Bohong bila Sheyra berkata tidak masalah mengenai kepergian Kafka ke benua seberang untuk meraih impiannya. Kenyataannya, hal itu hanya terucap di bibirnya saja dan tidak dengan hatinya. Jika boleh meminta, Sheyra ingin Kafka melanjutkan studinya masih dalam tanah air saja, tidak sampai harus ke luar negeri yang jaraknya begitu jauh dari jangkauan.
Namun, ketika mendengar Kafka menceritakan segala mimpi-mimpinya yang telah laki-laki itu susun dengan sedemikian rupa, rasanya Sheyra tidak berhak untuk melarang dan mencegahnya.Seperti Kafka yang mempunyai mimpi, begitu juga dengan Sheyra. Dia selalu bermimpi setelah lulus kuliah nanti, Sheyra ingin bekerja dan mengumpulkan uang untuk modal menikah dan bisa hidup bersama Kafka setiap harinya. Menghabiskan waktu bersama, membicarakan tentang semuanya di bawah satu atap yang sama, dan masih banyak impian-impian lainnya yang ingin Sheyra lakukan bersama Kafka.Mungkin karena hanya Kafka, satu-satunya manusia yang bisa Sheyra jadikan sebuah rumah ternyaman nya. Laki-laki itu mampu memahami Sheyra lebih dari ayahnya sendiri. Kafka tak hanya menjadi kekasihnya, melainkan telah menjadi teman hidup Sheyra juga. Oleh karena itu, Sheyra ingin Kafka menjadi teman di seumur hidupnya dengan meresmikan hubungan menuju ke jenjang yang lebih serius.Namun, ekspektasi manis itu terkadang tak selalu berjalan sesuai realita. Kenyataannya, hanya Sheyra yang menginginkan pernikahan itu cepat dilaksanakan sementara Kafka menginginkan mengejar mimpinya terlebih dahulu. Padahal, bukankah Kafka dan Sheyra bisa mengejar mimpi bersama setelah menikah nanti?"Sheyra?" panggil sebuah suara yang membuat lamunan Sheyra tersentak. Bergerak, Sheyra memindai sekitar dan dia mendapati jika seluruh keluarganya telah berkumpul di meja makan. Bukan! Maksud Sheyra bukan keluarganya, melainkan keluarga papanya."Kamu jauh-jauh dari kost ke sini cuma mau melamun?" tanya Tante Utari, istri papanya yang tidak lain merupakan ibu tiri Sheyra.Nada suara Tante Utari tidaklah sinis, melainkan terkesan lembut. Namun, entah mengapa Sheyra selalu menangkap nada tak suka dari ibu tirinya itu setiap kali sang Papa mengundangnya untuk melakukan makan malam bersama."Udah, Ma. Mungkin Sheyra memang sedang banyak pikiran," ujar sang Papa berniat menengahi perang di antara anak dan istrinya itu."Banyak pikiran kenapa? Dia kuliah sama ngekost juga dibayarin Papa. Hidupnya udah enak. Kurang apa coba?"Sheyra mengepalkan telapak tangannya dengan erat dan menggigit bibirnya setelah mendengar perkataan dari ibu tirinya itu. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menelusup masuk menuju relung kalbunya."Memangnya kalau keliatannya nggak punya beban, nggak boleh melamun ya, Ma?" sahut Radit, saudara tiri Sheyra dari pernikahan sang Ayah dengan Tante Utari."Nggak boleh lah. Ngelamunin apa emangnya?" ketus Tante Utari yang membuat Radit menggeleng pelan."Banyak lah. Bisa aja, Kak Sheyra lagi ngelamunin Mama karena sikap Mama selalu gitu ke Kakak."Sheyra pun melirik ke arah Radit yang kini telah mengambil posisi duduk pada kursi yang berhadapan dengannya, yang hanya dibatasi dengan sebuah meja. Radit mengerlingkan satu matanya kemudian tersenyum manis menatap Sheyra. "Iya nggak, Kak?" tanya remaja yang baru duduk di kelas sepuluh itu sambil mengangkat satu alisnya.Seketika, Sheyra melotot