Ibu Pov
**************"Bagas, kamu tahu kalau Kalila hamil?" tanyaku pada Bagas yang berada di seberang telepon."Eh, Mbak nanti aku telpon lagi, ya. Sekarang ada tamu." Bagas segera mengakhiri panggilan."Gas, tunggu. Bagas, halo. Halo, Gas ...." Berkali kupanggil pun percuma. Panggilan sudah terputus.Sikap Bagas cukup untuk menunjukkan bahwa ia mengetahui sesuatu tentang bayi Kalila. Dan aku yakin akan hal itu. "Mbak, Mbak, ada apa?" sentak Ima, sedikit membuatku terjingkat."Im, kayaknya Bagas tahu sesuatu tentang bayi Kalila," ungkapku."Masa, sih, Mbak? Emang Mas Bagas tadi bilang apa?""Bagas tanya, apa Kalila udah lahiran? Itu artinya dia tahu, kan, kalau Kalila hamil?" Ima pun mengangguki kata-kataku. "Dan Mbak juga yakin pasti Bagas tahu siapa ayah dari bayi itu," sambungku."Terus, sekarang rencana Mbak apa?""Im, sepertinya kita gak perlu tanya teman-teman Kalila. Mbak yakin Bagas tahu lebih banyak soal Kalila. Kamu bawa mobil?""Bawa.""Kalau begitu, antar Mbak ke Apartemen Kalila. Biar Mbak kasih tahu suami Mbak dulu.""Ya udah, ayo. Sekalian aku jenguk Kalila sama bayinya."Kami pun mengakhiri pembicaraan di resto tersebut. Kemudian memutuskan untuk kembali ke Apartemen dengan diantar oleh Ima.**********Ima membelokkan mobilnya menuju basement Apartemen. Kemudian memarkirnya di sana. Kami pun bergegas turun dari mobil dan melanjutkan langkah dengan menggunakan lift menuju lantai 18.Sebelumnya, aku dan Ima sudah sepakat untuk tidak sedikit pun menyinggung soal Bagas di depan Kalila. Biar nanti aku yang akan bicara dengan suamiku saat kami hanya berdua. Seperti biasa, Bi Resti yang bertugas membukakan pintu ketika ada yang membunyikan bel. Wanita baya itu, selalu saja memasang gelagat waspada setiap kali berhadapan denganku maupun suamiku. Bicara juga sangat hati-hati seperti sedang menutupi sesuatu.Namun, aku tak berniat menggali informasi darinya. Karena, aku yakin Kalila sudah mengunci rapat-rapat bibir Bi Resti dan memaksanya untuk bersikap seolah tidak tahu apa-apa."Loh, Mbak, yang tadi siapa?" tanya Ima, keheranan."Itu ARTnya Kalila," jawabku apa adanya."Astaga, Kalila punya ART? Bukannya Apartemen ini sewaan? Terus, emang gajinya cukup buat bayar semua itu?" Rentetan pertanyaan itu, lolos tanpa hambatan dari mulut adik kandungku."Aku juga gak tahu, Im. Kan, aku udah cerita ke kamu, kalau Kalila sekarang banyak berubah. Dia gak mau lagi terbuka padaku atau pada ayahnya. Selama kami di sini, dia juga lebih banyak diam." Ima memasang pendengarannya dengan tajam saat aku bicara dengan setengah berbisik.Kulihat juga, ia mengedarkan pandangan, memerhatikan setiap detail ruangan beserta segala isi dari Apartemen ini. Kurasa pikiran Ima pasti sama sepertiku ketika baru memasuki tempat ini."Apartemen ini besar sekali, Mbak. Maaf-maaf, ya, Mbak, aku kok kayak gak percaya kalau Kalila sanggup bayar sewa Apartemen ini. Ditambah lagi ada ART segala. Maaf aja, ini sih. Bukan maksudku menyepelekan Kalila." Ima, menyatakan rasa tak percayanya dengan apa yang dimiliki Kalila saat ini.Aku pun terdiam. Bukan karena tersinggung, tetapi aku pun berpikiran sama dengan Ima. "Bukan apa-apa, ya, Mbak, soalnya aku juga tahu berapa perkiraan gaji seorang staff. Bukannya sombong juga, Mbak sendiri tahu Mas Amar juga punya perusahaan. Dia punya karyawan, punya sekretaris, punya asisten. Ya, meskipun perusahaan tempat kerja Kalila lebih besar, terus atasannya juga baik, tapi aku yakin kalau masalah gaji gak akan jauh beda."Ya, benar yang dikatakan Ima. Meskipun aku tidak