Ibu Pov
****************Gerak tanganku terhenti untuk menanti jawaban Kalila. Akan tetapi, beberapa saat menunggu, Kalila tak kunjung bersuara. Dia malah sibuk mengecupi pipi merah bayinya.Entah ia tak mendengar pertanyaanku, atau cuma berpura-pura tak tak mendengar. Yang terlihat hanya sikap Kalila yang seperti begitu menyayangi putrinya. Sehingga tak memedulikan yang lain. Jelas sekali dari senyuman yang tercetak di bibirnya saat memandangi wajah bayinya."Lila, ayo bersiap pulang," tegurku pada Kalila yang terlihat tidak memerhatikan apapun di sekitarnya. Fokusnya hanya tertuju pada bayi merah yang lahir menjelang malam kemarin.Kalila tersentak mendengar suaraku, namun segera menjawab, "Iya, Bu." Kemudian beringsut dari tempat tidur khas rumah sakit tersebut."Sini bayinya biar Ibu yang gendong. Kamu duduk di kursi roda. Jangan jalan takut jahitannya lepas," ujarku, dengan kedua tangan meraih bayi dari gendongan Kalila."Arla, Bu. Namanya Arla." Kalila menyebutkan nama anaknya seiring dengan tarikan di sudut bibirnya."Kenapa namanya Arla?""Karena Lila suka nama itu.""Ya sudah, cepat bersiap. Setelah Ayah kembali, kita pulang."Aku duduk di tepi tempat tidur. Menggendong bayi Arla sambil memberinya susu dalam botol. Sesekali kulirik Kalila yang tengah mengutak-atik ponselnya. Sepertinya sedang berbalas pesan. Tapi, tidak kuketahui dengan siapa. Yang pasti senyuman tak kunjung surut menghiasi wajah pasinya."Sudah beres semua, kan? Ayo pulang!" Suara suamiku menginterupsi keheningan kamar rawat ini. Sekaligus memudarkan seri yang baru saja terbit di raut wajah Kalila.Gurat itu kini berubah ekspresi menjadi sebuah ketakutan dan kecemasan. Ditambah lagi intonasi bicara ayahnya yang tegas namun datar, membuat suasana serasa mencekam.Di belakang suamiku, seorang lelaki setengah baya membuntuti langkahnya. Ia turut membantu membawa barang-barang Kalila dan bayinya. Kemudian seorang perawat yang kemarin menemani Kalila di ruang bersalin pun, muncul dan segera mengambil tugas mendorong kursi roda putriku.Entah perasaanku saja, atau memang benar adanya. Perawat itu tampak begitu akrab dengan Kalila. Sepenjang menyusuri lorong menuju pintu keluar, suster muda itu begitu antusias memberi banyak petuah pada Kalila. Begitu pun sebaliknya, Kalila amat semangat menerima segala nasihat perawat tersebut."Apa kalian saling kenal?" tanyaku, ketika langkah kami hampir mendekati taksi yang sudah dipesan suamiku.Semua terdiam. Baik sang perawat maupun Kalila tak ada yang berinisiatif menjawab. Sontak ayunan kakiku pun terhenti. Rasa penasaran semakin menggugah hatiku untuk terus mencecar mereka dengan banyak lagi pertanyaan lain. Andai apa yang kusangkakan itu benar adanya."Ibu lupa, ya? Ini suster yang kemarin nemenin Lila." Kalila segera menjawab, sesaat setelah kulayangkan tatapan menyelidik pada keduanya."Tentu saja Ibu ingat. Tapi, bukan itu yang Ibu maksud. Kenapa suster ini kerjaannya cuma ngurusin kamu dari kemarin. Bukannya tugasnya juga mengurus pasien lain?" cecarku, berharap mendapat jawaban yang masuk akal."Bu, dari awal datang ke rumah sakit, Suster Laras yang bantuin Lila. Sebenarnya kemarin sore jam kerja suster Laras udah selesai, tapi Lila yang minta suster Laras nemenin Lila. Dan suster Laras gak keberatan. Lagian Lila bayar, kok, jasanya. Iya, kan, Sus?" Suster bernama Laras itu mengangguk. Cukup masuk akal penjelasan Kalila. Akan tetapi, tetap saja aku tidak puas mendengar jawabannya. Namun begitu, kusudahi sesi tanya jawab dengan dua perempuan yang kuperkirakan usianya sepantaran itu.Badanku juga sangat lelah ingin segera beristirahat. Semalaman aku tidak tidur, tepatnya tak bisa tidur. Selain karena terlalu banyak yang kupikirkan, aku juga sibuk merawat bayi Arla yang hampir setiap jam terbangun dan harus menyusu.