kesal yang justru membuat Radit terkekeh pelan. Adiknya itu memang senang sekali menjahilinya. Walau demikian, Sheyra tidak menjadikannya suatu masalah. Justru, dia menganggap bahwa sikap Radit itu merupakan sikap refleks sebagaimana adik menjahili kakaknya. Karena sikap Radit itulah, perasaan Sheyra yang semula tidak nyaman, berubah menjadi lebih baik saat berada di rumah 'ayah dan keluarga barunya'."Udah ... Udah. Kita makan dulu ya. Nanti keburu dingin." Papa menginterupsi semuanya guna menghentikan perdebatan yang selalu terjadi di meja makan itu.Beruntung, Utari tak lagi ingin menyerang Sheyra begitu juga Radit yang akhirnya menurut pada perintah sang Papa. Makan malam pun berjalan dengan lancar sampai semuanya menandaskan makanan yang terhidang di atas meja.Tidak berapa lama, seorang ART di rumah papanya datang untuk membereskan alat-alat makan yang kotor dan membawanya ke belakang. Setelah meja makan kembali dalam keadaan bersih dan hanya menyisakan keranjang berisi buah-buahan beraneka jenis itu, sang Papa pun berdehem, pertanda akan ada pembicaraan yang serius."Kamu .. acara wisudanya kapan?" tanya Papa yang tertuju pada Sheyra."Masih dua minggu lagi, Pa," jawab Sheyra sambil berusaha mengulas senyum tipisnya.Sang Papa pun tampak mengangguk-angguk dengan alis yang saling bertaut, seperti sedang memikirkan sesuatu yang tidak Sheyra ketahui."Sepertinya, Papa nggak bisa datang di acara wisuda kamu. Nggak tau kalau Mama—""Aku juga nggak bisa, Pa. Sibuk," sela Tante Utari cepat.Sheyra tersenyum getir dengan dada yang menahan sesak karena ribuan belati seperti sedang menghujam ulu hatinya. "Nggak papa, Pa. Lagian, acara gitu-gitu cuma formalitas aja. Aku juga nggak tau mau datang atau nggak. Yang penting 'kan aku udah bener-bener lulus dan menyelesaikan studiku," jawab Sheyra berusaha menguatkan dirinya sendiri."Baguslah. Jadi, kamu nggak buat repot keluarga.""Ma," tegur Radit dengan suara yang pelan, mungkin agar tak terkesan membentak mamanya yang telah berbicara seenaknya saja.Tante Utari justru membuang muka setelah sebelumnya menatap sengit ke arah Sheyra."Nggak papa, Kak. Nanti biar aku yang datang ke acara wisuda Kakak," ucap Radit dengan senyuman yang membuat Sheyra pun ikut tersenyum sambil menatap Radit dengan hangat."Nggak boleh. Kalau kamu datang ke acara itu gimana sekolah kamu?" sela Tante Utari tampak kesal dengan keputusan putranya yang sangat berseberangan dengan jalan pikiran beliau."Tinggal izin ke guru aja, Ma. Gampang," balas Radit tanpa beban sambil menjentikkan ibu jarinya pada telunjuk.Hal itu membuat Tante Utari marah dan meninggalkan meja makan lebih dulu. Melihat kepergian istrinya itu, sang Papa pun menyusul hingga di meja makan itu menyisakan Sheyra dan Radit saja. "Makasih ya, Dit," ujar Sheyra terharu.Radit mengangguk tersenyum sambil mengangkat ibu jarinya, jumawa."Kakak pulang dulu ya, Dit," pamit Sheyra, setelah di rasa tidak ada lagi keperluannya di sana."Yaah. Kenapa nggak nginep aja sih, Kak?" pinta Radit memohon, tetapi segera mendapat jawaban dari Sheyra berupa sebuah gelengan kepala."Kakak pergi dulu ya. Habis ini, kamu langsung tidur, jangan kebanyakan main game."Setelah berkata demikian, Sheyra pun beranjak dari duduknya kemudian melambaikan tangan sebagai salam perpisahan atas berakhirnya perjumpaan Sheyra dengan Radit.Ketika langkah