"Kalau aku tidak bisa memiliki bayi itu, siapapun tidak ada yang boleh memilikinya."
Mendengar kalimat itu dari mulut Ima, sontak membuat air muka Amar berubah menyeramkan. Meski ia tak tahu apa yang akan diperbuat istrinya. Namun, ia cukup sadar akan niat buruk yang terselip dari ucapan wanita itu."Apa maksudmu berkata begitu?" Amar menghunuskan tatapannya pada Ima.Bukannya takut, Ima justru tertawa dengan respon suaminya.Amar benar-benar tidak mengerti dengan sikap istrinya. Batinnya mulai menerka-nerka. Apakah Ima sudah gila?Dalam ketidaktahuannya, Bi Idah datang menghampiri. "Pak, kata dokter Irene, Ibu harus dibawa ke psikiater," bisik Bi Idah, menyampaikan pesan dari dokter keluarganya.Amar cukup tersentak dengan informasi yang ia terima. Apakah keadaan Ima separah itu, sampai harus ke psikiater? Jika benar begitu, itu artinya istrinya memang sakit.Kalila's Pov****************Semilir angin menerbangkan helaian rambutku. Bunyi riak kecil air telaga menemani heningnya suasana. Duduk bersandar pada pohon kersen, menghadap ke arah telaga, seraya menggerakkan pena tinta hitamku di atas sebuah buku catatan kecil berwarna kelabu.Secara geografis telaga ini terletak di Kabupaten Kuningan. Namun, tak jarang orang mengiranya berada di Kabupaten Cirebon. Karena, memang lokasi Telaga Remis ini berada di perbatasan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan.Sembari mengedarkan pandangan ke segala arah, kutulis apa saja yang tampak oleh mata. Hijaunya air telaga, rindangnya pepohonan, juga kicau burung yang manambah kesan damai di tepian telaga.Telaga ini hanya ramai dikunjungi saat akhir pekan. Jika hari lain, seperti hari ini, maka akan tampak lengang. Hanya beberapa orang saja yang ada di tempat ini. Meskipun lokasi wisata ini tetap dibuka untuk umum, tetap saj
"Mas Amar," gumamku. Begitu melihat sosok yang yang 3 tahun lamanya tidak pernah memedulikan aku dan anaknya.Mas Amar berdiri menatap ke arah kami. Tangannya menggenggam ponsel, seperti tengah membidikkan kameranya. Tanpa pikir pajang, kulangkahkan kaki menuju padanya. Secepat ekspres kurampas ponsel dari genggamannya. Kemudian lekas menghapus semua gambar yang baru saja ia ambil. Sekilas pandangan, gambar Arla mendominasi dari seluruh yang berhasil kuhapus."Bahkan sebatas gambar pun kau tidak punya hak," ucapku, penuh penekanan sambil melempar ponsel tersebut dengan kasar.Lekas kutarik tubuh kecil Arla ke dalam gendongan, kemudian bergegas pergi dari lokasi wisata tersebut. Mengabaikan siapapun yang berada di sana. Termasuk Om Ilham dan Kirana.Tak pula kuhiraukan rengekan Arla yang menolak untuk pergi dari tempat tersebut. Ia yang tidak mengerti dengan situasi tersebut, terus menangi
"Yah ...!" Aku dan Ibu menjerit-jerit memanggilnya. Kami berlari mengejar Ayah. Berusaha mencegahnya. Namun, sayangnya Ayah sudah lebih dulu mengendarai sepeda motornya, keluar melewati gerbang rumah yang hanya terbuka sebagian.Aku menengok ke semua arah mencari sepeda motor yang satu lagi. Lalu, aku ingat bahwa sepeda motor tersebut dibawa oleh Kirana. Di garasi hanya terparkir mobil Ayah. Aku tak punya pilihan lain, selain harus mengemudi. "Bu, ambil kunci mobil," pintaku, dengan nada panik.Sementara Ibu mengambil kunci, aku membuka gerbang lebar-lebar agar lebih mudah mengeluarkan mobil."Ini kuncinya," pekik Ibu, dengan langkah tergesa-gesa.Aku segera menyambar kunci tersebut, kemudian bergegas menempati bangku kemudi. Setelah pintu tertutup, Ibu menyusul duduk di sebelahku."Ibu mau kemana?" tanyaku."Mau ikut," jawab Ibu.
