Ibu Pov
*****************"Bu, itu di kamar Adek bayi ada kiriman stroller dari Bapak.""Bapak? Bapak siapa?" sambarku, secepat kilat begitu mendengar Bi Resti bicara."Bu, Bi Resti kan belum selesai bicara. Ibu dengar dulu, dong," tegur Kalila, meraih lenganku agar kembali duduk.Napasku masih naik turun merasakan emosi membakar jiwaku yang dipenuhi beragam tanya. Tak jauh beda denganku, suamiku pun yang semula duduk bersandar pada sofa, kini sudah dalam posisi tegak."Anu, Bu, maksud saya dari Bapak Haryadi."Haryadi? Siapa dia? Seperti tidak asing di telingaku."Pak Haryadi itu atasan Lila, Bu. Ibu ingat, kan? Lila sering cerita." Pandangan Kalila kembali tertuju pada Bi Resti. "Pak Haryadi ke sini sama siapa, Bi?" tanyanya kemudian."Sama istri dan anaknya yang kecil. Mereka kira Ibu sudah pulang. Tapi, nanti mereka mau datang lagi," papar Bi Resti.Kepalaku rasanya mau pecah, memikirkan semua masalah ini. Rasanya aku begitu sulit memercayai apapun yang tersuguh di hadapanku. Semua begitu penuh teka-teki. Sedangkan Kalila sendiri sampai detik ini masih enggan memberi penjelasan apapun."Jangan-jangan kau punya hubungan dengan bosmu itu," tuduh suamiku.Sontak aku pun ternganga mendengarnya. Namun demikian, tudingannya tentu beralasan. Apalagi lelaki sepertinya begitu perhatian. Sampai-sampai segera menjenguknya begitu tahu Kalila kemarin hendak melahirkan."Enggak, Yah. Itu gak mungkin," bantah Kalila, secara langsung."Kalau kalian gak ada hubungan, gak mungkin dia seperhatian itu. Jangan bermain-main dengan pria beristri, Kalila!" Suamiku bersikukuh menuduh Kalila sebagai selingkuhan Bosnya."Yah, Bu Salma itu istri Pak Haryadi sekaligus sekretarisnya. Jadi gak mungkin Lila jadi selingkuhan Pak Haryadi. Mereka berdua sama-sama atasan Lila. Mereka memang orang baik dan sangat perhatian. Kalau bukan mereka yang jadi Bos Lila, Lila pasti sudah dipecat. Karena masalah ini.""Lalu siapa ayah dari bayi kamu? Cepat katakan!" Emosi suamiku kembali membara. Kilatan amarah nampak jelas dari matanya. Perdebatan pun tak dapat dihindari. Sekalipun aku berusaha membujuknya agar tenang, tapi tetap saja sulit memadamkan api emosi yang terlanjur membakar."Cukup, Yah! Berhenti menanyakan ayah dari bayiku. Karena, sampai kapanpun Kalila gak akan mau bilang!" Kalila berteriak keras pada ayahnya. Kemudian segera berlalu pergi meninggalkan kami dengan langkahnya yang masih terseok.Kami pun kembali terduduk. Bersama-sama mengatur napas dan mengendalikan detak jantung masing-masing. Juga terlarut dalam pikiran sendiri-sendiri.Kalilaku telah banyak berubah hanya dalam waktu singkat. Lima bulan terakhir kami tidak berjumpa. Kini justru dipertemukan dalam kondisi yang jauh dari perkiraan. Rindu kami akan sosoknya yang ceria dan manja, seolah hilang seketika tergerus oleh besarnya rasa kecewa. Putri sulungku yang begitu suka meletakkan kepalanya di pangkuan ayahnya, bahkan belum sekalipun mencium punggung tangannya sejak kedatangan kami kemarin.Kedekatan dan kehangatan yang biasa tercipta saat kami bersama. Terganti dengan jarak yang Kalila bentangkan dalam sebuah rahasia. Di tengah penat dan peningnya kepala, aku kembali teringat dengan Ima. Walau bagaimanapun, tujuh tahun terakhir ini Kalila lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Tentunya sedikit banyak Ima tahu siapa saja teman atau pun orang yang dekat dengan Kalila. Siapa tahu dari sana kami bisa mengetahui siapa pria yang menghamili Kalila.Namun, dari