kakinya sudah melewati gerbang rumah mewah tersebut, saat itu juga Sheyra tak mampu membendung perasaan marah dan kecewanya pada sang Papa. Dia meluapkannya dengan menangis sampai tetes demi tetes air matanya mengalir begitu deras membasahi pipi."Nggak papa, Shey. Nggak papa," gumam Sheyra berusaha menenangkan dirinya sendiri.Namun karena ucapan dirinya sendirilah, Sheyra merasa telah menjadi manusia yang paling menyedihkan. Dia selalu berusaha berkata 'tidak apa-apa' pada setiap hal yang berada di luar kendalinya dan hal itu semakin membuat perasaannya hancur sampai tak berbentuk.Setelah cukup tenang, Sheyra pun mengotak-atik ponselnya untuk memesan ojek online. Dia ingin segera pulang ke kamar kost nya kemudian bisa menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan perasaan tak nyamannya.****"Makasih, Pak," ucap Sheyra saat ojek yang mengantarnya telah sampai di depan pagar kostnya dan bersiap untuk pergi demi mencari penumpang baru lagi."Sama-sama, Mbak."Setelah itu, Sheyra pun berbalik dan berniat untuk masuk. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara seseorang memanggil namanya."Sheyra!"Ketika Sheyra menoleh ke samping kiri, dia mendapati sosok Kafka yang tengah duduk di jok motornya sambil melemparkan tatapan sendu ke arahnya. "Kafka?" gumam Sheyra yang membuat laki-laki itu tersenyum padanya."Harusnya, tadi kamu minta aku yang jemput," ucap Kafka sambil berjalan mendekati Sheyra yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Dia sengaja menunggu Sheyra di depan kost,an dan ingin memastikan jika kekasihnya itu dalam keadaan baik-baik saja setelah dari rumah papanya.Tentunya bukan tanpa sebab Kafka melakukan hal itu. Karena sepanjang yang dia tahu, 'makan malam' yang papa Sheyra adakan itu selalu membuat kekasihnya pulang dalam keadaan bersedih. Tak jarang, Kafka menemukan Sheyra dalam keadaan mata bengkak, hidung memerah, dan begitu kacau, seperti malam ini.Tanpa Sheyra bercerita panjang lebar, Kafka sudah mengerti jika di rumah papanya, Sheyra kembali mendapatkan sesuatu yang menyakiti perasaanya.Sheyra tersenyum ketika menemukan wajah Kafka sudah lebih dekat dari jangkauannya, sehingga dia bisa menatapnya dengan puas. Namun, sebuah sentuhan di punggung tangannya membuat Sheyra menunduk dan mendapati telapak tangan Kafka sedang bergerak menggenggam tangannya."Lagi sedih ya?" tebak Kafka sambil satu tangannya yang lain menyentuh pipi Sheyra.Mendapat pertanyaan seperti itu, sontak saja membuat bibir Sheyra melengkung ke bawah dengan pandangan mata yang mulai berkaca-kaca."Mau jalan-jalan nggak? Kebetulan, malam ini aku bawa motor," ajak Kafka berusaha menghibur kekasihnya.Tidak sulit untuk membuat Sheyra kembali ceria. Terbukti saat Kafka selesai melontarkan tanya, perempuan itu seketika tersenyum lebar dengan matanya yang berbinar. "Mau seblak," ucapnya yang membuat Kafka terkekeh renyah."Oke. Malam ini kita akan kulineran."Bersambung..'Pada akhirnya, kita semua butuh pulang pada satu tubuh yang mampu melerai segala jenuh, telinga yang mendengarkan segala keluh kesah yang tertahan, dan membutuhkan pelukan hangat sebagai pengisi tenaga untuk menjalani kehidupan esok dengan baik-baik saja.'"Udah kenyang belum?" tanya Kafka saat Sheyra sudah menghabiskan semangkuk bakso, seblak, cilok, dan yang sedang dimakan Sheyra saat ini adalah telur