Ayah Pov
*****************"Kalila melahirkan. Lebih tepatnya, mau melahirkan."Bak dihatam palu godam, dadaku mendadak terasa sakit dan sesak. Tenggorokanku seketika tercekat, sehingga jangankan untuk bicara, bernapas pun teramat sulit.Gusti, kenapa ini semua terjadi? Apa selama ini aku salah mendidik Kalila? Kalila, apa yang kau lakukan, Nak? Kenapa kau sampai hati melakukan perzinahan? Tak takutkah kau pada murka- Nya?"Yah-"Kutepis tangan istriku yang berusaha menguatkanku agar tetap berdiri. Bukan aku marah padanya, bukan. Aku justru malu karena tak bisa menyelematkan anak kami."Yah, kita ke Jakarta, ya?" pintanya, sesaat setelah aku terduduk di tepi ranjang sembari memegangi dadaku yang masih teramat sesak.Tak ada jawaban yang bisa kuberikan atas permintaannya. Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana nantinya ketika sudah berhadapan dengan Kalila. Jujur aku sangat marah padanya saat ini. Aku takut tak bisa mengendalikan diri hingga berakhir dengan melukai fisiknya.Namun, di sisi lain hati nuraniku terusik. Terbayang bagaimana kesulitan dia saat ini, ketika harus berjuang sendiri melahirkan seorang anak. Bahkan aku tak yakin jika lelaki yang menghamili anakku adalah orang yang bertanggung jawab. Karena jika demikian, tentulah dia seharusnya sudah sejak lama datang menemuiku dan melamar Kalila dengan cara baik-baik. Bukan dengan membuat masa depannya hancur seperti sekarang ini."Yah, Ibu mohon. Biar bagaimanapun Kalila anak kita. Dan sekarang dia sendirian. Ima bahkan tidak mau membantu Kalila. Dia tak mau ikut menanggung malu." Ira tergugu, kepalanya tertunduk di pangkuanku. Memohon dengan sangat agar mau pergi bersamanya.Ya Allah, sungguh sakit aku mendengarnya. Sengaja kupejamkan mata, seraya merapalkan doa. Memohon petunjuk Sang Kuasa, agar tahu harus berbuat apa.Dalam gelapnya pandangan ini, seraut wajah Kalila yang tengah menahan sakit berkelebatan. Seolah memanggil dan memintaku untuk menenangkannya. Ya Tuhan, bantulah hamba."Iya, Bu. Ayo, kita ke Jakarta." Akhirnya, sebuah keputusan kuambil atas dasar hati nurani seorang ayah.Ira, istriku mendongak, menatapku dengan berkaca-kaca. Di pipinya masih nampak jejak-jejak air mata. Tentu saja, hatinya jauh lebih hancur dariku. Karena, selama ini kedua anakku memang lebih dekat dengan Ibu mereka. "Ibu siapkan pakaian Ayah. Ayah akan minta bantuan Ilham untuk menyiapkan tiket kereta." Setelah itu aku beranjak keluar mencoba menghubungi adik iparku yang bekerja di stasiun kereta Parujakan, Kota Cirebon.Sebenarnya bisa saja kami pergi menggunakan mobil. Hanya saja aku takut terjadi hal yang tak diinginkan jika berkendara dalam keadaan emosi yang tidak stabil seperti saat ini. Juga waktu tempuh dengan roda empat tentunya akan lebih lama dari pada dengan kereta.Sepanjang perjalanan menuju stasiun, dengan mobil yang dikendarai saudara istriku, Hamzah, perasaanku sungguh tak menentu. Teringat ketika Kalila masih sekolah dulu. Dia tumbuh dengan segudang prestasi, kemudian melanjutkan kuliah di salah satu Universitas di Jakarta. Dengan tinggal bersama Tantenya, Ima.Bukankah itu adalah waktu yang cukup bagi kami untuk memercayainya? Selama kuliah hingga berhasil bekerja di perusahan besar, Kalila tak sekalipun membuat masalah. Kukira pendidikan tinggi yang ia dapat, bisa mengantarkan menjadi manusia yang mampu mempertahankan harga diri. Tapi, nyatanya apa? Kalilaku ternyata tidak mampu menjaga