sekian banyak tanya yang tak menemui jawabnya. Ada satu hal yang bisa kusimpulkan. Ayah dari bayi Kalila bukan orang biasa. Aku sangat yakin akan hal itu dari begitu sulitnya Kalila menyebut siapa lelaki itu sebenarnya.Segera kuraih ponsel untuk menghubungi Ima dan mengajaknya bertemu di suatu tempat. Meski tak tinggal di Jakarta, kami terbilang sering ke kota besar ini. Karena, berasal dari kota ini. Jadi, kami masih memiliki kerabat di sini. Keluargaku pun akan datang ketika ada acara penting di sini. Oleh karena itu, aku cukup tahu beberapa tempat di kota ini.**********Tiga hari kemudian aku dan Ima bertemu di sebuah resto tempo dulu yang masih mempertahankan jati dirinya, di tengah banyaknya cafe modern yang kekinian.Sementara itu, suamiku menolak ajakanku bertemu Ima. Ia masih belum berani menemui adikku itu. Rasanya dia seperti tak punya muka di depannya. Mengingat anak gadisnya yang telah mencoreng nama baik keluarga."Mbak, aku minta maaf hari itu, aku marah-marah sama Mbak. Jujur aku juga kaget waktu Kalila telpon aku minta di antar ke rumah sakit. Aku bener-bener gak bisa mikir saat itu." Ima memulai percakapan, sambil menunggu pesanan kami datang."Gak apa-apa, Im. Mbak ngerti, kok. Yang kamu bilang itu benar. Kamu pasti bakal malu di depan keluarga suamimu. Apalagi mereka itu keluarga terhormat. Mbak juga gak mau reputasi keluarga kita jadi buruk di mata keluarga Amar. Gara-gara masalah Kalila. Mbak gak keberatan kalau kamu merahasiakan masalah ini dari suamimu dan keluarganya. Mbak rasa itu lebih baik.""Iya, Mbak. Makasih atas pengertiannya," ucap Ima. "Kapan-kapan aku akan menjenguk Kalila," imbuhnya lagi."Oh, ya, suamimu ke mana? Dia belum tahu masalah ini, kan?" Aku bertanya pada adikku."Mas Amar masih di Singapur. Biasalah dia masih sibuk dengan bisnisnya. Kalau gak ke luar negri yang ke luar kota. Dia juga belum tahu masalah ini. Dan aku gak akan kasih tahu dia," jawab Ima."Ya sudah, sepertinya itu lebih baik."Obrolan kami sejenak terjeda oleh kedatangan pramusaji yang membawa pesanan makanan dan minuman untukku dan Ima."Terima kasih, Mbak," ucap Ima pada pramusaji tadi, sebelum kembali meninggalkan kami.Kami pun menikmati santap siang kami dengan tenang. Karena, setelah ini kami akan kembali membahas tentang Kalila."Im, kamu tahu gak siapa aja orang yang dekat dengan Kalila? Mungkin kita bisa cari informasi dari mereka," tanyaku usai menghabiskan makanan dan bercerita singkat bahwasannya Kalila sama sekali tidak ingin mengatakan siapa pria yang sudah menghamilinya.Sebelum Ima sempat menjawab, ponsel memekik menghentikan percakapan kami. Rupanya, Bagas, adik dari suamiku yang tinggal di Bogor memanggil."Ya, Gas," sapaku setelah panggilan terhubung."Mbak, aku telpon Mas Ridwan, kok, gak diangkat-angkat," keluh Bagas yang menanyakan suamiku."Mbak juga gak tahu, Gas. Mbak lagi di luar ini. Mas Ridwan di tempat Kalila," jawabku."Loh, Mbak Ira sama Mas Ridwan di Jakarta?" tanyanya kemudian."Iya," balasku, jujur. Akan tetapi, tak menjelaskan keperluanku di sini."Emang ada acara apa di Jakarta? Apa Kalila udah lahiran?"