Author Pov
******************Sebelum melajukan kendaraannya yang terparkir di basement, Amar mengutak-atik ponselnya mencari kontak seseorang, lalu menghubunginya."Hallo, Mas Bagas, bisakah segera datang ke Jakarta?" tanyanya, sesaat setelah panggilan diterima."Ada apa, ya? Kenapa mendadak?" jawab Bagas, berlagak tidak tahu apa-apa."Mas Ridwan sudah mengetahui pernikahanku dengan Kalila-""Apa?! Kau serius?" Bagas pura-pura terkejut mendengar penuturan Amar."Saya serius, Mas. Kalau bisa besok Mas Bagas ke Jakarta. Mas Ridwan ingin dengar penjelasan dari kita semua.""Ya, baiklah. Saya akan usahakan," pungkas Bagas, seolah-olah ia masih berada di Bogor. Padahal kenyataannya ia dan istrinya sedang berada di Jakarta.Panggilan berakhir usai Bagas memberi keputusan. Sedikit lega, namun tidak sepenuhnya. Itulah yang AAmar's Pov****************Hari sudah gelap ketika mobil yang kukendarai, tiba di halaman rumah. Suasana sunyi rumah besar tempat tinggalku bersama Ima itu, seakan mengingatkan pada saat-saat sebelum diriku menikahi Kalila.Tak ada satu hal pun yang membuatku begitu merindukan rumah. Karena, setiap kali aku pulang, sangat jarang sekali Ima menyambutku dengan benar. Bahkan terkadang wanita itu malah tidak berada di rumah. Ia pergi-pergi sesuka hati, tanpa pernah meminta izinku sebagai suami.Aku menghela napas berat. Rasanya cintaku terhadap wanita itu seperti telah lama menghilang. Apalagi setelah aku menerima limpahan perhatian dan kasih sayang Kalila. Rumah tanggaku bersama Ima tinggallah status di atas kertas."Selamat malam, Pak!" sambut Bi Idah, asisten rumah tanggaku, usai membukakan pintu untukku."Malam, Bi. Ima ada di rumah?" tanyaku sambil terus berjalan.
Author's Pov*******************"Pagi, Mas," sapa Ima, saat Amar masuki ruang makan. Di atas meja makan berjejer aneka hidangan untuk menu sarapan pagi mereka."Pagi, Sayang," balas Amar, mendaratkan satu kecupan di keningnya. "Makanannya banyak sekali," ucapnya, seraya menggeser kursi untuk diduduki."Aku masak semua ini spesial buat kamu." Ima tersenyum manis pada suaminya."Oh ya?" "Iya, dong," sahut Ima, lalu mengambilkan nasi beserta lauk pauknya ke dalam piring sang suami. "Mas mau ke kantor?" tanyanya, menatap penampilan Amar yang sudah rapi.Gerakan tangan Amar yang hendak menyuapkan nasi pun terhenti. Pertanyaannya mengingatkan lelaki itu bahwa dirinya belum membicarakan masalah Kalila dengan istrinya.Nasi yang sudah di depan mulut pun, urung ia suapkan. Sendok kembali ia letakkan di atas piring. Amar beralih memandangi
"Kalau aku tidak bisa memiliki bayi itu, siapapun tidak ada yang boleh memilikinya."Mendengar kalimat itu dari mulut Ima, sontak membuat air muka Amar berubah menyeramkan. Meski ia tak tahu apa yang akan diperbuat istrinya. Namun, ia cukup sadar akan niat buruk yang terselip dari ucapan wanita itu."Apa maksudmu berkata begitu?" Amar menghunuskan tatapannya pada Ima.Bukannya takut, Ima justru tertawa dengan respon suaminya. Amar benar-benar tidak mengerti dengan sikap istrinya. Batinnya mulai menerka-nerka. Apakah Ima sudah gila?Dalam ketidaktahuannya, Bi Idah datang menghampiri. "Pak, kata dokter Irene, Ibu harus dibawa ke psikiater," bisik Bi Idah, menyampaikan pesan dari dokter keluarganya.Amar cukup tersentak dengan informasi yang ia terima. Apakah keadaan Ima separah itu, sampai harus ke psikiater? Jika benar begitu, itu artinya istrinya memang sakit.
