Ibu Pov
********************Semua pandangan beralih ke arah sumber suara. Bahkan rasanya bola mataku hampir melompat dari tempatnya, begitu mengetahui siapa yang tengah menunjukkan dirinya di hadapan kami.Amar, adik iparku. Suami Ima berdiri tegak dan mengakui diri sebagai orang yang kami cari selama ini.Dunia seakan runtuh di saat itu juga. Bencana seakan menerjang kedamaian keluargaku yang selama ini terjaga dengan rapi. Putri yang kucintai dan adik ipar yang begitu kuhargai, bersama-sama melempar kotoran di muka kami.Bugh!Belum usai keterkejutan ini, keadaan kian kacau kala kepalan tangan suamiku berhasil membuatnya terhuyung ke belakang. Dan sebelum Amar kembali menegakkan tubuh, suamiku sudah lebih dulu menghajarnya dengan membabi buta.Aku dan Bi Resti menjerit-jerit dalam ketakutan dan kecemasan. Menyaksikan kebrutalan suamiku dan kepasrahan Amar mAuthor Pov**********************Wajah dua orang yang tengah menjadi terdakwa dalam sidang keluarga tersebut, kian pias begitu ayah Kalila melontarkan sebuah pernyataan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Semua orang terdiam. Semua membisu. Tak ada satu pun yang berani bersuara. Hanya air mata yang mewakili atas segala perasaan yang dirasakan masing-masing."Ayah," panggil Kalila, takut-takut. Sang ayah menoleh tanpa menyahut.Mendapati sikap ayahnya yang seolah tidak memedulikannya, Kalila pun menghambur dan berlutut di kaki sang ayah. Perempuan itu menangis sambil memeluk kaki ayahnya dengan sangat erat."Katakan, siapa yang menikahkan kalian?" tanya ayahnya, datar dan dingin.Kalila mendongak, menatap wajah ayahnya. Telapak tangannya mengusap kedua pipinya secara bergantian. Bergerak kasar untuk menghapus lelehan bening yang membasahi wajahny
Author Pov******************Sebelum melajukan kendaraannya yang terparkir di basement, Amar mengutak-atik ponselnya mencari kontak seseorang, lalu menghubunginya."Hallo, Mas Bagas, bisakah segera datang ke Jakarta?" tanyanya, sesaat setelah panggilan diterima."Ada apa, ya? Kenapa mendadak?" jawab Bagas, berlagak tidak tahu apa-apa."Mas Ridwan sudah mengetahui pernikahanku dengan Kalila-""Apa?! Kau serius?" Bagas pura-pura terkejut mendengar penuturan Amar."Saya serius, Mas. Kalau bisa besok Mas Bagas ke Jakarta. Mas Ridwan ingin dengar penjelasan dari kita semua.""Ya, baiklah. Saya akan usahakan," pungkas Bagas, seolah-olah ia masih berada di Bogor. Padahal kenyataannya ia dan istrinya sedang berada di Jakarta.Panggilan berakhir usai Bagas memberi keputusan. Sedikit lega, namun tidak sepenuhnya. Itulah yang A
Amar's Pov****************Hari sudah gelap ketika mobil yang kukendarai, tiba di halaman rumah. Suasana sunyi rumah besar tempat tinggalku bersama Ima itu, seakan mengingatkan pada saat-saat sebelum diriku menikahi Kalila.Tak ada satu hal pun yang membuatku begitu merindukan rumah. Karena, setiap kali aku pulang, sangat jarang sekali Ima menyambutku dengan benar. Bahkan terkadang wanita itu malah tidak berada di rumah. Ia pergi-pergi sesuka hati, tanpa pernah meminta izinku sebagai suami.Aku menghela napas berat. Rasanya cintaku terhadap wanita itu seperti telah lama menghilang. Apalagi setelah aku menerima limpahan perhatian dan kasih sayang Kalila. Rumah tanggaku bersama Ima tinggallah status di atas kertas."Selamat malam, Pak!" sambut Bi Idah, asisten rumah tanggaku, usai membukakan pintu untukku."Malam, Bi. Ima ada di rumah?" tanyaku sambil terus berjalan.