____________________________________BersambungIbu Pov**************"Bagas, kamu tahu kalau Kalila hamil?" tanyaku pada Bagas yang berada di seberang telepon."Eh, Mbak nanti aku telpon lagi, ya. Sekarang ada tamu." Bagas segera mengakhiri panggilan."Gas, tunggu. Bagas, halo. Halo, Gas ...." Berkali kupanggil pun percuma. Panggilan sudah terputus.Sikap Bagas cukup untuk menunjukkan bahwa ia mengetahui sesuatu tentang bayi Kalila. Dan aku yakin akan hal itu. "Mbak, Mbak, ada apa?" sentak Ima, sedikit membuatku terjingkat."Im, kayaknya Bagas tahu sesuatu tentang bayi Kalila," ungkapku."Masa, sih, Mbak? Emang Mas Bagas tadi bilang apa?""Bagas tanya, apa Kalila udah lahiran? Itu artinya dia tahu, kan, kalau Kalila hamil?" Ima pun mengangguki kata-kataku. "Dan Mbak juga yakin pasti Bagas tahu siapa ayah dari bayi itu," sambungku."Terus, sekarang rencana Mbak apa?""Im, sepertinya kita gak perlu tanya teman-teman Kalila. Mbak yakin Bagas tahu lebih banyak soal Kalila. Kamu bawa mobil?""Bawa.""Kalau begitu, antar Mbak ke Apart
Ayah Pov****************Plak!Sebuah tamparan telak mendarat di pipi tirus putriku ketika aku berhasil membuka pintu kamar Kalila."Jaga bicaramu, Kalila. Saya selalu mengajarimu untuk tidak bersikap kurang ajar." Ira membalas teriakan Kalila tak kalah lantang, usai melepaskan satu tamparan pada Kalila."Bu ...," tegurku, tak ingin istriku semakin tak terkendali.Ira menoleh padaku. "Lihat, Ayah. Lihat anak yang sudah kita besarkan. Yang sudah kita sekolahkan tinggi-tinggi. Apa yang dia dapat?" Ia kembali menghunuskan sorot tajamnya pada Kalila. "Apa, hah?" hardiknya, sampai membuat tubuh Kalila gemetar.Sembari menggendong putrinya, Kalila menangis tanpa suara. Hanya isakannya yang terdengar menyayat hati.Ya Tuhan, apa yang sudah dilakukan istriku? Bukankah saat di rumah sakit, ia memintaku untuk bersikap lebih sabar pada Kalila? Akan tetapi, yang ia lakukan saat ini justru kebalikannya. Ia bahkan tanpa memikirkan perasaan putrinya, tega melakukan tindakan yang tidak hanya menyaki
Ibu Pov****************Hingga menjelang sore, Kalila tak kunjung keluar dari kamarnya. Selama itu pula, bayi Arla tetap bersamaku. Lagipula bayi itu hanya mengonsumsi susu formula. Karena, ASI Kalila sama sekali tidak keluar. Meski sudah berbagai cara dicoba untuk memancingnya. "Yah, jaga Baby Arla dulu, ya. Ibu mau ke kamar Kalila," pintaku pada suamiku yang masih sibuk di depan komputer jinjingnya."Mau apa lagi, sih, Bu?" tanyanya, seakan tak mengizinkanku menemui putri kami."Ibu perlu bicara dengannya," tuturku."Bicara apa lagi? Sudah, biarin aja Kalila sendiri dulu. Ayah pusing kalau setiap hari kita berdebat terus sama Kalila." Suamiku melarangku menemui Kalila, dan memintaku untuk memberinya waktu menyendiri."Ibu hanya ingin minta maaf sama Kalila, karena sudah menamparnya."Suamiku mematikan layar laptopnya. Kemudian berjalan ke arahku,
Author POV************Pagi-pagi sekali Ridwan, ayah Kalila, sudah bersiap pergi ke Bogor. Tentunya tanpa sepengetahuan Kalila. Yang Kalila tahu, ayahnya akan kembali pulang ke Cirebon. Karena, ada pekerjaan penting yang harus diurusnya.Meski selama beberapa hari bersama, nyatanya tak banyak interaksi yang terjadi antara ayah dan anak tersebut. Ridwan yang merasa kecewa berat, selalu melebarkan jarak dari Kalila. Sedangkan Kalila sendiri, begitu takut apabila berhadapan dengan sang ayah. Namun demikian, Kalila tetap melepas keberangkatan sang ayah dengan mencium punggung tangannya takzim. Bahkan sebuah kalimat pengantar pun tak lupa ia sematkan."Hati-hati, Yah. Beri kabar kalau udah nyampe," ucap Kalila, sebelum sang ayah bergerak menjauh darinya.Hanya anggukan kepala yang menjadi tanggapan atas pesan sang putri. Ridwan pun segera memasuki lift menuju lantai dasar gedung