gulung. Sheyra mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya kemudian mengelus perutnya yang sudah penuh terisi oleh aneka jajanan di pinggir jalan. "Kenyang banget," jawabnya setelah berhasil mengunyah satu tusuk telur gulungnya yang terakhir. "Bisa gendut kalau terus-terusan begini," keluh Sheyra sambil menyeruput minuman manis rasa coklat favoritnya. Kafka yang gemas pun sontak mengacak rambut Sheyra pelan. "Nggak papa. Biar kamu gendut, aku tetep cinta." Mendengar ucapan dari kekasihnya itu pun membuat Sheyra mengulas senyum, merasa bersyukur karena Tuhan telah mengirim seseoran
Sheyra masih setia menatap gerbang kampus di mana calon wisuda dan wisudawan masih terus berdatangan, tentunya bersama orang tua mereka. Dan di antara lalu-lalang orang-orang itu, Sheyra masih berharap jika sosok papanya akan muncul dan memanggil namanya saat mengetahui Sheyra telah menunggu tidak jauh dari sana. Dia masih terus berdoa, berharap papanya mau meluangkan waktunya walaupun itu hanya sebentar dan berharap jika papanya itu mau menebus ketidakhadiran beliau di saat-saat hari terpenting dalam hidup Sheyra. Namun hingga menit demi menit yang berlalu, sosok papa yang selama ini sangat Sheyra rindukan kehadirannya itu tak kunjung menampakkan diri. Hal itu seketika membuat Sheyra teringat pada hari kelulusannya di mana di setiap acara tersebut, sang Papa tidak pernah hadir untuk memberikan apresiasi untuknya. Selalu seperti itu dan Sheyra harus kembali menelan kekecewaan yang begitu dalam. Merasa tidak ada lagi yang bisa Sheyra harapkan, dia pun segera berbalik untuk kemudian
"Karena mungkin hari ini adalah hari terakhir gue liat lo di Indonesia, jadi gue mau kasih hadiah juga buat lo," ucap Arya tengil dan hal itu tentunya membuat Kafka tertawa. "Seneng banget lo ya, kalau gue mau ke luar negeri?" jawab Kafka, tak urung menerima kotak hadiah yang Arya angsurkan padanya. Kemudian, Kafka pun kembali berkata. "Makasih ya, Ar. Hadiah buat lo, nanti gue kirim via ekspedisi. Semoga sih, nggak transit dulu di DC Cakung ya." Arya pun tertawa begitu juga Sheyra. "Emang, lo mau kasih gue hadiah apa?" tanya Arya penasaran. "Rencananya, gue mau paketin bule Australia buat lo. Biar lo nggak jomblo lagi," ledek Kafka yang membuat Arya seketika mendengkus secara terang-terangan. "Ogah. Gue nggak doyan bule. Gue lebih suka produk lokal karena biasanya lebih unggul," sahut Arya sambil menatap Sheyra, tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena ternyata, Sheyra juga sedang menatapnya sambil tersenyum. Segera, Arya memalingkan muka agar tak terlalu kentara jika produk
~Takdir sengaja dibuat rahasia di luar batas mampu manusia, agar yang berjuang tidak kehilangan semangatnya, dan yang berhasil tidak kehilangan rendah hatinya~Sheyra sudah duduk di kursi panjang berjajar yang disediakan di area terminal keberangkatan internasional untuk menunggu Kafka yang saat ini tengah melakukan check-in. Pesawatnya akan take off tiga jam lagi, tetapi kekasihnya itu harus sudah berada di bandara untuk melakukan berbagai prosedur penerbangan. Sejak tadi, Sheyra tak henti-hentinya menatap ke arah di mana tubuh Kafka menghilang. Dia merasa resah dan gelisah, karena laki-laki itu sudah pergi hampir setengah jam lamanya dan belum juga kembali. Dia hela napasnya kasar untuk kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. Gerak kakinya juga masih mengetuk-ngetuk lantai disertai giginya yang menggigit ujung-ujung kuku guna menghilangkan kegelisahan yang sedang menderanya. Sekitar lima belas menit kemudian, sosok Kafka akhirnya muncul dan hal itu mampu membuat Sheyra bisa