Author's Pov*******************"Pagi, Mas," sapa Ima, saat Amar masuki ruang makan. Di atas meja makan berjejer aneka hidangan untuk menu sarapan pagi mereka."Pagi, Sayang," balas Amar, mendaratkan satu kecupan di keningnya. "Makanannya banyak sekali," ucapnya, seraya menggeser kursi untuk diduduki."Aku masak semua ini spesial buat kamu." Ima tersenyum manis pada suaminya."Oh ya?" "Iya, dong," sahut Ima, lalu mengambilkan nasi beserta lauk pauknya ke dalam piring sang suami. "Mas mau ke kantor?" tanyanya, menatap penampilan Amar yang sudah rapi.Gerakan tangan Amar yang hendak menyuapkan nasi pun terhenti. Pertanyaannya mengingatkan lelaki itu bahwa dirinya belum membicarakan masalah Kalila dengan istrinya.Nasi yang sudah di depan mulut pun, urung ia suapkan. Sendok kembali ia letakkan di atas piring. Amar beralih memandangi
"Kalau aku tidak bisa memiliki bayi itu, siapapun tidak ada yang boleh memilikinya."Mendengar kalimat itu dari mulut Ima, sontak membuat air muka Amar berubah menyeramkan. Meski ia tak tahu apa yang akan diperbuat istrinya. Namun, ia cukup sadar akan niat buruk yang terselip dari ucapan wanita itu."Apa maksudmu berkata begitu?" Amar menghunuskan tatapannya pada Ima.Bukannya takut, Ima justru tertawa dengan respon suaminya. Amar benar-benar tidak mengerti dengan sikap istrinya. Batinnya mulai menerka-nerka. Apakah Ima sudah gila?Dalam ketidaktahuannya, Bi Idah datang menghampiri. "Pak, kata dokter Irene, Ibu harus dibawa ke psikiater," bisik Bi Idah, menyampaikan pesan dari dokter keluarganya.Amar cukup tersentak dengan informasi yang ia terima. Apakah keadaan Ima separah itu, sampai harus ke psikiater? Jika benar begitu, itu artinya istrinya memang sakit.
Kalila's Pov****************Semilir angin menerbangkan helaian rambutku. Bunyi riak kecil air telaga menemani heningnya suasana. Duduk bersandar pada pohon kersen, menghadap ke arah telaga, seraya menggerakkan pena tinta hitamku di atas sebuah buku catatan kecil berwarna kelabu.Secara geografis telaga ini terletak di Kabupaten Kuningan. Namun, tak jarang orang mengiranya berada di Kabupaten Cirebon. Karena, memang lokasi Telaga Remis ini berada di perbatasan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan.Sembari mengedarkan pandangan ke segala arah, kutulis apa saja yang tampak oleh mata. Hijaunya air telaga, rindangnya pepohonan, juga kicau burung yang manambah kesan damai di tepian telaga.Telaga ini hanya ramai dikunjungi saat akhir pekan. Jika hari lain, seperti hari ini, maka akan tampak lengang. Hanya beberapa orang saja yang ada di tempat ini. Meskipun lokasi wisata ini tetap dibuka untuk umum, tetap saj
"Mas Amar," gumamku. Begitu melihat sosok yang yang 3 tahun lamanya tidak pernah memedulikan aku dan anaknya.Mas Amar berdiri menatap ke arah kami. Tangannya menggenggam ponsel, seperti tengah membidikkan kameranya. Tanpa pikir pajang, kulangkahkan kaki menuju padanya. Secepat ekspres kurampas ponsel dari genggamannya. Kemudian lekas menghapus semua gambar yang baru saja ia ambil. Sekilas pandangan, gambar Arla mendominasi dari seluruh yang berhasil kuhapus."Bahkan sebatas gambar pun kau tidak punya hak," ucapku, penuh penekanan sambil melempar ponsel tersebut dengan kasar.Lekas kutarik tubuh kecil Arla ke dalam gendongan, kemudian bergegas pergi dari lokasi wisata tersebut. Mengabaikan siapapun yang berada di sana. Termasuk Om Ilham dan Kirana.Tak pula kuhiraukan rengekan Arla yang menolak untuk pergi dari tempat tersebut. Ia yang tidak mengerti dengan situasi tersebut, terus menangi
"Yah ...!" Aku dan Ibu menjerit-jerit memanggilnya. Kami berlari mengejar Ayah. Berusaha mencegahnya. Namun, sayangnya Ayah sudah lebih dulu mengendarai sepeda motornya, keluar melewati gerbang rumah yang hanya terbuka sebagian.Aku menengok ke semua arah mencari sepeda motor yang satu lagi. Lalu, aku ingat bahwa sepeda motor tersebut dibawa oleh Kirana. Di garasi hanya terparkir mobil Ayah. Aku tak punya pilihan lain, selain harus mengemudi. "Bu, ambil kunci mobil," pintaku, dengan nada panik.Sementara Ibu mengambil kunci, aku membuka gerbang lebar-lebar agar lebih mudah mengeluarkan mobil."Ini kuncinya," pekik Ibu, dengan langkah tergesa-gesa.Aku segera menyambar kunci tersebut, kemudian bergegas menempati bangku kemudi. Setelah pintu tertutup, Ibu menyusul duduk di sebelahku."Ibu mau kemana?" tanyaku."Mau ikut," jawab Ibu.