Belum juga sampai di bangku-bangku itu, tiba-tiba Mas Amar sudah menubrukku."Aku merindukanmu," ucap Mas Amar dengan suara yang gemetar.Untuk sesaat tubuhku membeku. Perlakuannya yang tiba-tiba tersebut, membuatku tak sempat berpikir harus bagaimana menanggapinya.Hingga ketika otakku kembali bekerja, barulah aku tersadar jika tindakannya sangat tidak pantas. Lekas kudorong tubuh tegapnya sekuat tenaga. Sehingga dirinya nyaris terhuyung ke belakang."Tolong jaga sikap Anda. Ini tempat umum. Dan tak pantas juga Anda melakukan itu pada saya. Ingat, kita sudah bercerai. Kita sudah tidak memiliki hubungan apapun," tegasku, memperingatkannya. "Maafkan aku yang tidak bisa bertindak tegas saat itu," cicit Mas Amar dengan kornea yang tampak berkabut.Aku terpejam sejenak. Menguatkan diri agar tak terpengaruh olehnya."Cukup, Om! Cerita kita sudah selesai. S
"Asal kau tahu saja, Kalila. Si anak pungut itu memendam rasa sama kamu."Ragaku mematung saat itu juga. Kalimat terakhir yang kudengar dari mulut Mas Amar, mau tidak mau membuatku sibuk mencari-cari apa yang ia maksud.Anak pungut? Apa maksudnya anak pungut? "Kenapa diam?" Suara Mas Amar terdengar mendekat. "Kaget? Kamu baru tahu kalau Ilham itu cuma anak pungut?" Om Amar tertawa puas, mendapati keterkejutanku. "Kalila, Kalila. Kau pikir saja, mana ada laki-laki dewasa memberi perhatian lebih pada perempuan dewasa, tanpa maksud apa-apa? Tanpa punya perasaan apa-apa? Apalagi sebatas teman atau saudara. Pikir baik-baik!" Om Amar berjalan mengitari tubuhku yang masih membatu.Secepatnya kugelengkan kepala untuk mengembalikan kesadaranku. Tidak. Aku tidak boleh terpengaruh olehnya. Mas Amar pasti hanya mengada-ada. Ia pasti sedang mencari-cari topik pembicaraan, agar aku bisa lebih lam
Bola mataku membulat sempurna. Betapa tercengangnya aku mendengar apa yang Ayah katakan. Ini sungguh tak bisa dipercaya."Yah, gak bisa gitu, dong?" protesku, tak habis pikir."Dengar, Kalila! Kalau kamu punya suami, Amar gak akan ganggu kamu lagi," tutur Ayah, penuh keyakinan."Masalahnya, kenapa harus menikah sama Om Ilham? Dia itu Omnya Lila, Yah? Ini gak boleh terjadi." Aku coba mengingatkan, barangkali Ayah lupa."Lila, kamu sama Ilham bukan saudara." Kali ini Ibu yang bicara.Aku menggeleng tak percaya. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa semuanya mendadak berubah seperti ini? Aku berdiri meninggalkan kursi. Berjalan mundur menjauhi kedua orang tuaku."Lila," panggil Ibu.Tak kuhiraukan beliau. Aku tak percaya ini semua. Tak kusangka jika yang dikatakan Mas Amar ternyata benar adanya.Tapi, kenapa? Kenapa hany
"Ya ampun, kamu cerewet sekali. Bisa pusing kepalaku kalau jadi suamimu," keluh Om Ilham, seraya menutup kedua telinganya dengan bantal. Tanpa ia sadari, ucapannya seketika telah berhasil membungkam mulutku yang tadinya masih ingin berbicara.Aku segera berpaling darinya. Berdiri menghadap jendela. Mengalihkan pandangan ke samping rumah Nenek. Perkataannya tadi, sungguh telah membuatku teringat dengan pembicaraan antara aku dan kedua orang tuaku semalam Tiba-tiba sepasang lengan melingkar di perutku. Hembusan hangat napasnya terasa menyentuh kulit tengkukku."Om ...." Aku berusaha melepaskan pelukannya. Ini terasa sangat aneh bagiku. Namun, bukannya terlepas, ia justru semakin mengeratkannya."Ayah dan Ibu kamu pasti udah ngomongin semuanya, kan?" tanyanya, meletakkan dagu di pundakku. Membuat detak jantungku seakan berpacu dengan cepat."Om, aku-""Sstt ...! Aku gak minta pendapatmu. Aku cuma butuh kesiapanmu. Kapan kamu siap jadi istriku?" Pertanyaan Om Ilham, tak serta merta mampu
Mendadak wajahku menghangat. Aku yakin saat ini sudah nampak seperti daging buah semangka. Entah mengapa kata-katanya mampu membuat perasaanku jadi tak karuan. Padahal bukan rayuan yang lontarkan. Tapi, dalam sekejap hatiku luluh lantah dibuatnya.Mungkin benar aku ini materialistis. Buktinya setelah diajak belanja, aku tidak lagi berusaha menolaknya. Malah aku seperti terhipnotis olehnya. Aku menurut dan patuh kemanapun ia membawaku.Atau mungkin hanya perasaan senang seperti yang sudah-sudah. Saat masih jadi keponakannya, baik aku maupun Kirana memang tidak pernah segan meminta apapun padanya. "Om, kita kan belum makan siang. Aku lapar," keluhku, merasakan cacing di perutku yang sudah mulai berdemo."Iya, nanti abis ngecek toko kita makan." Jawabannya sungguh tidak menyenangkan.Kukira dia akan seperti tokoh-tokoh pria yang sering kutulis atau kubaca dalam cerita, yang akan bertindak ce