Share

Bab Dua

Ayah Pov

*****************

"Kalila melahirkan. Lebih tepatnya, mau melahirkan."

Bak dihatam palu godam, dadaku mendadak terasa sakit dan sesak. Tenggorokanku seketika tercekat, sehingga jangankan untuk bicara, bernapas pun teramat sulit.

Gusti, kenapa ini semua terjadi? Apa selama ini aku salah mendidik Kalila? 

Kalila, apa yang kau lakukan, Nak? Kenapa kau sampai hati melakukan perzinahan? Tak takutkah kau pada murka- Nya?

"Yah-"

Kutepis tangan istriku yang berusaha menguatkanku agar tetap berdiri. Bukan aku marah padanya, bukan. Aku justru malu karena tak bisa menyelematkan anak kami.

"Yah, kita ke Jakarta, ya?" pintanya, sesaat setelah aku terduduk di tepi ranjang sembari memegangi dadaku yang masih teramat sesak.

Tak ada jawaban yang bisa kuberikan atas permintaannya. Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana nantinya ketika sudah berhadapan dengan Kalila. Jujur aku sangat marah padanya saat ini. Aku takut tak bisa mengendalikan diri hingga berakhir dengan melukai fisiknya.

Namun, di sisi lain hati nuraniku terusik. Terbayang bagaimana kesulitan dia saat ini, ketika harus berjuang sendiri melahirkan seorang anak. Bahkan aku tak yakin jika lelaki yang menghamili anakku adalah orang yang bertanggung jawab. 

Karena jika demikian, tentulah dia seharusnya sudah sejak lama datang menemuiku dan melamar Kalila dengan cara baik-baik. Bukan dengan membuat masa depannya hancur seperti sekarang ini.

"Yah, Ibu mohon. Biar bagaimanapun Kalila anak kita. Dan sekarang dia sendirian. Ima bahkan tidak mau membantu Kalila. Dia tak mau ikut menanggung malu." Ira tergugu, kepalanya tertunduk di pangkuanku. Memohon dengan sangat agar mau pergi bersamanya.

Ya Allah, sungguh sakit aku mendengarnya. 

Sengaja kupejamkan mata, seraya merapalkan doa. Memohon petunjuk Sang Kuasa, agar tahu harus berbuat apa.

Dalam gelapnya pandangan ini, seraut wajah Kalila yang tengah menahan sakit berkelebatan. Seolah memanggil dan memintaku untuk menenangkannya. Ya Tuhan, bantulah hamba.

"Iya, Bu. Ayo, kita ke Jakarta." Akhirnya, sebuah keputusan kuambil atas dasar hati nurani seorang ayah.

Ira, istriku mendongak, menatapku dengan berkaca-kaca. Di pipinya masih nampak jejak-jejak air mata. Tentu saja, hatinya jauh lebih hancur dariku. Karena, selama ini kedua anakku memang lebih dekat dengan Ibu mereka. 

"Ibu siapkan pakaian Ayah. Ayah akan minta bantuan Ilham untuk menyiapkan tiket kereta." 

Setelah itu aku beranjak keluar mencoba menghubungi adik iparku yang bekerja di stasiun kereta Parujakan, Kota Cirebon.

Sebenarnya bisa saja kami pergi menggunakan mobil. Hanya saja aku takut terjadi hal yang tak diinginkan jika berkendara dalam keadaan emosi yang tidak stabil seperti saat ini. Juga waktu tempuh dengan roda empat tentunya akan lebih lama dari pada dengan kereta.

Sepanjang perjalanan menuju stasiun, dengan mobil yang dikendarai saudara istriku, Hamzah, perasaanku sungguh tak menentu. Teringat ketika Kalila masih sekolah dulu. Dia tumbuh dengan segudang prestasi, kemudian melanjutkan kuliah di salah satu Universitas di Jakarta. Dengan tinggal bersama Tantenya, Ima.

Bukankah itu adalah waktu yang cukup bagi kami untuk memercayainya? Selama kuliah hingga berhasil bekerja di perusahan besar, Kalila tak sekalipun membuat masalah. Kukira pendidikan tinggi yang ia dapat, bisa mengantarkan menjadi manusia yang mampu mempertahankan harga diri. Tapi, nyatanya apa? Kalilaku ternyata tidak mampu menjaga dirinya.

Selain itu, kejadian sebelum berangkat pun, sedikit banyak membuatku cukup merasa bersalah pula terhadap Kirana, putri keduaku. 

Dia yang baru pulang sekolah, harus menerima sambutan dengan menjadi pelampiasan amarahku.

"Kami mau ke Jakarta," jawab istriku ketika Kirana bertanya.

"Lho, emang mau apa ke Jakarta? Kenapa mendadak?" tanya Kirana lagi.

"Dengar Kiran, selama kami tidak di rumah, kau harus tinggal di rumah Nenek." Berikutnya aku yang bicara.

"Gak mau, ah. Kiran gak betah tinggal sama Nenek. Di sana kan ada Kakek juga. Kakek, tuh, otoriter," bantah anak gadisku, sambil menghentakkan kakinya.

"Kiran, kau harus menurut. Tidak boleh ada bantahan. Mulai sekarang kau harus belajar dididik secara otoriter. Karena setelah Ayah pulang, Ayah akan mendidikmu seperti Kakek."

"Gak bisa gitu, dong, Yah. Kiran Gak mau." Kiran bersikukuh menolak.

"Apa kau juga ingin melakukan hal yang sama dengan kakakmu? Kau juga ingin membuat malu keluarga?" bentakku, seketika membuat Kiran yang tidak tahu apa-apa tertunduk karena takut.

"Bu,"

"Kiran, nanti kalau Ibu sama Ayah pulang, kami akan cerita. Sekarang kamu nurut, ya? Siap-siap ke rumah Kakek. Sekalian jalan aja, karena Ibu sama Ayah nanti naik kereta."

Kulihat Kirana yang duduk di bangku samping kemudi bersama salah satu pamannya. Dia yang biasanya ceria dan banyak bicara, kini hanya terdiam tanpa ada sepatah kata pun dari mulutnya.

Sengaja kuminta Hamzah mengantar kami terlebih dahulu ke stasiun. Baru setelah itu, mengantar Kirana ke rumah Kakek Neneknya. Aku tak mau nantinya banyak pertanyaan jika mampir dulu ke rumah mereka. Karena sungguh aku tak akan bisa menjawabnya.

**********

Setelah menempuh perjalanan dengan kereta, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan taksi berlogo burung biru, menuju rumah sakit yang alamatnya sudah diberitahukan Ima pada kami sebelum berangkat.

Semakin dekat dengan tempat tujuan, semakin kacau pula pemikiranku. Entah akan bagaimana aku menghadapi putriku.

Hingga sampailah kami di rumah sakit tersebut. Kami segera menuju ruang bersalin. Di sana nampak ruangan yang di sekat dengan tirai tinggi, untuk memisahkan pasien satu dengan yang lainnya. 

Setelah bertanya pada bagian informasi, kami di tunjukkan ke salah satu bilik yang ada di antaranya. 

Nampaklah, seorang perempuan muda bedaster dengan perut besar yang tengah meringis menahan sakit ditemani seorang perawat yang setia mengusap-usap punggungnya.

"Kalila," pekik istriku, seraya menghambur memeluk putrinya.

"Ibu ...." Kalila tergugu dalam dekapan ibunya. 

___________________________

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status