Kafka pergi, bukan berarti Sheyra harus terpuruk setiap hari. Seperti Kafka yang berniat mengejar cita-citanya, maka Sheyra pun akan melakukan hal yang sama. Dia akan mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang pernah dia pelajari selama empat tahun ini, agar waktu belajarnya selama itu tidak berakhir dengan sia-sia. Setelah dua minggu kepergian Kafka, Sheyra pun mulai mengirimkan surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan yang bisa menjadi naungannya mencari uang. Dan untuk mengisi kekosongan waktunya yang saat ini masih menjadi pengangguran—karena surat lamaran kerjanya belum ada yang di terima, Sheyra akhirnya memilih menghabiskan waktunya dengan melakukan hal-hal yang positif. Dia berusaha menyibukkan diri dengan melakukan olahraga pagi, membantu ibu kost menyiram bunga, membantu ibu kost membereskan kebun, dan Sheyra pun kembali melakukan hobinya di dunia pemotretan. Ya walaupun dirinya masih belum tergolong sebagai fotografer handal, tetapi di setiap jepretan yang dilakuk
Di Melbourne, Australia. Kafka menatap kesal pada sepupunya karena sudah mengganggu waktunya yang sedang menelepon Sheyra. "Kenapa sih? Mau ngomong hal penting apa sampai kamu masuk ke kamarku tanpa ketuk pintu dulu?" ketus Kafka sambil membanting ponselnya di atas kasur dengan kasar, tentunya setelah panggilan video itu terputus. "Gitu aja kok marah. Lagian, aku gini juga disuruh sama Tante Diana. Katanya, Tante mau ngomong penting sama kamu," jawab Laura, sepupu dari adik sang Papa.Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Kafka pun keluar dari dalam kamarnya dan meninggalkan Laura begitu saja. Hal tersebut tentunya membuat gadis yang saat ini sedang menjalani pendidikan kuliah semester empat itu pun mendengkus kencang melihat tingkahnya. "Kenapa, Ma?" tanya Kafka langsung pada intinya, sesaat setelah kakinya tiba di dapur di mana sang Mama berada. Mamanya itu tampak melirik Kafka sekilas sebelum akhirnya memintanya untuk duduk. "Duduk!" titah beliau yang tampak menunjukkan raut ser
Semenjak Kafka berpamitan untuk menutup segala bentuk sosial media guna berkomunikasi jarak jauh, di hari-hari berikutnya itulah, Sheyra harus menjalani hidup sendiri dengan perasaan hampa dan sunyi. Dia benar-benar merasa sendiri tanpa adanya seseorang yang menemani. Bahkan, semenjak acara kelulusannya itu, ayahnya pun tak lagi menghubungi apalagi menemui keberadaan Sheyra saat ini. Sungguh, Sheyra sudah selayaknya anak yang terbuang dan tak diinginkan kehadirannya, pun merasa bila semua orang yang berada di sekitarnya, satu per satu menghilang dari jalan takdir kehidupannya. Hari ini, tepat dua bulan kepergian Kafka dan dalam kurun waktu tersebut, Sheyra merasakan waktu berjalan dengan sangat lama. Mungkin juga karena gairah hidupnya yang tak lagi menggebu-gebu seperti sediakala. Dia telah kehilangan semangat dalam hidupnya. Siang itu, sang Bentala di guyur hujan lebat disertai angin yang tak terlalu kencang, tetapi kekuatannya itu mampu menerbangkan titik-titik hujan hingga seti
