Ibu Pov****************Hingga menjelang sore, Kalila tak kunjung keluar dari kamarnya. Selama itu pula, bayi Arla tetap bersamaku. Lagipula bayi itu hanya mengonsumsi susu formula. Karena, ASI Kalila sama sekali tidak keluar. Meski sudah berbagai cara dicoba untuk memancingnya. "Yah, jaga Baby Arla dulu, ya. Ibu mau ke kamar Kalila," pintaku pada suamiku yang masih sibuk di depan komputer jinjingnya."Mau apa lagi, sih, Bu?" tanyanya, seakan tak mengizinkanku menemui putri kami."Ibu perlu bicara dengannya," tuturku."Bicara apa lagi? Sudah, biarin aja Kalila sendiri dulu. Ayah pusing kalau setiap hari kita berdebat terus sama Kalila." Suamiku melarangku menemui Kalila, dan memintaku untuk memberinya waktu menyendiri."Ibu hanya ingin minta maaf sama Kalila, karena sudah menamparnya."Suamiku mematikan layar laptopnya. Kemudian berjalan ke arahku,
Author POV************Pagi-pagi sekali Ridwan, ayah Kalila, sudah bersiap pergi ke Bogor. Tentunya tanpa sepengetahuan Kalila. Yang Kalila tahu, ayahnya akan kembali pulang ke Cirebon. Karena, ada pekerjaan penting yang harus diurusnya.Meski selama beberapa hari bersama, nyatanya tak banyak interaksi yang terjadi antara ayah dan anak tersebut. Ridwan yang merasa kecewa berat, selalu melebarkan jarak dari Kalila. Sedangkan Kalila sendiri, begitu takut apabila berhadapan dengan sang ayah. Namun demikian, Kalila tetap melepas keberangkatan sang ayah dengan mencium punggung tangannya takzim. Bahkan sebuah kalimat pengantar pun tak lupa ia sematkan."Hati-hati, Yah. Beri kabar kalau udah nyampe," ucap Kalila, sebelum sang ayah bergerak menjauh darinya.Hanya anggukan kepala yang menjadi tanggapan atas pesan sang putri. Ridwan pun segera memasuki lift menuju lantai dasar gedung
Ibu Pov******************Benakku sama sekali tak cukup puas dengan pernyataan Kalila kemarin. Ia mengatakan bahwa bayinya bukan anak haram. Tentu saja, tidak ada anak haram di dunia ini. Karena, setiap bayi terlahir tanpa dosa. Yang haram itu justru perbuatan orang tuanya. Apabila memiliki anak di luar ikatan pernikahan. Namun begitu, aku tak lagi mendebatnya. Karena, teringat pesan suamiku untuk tidak lagi ribut dengan Kalila. Akan tetapi, pertanyaan lain justru bermunculan dalam pikiranku. Apa sesungguhnya Kalila sudah menikah? Ya Tuhan, apa yang sudah ia lakukan? Jika benar demikian, bukankah pernikahan itu tidak sah? Ia anggap apa ayahnya? Ayah kandungnya, walinya yang sah, masih hidup, tapi ia menikah tanpa sepengetahuannya. Begitukah?Kulirik sekilas, Kalila yang tengah menikmati makan siangnya. Satu tangannya memegang sendok, satu lainnya menatap layar ponsel dengan begitu intens. Sesekali ponsel i
Ibu Pov********************Semua pandangan beralih ke arah sumber suara. Bahkan rasanya bola mataku hampir melompat dari tempatnya, begitu mengetahui siapa yang tengah menunjukkan dirinya di hadapan kami.Amar, adik iparku. Suami Ima berdiri tegak dan mengakui diri sebagai orang yang kami cari selama ini.Dunia seakan runtuh di saat itu juga. Bencana seakan menerjang kedamaian keluargaku yang selama ini terjaga dengan rapi. Putri yang kucintai dan adik ipar yang begitu kuhargai, bersama-sama melempar kotoran di muka kami. Bugh!Belum usai keterkejutan ini, keadaan kian kacau kala kepalan tangan suamiku berhasil membuatnya terhuyung ke belakang. Dan sebelum Amar kembali menegakkan tubuh, suamiku sudah lebih dulu menghajarnya dengan membabi buta.Aku dan Bi Resti menjerit-jerit dalam ketakutan dan kecemasan. Menyaksikan kebrutalan suamiku dan kepasrahan Amar m
