Hari-hari berlalu tanpa kabar yang pasti. Pencarian telah dilakukan dengan berbagai cara. Teman, saudara, dan juga para kerabat sudah disambangi satu demi satu, untuk mendapatkan informasi.Dari dalam kota hingga ke luar kota, mereka kunjungi. Mana tahu ada salah satu yang dijadikan Kalila tempat sembunyi. Terhitung sudah 10 hari, Kalila tak juga kembali.Demi menebus kesalahannya, Ima juga meminta Amar mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari Kalila. Namun, wanita itu bak hilang tanpa kerana. "Mas Ilham mau kerja?" tanya Ina, ketika menikmati sarapan bersama.Si bungsu sudah menginap beberapa hari karena kesehatan ayah mereka yang kian menurun pasca kepergian cucu kesayangannya. "Iya," jawabnya singkat."Mas Ilham yakin?" Ilham menoleh, menyadari keraguan dari nada bicara sang adik. "Cuma ngecek aja. Aku masih mau cari Kalila lagi,
Tersedu meresapi pilu, Kalila tak kuasa membendung butiran yang menggenangi parasnya yang sendu.Kondisi terburuk dari kesehatan sang Kakek mau tak mau mencuatkan besarnya rasa bersalah dirinya karena, telah tega meninggalkannya."Maafin Lila, Kek. Gara-gara Lila, Kakek jadi begini," lirihnya, di antara isakan yang tak lagi mampu ia tahan.Beberapa saat sebelumnya, Kalila segera dibawa masuk oleh suaminya. Setelah ia memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan sekadar bayangan.Namun sebelumnya, Ilham sempat merengkuh tubuh ringkih yang belum benar-benar pulih. Akhirnya rindu itu terobati dengan hadirnya sang kekasih. Meski setelahnya ia merasa batinnya teriris perih, begitu mengetahui seseorang yang berdiri di belakang wanita terkasih."Jangan, Nak. Jangan minta maaf sama Kakek. Kakek sakit bukan karena kamu. Kakek sudah tua, ini sudah sewajarnya. Tapi, kamu. Kamu menderita karena Kak
Resepsi pernikahan yang nyaris batal itu, akhirnya digelar. Jika saat akad nikah Kalila dan Ilham mengenakan baju pengantin khas Sunda, kali mereka memakai konsep Internasional.Acara tersebut digelar secara outdoor, dan didukung dengan cuaca cerah yang membuat segalanya berjalan dengan apik dan sempurna.Para tetamu yang terdiri dari keluarga, kerabat, juga rekan-rekan serta sahabat, baik dari Ilham maupun Kalila, terus berdatangan dan bergantian bersalaman sambil memberi ucapan selamat, pun mendoakan segala kebaikan untuk rumah tangga mereka.Tak cuma itu, masing-masing dari mereka juga tak mau ketinggalan dengan sesi foto bersama. Momen penting tersebut, sangat sayang untuk tidak diabadikan. Tak hanya menggunakan kamera profesional, mereka juga memakai ponsel pribadi untuk bisa segera dipajang di sosial media yang mereka miliki."Mbak, kita belum foto berdua," cerocos Kirana, yang tiba-tiba berdiri memben
Ibu Pov **************"Mbak, buruan ke Jakarta! Kalila mau melahirkan."Mendadak lututku terasa lemas, setelah mendengar perkataan Ima, adik perempuanku yang tinggal di Jakarta, melalui sambungan telepon.Bagaimana tidak? Kalila putri sulungku tiba-tiba dikabarkan akan segera melahirkan. Berbagai perasaan pun berkecamuk dalam benakku. Terutama merasa gagal sebagai orang tua dalam mendidik anak."Mbak, Mbak?" panggil Ima. Entah sudah berapa kali."Iya, Im," jawabku dengan susah payah mengendalikan diri."Mbak, bakal ke sini, kan? Pokoknya Mbak harus ke sini. Aku gak mau tahu. Aku gak mau dibuat malu di hadapan keluarga suamiku. Anak Mbak emang keterlaluan," maki Ima dengan berapi-api. Setelah itu memutuskan sambungan telepon tanpa berpamitan terlebih dahulu.Ponsel dalam genggaman seketika terlepas dan terjatuh hingga layarnya pun retak. Tanganku terulur mencari pegangan. Pikiranku sungguh kacau. Bahkan tidak tahu harus berbuat apa.Kenapa aku sama sekali tidak menyadari kehamilan Ka