tahu pasti berapa gaji seorang asisten direktur, tapi aku juga tidak yakin kalau bisa memenuhi gaya hidup Kalila saat ini. "Kamu benar, Im. Aku juga sempat berpikir begitu. Tapi, yang namanya Ibu sama anak, pasti berusaha gak berburuk sangka. Biar gimana juga, Kalila itu anakku," ujarku."Iya, aku ngerti, Mbak.""Oh ya, Im, kamu kenal sama atasan Kalila itu?" Mendadak teringat dengan nama yang Ima sebutkan tadi."Ya kenal lah, Mbak. Dia, kan, rekan bisnis Mas Amar juga. Masa Mbak lupa? Yang rekomendasikan Kalila ke Pak Haryadi juga, kan, Mas Amar. Ya, udah pasti kenal. Kita juga sering ketemu kalau ada undangan acara-acara perusahaan. Aku juga kenal sama istrinya. Namanya Salma. Dia itu sekretarisnya Pak Haryadi. Sampe sekarang juga masih jadi sekretarisnya."Terlalu antusias dengan pembicaraan, aku sampai lupa mempersilahkan Ima duduk. Bukan hanya aku, Ima sendiri pun seperti tak menyadari jika sedari tadi dirinya hanya berdiri sambil meneliti setiap sudut yang tertangkap oleh pandangannya."Duduk dulu, Im. Biar Mbak kasih tahu Kalila sama suami Mbak, kalau kamu datang."Setelah memastikan Ima dalam posisi nyaman. Aku segera menuju kamar tamu, dimana suamiku kemungkinan besar berada."Yah, di depan ada Ima," kataku setelah pintu terkuak dan menampakkan suamiku yang sedang berkutat dengan laptopnya."Apa? Ima ke sini?" Suamiku terlihat kaget."Iya, dia mau jenguk Kalila," jelasku."Bu, aku malu banget kalau harus ketemu Ima.""Kenapa harus malu? Ima juga ngerti, kok. Lagian kalau Ayah gak mau nemuin Ima, yang ada Ima yang ngerasa gak enak. Dia kira Ayah marah karena Ima gak mau bantuin Kalila."Suamiku sejenak merenungi kata-kataku, hingga kemudian setuju menemui Ima. Karena, sesungguhnya semua yang terjadi pada Kalila itu di luar prediksi kami semua. Sebagai orang tua, kami juga tak luput menasihati Kalila hampir setiap saat. Agar ia bisa menjadi manusia yang berakhlak baik. Meski pada kenyataannya justru sebaliknya.**********"Apa kabar, Mas," sapa Ima, ketika aku dan suamiku sudah berada di depannya."Alhamdulillah, baik," jawab suamiku. Kemudian lanjut berbasa-basi bertanya kabar keluarga masing-masing. "Saya minta maaf atas apa yang terjadi pada Kalila. Saya tahu kesalahannya sedikit banyak akan membuatmu malu di hadapan keluargamu. Terutama suamimu," ucap suamiku, pada akhirnya harus mengakui jika apa yang terjadi pada Kalila adalah sebuah kesalahan besar."Gak usah minta maaf, Mas. Ini bukan salah Mas Ridwan, bukan salah Mbak Ira juga. Lagian semua udah kejadian begini, mau diapain lagi. Aku juga merasa bersalah, karena kemarin mengabaikan Kalila. Seharus-""Sstt ... Udah, Ima. Gak usah diterusin." Potongku, tak ingin Ima larut dalam rasa bersalahnya.Usai saling bertegur sapa dan menyampaikan beberapa patah kata, aku beranjak menuju kamar Kalila. Memberitahunya akan kunjungan Ima."Lila, ada Tante Ima di depan. Dia mau jenguk bayimu," seruku, ketika melihat Kalila sedang menggendong bayinya."Tante Ima?" tanyanya, memastikan. Tak jauh beda dengan suamiku tadi. Aku pun mengangguk sambil menyentuh pipi kemerahan bayi Arla.Tiba-tiba raut wajah Kalila berubah. Matanya mulai memerah, menunjukkan kilatan amarah."Lila gak mau ketemu Tante Ima.""Lila!" peringatku, ketika ia bersuara dengan geramnya."Kenapa?" Kalila menatap nyalang padaku. "Lila berhak bersikap begini. Dan Tante Ima pantas menerimanya. Kalau bukan karena dia, Lila gak akan seperti ini, Bu," pekik Lila, dengan lantang.