Author Pov**********************Wajah dua orang yang tengah menjadi terdakwa dalam sidang keluarga tersebut, kian pias begitu ayah Kalila melontarkan sebuah pernyataan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Semua orang terdiam. Semua membisu. Tak ada satu pun yang berani bersuara. Hanya air mata yang mewakili atas segala perasaan yang dirasakan masing-masing."Ayah," panggil Kalila, takut-takut. Sang ayah menoleh tanpa menyahut.Mendapati sikap ayahnya yang seolah tidak memedulikannya, Kalila pun menghambur dan berlutut di kaki sang ayah. Perempuan itu menangis sambil memeluk kaki ayahnya dengan sangat erat."Katakan, siapa yang menikahkan kalian?" tanya ayahnya, datar dan dingin.Kalila mendongak, menatap wajah ayahnya. Telapak tangannya mengusap kedua pipinya secara bergantian. Bergerak kasar untuk menghapus lelehan bening yang membasahi wajahny
Author Pov******************Sebelum melajukan kendaraannya yang terparkir di basement, Amar mengutak-atik ponselnya mencari kontak seseorang, lalu menghubunginya."Hallo, Mas Bagas, bisakah segera datang ke Jakarta?" tanyanya, sesaat setelah panggilan diterima."Ada apa, ya? Kenapa mendadak?" jawab Bagas, berlagak tidak tahu apa-apa."Mas Ridwan sudah mengetahui pernikahanku dengan Kalila-""Apa?! Kau serius?" Bagas pura-pura terkejut mendengar penuturan Amar."Saya serius, Mas. Kalau bisa besok Mas Bagas ke Jakarta. Mas Ridwan ingin dengar penjelasan dari kita semua.""Ya, baiklah. Saya akan usahakan," pungkas Bagas, seolah-olah ia masih berada di Bogor. Padahal kenyataannya ia dan istrinya sedang berada di Jakarta.Panggilan berakhir usai Bagas memberi keputusan. Sedikit lega, namun tidak sepenuhnya. Itulah yang A
Amar's Pov****************Hari sudah gelap ketika mobil yang kukendarai, tiba di halaman rumah. Suasana sunyi rumah besar tempat tinggalku bersama Ima itu, seakan mengingatkan pada saat-saat sebelum diriku menikahi Kalila.Tak ada satu hal pun yang membuatku begitu merindukan rumah. Karena, setiap kali aku pulang, sangat jarang sekali Ima menyambutku dengan benar. Bahkan terkadang wanita itu malah tidak berada di rumah. Ia pergi-pergi sesuka hati, tanpa pernah meminta izinku sebagai suami.Aku menghela napas berat. Rasanya cintaku terhadap wanita itu seperti telah lama menghilang. Apalagi setelah aku menerima limpahan perhatian dan kasih sayang Kalila. Rumah tanggaku bersama Ima tinggallah status di atas kertas."Selamat malam, Pak!" sambut Bi Idah, asisten rumah tanggaku, usai membukakan pintu untukku."Malam, Bi. Ima ada di rumah?" tanyaku sambil terus berjalan.
Author's Pov*******************"Pagi, Mas," sapa Ima, saat Amar masuki ruang makan. Di atas meja makan berjejer aneka hidangan untuk menu sarapan pagi mereka."Pagi, Sayang," balas Amar, mendaratkan satu kecupan di keningnya. "Makanannya banyak sekali," ucapnya, seraya menggeser kursi untuk diduduki."Aku masak semua ini spesial buat kamu." Ima tersenyum manis pada suaminya."Oh ya?" "Iya, dong," sahut Ima, lalu mengambilkan nasi beserta lauk pauknya ke dalam piring sang suami. "Mas mau ke kantor?" tanyanya, menatap penampilan Amar yang sudah rapi.Gerakan tangan Amar yang hendak menyuapkan nasi pun terhenti. Pertanyaannya mengingatkan lelaki itu bahwa dirinya belum membicarakan masalah Kalila dengan istrinya.Nasi yang sudah di depan mulut pun, urung ia suapkan. Sendok kembali ia letakkan di atas piring. Amar beralih memandangi
Resepsi pernikahan yang nyaris batal itu, akhirnya digelar. Jika saat akad nikah Kalila dan Ilham mengenakan baju pengantin khas Sunda, kali mereka memakai konsep Internasional.Acara tersebut digelar secara outdoor, dan didukung dengan cuaca cerah yang membuat segalanya berjalan dengan apik dan sempurna.Para tetamu yang terdiri dari keluarga, kerabat, juga rekan-rekan serta sahabat, baik dari Ilham maupun Kalila, terus berdatangan dan bergantian bersalaman sambil memberi ucapan selamat, pun mendoakan segala kebaikan untuk rumah tangga mereka.Tak cuma itu, masing-masing dari mereka juga tak mau ketinggalan dengan sesi foto bersama. Momen penting tersebut, sangat sayang untuk tidak diabadikan. Tak hanya menggunakan kamera profesional, mereka juga memakai ponsel pribadi untuk bisa segera dipajang di sosial media yang mereka miliki."Mbak, kita belum foto berdua," cerocos Kirana, yang tiba-tiba berdiri memben