**********Keheningan kembali menyergap di antara kami yang tengah dalam perjalanan menuju Apartemen Kalila. Ayah Kalila masih enggan mengajak putrinya untuk bicara. Juga Kalila yang jelas sekali sangat takut berhadapan dengan suamiku. Suasana canggung pun tak dapat kami hindari.Sementara itu, otakku justru dipaksa untuk berpikir keras. Aku sedang mencoba mencari arti dari setiap sikap yang ditunjukkan Kalila. Karena, dari sudut pandangku, tak nampak kesedihan maupun penyesalan di matanya. Apakah semua yang menimpanya sama sekali tak membebaninya? Dia hanya akan terlihat murung ketika berhadapan dengan ayahnya. Selebihnya Kalila tampak tenang bahkan acap kali tersenyum ketika berbalas pesan dengan seseorang di ponselnya.Juga saat memandangi putri kecilnya, Kalila justru terlihat bahagia seperti ibu-ibu yang lain. Namun, sekali lagi aku harus bisa menahan diri. Setidaknya sampai kami tiba di tempat tinggalnya. Agar pembicaraan kami mendapat ruang privasi."Bu, sini gantian Lila yang gendong Baby Arla." Lila meminta bayinya, setelah kami sampai di parkiran gedung tinggi di mana tempat tinggalnya berada.Kuserahkan bayi itu pada Ibunya, kemudian kuminta sopir taksi tadi agar membantu membawa barang-barang. Dengan penawaran upah sesuai kesepakatan tentunya.Ketika kami semua tiba di depan pintu unit Apartemen sewaan Kalila, kami dikejutkan oleh seorang perempuan yang kira-kira usianya lebih tua dariku. Ia menyambut kedatangan kami dengan ramah."Selamat datang, Bu. Selamat atas kelahirannya bayinya," ucap wanita itu, seraya mempersilahkan kami untuk masuk."Bi, ini Ibu dan Ayah aku." Kalila memperkenalkan kami pada perempuan itu. Kemudian balik memberitahu kami bahwa wanita itu asisten rumah tangganya, bernama Resti.Aku dan suamiku hanya bisa saling pandang dalam kebingungan. Bagaimana bisa Kalila mempekerjakan seorang ART? Apakah gajinya memang mencukupi untuk membayar upah wanita itu?Kutelusuri pula setiap sudut ruangan di mana kami berada saat ini. Mewah. Ya benar, semua yang ada di dalamnya adalah barang-barang mewah. Ya Allah, dari mana putriku mendapat uang untuk membeli semua itu. Sedangkan setiap bulan, ia juga tak pernah absen mengirim uang untuk biaya sekolah Kirana.Meski kami pun berasal dari keluarga yang berkecukupan, tetapi untuk berang mewah seperti yang dimiliki Kalila, itu sesuatu yang masih jauh dari jangkauan kami. Sekalipun gaji Kalila terbilang besar, rasanya tetap mustahil bisa seperti ini.Di tengah banyaknya pertanyaan yang belum terjawab ini, tiba-tiba Bi Resti menghampiri kami."Bu, itu di kamar Adek bayi ada kiriman stroller dari Bapak ...."