Kalila's Pov****************Semilir angin menerbangkan helaian rambutku. Bunyi riak kecil air telaga menemani heningnya suasana. Duduk bersandar pada pohon kersen, menghadap ke arah telaga, seraya menggerakkan pena tinta hitamku di atas sebuah buku catatan kecil berwarna kelabu.Secara geografis telaga ini terletak di Kabupaten Kuningan. Namun, tak jarang orang mengiranya berada di Kabupaten Cirebon. Karena, memang lokasi Telaga Remis ini berada di perbatasan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan.Sembari mengedarkan pandangan ke segala arah, kutulis apa saja yang tampak oleh mata. Hijaunya air telaga, rindangnya pepohonan, juga kicau burung yang manambah kesan damai di tepian telaga.Telaga ini hanya ramai dikunjungi saat akhir pekan. Jika hari lain, seperti hari ini, maka akan tampak lengang. Hanya beberapa orang saja yang ada di tempat ini. Meskipun lokasi wisata ini tetap dibuka untuk umum, tetap saj
"Mas Amar," gumamku. Begitu melihat sosok yang yang 3 tahun lamanya tidak pernah memedulikan aku dan anaknya.Mas Amar berdiri menatap ke arah kami. Tangannya menggenggam ponsel, seperti tengah membidikkan kameranya. Tanpa pikir pajang, kulangkahkan kaki menuju padanya. Secepat ekspres kurampas ponsel dari genggamannya. Kemudian lekas menghapus semua gambar yang baru saja ia ambil. Sekilas pandangan, gambar Arla mendominasi dari seluruh yang berhasil kuhapus."Bahkan sebatas gambar pun kau tidak punya hak," ucapku, penuh penekanan sambil melempar ponsel tersebut dengan kasar.Lekas kutarik tubuh kecil Arla ke dalam gendongan, kemudian bergegas pergi dari lokasi wisata tersebut. Mengabaikan siapapun yang berada di sana. Termasuk Om Ilham dan Kirana.Tak pula kuhiraukan rengekan Arla yang menolak untuk pergi dari tempat tersebut. Ia yang tidak mengerti dengan situasi tersebut, terus menangi
"Yah ...!" Aku dan Ibu menjerit-jerit memanggilnya. Kami berlari mengejar Ayah. Berusaha mencegahnya. Namun, sayangnya Ayah sudah lebih dulu mengendarai sepeda motornya, keluar melewati gerbang rumah yang hanya terbuka sebagian.Aku menengok ke semua arah mencari sepeda motor yang satu lagi. Lalu, aku ingat bahwa sepeda motor tersebut dibawa oleh Kirana. Di garasi hanya terparkir mobil Ayah. Aku tak punya pilihan lain, selain harus mengemudi. "Bu, ambil kunci mobil," pintaku, dengan nada panik.Sementara Ibu mengambil kunci, aku membuka gerbang lebar-lebar agar lebih mudah mengeluarkan mobil."Ini kuncinya," pekik Ibu, dengan langkah tergesa-gesa.Aku segera menyambar kunci tersebut, kemudian bergegas menempati bangku kemudi. Setelah pintu tertutup, Ibu menyusul duduk di sebelahku."Ibu mau kemana?" tanyaku."Mau ikut," jawab Ibu.
Belum juga sampai di bangku-bangku itu, tiba-tiba Mas Amar sudah menubrukku."Aku merindukanmu," ucap Mas Amar dengan suara yang gemetar.Untuk sesaat tubuhku membeku. Perlakuannya yang tiba-tiba tersebut, membuatku tak sempat berpikir harus bagaimana menanggapinya.Hingga ketika otakku kembali bekerja, barulah aku tersadar jika tindakannya sangat tidak pantas. Lekas kudorong tubuh tegapnya sekuat tenaga. Sehingga dirinya nyaris terhuyung ke belakang."Tolong jaga sikap Anda. Ini tempat umum. Dan tak pantas juga Anda melakukan itu pada saya. Ingat, kita sudah bercerai. Kita sudah tidak memiliki hubungan apapun," tegasku, memperingatkannya. "Maafkan aku yang tidak bisa bertindak tegas saat itu," cicit Mas Amar dengan kornea yang tampak berkabut.Aku terpejam sejenak. Menguatkan diri agar tak terpengaruh olehnya."Cukup, Om! Cerita kita sudah selesai. S
"Asal kau tahu saja, Kalila. Si anak pungut itu memendam rasa sama kamu."Ragaku mematung saat itu juga. Kalimat terakhir yang kudengar dari mulut Mas Amar, mau tidak mau membuatku sibuk mencari-cari apa yang ia maksud.Anak pungut? Apa maksudnya anak pungut? "Kenapa diam?" Suara Mas Amar terdengar mendekat. "Kaget? Kamu baru tahu kalau Ilham itu cuma anak pungut?" Om Amar tertawa puas, mendapati keterkejutanku. "Kalila, Kalila. Kau pikir saja, mana ada laki-laki dewasa memberi perhatian lebih pada perempuan dewasa, tanpa maksud apa-apa? Tanpa punya perasaan apa-apa? Apalagi sebatas teman atau saudara. Pikir baik-baik!" Om Amar berjalan mengitari tubuhku yang masih membatu.Secepatnya kugelengkan kepala untuk mengembalikan kesadaranku. Tidak. Aku tidak boleh terpengaruh olehnya. Mas Amar pasti hanya mengada-ada. Ia pasti sedang mencari-cari topik pembicaraan, agar aku bisa lebih lam