Tersedu meresapi pilu, Kalila tak kuasa membendung butiran yang menggenangi parasnya yang sendu.Kondisi terburuk dari kesehatan sang Kakek mau tak mau mencuatkan besarnya rasa bersalah dirinya karena, telah tega meninggalkannya."Maafin Lila, Kek. Gara-gara Lila, Kakek jadi begini," lirihnya, di antara isakan yang tak lagi mampu ia tahan.Beberapa saat sebelumnya, Kalila segera dibawa masuk oleh suaminya. Setelah ia memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan sekadar bayangan.Namun sebelumnya, Ilham sempat merengkuh tubuh ringkih yang belum benar-benar pulih. Akhirnya rindu itu terobati dengan hadirnya sang kekasih. Meski setelahnya ia merasa batinnya teriris perih, begitu mengetahui seseorang yang berdiri di belakang wanita terkasih."Jangan, Nak. Jangan minta maaf sama Kakek. Kakek sakit bukan karena kamu. Kakek sudah tua, ini sudah sewajarnya. Tapi, kamu. Kamu menderita karena Kak
Hari-hari berlalu tanpa kabar yang pasti. Pencarian telah dilakukan dengan berbagai cara. Teman, saudara, dan juga para kerabat sudah disambangi satu demi satu, untuk mendapatkan informasi.Dari dalam kota hingga ke luar kota, mereka kunjungi. Mana tahu ada salah satu yang dijadikan Kalila tempat sembunyi. Terhitung sudah 10 hari, Kalila tak juga kembali.Demi menebus kesalahannya, Ima juga meminta Amar mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari Kalila. Namun, wanita itu bak hilang tanpa kerana. "Mas Ilham mau kerja?" tanya Ina, ketika menikmati sarapan bersama.Si bungsu sudah menginap beberapa hari karena kesehatan ayah mereka yang kian menurun pasca kepergian cucu kesayangannya. "Iya," jawabnya singkat."Mas Ilham yakin?" Ilham menoleh, menyadari keraguan dari nada bicara sang adik. "Cuma ngecek aja. Aku masih mau cari Kalila lagi,
Tanpa pikir panjang Ilham segera berlari menyusuri setiap lorong rumah sakit yang menuju pintu keluar. Dalam benaknya, Kalila yang sakit tak mungkin secepat itu bisa pergi.Bahkan hingga kakinya menapaki gerbang yang dijaga oleh beberapa security, lelaki berhidung bangir itu tak sekalipun mendapati apa yang ia cari.Tertinggal cukup jauh, Mbak Susi menyusul dengan terengah-engah."Mbak Susi tunggu di sini, saya ambil mobil dulu," pekik Ilham, dengan panik.Mbak Susi kesulitan bicara. Hanya mampu menganggukkan kepala. Napasnya terputus-putus saking lelahnya.Hanya butuh 2 menit saja bagi Ilham memindahkan mobilnya dari area parkir menuju gerbang keluar. Lelaki dengan kemeja biru tua itupun berseru, menyuruh sang ART memasuki kendaraannya.Layaknya berpacu di arena balap, Ilham mengemudi tanpa kendali. Tak peduli banyaknya umpatan dan makian yang ia dapat dari penggun
Tanpa menunggu jawaban istrinya, Ilham gegas mengambil langkah lebar meninggalkan ruangan tempat Kalila dirawat. Beberapa langkah di depannya, orang tua Kalila rupanya sudah tiba untuk melihat kondisi putri sulung mereka."Keadaan Lila gimana, Ham?" tanya Ira, gurat kecemasan begitu kentara memenuhi wajahnya."Masuk aja, Mbak," sahut Ilham, menunjuk ruang rawat istrinya dengan ekor matanya.Wanita lembut itu segera memasuki ruangan yang telah ditunjukkan menantunya.Sementara suaminya tengah memandang Ilham dengan tatapan yang aneh. "Kamu mau kemana?" tanyanya, kemudian."Aku ada urusan sebentar, Mas." Jawaban yang tak memuaskan menurut Ridwan. "Urusan? Urusan apa malam-malam begini?" Pria baya itu memicingkan mata, curiga."Mas, aku mohon jangan curigai aku seperti itu. Aku buru-buru, nanti kalian semua juga tahu." Lelaki ber
