Pantulan sinar mentari yang melewati sebuah jendela, membuat kelopak mataku ragu untuk terbuka. Namun, merasa ada yang tengah memerhatikan, kupaksakan untuk bisa melihat gerangan yang kupikir sedang mengawasiku.
"Hai, syukurlah kau sudah sadar. Gimana? Apa kepalamu pusing?" Ia menyapa sekaligus melontarkan tanya, saat irisku berhasil menangkap bayangan wajahnya.Tangannya menggenggam erat jemariku yang terasa dingin. Selimut tebal menutup tubuhku hingga batas dada."Dingin, Om," lirihku, menguraikan apa yang saat itu kurasakan."Iya, kau demam. Tadi juga udah diperiksa sama dokter. Sekarang makan dulu, ya? Nanti abis ini minum obat." Om Ilham meraih mangkuk berisi bubur yang terletak di nakas samping tempat tidur di kamarnya.Pria yang semalam bersimbah air mata itu, tampak lebih segar. Ia juga mampu mengulas senyum merekah di hadapanku. Tangannya bergerak telaten menyuapkan sendok berisi"Kamu gila, ya? Kamu pikir masalah akan selesai kalau kamu bunuh diri?!" Om Ilham berteriak lantang setelah berhasil membawaku keluar dari kamar.Mataku berkedip cepat. Masih bingung dengan ucapannya. Memang siapa yang mau bunuh diri? Aku? Perasaan aku tidak melakukan hal seperti yang ia tuduhkan. Kenapa dia bicara begitu?"Om ... Om ngomong apa, sih?" tanyaku, bingung."Masih tanya? Kamu pasti mau bunuh diri, kan? Kamu mau gores tangan kamu pakai beling, kan? Iya, kamu pasti mau lakuin itu." Lelaki itu mengguncang bahuku penuh emosi.Aku menggeleng. "Om, Lila cuma mau ngambil ini." Kutunjukkan bingkai foto yang ada di tanganku. "Gelasnya jatuh gak sengaja," imbuhku, sambil mendongak menatapnya.Tak ada sahutan darinya. Ia membatu dengan tatapan lurus menembus ke dalam irisku. Detik berikutnya ia menarikku ke dalam pelukannya. Kemudian terdengarlah isak lirihnya."Maafkan aku. Aku panik," ucapnya, sambil menangis."Kenapa minta maaf? Om gak salah. Lila yang salah. Maafin Lila, ya, Om?
Author Pov**********"Ya Allah, Astaghfirullah, Neng Lila!" Pekikan Mbak Susi membuat Ina terlonjak kaget. Mata Ina terbelalak seketika. Detik berikutnya, pandangannya tertuju pada kepala keponakannya yang mengucurkan cairan merah berbau amis. Kemudian beralih menatap nanar tangannya yang gemetar. Tangan yang sebelumnya ia gunakan untuk melukai putri dari kakaknya tersebut."Neng, Ya Allah, Neng." Mbak Susi merengkuh tubuh Kalila, sambil menangis histeris."Sakit, Mbak." Kalila berucap lirih, membuat Mbak Susi semakin khawatir."Iya, Neng. Kita ke rumah sakit aja. Ayo, Mbak bantu." Wanita paruh baya yang sudah lama membantu keluarga itu pun berusaha memapah Kalila.Dengan menahan sakit, Kalila susah payah untuk berdiri. Sementara itu, Ina masih mematung, mencerna apa yang sudah ia lakukan pada keponakannya tersebut.Rasa panik menjadikan Mba
"Mau kemana kamu? Kamu hutang penjelasan padaku." Ilham meruncingkan tatapan, hingga terasa menusuk ke dalam kornea mata sang adik.Ina berusaha menghindari tatapan sang kakak. Ia mengalihkan pandangan ke sembarang arah."Penjelasan apa? Aku gak lakuin apa-apa sama dia. Kami memang bertengkar, tapi dia jatuh sendiri. Mas Ilham tanya aja sama dia." Wanita itu berkelit, lalu melirik pada Mbak Susi. "Mbak, emang Mbak lihat aku nyelakain Kalila?" Yang ditanya menggeleng."Aku gak percaya," tegas Ilham, yakin pasti adiknya itu berbohong."Ya, Mas Ilham, kan, bisa tanya langsung ke Kalila." Iris Ina berpindah pada perempuan yang tengah digendong kakaknya. "Kalila, kasih tahu sama Mas Ilham, kalau kamu jatuh sendiri. Jangan ngomong yang enggak-enggak. Kecuali, kamu emang mau keluarga kita terpecah belah." Ina bicara seolah dirinya tak bersalah sama sekali."Om, Lila pusing. Lila mau istirahat aja