Mungkin, ini merupakan akhir bagi Sheyra untuk bertahan hidup karena dia sudah tidak tahu lagi harus bertindak seperti apa kedepannya. Karena hamil tanpa suami dan tanpa sebuah ikatan pernikahan yang sah, merupakan pukulan telak baginya. Pernah terbesit dalam pikirannya, haruskah dia menggugurkan kandungannya? Atau justru, lebih baik mengakhiri hidupnya sendiri? Namun, saat keinginan itu sudah benar-benar bulat, seketika hati kecilnya berkata bahwa hal itu akan semakin membawanya ke dalam neraka. Sudah membuat calon bayinya tiada, belum lagi dirinya yang berniat mengakhiri hidup, yang tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan dari Tuhan. Akhirnya yang bisa dia lakukan sekarang ini hanyalah mengurung diri di dalam kamar kost dan akan keluar saat bahan makanan untuk bertahan hidup telah habis. Sudah terhitung hampir satu bulan Sheyra melakukan hal tersebut dan perbuatannya itu tentu akan menguras isi tabungannya secara perlahan-lahan. Terbukti, uang tabungannya itu
"Pumping ASI-nya yang banyak sekalian, Shey."Mendengar itu, Sheyra pun sontak menggelengkan kepala sambil terkekeh pelan. "Aku nggak lama kok, Ma. Habis dari makam rencananya mau langsung pulang. Sekalian biar Arya bisa istirahat di rumah. Mumpung lagi hari Minggu," ujarnya menjelaskan. Bu Hanum yang sedang menimang-nimang Aksa di dekat pintu balkon kamarnya pun sontak berjalan mendekat dengan bibir beliau yang terlihat mencebik. "Lama juga nggak papa, Shey. Udah lama juga kamu nggak pergi jalan sama Arya. Soal Aksa, kamu tenang aja. Mama akan jaga cucu Mama dengan baik. Makanya, Mama suruh kamu untuk pumping ASI lebih banyak, takutnya Aksa lahap banget minumnya." Sheyra mendongak kaget. Kedua matanya pun berkedip-kedip lama dengan kondisi bibir yang terbuka. Dalam benaknya pun bertanya-tanya mengenai, hal baik apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga di masa kini dia mendapatkan seorang ibu dan ayah mertua yang selayaknya orang tua kandung? "Mama ... Nggak papa aku titipin
Sheyra baru keluar dari kamar mandi dengan kondisi tubuh yang lebih segar. Dia masih mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya serta sebuah handuk kecil yang melilit di atas kepala, guna mengeringkan rambutnya yang basah karena baru saja keramas. Ketika melirik pada ranjang bayi, putranya itu masih terlelap. Mungkin karena pukul tiga pagi tadi Aksa terbangun dan sempat bermain sebentar dengan Arya. Setelah itu, baik Aksa maupun Arya, keduanya sama-sama kembali tidur hingga membuat keduanya belum juga bangun padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Pandangannya pun beralih pada Arya yang masih bergelung fi bawah selimut tebalnya. Bibirnya seketika mengulas senyum manis sedangkan kakinya memutuskan berjalan mendekat dan berakhir duduk di pinggiran ranjang. "Arya? Bangun. Udah siang. Nanti kamu telat ke kantor loh," pinta Sheyra dengan suara lembutnya. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengganggu tidur nyenyak suaminya karena dia hanya menggeliat sambil membalik