"Ada apa sebenarnya dengan Tante Ima? Kenapa semua orang bungkam di depanku? Kenapa aku tidak boleh tahu tentang keberadaannya? Kenapa?" Tatapan Ibu dari satu anak itu nyalang."Sayang, kamu tenang dulu. Kita omongin ini baik-baik, ya." Ilham memegang pundak Kalila, mencoba menenangkannya. Sayangnya, Kalila malah menepisnya."Kalian tahu sesuatu tentang wanita itu. Dan kalian merahasiakannya dariku. Aku tahu apa alasannya. Karena, selama ini kalian masih tetap tidak percaya sama aku, kan?" Tawa hambar mengiringi tiap kata yang meluncur dari bibirnya."Sayang, dengar dulu. Kami lakuin ini juga demi menjaga perasaan kamu—""Enggak, Om Ilham pasti bohong. Om juga bohong kalau selama ini percaya sama aku. Om gak pernah mempercayai aku. Gak ada yang percaya aku, semua orang selalu bilang aku pembohong. Aku penggoda, aku murahan, aku hina, aku ...." Runtuh sudah pertahanannya kala itu. But
Langkah Kalila terseret-seret saat Ilham menariknya keluar dari resto. Wanita itu tak sekalipun melawan, meski sesekali kakinya tersandung.Sementara itu, Mahen sendiri tak berniat menghalangi tindakan suami wanita itu. Walaupun hatinya merasa tak tega menyaksikannya, tetapi ia cukup sadar batasan dirinya. Sebelumnya, pemuda itu memang tak mengetahui jika perempuan yang belum ia ketahui namanya tersebut, ternyata telah bersuami."Kamu suka dengan perempuan itu?" Ima mendekati Mahen yang sejak tadi menatap bayangan Kalila yang kian menjauh darinya.Lelaki itu berbalik melihat kehadiran Ima dan Ina. Ia memicingkan mata, menatap penuh rasa curiga terhadap dua wanita yang sama sekali tidak pernah ia kenali. Namun, salah satu di antaranya ada yang memiliki kemiripan dengan Kalila. Sekilas pandang, garis wajah Ina serupa dengan perempuan yang baru saja dibawa pergi oleh suaminya tadi."Bukan urusan kalian!" M
"Ma, Ayah cama Papa bedanya apa? Tenapa Ala punya dua? Temen Ala cuma punya catu. Kalau gak Ayah, ya Papa.""Sayang, nanti kalau Arla dewasa, Arla pasti ngerti. Yang jelas, kalau sekarang Arla punya Ayah sama Papa, itu karena Arla istimewa. Itu artinya, banyak yang sayang sama Arla. Sekarang Arla duduknya yang bener, bentar lagi Ayah mau belokin mobilnya, ya." Kalila terus menatap ekspresi wajah Ilham ketika mencoba memberi pengertian pada anak sambungnya. Ia merasa lega karena, suaminya itu cukup bijak dalam menyikapi setiap rasa keingintahuan putri kecilnya."Iya, Ayah," sahut Arla patuh. Anak perempuan itu lekas memundurkan tubuh. Kembali bersandar dan meraih bonekanya untuk dimainkan.Mobil berbelok memasuki pelataran rumah Kakek Kalila. Rumah yang kini akan menjadi tempat tinggal dirinya bersama keluarga yang tengah ia bangun bersama sang suami tercinta.Di teras, ada Kakek dan Mbak
"Mbak, Arla jangan dibawa, dong. Mbak, kan, bisa bikin anak lagi. Arla sama aku aja."Sudah sejak pagi-pagi sekali Kirana terus merengek. Pasalnya, hari ini Kalila tengah bersiap untuk tinggal di rumah sang Kakek bersama suaminya. Tentunya, wanita itu turut membawa serta putri kecilnya. Ia tak mungkin meninggalkan gadis kecil yang tiga tahun lalu ia lahirkan ke dunia."Kiran, kamu ini apa-apaan, sih. Gak usah drama, deh. Kalau kamu kangen sama Arla, ya, tinggal ke rumah Kakek aja, apa susahnya. Cuma sepuluh menit." Kalila menunjukkan seluruh jari tangannya ke depan muka sang adik.Sementara itu, Ilham dan kedua orang tua Kalila justru terkekeh dengan tingkah putri bungsunya yang tak henti-hentinya mengikuti langkah kakaknya yang berjalan keluar masuk rumah memindahkan barang-barang miliknya ke mobil suaminya."Kiran, udah! Kamu gak capek apa dari tadi bolak-balik ngikutin Mbakmu terus?" Sang ayah menegurnya