Mendadak wajahku menghangat. Aku yakin saat ini sudah nampak seperti daging buah semangka. Entah mengapa kata-katanya mampu membuat perasaanku jadi tak karuan. Padahal bukan rayuan yang lontarkan. Tapi, dalam sekejap hatiku luluh lantah dibuatnya.
Mungkin benar aku ini materialistis. Buktinya setelah diajak belanja, aku tidak lagi berusaha menolaknya. Malah aku seperti terhipnotis olehnya. Aku menurut dan patuh kemanapun ia membawaku.Atau mungkin hanya perasaan senang seperti yang sudah-sudah. Saat masih jadi keponakannya, baik aku maupun Kirana memang tidak pernah segan meminta apapun padanya."Om, kita kan belum makan siang. Aku lapar," keluhku, merasakan cacing di perutku yang sudah mulai berdemo."Iya, nanti abis ngecek toko kita makan." Jawabannya sungguh tidak menyenangkan.Kukira dia akan seperti tokoh-tokoh pria yang sering kutulis atau kubaca dalam cerita, yang akan bertindak ce"Ish ... Om ini apa-apaan, sih?" sungutku, menepis tangannya. "Malu tahu.""Kenapa malu? Semua orang juga tahu, kalau kamu calon istriku.""Iya, tapi gak usah kayak gini juga.""Kayak gini gimana?" godanya, membuatku susah payah menahan malu. "Kayak gini maksudnya?" Om Ilham malah merapatkan pelukannya."Sudah, sudah, jangan godain Kalila terus." Suara Kakek menginterupsi, sehingga lelaki itu mau tak mau mengurai pelukannya."Iya. Sudah sana kalian makan dulu," timpal Nenek, selanjutnya."Lho, Kakek sama Nenek gak makan?" tanyaku, heran kenapa malah menyuruh kami makan."Nenek nanti aja sama Kakek. Kakek baru aja minum obat, nanti makannya satu jam lagi," terang Nenek.Bahagia sekali melihat Kakek dan Nenek. Sudah setua itu, sudah puluhan tahun bersama, mereka masih saja saling setia. Saling melengkapi. Selalu bersama-sama menghadapi
Ilham's Pov************Setelah melepas kepulangan calon istriku, Kalila, anak serta adiknya, aku bersama dua orang yang telah merawat dan membesarkanku, kembali ke dalam rumah. Kemudian kuantar Ibu dan Bapakku yang telah sepuh itu agar beristirahat lebih awal. Apalagi siang tadi mereka menjalani cek up rutin. Pasti tubuh renta itu akan merasa letih."Kamu juga jangan begadang terus. Istirahat yang cukup, habis ini kamu bakal lebih sibuk ngurus lamaran sama pernikahan." Ibu memperingatkanku."Iya, iya, Ibu. Ibu ini cerewet seperti Kalila," gurauku, langsung mendapat jeweran dari Ibu.Aku kembali ke ruang keluarga. Menyalakan televisi, mencari-cari acara yang menarik untuk ditonton. Irisku tertuju pada layar, namun entah kenapa pikiranku melayang pada bayangan Kalila.Pikiranku sangat tidak nyaman. Padahal ia baru beberapa menit meninggalkan rumah ini. Rasa was-was seketika meny
Kalila's Pov************"Ibu ...!""Nenek ...!" Semua orang berteriak, menggaungkan sebutan masing-masing pada Nenek. Tubuh renta itu telah terkulai tak berdaya, beralaskan hamparan susunan batu alam yang ditata sedemikian rupa, sehingga memunculkan motif artistik.Mas Amar yang berada paling dekat buru-buru meraih raga itu ke pangkuannya. Begitupun dengan Om Ilham, Kirana, dan Kakek. Mereka berhamburan menghampiri Nenek. Sedangkan aku tertinggal karena kepayahan sambil menggendong Arla."Bu, bangun, Bu ...." Om Ilham memindahkan kepala Nenek ke atas pahanya sembari menitikkan air mata."Kita bawa ke rumah sakit," usul Mas Amar. Ia segera membantu mengangkat Nenek bersama Om Ilham ke dalam kendaraan miliknya.Kami semua mengekori langkah mereka. Hingga aku pun tersadar akan sesuatu."Kakek, di rumah aja sama Kiran. Biar L
"Iya. Aku memang mau mati. Terima kasih sudah memberitahuku," ucapku lalu berjalan mengikuti arah telunjuknya. Sebelumnya, aku sempat melihat ekspresinya yang terperangah mendengar kata-kataku."Hei, tunggu!" teriaknya, memanggil.Bisa kudengar pula hentakan sepatunya yang menandakan ia tengah berlari. Suaranya kian dekat. Pasti dia mengejarku. Ia mengira aku benar-benar akan bunuh diri. Padahal aku pergi untuk menjauh darinya. Karena, aku yakin jika diam saja, pemuda itu akan terus menerus merutuki kecerobohanku yang hampir tertabrak olehnya."Heh, lo serius mau bunuh diri?" tanyanya, saat sudah mensejajarkan langkah denganku.Tak penting bagiku menjawab pertanyaan konyolnya. Aku melirik sekilas padanya, lalu kembali menatap ke depan. Tanpa berniat menghentikan laju dari kakiku."Hei, lo bisu? Eh, tapi tadi lo bisa ngomong. Jawab gue, dong! Lo patah hati, ya? Pasti abi