Sudah tiga hari ini Arya masih mendiamkan Sheyra. Bahkan, selama tiga hari itu juga Arya tidur di kamar yang berbeda. Dia hanya akan masuk ke kamarnya ketika butuh mengambil pakaian ganti dan barang-barang pribadi yang dibutuhkan untuk bekerja. Atau, sesekali akan masuk ketika mendengar Aksa menangis karena Arya selalu berhasil menenangkan sang Putra dan membuatnya kembali tertidur pulas. Malam ini, Sheyra tidak akan membiarkan Arya tidur di kamar lain lagi. Dia akan berusaha untuk membujuk suaminya itu agar mau berbaikan lagi. Karena mendapati sikap Arya yang seperti itu, justru sangat tidak nyaman dan membuat Sheyra ketakutan. Entahlah. Semenjak Arya bersikap cuek dan tak peduli padanya, sejak itu juga Sheyra merasa telah kehilangan sosok yang selalu menjaganya. Namun karena hal itu juga, Sheyra menjadi sadar bahwa kehadiran Arya di sisinya yang akan selalu memberikan dukungan serta mau mendengar segala keluh kesahnya itu adalah hal yang sangat dirinya butuhkan. Dan bisa dikataka
Dua minggu kemudian, kondisi kesehatan Bu Diana sudah semakin membaik, dan saat Kafka berkonsultasi pada dokter mengenai kepulangan mamanya ke Indonesia, dokter pun mengizinkan. Dengan catatan, mamanya itu harus tetap meminum obat yang sudah diresepkan tanpa boleh terlambat satu jam pun. "Segera pesankan tiket, Ka. Mama udah nggak mau tinggal di negara ini lagi," pinta Bu Diana sambil menatap kosong pada pemandangan di luar jendela. Setelah kepulangan Bu Diana dari rumah sakit itu, Pak Hardy belum menemui beliau lagi yang saat ini memilih tinggal di apartemen Richelle untuk sementara waktu. Entahlah. Mengapa suaminya itu bisa melupakan dirinya dengan cepat. Padahal, Bu Diana tidak berharap demikian. Setidaknya, suaminya itu menemui beliau dan meminta maaf atas segala kesalahan serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun pada kenyataannya, sang Suami sepertinya benar-benar sudah melupakan cinta dan perjuangan Bu Diana selama lebih dari dua puluh tahun ini. Kafka yang menden
Setelah memungut buket bunga dan kotak beludru yang sudah terlanjur jatuh ke lantai, Arya pun langsung berjalan cepat meninggalkan kamar Aksa—untuk kemudian pergi dari rumah dan memutuskan untuk kembali ke kantor. Dia sudah menyempatkan waktu di saat pekerjaannya sedang menumpuk hanya demi memberikan kejutan pada Sheyra. Namun yang dia dapat setelahnya justru hanya perasaan kecewa. "Harusnya, aku nggak perlu sekecewa ini 'kan? Bukankah aku sudah tahu sejak awal lalu Sheyra memang nggak pernah cinta aku?" monolog Arya yang kemudian memukul stir mobilnya kencang sebagai bentuk pelampiasan. Berbeda halnya dengan Sheyra, perempatan itu justru malah mematung sambil memandangi ambang pintu kamar yang masih dalam kondisi terbuka. "Apa itu tadi? Apakah Arya berniat memberiku buket bunga dan..." Ucapannya tak selesai karena terlalu terkejut akan kehadiran Arya yang datang tiba-tiba, lalu pergi dengan tindakan yang sama. "Kenapa aku lihat ada kotak beludru yang jatuh?" gumamnya lagi yang k
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, Bu Diana pun di vonis mengalami serangan jantung ringan. Mendengar itu, Kafka tentu saja terkejut sebab mamanya itu tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Ketika Kafka bertanya dengan lebih lanjut, dokter pun menjelaskan bahwa hal itu bisa saja terjadi mengingat usia mamanya yang semakin bertambah tua. Sehingga ketika jantungnya mengalami kejutan, maka sistem kerjanya bisa terhenti secara mendadak. Beruntung, mamanya itu lekas siuman dan dokter bisa memeriksa lebih lanjut mengenai keadaan tubuh sang Mama saat ini. Katanya, tidak ada komplikasi apapun. Hanya gejala serangan jantung biasa. Namun, dokter tetap menyarankan agar mamanya itu selalu menjaga pola hidup sehat dan kurangi aktifitas berat. "Ma?" sapa Kafka ketika dokter dan perawat yang menangani Bu Diana sudah keluar dari ruangan. "Kenapa kamu sembunyikan hal sebesar itu dari Mama?" tanya Bu Diana dengan tatapan yang kosong dan lurus ke depan. "Kafka nggak bermaksud begitu, Ma. A