Ibu Pov******************Benakku sama sekali tak cukup puas dengan pernyataan Kalila kemarin. Ia mengatakan bahwa bayinya bukan anak haram. Tentu saja, tidak ada anak haram di dunia ini. Karena, setiap bayi terlahir tanpa dosa. Yang haram itu justru perbuatan orang tuanya. Apabila memiliki anak di luar ikatan pernikahan. Namun begitu, aku tak lagi mendebatnya. Karena, teringat pesan suamiku untuk tidak lagi ribut dengan Kalila. Akan tetapi, pertanyaan lain justru bermunculan dalam pikiranku. Apa sesungguhnya Kalila sudah menikah? Ya Tuhan, apa yang sudah ia lakukan? Jika benar demikian, bukankah pernikahan itu tidak sah? Ia anggap apa ayahnya? Ayah kandungnya, walinya yang sah, masih hidup, tapi ia menikah tanpa sepengetahuannya. Begitukah?Kulirik sekilas, Kalila yang tengah menikmati makan siangnya. Satu tangannya memegang sendok, satu lainnya menatap layar ponsel dengan begitu intens. Sesekali ponsel i
Ibu Pov********************Semua pandangan beralih ke arah sumber suara. Bahkan rasanya bola mataku hampir melompat dari tempatnya, begitu mengetahui siapa yang tengah menunjukkan dirinya di hadapan kami.Amar, adik iparku. Suami Ima berdiri tegak dan mengakui diri sebagai orang yang kami cari selama ini.Dunia seakan runtuh di saat itu juga. Bencana seakan menerjang kedamaian keluargaku yang selama ini terjaga dengan rapi. Putri yang kucintai dan adik ipar yang begitu kuhargai, bersama-sama melempar kotoran di muka kami. Bugh!Belum usai keterkejutan ini, keadaan kian kacau kala kepalan tangan suamiku berhasil membuatnya terhuyung ke belakang. Dan sebelum Amar kembali menegakkan tubuh, suamiku sudah lebih dulu menghajarnya dengan membabi buta.Aku dan Bi Resti menjerit-jerit dalam ketakutan dan kecemasan. Menyaksikan kebrutalan suamiku dan kepasrahan Amar m
Author Pov**********************Wajah dua orang yang tengah menjadi terdakwa dalam sidang keluarga tersebut, kian pias begitu ayah Kalila melontarkan sebuah pernyataan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Semua orang terdiam. Semua membisu. Tak ada satu pun yang berani bersuara. Hanya air mata yang mewakili atas segala perasaan yang dirasakan masing-masing."Ayah," panggil Kalila, takut-takut. Sang ayah menoleh tanpa menyahut.Mendapati sikap ayahnya yang seolah tidak memedulikannya, Kalila pun menghambur dan berlutut di kaki sang ayah. Perempuan itu menangis sambil memeluk kaki ayahnya dengan sangat erat."Katakan, siapa yang menikahkan kalian?" tanya ayahnya, datar dan dingin.Kalila mendongak, menatap wajah ayahnya. Telapak tangannya mengusap kedua pipinya secara bergantian. Bergerak kasar untuk menghapus lelehan bening yang membasahi wajahny
Author Pov******************Sebelum melajukan kendaraannya yang terparkir di basement, Amar mengutak-atik ponselnya mencari kontak seseorang, lalu menghubunginya."Hallo, Mas Bagas, bisakah segera datang ke Jakarta?" tanyanya, sesaat setelah panggilan diterima."Ada apa, ya? Kenapa mendadak?" jawab Bagas, berlagak tidak tahu apa-apa."Mas Ridwan sudah mengetahui pernikahanku dengan Kalila-""Apa?! Kau serius?" Bagas pura-pura terkejut mendengar penuturan Amar."Saya serius, Mas. Kalau bisa besok Mas Bagas ke Jakarta. Mas Ridwan ingin dengar penjelasan dari kita semua.""Ya, baiklah. Saya akan usahakan," pungkas Bagas, seolah-olah ia masih berada di Bogor. Padahal kenyataannya ia dan istrinya sedang berada di Jakarta.Panggilan berakhir usai Bagas memberi keputusan. Sedikit lega, namun tidak sepenuhnya. Itulah yang A