______________________________________BersambungAyah Pov****************Plak!Sebuah tamparan telak mendarat di pipi tirus putriku ketika aku berhasil membuka pintu kamar Kalila."Jaga bicaramu, Kalila. Saya selalu mengajarimu untuk tidak bersikap kurang ajar." Ira membalas teriakan Kalila tak kalah lantang, usai melepaskan satu tamparan pada Kalila."Bu ...," tegurku, tak ingin istriku semakin tak terkendali.Ira menoleh padaku. "Lihat, Ayah. Lihat anak yang sudah kita besarkan. Yang sudah kita sekolahkan tinggi-tinggi. Apa yang dia dapat?" Ia kembali menghunuskan sorot tajamnya pada Kalila. "Apa, hah?" hardiknya, sampai membuat tubuh Kalila gemetar.Sembari menggendong putrinya, Kalila menangis tanpa suara. Hanya isakannya yang terdengar menyayat hati.Ya Tuhan, apa yang sudah dilakukan istriku? Bukankah saat di rumah sakit, ia memintaku untuk bersikap lebih sabar pada Kalila? Akan tetapi, yang ia lakukan saat ini justru kebalikannya. Ia bahkan tanpa memikirkan perasaan putrinya, tega melakukan tindakan yang tidak hanya menyaki
Ibu Pov****************Hingga menjelang sore, Kalila tak kunjung keluar dari kamarnya. Selama itu pula, bayi Arla tetap bersamaku. Lagipula bayi itu hanya mengonsumsi susu formula. Karena, ASI Kalila sama sekali tidak keluar. Meski sudah berbagai cara dicoba untuk memancingnya. "Yah, jaga Baby Arla dulu, ya. Ibu mau ke kamar Kalila," pintaku pada suamiku yang masih sibuk di depan komputer jinjingnya."Mau apa lagi, sih, Bu?" tanyanya, seakan tak mengizinkanku menemui putri kami."Ibu perlu bicara dengannya," tuturku."Bicara apa lagi? Sudah, biarin aja Kalila sendiri dulu. Ayah pusing kalau setiap hari kita berdebat terus sama Kalila." Suamiku melarangku menemui Kalila, dan memintaku untuk memberinya waktu menyendiri."Ibu hanya ingin minta maaf sama Kalila, karena sudah menamparnya."Suamiku mematikan layar laptopnya. Kemudian berjalan ke arahku,
Author POV************Pagi-pagi sekali Ridwan, ayah Kalila, sudah bersiap pergi ke Bogor. Tentunya tanpa sepengetahuan Kalila. Yang Kalila tahu, ayahnya akan kembali pulang ke Cirebon. Karena, ada pekerjaan penting yang harus diurusnya.Meski selama beberapa hari bersama, nyatanya tak banyak interaksi yang terjadi antara ayah dan anak tersebut. Ridwan yang merasa kecewa berat, selalu melebarkan jarak dari Kalila. Sedangkan Kalila sendiri, begitu takut apabila berhadapan dengan sang ayah. Namun demikian, Kalila tetap melepas keberangkatan sang ayah dengan mencium punggung tangannya takzim. Bahkan sebuah kalimat pengantar pun tak lupa ia sematkan."Hati-hati, Yah. Beri kabar kalau udah nyampe," ucap Kalila, sebelum sang ayah bergerak menjauh darinya.Hanya anggukan kepala yang menjadi tanggapan atas pesan sang putri. Ridwan pun segera memasuki lift menuju lantai dasar gedung
Ibu Pov******************Benakku sama sekali tak cukup puas dengan pernyataan Kalila kemarin. Ia mengatakan bahwa bayinya bukan anak haram. Tentu saja, tidak ada anak haram di dunia ini. Karena, setiap bayi terlahir tanpa dosa. Yang haram itu justru perbuatan orang tuanya. Apabila memiliki anak di luar ikatan pernikahan. Namun begitu, aku tak lagi mendebatnya. Karena, teringat pesan suamiku untuk tidak lagi ribut dengan Kalila. Akan tetapi, pertanyaan lain justru bermunculan dalam pikiranku. Apa sesungguhnya Kalila sudah menikah? Ya Tuhan, apa yang sudah ia lakukan? Jika benar demikian, bukankah pernikahan itu tidak sah? Ia anggap apa ayahnya? Ayah kandungnya, walinya yang sah, masih hidup, tapi ia menikah tanpa sepengetahuannya. Begitukah?Kulirik sekilas, Kalila yang tengah menikmati makan siangnya. Satu tangannya memegang sendok, satu lainnya menatap layar ponsel dengan begitu intens. Sesekali ponsel i