Beberapa hari yang lalu saat Kafka mengatakan bahwa suaminya bersama Aster telah bermain kuda-kudaan, saat itu juga Bu Diana tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Walaupun, setelah itu Kafka menjelaskannya bahwa 'kuda-kudaan' yang putranya itu maksud ialah bermain catur di dalam ponsel milik suaminya. Namun tetap saja, sebagai seseorang yang sudah memiliki pengalaman hidup selama hampir lima puluh tahun, tentunya tidak akan mudah dibodohi dan langsung menelan ucapan Kafka mentah-mentah. Jujur saja, Bu Diana merasa memang ada yang tidak beres di antara suaminya itu dengan Aster karena keduanya sempat berada di dalam apartemen hanya berdua, bahkan dalam waktu yang cukup lama. Kecurigaan beliau pun semakin bertambah kala Bu Diana melihat wajah suaminya itu yang terlihat membiru, seperti baru mendapatkan pukulan di tulang pipinya. Saat Bu Diana bertanya mengenai penyebab wajah suaminya itu tampak membiru, Pak Hardy pun memberikan alasan bahwa itu terjadi karena beliau tidak sengaja t
Sebenarnya, Sheyra tidak berniat menguping pembicaraan sang Papa dengan ibu tirinya. Dia hanya ingin menghampiri beliau untuk meminta papanya bergabung dalam kegiatan makan bersama siang itu. Ketika dia tiba di meja makan dan tidak menemukan keberadaan papanya di sana, dengan segera Sheyra pun mencari beliau, lalu menemukannya di teras samping rumah. "Papa?" panggil Sheyra melirih saat melihat sang Papa tampak sedang berbincang dengan seseorang di dalam ponselnya. Mungkin, panggilannya itu tidak didengar karena papanya itu tak menoleh. Namun, biarkan saja. Sheyra ingin memberikan waktu pada papanya untuk berbicara dengan seseorang di seberang sana yang bisa Sheyra duga jika itu merupakan ibu tirinya—terbukti dari panggilan 'Mama dan Papa' yang tersemat dalam percakapan tersebut. Karena posisi Sheyra yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat papanya saat ini, dia pun samar-samar mendengar topik pembicaraan yang ada. Dan ketika papanya itu berkata bahwa beliau sedang bermain golf be
Di hari Minggu siang itu, suasana rumah cukup sibuk sebab orang-orang sedang turut mempersiapkan acara aqiqah untuk Aksa. Ada Disa dan suaminya, bahkan Pak Anjasmara dan Radit pun ikut membantu persiapan acara untuk nanti malam tersebut. Ya. Semenjak hari di mana Sheyra bertemu tidak sengaja dengan papanya, semenjak itu juga hubungannya dengan sang Papa membaik. Tak jarang, saat beliau mengajak Sheyra bertemu, Raditya jug ikut sehingga hubungan yang telah ada itu pun kembali terjalin dengan sangat baik. "Udah, kamu duduk aja. Baru lahiran tuh nggak boleh sampai kecapekan," suruh Disa ketika melihat Sheyra yang terlihat mondar-mandir membawa piring dan gelas yang akan digunakan nanti malam. "Cuma piring sama gelas doang kok, Kak. Nggak bikin capek juga," jawab Sheyra tidak merasa keberatan. "Ya tapi tetep aja, Shey. Kamu masih nggak boleh angkat yang berat-berat dulu," keluh Disa tampak menunjukkan raut kesalnya. "Kenapa sih, ribut-ribut." Arya yang entah datang dari mana itu pun