dirinya.Selain itu, kejadian sebelum berangkat pun, sedikit banyak membuatku cukup merasa bersalah pula terhadap Kirana, putri keduaku. Dia yang baru pulang sekolah, harus menerima sambutan dengan menjadi pelampiasan amarahku."Kami mau ke Jakarta," jawab istriku ketika Kirana bertanya."Lho, emang mau apa ke Jakarta? Kenapa mendadak?" tanya Kirana lagi."Dengar Kiran, selama kami tidak di rumah, kau harus tinggal di rumah Nenek." Berikutnya aku yang bicara."Gak mau, ah. Kiran gak betah tinggal sama Nenek. Di sana kan ada Kakek juga. Kakek, tuh, otoriter," bantah anak gadisku, sambil menghentakkan kakinya."Kiran, kau harus menurut. Tidak boleh ada bantahan. Mulai sekarang kau harus belajar dididik secara otoriter. Karena setelah Ayah pulang, Ayah akan mendidikmu seperti Kakek.""Gak bisa gitu, dong, Yah. Kiran Gak mau." Kiran bersikukuh menolak."Apa kau juga ingin melakukan hal yang sama dengan kakakmu? Kau juga ingin membuat malu keluarga?" bentakku, seketika membuat Kiran yang tidak tahu apa-apa tertunduk karena takut."Bu,""Kiran, nanti kalau Ibu sama Ayah pulang, kami akan cerita. Sekarang kamu nurut, ya? Siap-siap ke rumah Kakek. Sekalian jalan aja, karena Ibu sama Ayah nanti naik kereta."Kulihat Kirana yang duduk di bangku samping kemudi bersama salah satu pamannya. Dia yang biasanya ceria dan banyak bicara, kini hanya terdiam tanpa ada sepatah kata pun dari mulutnya.Sengaja kuminta Hamzah mengantar kami terlebih dahulu ke stasiun. Baru setelah itu, mengantar Kirana ke rumah Kakek Neneknya. Aku tak mau nantinya banyak pertanyaan jika mampir dulu ke rumah mereka. Karena sungguh aku tak akan bisa menjawabnya.**********Setelah menempuh perjalanan dengan kereta, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan taksi berlogo burung biru, menuju rumah sakit yang alamatnya sudah diberitahukan Ima pada kami sebelum berangkat.Semakin dekat dengan tempat tujuan, semakin kacau pula pemikiranku. Entah akan bagaimana aku menghadapi putriku.Hingga sampailah kami di rumah sakit tersebut. Kami segera menuju ruang bersalin. Di sana nampak ruangan yang di sekat dengan tirai tinggi, untuk memisahkan pasien satu dengan yang lainnya. Setelah bertanya pada bagian informasi, kami di tunjukkan ke salah satu bilik yang ada di antaranya. Nampaklah, seorang perempuan muda bedaster dengan perut besar yang tengah meringis menahan sakit ditemani seorang perawat yang setia mengusap-usap punggungnya."Kalila," pekik istriku, seraya menghambur memeluk putrinya."Ibu ...." Kalila tergugu dalam dekapan ibunya. ___________________________BersambungIbu Pov*****************"Ibu, Lila mohon ampun, Bu. Ampuni Lila, Lila sudah buat keluarga malu, Lila sudah buat Ibu kecewa. Ampuni Lila, Bu." Kalila meluruh ke lantai. Tangannya memeluk kedua kakiku erat. Tangisnya menggema memenuhi seluruh ruang bersalin.Tak kuasa mendengar raungan Kalila, aku pun berjongkok. Jemariku berusaha melepaskan tangan Kalila yang melingkari kakiku."Bangun, Nak. Ibu doakan persalinanmu lancar. Semoga anak ini segera lahir," ucapku seraya membantu Kalila berdiri. Luruh sudah segala bentuk amarah dan kekecewaanku pada putri sulungku itu. Menyaksikan betapa sulitnya ia saat ini, sungguh aku tak sanggup untuk memberondongnya dengan berbagai tanya yang terus bercokol dalam benakku.Suster yang sejak tadi menemani Kalila pun tak tinggal diam. Dia begitu cekatan membaringkan Kalila ke atas brangkar. Setelah itu, ia membiarkanku