bukan urusan kalian!" M
"Ma, Ayah cama Papa bedanya apa? Tenapa Ala punya dua? Temen Ala cuma punya catu. Kalau gak Ayah, ya Papa.""Sayang, nanti kalau Arla dewasa, Arla pasti ngerti. Yang jelas, kalau sekarang Arla punya Ayah sama Papa, itu karena Arla istimewa. Itu artinya, banyak yang sayang sama Arla. Sekarang Arla duduknya yang bener, bentar lagi Ayah mau belokin mobilnya, ya." Kalila terus menatap ekspresi wajah Ilham ketika mencoba memberi pengertian pada anak sambungnya. Ia merasa lega karena, suaminya itu cukup bijak dalam menyikapi setiap rasa keingintahuan putri kecilnya."Iya, Ayah," sahut Arla patuh. Anak perempuan itu lekas memundurkan tubuh. Kembali bersandar dan meraih bonekanya untuk dimainkan.Mobil berbelok memasuki pelataran rumah Kakek Kalila. Rumah yang kini akan menjadi tempat tinggal dirinya bersama keluarga yang tengah ia bangun bersama sang suami tercinta.Di teras, ada Kakek dan Mbak
"Mbak, Arla jangan dibawa, dong. Mbak, kan, bisa bikin anak lagi. Arla sama aku aja."Sudah sejak pagi-pagi sekali Kirana terus merengek. Pasalnya, hari ini Kalila tengah bersiap untuk tinggal di rumah sang Kakek bersama suaminya. Tentunya, wanita itu turut membawa serta putri kecilnya. Ia tak mungkin meninggalkan gadis kecil yang tiga tahun lalu ia lahirkan ke dunia."Kiran, kamu ini apa-apaan, sih. Gak usah drama, deh. Kalau kamu kangen sama Arla, ya, tinggal ke rumah Kakek aja, apa susahnya. Cuma sepuluh menit." Kalila menunjukkan seluruh jari tangannya ke depan muka sang adik.Sementara itu, Ilham dan kedua orang tua Kalila justru terkekeh dengan tingkah putri bungsunya yang tak henti-hentinya mengikuti langkah kakaknya yang berjalan keluar masuk rumah memindahkan barang-barang miliknya ke mobil suaminya."Kiran, udah! Kamu gak capek apa dari tadi bolak-balik ngikutin Mbakmu terus?" Sang ayah menegurnya