____________________________BersambungIbu Pov*****************"Bu, itu di kamar Adek bayi ada kiriman stroller dari Bapak.""Bapak? Bapak siapa?" sambarku, secepat kilat begitu mendengar Bi Resti bicara."Bu, Bi Resti kan belum selesai bicara. Ibu dengar dulu, dong," tegur Kalila, meraih lenganku agar kembali duduk.Napasku masih naik turun merasakan emosi membakar jiwaku yang dipenuhi beragam tanya. Tak jauh beda denganku, suamiku pun yang semula duduk bersandar pada sofa, kini sudah dalam posisi tegak."Anu, Bu, maksud saya dari Bapak Haryadi."Haryadi? Siapa dia? Seperti tidak asing di telingaku."Pak Haryadi itu atasan Lila, Bu. Ibu ingat, kan? Lila sering cerita." Pandangan Kalila kembali tertuju pada Bi Resti. "Pak Haryadi ke sini sama siapa, Bi?" tanyanya kemudian."Sama istri dan anaknya yang kecil. Mereka kira Ibu sudah pulang. Tapi, nanti mereka mau datang lagi," papar Bi Resti.Kepalaku rasanya mau pecah, memikirkan semua masalah ini. Rasanya aku begitu sulit memercayai apapun yang tersuguh di hadapanku. Semu
Ibu Pov**************"Bagas, kamu tahu kalau Kalila hamil?" tanyaku pada Bagas yang berada di seberang telepon."Eh, Mbak nanti aku telpon lagi, ya. Sekarang ada tamu." Bagas segera mengakhiri panggilan."Gas, tunggu. Bagas, halo. Halo, Gas ...." Berkali kupanggil pun percuma. Panggilan sudah terputus.Sikap Bagas cukup untuk menunjukkan bahwa ia mengetahui sesuatu tentang bayi Kalila. Dan aku yakin akan hal itu. "Mbak, Mbak, ada apa?" sentak Ima, sedikit membuatku terjingkat."Im, kayaknya Bagas tahu sesuatu tentang bayi Kalila," ungkapku."Masa, sih, Mbak? Emang Mas Bagas tadi bilang apa?""Bagas tanya, apa Kalila udah lahiran? Itu artinya dia tahu, kan, kalau Kalila hamil?" Ima pun mengangguki kata-kataku. "Dan Mbak juga yakin pasti Bagas tahu siapa ayah dari bayi itu," sambungku."Terus, sekarang rencana Mbak apa?""Im, sepertinya kita gak perlu tanya teman-teman Kalila. Mbak yakin Bagas tahu lebih banyak soal Kalila. Kamu bawa mobil?""Bawa.""Kalau begitu, antar Mbak ke Apart
Ayah Pov****************Plak!Sebuah tamparan telak mendarat di pipi tirus putriku ketika aku berhasil membuka pintu kamar Kalila."Jaga bicaramu, Kalila. Saya selalu mengajarimu untuk tidak bersikap kurang ajar." Ira membalas teriakan Kalila tak kalah lantang, usai melepaskan satu tamparan pada Kalila."Bu ...," tegurku, tak ingin istriku semakin tak terkendali.Ira menoleh padaku. "Lihat, Ayah. Lihat anak yang sudah kita besarkan. Yang sudah kita sekolahkan tinggi-tinggi. Apa yang dia dapat?" Ia kembali menghunuskan sorot tajamnya pada Kalila. "Apa, hah?" hardiknya, sampai membuat tubuh Kalila gemetar.Sembari menggendong putrinya, Kalila menangis tanpa suara. Hanya isakannya yang terdengar menyayat hati.Ya Tuhan, apa yang sudah dilakukan istriku? Bukankah saat di rumah sakit, ia memintaku untuk bersikap lebih sabar pada Kalila? Akan tetapi, yang ia lakukan saat ini justru kebalikannya. Ia bahkan tanpa memikirkan perasaan putrinya, tega melakukan tindakan yang tidak hanya menyaki
Ibu Pov****************Hingga menjelang sore, Kalila tak kunjung keluar dari kamarnya. Selama itu pula, bayi Arla tetap bersamaku. Lagipula bayi itu hanya mengonsumsi susu formula. Karena, ASI Kalila sama sekali tidak keluar. Meski sudah berbagai cara dicoba untuk memancingnya. "Yah, jaga Baby Arla dulu, ya. Ibu mau ke kamar Kalila," pintaku pada suamiku yang masih sibuk di depan komputer jinjingnya."Mau apa lagi, sih, Bu?" tanyanya, seakan tak mengizinkanku menemui putri kami."Ibu perlu bicara dengannya," tuturku."Bicara apa lagi? Sudah, biarin aja Kalila sendiri dulu. Ayah pusing kalau setiap hari kita berdebat terus sama Kalila." Suamiku melarangku menemui Kalila, dan memintaku untuk memberinya waktu menyendiri."Ibu hanya ingin minta maaf sama Kalila, karena sudah menamparnya."Suamiku mematikan layar laptopnya. Kemudian berjalan ke arahku,