mengambil alih pekerjaannya mengusap punggung Kalila.Sementara itu, suamiku hanya melihat interaksi kami dari balik tirai pemisah set
Ibu Pov****************"Katakan, siapa ayah dari bayimu?"Wajah pucat Kalila kian pasi ketika ayahnya dengan tegas mempertanyakan ayah dari bayi yang beberapa jam lalu ia lahirkan ke dunia."Bu, adeknya belajar mimik dulu, ya. Buat mancing ASI juga, supaya cepat keluar."Tiba-tiba seorang perawat masuk membawa kereta bayi. Kulihat di lorong ruangan itu juga ada banyak perawat lain yang masing-masing memegang satu kereta, menuju kamar rawat ibu para bayi yang berada di dalamnya. Mungkin saat ini jadwal para ibu menyusui bayi mereka. Meskipun ASI Kalila belum ada, perawat menyarankan agar puting ibu tetap diberikan pada bayi. Hal tersebut dapat memancing ASI segera keluar. Dengan sangat terpaksa, suamiku pun keluar dari kamar rawat Kalila yang kebetulan hanya ditempati sendiri. Sedangkan beberapa ranjang di sebelahnya masih nampak kosong.Anak gadisku yang kini sudah punya anak itu pun menyeka sudut netranya yang basah. Aku tahu betul ia sangat takut berhadapan dengan ayahnya. Tapi,
Ibu Pov****************Gerak tanganku terhenti untuk menanti jawaban Kalila. Akan tetapi, beberapa saat menunggu, Kalila tak kunjung bersuara. Dia malah sibuk mengecupi pipi merah bayinya.Entah ia tak mendengar pertanyaanku, atau cuma berpura-pura tak tak mendengar. Yang terlihat hanya sikap Kalila yang seperti begitu menyayangi putrinya. Sehingga tak memedulikan yang lain. Jelas sekali dari senyuman yang tercetak di bibirnya saat memandangi wajah bayinya."Lila, ayo bersiap pulang," tegurku pada Kalila yang terlihat tidak memerhatikan apapun di sekitarnya. Fokusnya hanya tertuju pada bayi merah yang lahir menjelang malam kemarin.Kalila tersentak mendengar suaraku, namun segera menjawab, "Iya, Bu." Kemudian beringsut dari tempat tidur khas rumah sakit tersebut."Sini bayinya biar Ibu yang gendong. Kamu duduk di kursi roda. Jangan jalan takut jahitannya lepas," ujarku, dengan kedua tangan meraih bayi dari gendongan Kalila."Arla, Bu. Namanya Arla." Kalila menyebutkan nama anaknya s
Ibu Pov*****************"Bu, itu di kamar Adek bayi ada kiriman stroller dari Bapak.""Bapak? Bapak siapa?" sambarku, secepat kilat begitu mendengar Bi Resti bicara."Bu, Bi Resti kan belum selesai bicara. Ibu dengar dulu, dong," tegur Kalila, meraih lenganku agar kembali duduk.Napasku masih naik turun merasakan emosi membakar jiwaku yang dipenuhi beragam tanya. Tak jauh beda denganku, suamiku pun yang semula duduk bersandar pada sofa, kini sudah dalam posisi tegak."Anu, Bu, maksud saya dari Bapak Haryadi."Haryadi? Siapa dia? Seperti tidak asing di telingaku."Pak Haryadi itu atasan Lila, Bu. Ibu ingat, kan? Lila sering cerita." Pandangan Kalila kembali tertuju pada Bi Resti. "Pak Haryadi ke sini sama siapa, Bi?" tanyanya kemudian."Sama istri dan anaknya yang kecil. Mereka kira Ibu sudah pulang. Tapi, nanti mereka mau datang lagi," papar Bi Resti.Kepalaku rasanya mau pecah, memikirkan semua masalah ini. Rasanya aku begitu sulit memercayai apapun yang tersuguh di hadapanku. Semu