Ayah Pov*****************"Kalila melahirkan. Lebih tepatnya, mau melahirkan."Bak dihatam palu godam, dadaku mendadak terasa sakit dan sesak. Tenggorokanku seketika tercekat, sehingga jangankan untuk bicara, bernapas pun teramat sulit.Gusti, kenapa ini semua terjadi? Apa selama ini aku salah mendidik Kalila? Kalila, apa yang kau lakukan, Nak? Kenapa kau sampai hati melakukan perzinahan? Tak takutkah kau pada murka- Nya?"Yah-"Kutepis tangan istriku yang berusaha menguatkanku agar tetap berdiri. Bukan aku marah padanya, bukan. Aku justru malu karena tak bisa menyelematkan anak kami."Yah, kita ke Jakarta, ya?" pintanya, sesaat setelah aku terduduk di tepi ranjang sembari memegangi dadaku yang masih teramat sesak.Tak ada jawaban yang bisa kuberikan atas permintaannya. Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana nantinya ketika sudah berhadapan dengan Kalila. Jujur aku sangat marah padanya saat ini. Aku takut tak bisa mengendalikan diri hingga berakhir dengan melukai fisiknya.Namun, di
Ibu Pov*****************"Ibu, Lila mohon ampun, Bu. Ampuni Lila, Lila sudah buat keluarga malu, Lila sudah buat Ibu kecewa. Ampuni Lila, Bu." Kalila meluruh ke lantai. Tangannya memeluk kedua kakiku erat. Tangisnya menggema memenuhi seluruh ruang bersalin.Tak kuasa mendengar raungan Kalila, aku pun berjongkok. Jemariku berusaha melepaskan tangan Kalila yang melingkari kakiku."Bangun, Nak. Ibu doakan persalinanmu lancar. Semoga anak ini segera lahir," ucapku seraya membantu Kalila berdiri. Luruh sudah segala bentuk amarah dan kekecewaanku pada putri sulungku itu. Menyaksikan betapa sulitnya ia saat ini, sungguh aku tak sanggup untuk memberondongnya dengan berbagai tanya yang terus bercokol dalam benakku.Suster yang sejak tadi menemani Kalila pun tak tinggal diam. Dia begitu cekatan membaringkan Kalila ke atas brangkar. Setelah itu, ia membiarkanku mengambil alih pekerjaannya mengusap punggung Kalila.Sementara itu, suamiku hanya melihat interaksi kami dari balik tirai pemisah set
Ibu Pov****************"Katakan, siapa ayah dari bayimu?"Wajah pucat Kalila kian pasi ketika ayahnya dengan tegas mempertanyakan ayah dari bayi yang beberapa jam lalu ia lahirkan ke dunia."Bu, adeknya belajar mimik dulu, ya. Buat mancing ASI juga, supaya cepat keluar."Tiba-tiba seorang perawat masuk membawa kereta bayi. Kulihat di lorong ruangan itu juga ada banyak perawat lain yang masing-masing memegang satu kereta, menuju kamar rawat ibu para bayi yang berada di dalamnya. Mungkin saat ini jadwal para ibu menyusui bayi mereka. Meskipun ASI Kalila belum ada, perawat menyarankan agar puting ibu tetap diberikan pada bayi. Hal tersebut dapat memancing ASI segera keluar. Dengan sangat terpaksa, suamiku pun keluar dari kamar rawat Kalila yang kebetulan hanya ditempati sendiri. Sedangkan beberapa ranjang di sebelahnya masih nampak kosong.Anak gadisku yang kini sudah punya anak itu pun menyeka sudut netranya yang basah. Aku tahu betul ia sangat takut berhadapan dengan ayahnya. Tapi,
Ibu Pov****************Gerak tanganku terhenti untuk menanti jawaban Kalila. Akan tetapi, beberapa saat menunggu, Kalila tak kunjung bersuara. Dia malah sibuk mengecupi pipi merah bayinya.Entah ia tak mendengar pertanyaanku, atau cuma berpura-pura tak tak mendengar. Yang terlihat hanya sikap Kalila yang seperti begitu menyayangi putrinya. Sehingga tak memedulikan yang lain. Jelas sekali dari senyuman yang tercetak di bibirnya saat memandangi wajah bayinya."Lila, ayo bersiap pulang," tegurku pada Kalila yang terlihat tidak memerhatikan apapun di sekitarnya. Fokusnya hanya tertuju pada bayi merah yang lahir menjelang malam kemarin.Kalila tersentak mendengar suaraku, namun segera menjawab, "Iya, Bu." Kemudian beringsut dari tempat tidur khas rumah sakit tersebut."Sini bayinya biar Ibu yang gendong. Kamu duduk di kursi roda. Jangan jalan takut jahitannya lepas," ujarku, dengan kedua tangan meraih bayi dari gendongan Kalila."Arla, Bu. Namanya Arla." Kalila menyebutkan nama anaknya s