Ibu Pov********************Semua pandangan beralih ke arah sumber suara. Bahkan rasanya bola mataku hampir melompat dari tempatnya, begitu mengetahui siapa yang tengah menunjukkan dirinya di hadapan kami.Amar, adik iparku. Suami Ima berdiri tegak dan mengakui diri sebagai orang yang kami cari selama ini.Dunia seakan runtuh di saat itu juga. Bencana seakan menerjang kedamaian keluargaku yang selama ini terjaga dengan rapi. Putri yang kucintai dan adik ipar yang begitu kuhargai, bersama-sama melempar kotoran di muka kami. Bugh!Belum usai keterkejutan ini, keadaan kian kacau kala kepalan tangan suamiku berhasil membuatnya terhuyung ke belakang. Dan sebelum Amar kembali menegakkan tubuh, suamiku sudah lebih dulu menghajarnya dengan membabi buta.Aku dan Bi Resti menjerit-jerit dalam ketakutan dan kecemasan. Menyaksikan kebrutalan suamiku dan kepasrahan Amar m
Author Pov**********************Wajah dua orang yang tengah menjadi terdakwa dalam sidang keluarga tersebut, kian pias begitu ayah Kalila melontarkan sebuah pernyataan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Semua orang terdiam. Semua membisu. Tak ada satu pun yang berani bersuara. Hanya air mata yang mewakili atas segala perasaan yang dirasakan masing-masing."Ayah," panggil Kalila, takut-takut. Sang ayah menoleh tanpa menyahut.Mendapati sikap ayahnya yang seolah tidak memedulikannya, Kalila pun menghambur dan berlutut di kaki sang ayah. Perempuan itu menangis sambil memeluk kaki ayahnya dengan sangat erat."Katakan, siapa yang menikahkan kalian?" tanya ayahnya, datar dan dingin.Kalila mendongak, menatap wajah ayahnya. Telapak tangannya mengusap kedua pipinya secara bergantian. Bergerak kasar untuk menghapus lelehan bening yang membasahi wajahny
Author Pov******************Sebelum melajukan kendaraannya yang terparkir di basement, Amar mengutak-atik ponselnya mencari kontak seseorang, lalu menghubunginya."Hallo, Mas Bagas, bisakah segera datang ke Jakarta?" tanyanya, sesaat setelah panggilan diterima."Ada apa, ya? Kenapa mendadak?" jawab Bagas, berlagak tidak tahu apa-apa."Mas Ridwan sudah mengetahui pernikahanku dengan Kalila-""Apa?! Kau serius?" Bagas pura-pura terkejut mendengar penuturan Amar."Saya serius, Mas. Kalau bisa besok Mas Bagas ke Jakarta. Mas Ridwan ingin dengar penjelasan dari kita semua.""Ya, baiklah. Saya akan usahakan," pungkas Bagas, seolah-olah ia masih berada di Bogor. Padahal kenyataannya ia dan istrinya sedang berada di Jakarta.Panggilan berakhir usai Bagas memberi keputusan. Sedikit lega, namun tidak sepenuhnya. Itulah yang A
Amar's Pov****************Hari sudah gelap ketika mobil yang kukendarai, tiba di halaman rumah. Suasana sunyi rumah besar tempat tinggalku bersama Ima itu, seakan mengingatkan pada saat-saat sebelum diriku menikahi Kalila.Tak ada satu hal pun yang membuatku begitu merindukan rumah. Karena, setiap kali aku pulang, sangat jarang sekali Ima menyambutku dengan benar. Bahkan terkadang wanita itu malah tidak berada di rumah. Ia pergi-pergi sesuka hati, tanpa pernah meminta izinku sebagai suami.Aku menghela napas berat. Rasanya cintaku terhadap wanita itu seperti telah lama menghilang. Apalagi setelah aku menerima limpahan perhatian dan kasih sayang Kalila. Rumah tanggaku bersama Ima tinggallah status di atas kertas."Selamat malam, Pak!" sambut Bi Idah, asisten rumah tanggaku, usai membukakan pintu untukku."Malam, Bi. Ima ada di rumah?" tanyaku sambil terus berjalan.