Ilham berbalik hendak meninggalkan Kalila agar bisa segera istirahat. Namun, mendadak kakinya serasa digelayuti sebongkah batu besar. Langkahnya teramat berat manakala irisnya menangkap orang tua Kalila tengah berdiri mengamati dirinya dari ambang pintu."Jadi Ina yang bikin Kalila celaka?" Tatapan Ridwan begitu mengintimidasi.Mendengar suara tegas sang ayah, Kalila pun urung memejamkan mata. Ia merasa takut dan khawatir jika ayahnya akan mendesaknya untuk mengatakan yang sebenarnya. Sedangkan dirinya tak ingin menambah keruh suasana dengan kenyataan yang kelak dapat menciptakan permasalahan baru."Enggak, Yah. Lila jatuh sendiri, kok," bantah Kalila.Sang ayah maju lebih dulu. Sementara Ira mengekor di belakangnya."Kalau benar Ina yang melakukannya, kamu jujur aja. Gak usah takut. Biar Ayah kasih dia pelajaran." Ayah Kalila berkata dengan berapi-api."Enggak, Yah. Ben
"Ina, kamu gak seharusnya melakukan itu. Kita gak perlu jadi orang jahat, Sayang. Jangan kotori tangan kamu sendiri." Dia adalah Ima, wanita yang berhasil kabur dari rumah sakit jiwa itu memanfaatkan rasa simpati adiknya dengan terus menjadikan dirinya sebagai sosok yang memiliki sabar luar biasa. Sehingga tak ingin menyakiti siapapun."Mbak gak pernah minta kamu berbuat seperti itu. Biar aja Tuhan yang membalasnya. Kita cukup lihatin aja, kapan waktunya dia menerima karmanya." Wanita itu memainkan perannya dengan maksimal. Ia memasang wajah prihatin, agar sang adik terenyuh. Perkiraannya tidak meleset. Pemikiran yang sungguh tepat. Ia berhasil mengambil kembali simpati Ina dengan sangat mudah.Terbukti dengan tindakan sang adik yang serta merta menghambur memeluknya. Seraya mengucapkan serangkaian kalimat yang memuji kebaikan dirinya."Mbak, terbuat dari apa, sih, hati kamu? Kenapa bisa
"Mbak, Arla jangan dibawa, dong. Mbak, kan, bisa bikin anak lagi. Arla sama aku aja."Sudah sejak pagi-pagi sekali Kirana terus merengek. Pasalnya, hari ini Kalila tengah bersiap untuk tinggal di rumah sang Kakek bersama suaminya. Tentunya, wanita itu turut membawa serta putri kecilnya. Ia tak mungkin meninggalkan gadis kecil yang tiga tahun lalu ia lahirkan ke dunia."Kiran, kamu ini apa-apaan, sih. Gak usah drama, deh. Kalau kamu kangen sama Arla, ya, tinggal ke rumah Kakek aja, apa susahnya. Cuma sepuluh menit." Kalila menunjukkan seluruh jari tangannya ke depan muka sang adik.Sementara itu, Ilham dan kedua orang tua Kalila justru terkekeh dengan tingkah putri bungsunya yang tak henti-hentinya mengikuti langkah kakaknya yang berjalan keluar masuk rumah memindahkan barang-barang miliknya ke mobil suaminya."Kiran, udah! Kamu gak capek apa dari tadi bolak-balik ngikutin Mbakmu terus?" Sang ayah menegurnya
"Ma, Ayah cama Papa bedanya apa? Tenapa Ala punya dua? Temen Ala cuma punya catu. Kalau gak Ayah, ya Papa.""Sayang, nanti kalau Arla dewasa, Arla pasti ngerti. Yang jelas, kalau sekarang Arla punya Ayah sama Papa, itu karena Arla istimewa. Itu artinya, banyak yang sayang sama Arla. Sekarang Arla duduknya yang bener, bentar lagi Ayah mau belokin mobilnya, ya." Kalila terus menatap ekspresi wajah Ilham ketika mencoba memberi pengertian pada anak sambungnya. Ia merasa lega karena, suaminya itu cukup bijak dalam menyikapi setiap rasa keingintahuan putri kecilnya."Iya, Ayah," sahut Arla patuh. Anak perempuan itu lekas memundurkan tubuh. Kembali bersandar dan meraih bonekanya untuk dimainkan.Mobil berbelok memasuki pelataran rumah Kakek Kalila. Rumah yang kini akan menjadi tempat tinggal dirinya bersama keluarga yang tengah ia bangun bersama sang suami tercinta.Di teras, ada Kakek dan Mbak
Langkah Kalila terseret-seret saat Ilham menariknya keluar dari resto. Wanita itu tak sekalipun melawan, meski sesekali kakinya tersandung.Sementara itu, Mahen sendiri tak berniat menghalangi tindakan suami wanita itu. Walaupun hatinya merasa tak tega menyaksikannya, tetapi ia cukup sadar batasan dirinya. Sebelumnya, pemuda itu memang tak mengetahui jika perempuan yang belum ia ketahui namanya tersebut, ternyata telah bersuami."Kamu suka dengan perempuan itu?" Ima mendekati Mahen yang sejak tadi menatap bayangan Kalila yang kian menjauh darinya.Lelaki itu berbalik melihat kehadiran Ima dan Ina. Ia memicingkan mata, menatap penuh rasa curiga terhadap dua wanita yang sama sekali tidak pernah ia kenali. Namun, salah satu di antaranya ada yang memiliki kemiripan dengan Kalila. Sekilas pandang, garis wajah Ina serupa dengan perempuan yang baru saja dibawa pergi oleh suaminya tadi."Bukan urusan kalian!" M