Author POV************Pagi-pagi sekali Ridwan, ayah Kalila, sudah bersiap pergi ke Bogor. Tentunya tanpa sepengetahuan Kalila. Yang Kalila tahu, ayahnya akan kembali pulang ke Cirebon. Karena, ada pekerjaan penting yang harus diurusnya.Meski selama beberapa hari bersama, nyatanya tak banyak interaksi yang terjadi antara ayah dan anak tersebut. Ridwan yang merasa kecewa berat, selalu melebarkan jarak dari Kalila. Sedangkan Kalila sendiri, begitu takut apabila berhadapan dengan sang ayah. Namun demikian, Kalila tetap melepas keberangkatan sang ayah dengan mencium punggung tangannya takzim. Bahkan sebuah kalimat pengantar pun tak lupa ia sematkan."Hati-hati, Yah. Beri kabar kalau udah nyampe," ucap Kalila, sebelum sang ayah bergerak menjauh darinya.Hanya anggukan kepala yang menjadi tanggapan atas pesan sang putri. Ridwan pun segera memasuki lift menuju lantai dasar gedung
Ibu Pov******************Benakku sama sekali tak cukup puas dengan pernyataan Kalila kemarin. Ia mengatakan bahwa bayinya bukan anak haram. Tentu saja, tidak ada anak haram di dunia ini. Karena, setiap bayi terlahir tanpa dosa. Yang haram itu justru perbuatan orang tuanya. Apabila memiliki anak di luar ikatan pernikahan. Namun begitu, aku tak lagi mendebatnya. Karena, teringat pesan suamiku untuk tidak lagi ribut dengan Kalila. Akan tetapi, pertanyaan lain justru bermunculan dalam pikiranku. Apa sesungguhnya Kalila sudah menikah? Ya Tuhan, apa yang sudah ia lakukan? Jika benar demikian, bukankah pernikahan itu tidak sah? Ia anggap apa ayahnya? Ayah kandungnya, walinya yang sah, masih hidup, tapi ia menikah tanpa sepengetahuannya. Begitukah?Kulirik sekilas, Kalila yang tengah menikmati makan siangnya. Satu tangannya memegang sendok, satu lainnya menatap layar ponsel dengan begitu intens. Sesekali ponsel i
Ibu Pov********************Semua pandangan beralih ke arah sumber suara. Bahkan rasanya bola mataku hampir melompat dari tempatnya, begitu mengetahui siapa yang tengah menunjukkan dirinya di hadapan kami.Amar, adik iparku. Suami Ima berdiri tegak dan mengakui diri sebagai orang yang kami cari selama ini.Dunia seakan runtuh di saat itu juga. Bencana seakan menerjang kedamaian keluargaku yang selama ini terjaga dengan rapi. Putri yang kucintai dan adik ipar yang begitu kuhargai, bersama-sama melempar kotoran di muka kami. Bugh!Belum usai keterkejutan ini, keadaan kian kacau kala kepalan tangan suamiku berhasil membuatnya terhuyung ke belakang. Dan sebelum Amar kembali menegakkan tubuh, suamiku sudah lebih dulu menghajarnya dengan membabi buta.Aku dan Bi Resti menjerit-jerit dalam ketakutan dan kecemasan. Menyaksikan kebrutalan suamiku dan kepasrahan Amar m
Author Pov**********************Wajah dua orang yang tengah menjadi terdakwa dalam sidang keluarga tersebut, kian pias begitu ayah Kalila melontarkan sebuah pernyataan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Semua orang terdiam. Semua membisu. Tak ada satu pun yang berani bersuara. Hanya air mata yang mewakili atas segala perasaan yang dirasakan masing-masing."Ayah," panggil Kalila, takut-takut. Sang ayah menoleh tanpa menyahut.Mendapati sikap ayahnya yang seolah tidak memedulikannya, Kalila pun menghambur dan berlutut di kaki sang ayah. Perempuan itu menangis sambil memeluk kaki ayahnya dengan sangat erat."Katakan, siapa yang menikahkan kalian?" tanya ayahnya, datar dan dingin.Kalila mendongak, menatap wajah ayahnya. Telapak tangannya mengusap kedua pipinya secara bergantian. Bergerak kasar untuk menghapus lelehan bening yang membasahi wajahny