Pantulan sinar mentari yang melewati sebuah jendela, membuat kelopak mataku ragu untuk terbuka. Namun, merasa ada yang tengah memerhatikan, kupaksakan untuk bisa melihat gerangan yang kupikir sedang mengawasiku."Hai, syukurlah kau sudah sadar. Gimana? Apa kepalamu pusing?" Ia menyapa sekaligus melontarkan tanya, saat irisku berhasil menangkap bayangan wajahnya.Tangannya menggenggam erat jemariku yang terasa dingin. Selimut tebal menutup tubuhku hingga batas dada. "Dingin, Om," lirihku, menguraikan apa yang saat itu kurasakan."Iya, kau demam. Tadi juga udah diperiksa sama dokter. Sekarang makan dulu, ya? Nanti abis ini minum obat." Om Ilham meraih mangkuk berisi bubur yang terletak di nakas samping tempat tidur di kamarnya.Pria yang semalam bersimbah air mata itu, tampak lebih segar. Ia juga mampu mengulas senyum merekah di hadapanku. Tangannya bergerak telaten menyuapkan sendok berisi
"Kamu gila, ya? Kamu pikir masalah akan selesai kalau kamu bunuh diri?!" Om Ilham berteriak lantang setelah berhasil membawaku keluar dari kamar.Mataku berkedip cepat. Masih bingung dengan ucapannya. Memang siapa yang mau bunuh diri? Aku? Perasaan aku tidak melakukan hal seperti yang ia tuduhkan. Kenapa dia bicara begitu?"Om ... Om ngomong apa, sih?" tanyaku, bingung."Masih tanya? Kamu pasti mau bunuh diri, kan? Kamu mau gores tangan kamu pakai beling, kan? Iya, kamu pasti mau lakuin itu." Lelaki itu mengguncang bahuku penuh emosi.Aku menggeleng. "Om, Lila cuma mau ngambil ini." Kutunjukkan bingkai foto yang ada di tanganku. "Gelasnya jatuh gak sengaja," imbuhku, sambil mendongak menatapnya.Tak ada sahutan darinya. Ia membatu dengan tatapan lurus menembus ke dalam irisku. Detik berikutnya ia menarikku ke dalam pelukannya. Kemudian terdengarlah isak lirihnya."Maafkan aku. Aku panik," ucapnya, sambil menangis."Kenapa minta maaf? Om gak salah. Lila yang salah. Maafin Lila, ya, Om?
Author Pov**********"Ya Allah, Astaghfirullah, Neng Lila!" Pekikan Mbak Susi membuat Ina terlonjak kaget. Mata Ina terbelalak seketika. Detik berikutnya, pandangannya tertuju pada kepala keponakannya yang mengucurkan cairan merah berbau amis. Kemudian beralih menatap nanar tangannya yang gemetar. Tangan yang sebelumnya ia gunakan untuk melukai putri dari kakaknya tersebut."Neng, Ya Allah, Neng." Mbak Susi merengkuh tubuh Kalila, sambil menangis histeris."Sakit, Mbak." Kalila berucap lirih, membuat Mbak Susi semakin khawatir."Iya, Neng. Kita ke rumah sakit aja. Ayo, Mbak bantu." Wanita paruh baya yang sudah lama membantu keluarga itu pun berusaha memapah Kalila.Dengan menahan sakit, Kalila susah payah untuk berdiri. Sementara itu, Ina masih mematung, mencerna apa yang sudah ia lakukan pada keponakannya tersebut.Rasa panik menjadikan Mba
"Mau kemana kamu? Kamu hutang penjelasan padaku." Ilham meruncingkan tatapan, hingga terasa menusuk ke dalam kornea mata sang adik.Ina berusaha menghindari tatapan sang kakak. Ia mengalihkan pandangan ke sembarang arah."Penjelasan apa? Aku gak lakuin apa-apa sama dia. Kami memang bertengkar, tapi dia jatuh sendiri. Mas Ilham tanya aja sama dia." Wanita itu berkelit, lalu melirik pada Mbak Susi. "Mbak, emang Mbak lihat aku nyelakain Kalila?" Yang ditanya menggeleng."Aku gak percaya," tegas Ilham, yakin pasti adiknya itu berbohong."Ya, Mas Ilham, kan, bisa tanya langsung ke Kalila." Iris Ina berpindah pada perempuan yang tengah digendong kakaknya. "Kalila, kasih tahu sama Mas Ilham, kalau kamu jatuh sendiri. Jangan ngomong yang enggak-enggak. Kecuali, kamu emang mau keluarga kita terpecah belah." Ina bicara seolah dirinya tak bersalah sama sekali."Om, Lila pusing. Lila mau istirahat aja