Ibu Pov**************"Bagas, kamu tahu kalau Kalila hamil?" tanyaku pada Bagas yang berada di seberang telepon."Eh, Mbak nanti aku telpon lagi, ya. Sekarang ada tamu." Bagas segera mengakhiri panggilan."Gas, tunggu. Bagas, halo. Halo, Gas ...." Berkali kupanggil pun percuma. Panggilan sudah terputus.Sikap Bagas cukup untuk menunjukkan bahwa ia mengetahui sesuatu tentang bayi Kalila. Dan aku yakin akan hal itu. "Mbak, Mbak, ada apa?" sentak Ima, sedikit membuatku terjingkat."Im, kayaknya Bagas tahu sesuatu tentang bayi Kalila," ungkapku."Masa, sih, Mbak? Emang Mas Bagas tadi bilang apa?""Bagas tanya, apa Kalila udah lahiran? Itu artinya dia tahu, kan, kalau Kalila hamil?" Ima pun mengangguki kata-kataku. "Dan Mbak juga yakin pasti Bagas tahu siapa ayah dari bayi itu," sambungku."Terus, sekarang rencana Mbak apa?""Im, sepertinya kita gak perlu tanya teman-teman Kalila. Mbak yakin Bagas tahu lebih banyak soal Kalila. Kamu bawa mobil?""Bawa.""Kalau begitu, antar Mbak ke Apart
Ayah Pov****************Plak!Sebuah tamparan telak mendarat di pipi tirus putriku ketika aku berhasil membuka pintu kamar Kalila."Jaga bicaramu, Kalila. Saya selalu mengajarimu untuk tidak bersikap kurang ajar." Ira membalas teriakan Kalila tak kalah lantang, usai melepaskan satu tamparan pada Kalila."Bu ...," tegurku, tak ingin istriku semakin tak terkendali.Ira menoleh padaku. "Lihat, Ayah. Lihat anak yang sudah kita besarkan. Yang sudah kita sekolahkan tinggi-tinggi. Apa yang dia dapat?" Ia kembali menghunuskan sorot tajamnya pada Kalila. "Apa, hah?" hardiknya, sampai membuat tubuh Kalila gemetar.Sembari menggendong putrinya, Kalila menangis tanpa suara. Hanya isakannya yang terdengar menyayat hati.Ya Tuhan, apa yang sudah dilakukan istriku? Bukankah saat di rumah sakit, ia memintaku untuk bersikap lebih sabar pada Kalila? Akan tetapi, yang ia lakukan saat ini justru kebalikannya. Ia bahkan tanpa memikirkan perasaan putrinya, tega melakukan tindakan yang tidak hanya menyaki
Ibu Pov****************Hingga menjelang sore, Kalila tak kunjung keluar dari kamarnya. Selama itu pula, bayi Arla tetap bersamaku. Lagipula bayi itu hanya mengonsumsi susu formula. Karena, ASI Kalila sama sekali tidak keluar. Meski sudah berbagai cara dicoba untuk memancingnya. "Yah, jaga Baby Arla dulu, ya. Ibu mau ke kamar Kalila," pintaku pada suamiku yang masih sibuk di depan komputer jinjingnya."Mau apa lagi, sih, Bu?" tanyanya, seakan tak mengizinkanku menemui putri kami."Ibu perlu bicara dengannya," tuturku."Bicara apa lagi? Sudah, biarin aja Kalila sendiri dulu. Ayah pusing kalau setiap hari kita berdebat terus sama Kalila." Suamiku melarangku menemui Kalila, dan memintaku untuk memberinya waktu menyendiri."Ibu hanya ingin minta maaf sama Kalila, karena sudah menamparnya."Suamiku mematikan layar laptopnya. Kemudian berjalan ke arahku,
Author POV************Pagi-pagi sekali Ridwan, ayah Kalila, sudah bersiap pergi ke Bogor. Tentunya tanpa sepengetahuan Kalila. Yang Kalila tahu, ayahnya akan kembali pulang ke Cirebon. Karena, ada pekerjaan penting yang harus diurusnya.Meski selama beberapa hari bersama, nyatanya tak banyak interaksi yang terjadi antara ayah dan anak tersebut. Ridwan yang merasa kecewa berat, selalu melebarkan jarak dari Kalila. Sedangkan Kalila sendiri, begitu takut apabila berhadapan dengan sang ayah. Namun demikian, Kalila tetap melepas keberangkatan sang ayah dengan mencium punggung tangannya takzim. Bahkan sebuah kalimat pengantar pun tak lupa ia sematkan."Hati-hati, Yah. Beri kabar kalau udah nyampe," ucap Kalila, sebelum sang ayah bergerak menjauh darinya.Hanya anggukan kepala yang menjadi tanggapan atas pesan sang putri. Ridwan pun segera memasuki lift menuju lantai dasar gedung